Makin hari sakit
Rasulullah saw makin bertambah berat. Namun demikian beliau tetap
memimpin shalat berjamaah di masjid bersama para sahabat, meski usai
shalat tidak seperti dahulu ketika sehat, yaitu duduk dikelilingi para sahabat
sambil memberikan tausiyah. Rasulullah kini langsung pulang, masuk kamar dan
beristirahat.
Suatu hari, ketika Rasulullah saw sudah tidak kuat lagi keluar
untuk mengimami shalat maka beliau bersabda: “Perintahkanlah
Abu Bakar untuk mengimami shalat.“ Aisyah ra menyahut: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar seorang yang lembut. Ia suka menangis kalau
sedang membaca Qur’an. Jika dia menggantikanmu maka suaranya tidak dapat
didengar oleh orang“.
Nabi saw bersabda: “Kalian memang seperti
perempuan-perempuan Yusuf. Perintahkan Abu Bakar supaya mengimami shalat
jama‘ah“. Maka Abu Bakarpun keluar dan bertindak sebagai Imam
shalat jama‘ah, menggantikan Rasulullah yang makin hari makin terlihat lemah.
Waktu terus berlalu.
Sakit Rasulullah makin hari makin bertambah. Beliau mengalami demam sangat
tinggi. Setiap hari para sahabat bergantian datang menjenguk. Demikian pula
Fatimah, satu-satunya putri Rasulullah. Setiap kali datang menjenguk, diciumnya
putri kesayangan tersebut. