“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.(QS.Al-Maidah(5):3).
Potongan ayat ini
diturunkan ketika Rasulullah sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Ayat tersebut
turun dengan disaksikan sekitar 144 ribu kaum Muslimin yang untuk pertama
kalinya menjalankan ibadah haji tanpa bercampur dengan kaum Musrykin. Karena
sebelum itu, kaum Muslimin bila ingin melaksanakan haji harus bercampur dengan
kaum Musrykin yang terbiasa tawaf tanpa mengenakan sehelaipun benang di tubuh
mereka !
Ayat diatas menandakan bahwa itu adalah akhir dari tugas
Rasulullah dalam menyampaikan dakwah. Dan memang demikianlah keadaannya.
Beberapa hari kemudian Rasullullahpun mulai sakit. Namun demikian ini tidak
berarti bahwa setelah itu tidak ada lagi satupun ayat yang turun.
Kata “Kusempurnakan ..”
yang dimaksud dalam ayat diatas adalah sempurna dalam kewajiban dan hukum.
Maka dibawah
pengawasan langsung Rasulullah, dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya,
kaum Musliminpun dengan tenang dapat menjalankan hak dan kewajiban mereka
sesuai dengan hukum Islam yang telah benar-benar sempurna. Kendati demikian ada
yang masih menjadi ganjalan bagi Rasulullah.
Pada akhir hayat hidup
Rasulullah, seluruh jazirah Arab memang telah takluk kepada Sang Khalik,
sebagaimana mestinya. Meski beberapa daerah masih tampak terpaksa
melakukannya. Bahkan pada masa itu telah muncul beberapa orang yang
mengaku-ngaku nabi. Ini terjadi karena melihat kesuksesan dan ‘keuntungan’
duniawi yang diraih Rasulullah, dalam pandangan mereka tentu saja.
Lain halnya dengan
wilayah utara, daerah perbatasan kekuasaan Rumawi dan Persia di daerah Syam,
Mesir dan Irak. Wilayah ini, khususnya perbatasan Syam, Rasulullah berpendapat
bahwa harus diperkuat. Tujuannya supaya pasukan Romawi yang beberapa waktu lalu
telah menyiapkan pasukannya ( dalam perang Tabuk) tidak kembali lagi menghasut
penduduk sekitarnya dan mengerahkan pasukannya untuk melawan Islam.
Untuk itulah maka
Rasulullahpun memerintahkan Usamah bin Zaid untuk memimpin kaum Muslimin
memerangi mereka. Disamping mendatangi perbatasan Balqo‘ dan Darum di
Palestina, putra Zaid bin Haritsah yang baru berusia sekitar 19 tahun ini
juga diperintahkan untuk pergi ke Mu’ta, tempat di mana ayahnya dulu terbunuh.
Namun penunjukkan
Usamah yang dianggap masih terlalu belia itu malah memancing reaksi negatif
kaum munafik. Padahal penunjukkan tersebut bukannya tanpa maksud. Rasulullah
ingin menunjukkan bahwa kaum muda adalah kaum yang patut diandalkan dan harus
diberi kesempatan sekaligus tanggung-jawab.
“Dia (Nabi saw) mengangkat anak
ingusan menjadi komandan di kalangan pembesar Muhajirin dan Anshar”.
Menanggapi hal ini, maka Rasulullahpun segera bertindak. Dalam
keadaan kepala mulai terasa sakit, Rasulullah bersabda : “Jika
kalian (orang-orang munafik) menggugat kepemimpinan Usamah bin Zaid maka
(tidaklah aneh karena) sesungguhnya kalian juga pernah menggugat kepemimpinan
ayahnya sebelumnya. Demi Allah, sungguh ia pantas dan laik memegang kepemimpian
itu. Demi Allah, ia adalah orang yang sangat aku cintai. Demi Allah,
sesungguhnya (pemuda) ini (maksudnya Usamah bin Zaid) sangat baik dan pantas.
Demi Allah, ia adalah orang yang sangat aku cintai, maka aku wasiatkan kepada
kalian agar mentaatinya karena sesungguhnya ia termasuk orang-orang shalih di
antara kalian.“
Maka berangkatlah
Usamah beserta pasukan besarnya. Namun setiba di Jurf, sebuah desa tak jauh
dari Madinah, Usamah memutuskan untuk menghentikan pasukannya. Ia
mendapat kabar bahwa sakit Rasulullah bertambah parah. Ucapan Rasulullah bahwa
hidup beliau tidak lama lagi, terus terngiang-ngiang di telinga para sahabat.
Tak satupun diantara mereka yang mau kehilangan detik-detik terakhir kehidupan
manusia yang paling mereka cintai itu. Sambil menanti perkembangan, Usamah
akhirnya memerintahkan pasukannya untuk mendirikan kemah di tempat tersebut.
Sementara itu Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa‘ad meriwayatkan dari Abu
Muwahibah, mantan budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw, ia berkata: “Rasulullah
saw pernah mengutusku pada tengah malam seraya berkata: ‘Wahai
Abu Muwaihibah, aku diperintahkan untuk memintakan ampunan bagi penghuni
(kuburan) Baqi‘ ini, maka marilah pergi bersamamu”. Kemudian
aku pergi bersama beliau. Ketika kami sampai di tempat mereka, beliau
mengucapkan: “Assalamu‘alaikum ya ahlal maqabir! Semoga diringankan
(siksa) atas kalian sebagaimana apa yang dilakukan manusia. Berbagai fitnah
datang seperti gumpalan-gumpalan malam yang gelap, silih berganti yang akhir
lebih buruk dari yang pertama”.
Kemudian beliau menghampiriku seraya bersabda: ;Sesungguhnya
aku diberi kunci-kunci kekayaan dunia dan keabadian di dalamnya, lalu aku
disuruh memilih antara hal tersebut atau bertemu Rabb-ku dan sorga.’ Aku
berkata kepada beliau: “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu,
ambillah kunci-kunci dunia dan keabadian di dalamnya kemudian surga”.’ Nabi
saw bersabda: ‘Demi Allah tidak wahai Abu
Muwahibah! Aku telah memilih bertemu dengan Rab-ku dan sorga”.
Kemudian Nabi saw memintakan ampunan untuk penghuni Baqi’ dan meninggalkan
tempat. Sejak itulah Rasulullah saw mulai merasakan sakit yang kemudian beliau
meninggal dunia”.
Pertama kali Rasulullah saw merasakan sakit keras di bagian
kepala. Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa sepulangnya dari Baqi‘, Nabi saw
disambut oleh Aisyah ra seraya berkata: “Aduh kepalaku sakit sekali!“ Lalu
Nabi saw berkata kepada Aisyah: “Demi Allah wahai Aisyah, kepalaku
sendiri terasa sakit“.
Akan tetapi sakitnya Rasul ini tidak mengurangi kebiasaan beliau
bercanda dengan istri-istri beliau. Suatu kali karena Aisyah senantiasa ikut
mengeluh sakit kepala tatkala Rasul mengatakan bahwa kepala beliau sakit,
Rasulpun bercanda : “Apa salahnya kalau kau yang
meninggal lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkanmu
dan menguburkanmu”.
Dipicu rasa cemburu yang sangat tinggi, dengan kesal Aisyah,
yang masih muda itu, menjawab ketus:” Dengan begitu yang lain mendapat
nasib baik. Demi Allah, dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau
menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin baru
dengan isteri-isterimu ! ”.
Mendengar jawaban
tersebut, dengan menahan rasa sakit, Nabipun hanya tersenyum sambil memandang
mesra sang istri yang dinikahi pertama setelah wafatnya satu-satunya istri
tercinta, Khadijah ra itu.
Sakit di bagian kepala itu semakin bertambah berat sehingga
menimbulkan demam yang sangat serius. Permulaan sakit ini terjadi pada akhir
bulan Shafar tahun ke 11 H. Selama itu Aisyah ra senantiasa menjampinya dengan
sejumlah ayat-ayat Al-Quran yang berisi mu‘awwidzat (permintaan
perlindungan kepada Allah). Yang dimaksud menjampi adalah mengusapkan tangan
sambil meniupkannya kebagian yang sakit seraya membacakan doa.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Urwah bahwa Aisyah ra
mengabarkan, Sesungguhnya Rasulullah saw apabila merasakan sakit beliau
meniup dirinya sendiri dengan mu‘awwidzat dan mengusapkan dengan tangannya. Dan
ketika mengalami sakit kepala yang kemudian disusul kematiannya, itu akulah
yang meniup dengan mu‘awwidzat yang biasa digunakannya lalu aku usap dengan
tangan Nabi saw seraya mengharap berkahnya.
Suatu hari ketika
Rasulullah sedang berada ditempat Maimunah ra, umirul Mukminin yang kebetulan
saat itu mendapat giliran, Rasulullah merasa bahwa sakitnya makin terasa berat.
Maka Rasulullahpun memanggil semua istri beliau. Rasulullah meminta izin agar
untuk seterusnya para Umirul Mukminin ridho dan mau memberi izin Aisyah
ra, merawat beliau di rumah Aisyah. Para Umirul Mukminin sangat dapat memahami
keinginan terakhir suami tercinta sekaligus nabi mereka itu. Maka dengan
izin dari mereka semua, akhirnya Nabi saw dipindahkan ke rumah Aisyah
dengan dipapah oleh al Fadhal dan Ali bin Abi Thalib.
Di rumah Aisyah ra itulah sakit Rasululah saw semakin bertambah
keras. Mengetahui para sahabat mulai resah dan berduka maka Nabi saw
bersabda: “Siramkanlah aku dengan tujuh qirbah air karena aku
ingin keluar berbicara kepada mereka.“ Aisyah ra berkata:
“Kemudian aku dudukkan Nabi saw di tempat mandi lalu kami guyur dengan tujuh
qirbah air sampai beliau mengisyaratkan dengan tangannya: “
Cukup … Cukup “. Kemudian beliau keluar dan berkhutbah kepada
mereka.
Nabi saw keluar dengan kepala terasa pusing lalu duduk di atas
mimbar. Pertama-tama Rasulullah saw berdo‘a dan memintakan ampunan untuk
para Mujahidin Uhud. Kemudian dengan wajah serius beliau meneruskan :
“Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu. Demi
hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang kepemirnpinnya, tentang
kepemimpinan ayahnya dulu pun juga kamu banyak bicara. Dia sudah pantas
memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan”.
Setelah diam sejenak, demikian pula para sahabat yang hadir, Rasulullah
meneruskan sabdanya : “Seorang hamba diberi pilihan oleh
Allah, antara diberi kekayaan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya, lalu hamba
itu memilih apa yang ada disisi-Nya“.
Mendengar itu, sontak Abu Bakar menangis (karena mengetahui apa
yang dimaksud Nabi saw) seraya berkata dengan suara keras: “Kami
tebus engkau dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami“.
Kemudian Nabi saw bersabda : “Tunggu
sebentar wahai Abu Bakar! Wahai manusia sesungguhnya orang yang paling bermurah
hati kepadaku dalam hartanya dan persahabatannya ialah Abu Bakar. Seandainya
aku hendak mengangkat orang sebagai khalil (teman kesayangan) maka Abu Bakarlah
khalilku, akan tetapi persaudaraan yang sejati adalah persaudaraan Islam. Tidak
boleh ada Khaukah (lorong) di masjid kecuali Khaukah (lorong) Abu Bakar.
Sesungguhnya aku adalah tanda pemberi petunjuk bagi kalian dan aku menjadi
saksi atas kalian. Demi Allah, sesungguhnya sekarang ini aku melihat telagaku.
Sesungguhnya aku telah diberi kunci-kunci dunia. Demi Allah, aku khawatir
kalian akan menjadi musyrik sesudahku tetapi aku khawatir kalian akan
berlomba-lomba memperebutkan dunia“.
Kemudian Rasulullah
saw bangkit berdiri untuk kembali ke rumah. Namun Rasulullah berhenti sejenak,
menoleh dan berucap :
“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar baik-baik; sebab
selama orang bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga
keadaannya, tidak bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan
rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat
baik atas kebaikan mereka dan maafkanlah kesalahan mereka”.
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang
Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan,
setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
mereka”.(QS.At-Taubah(9):117).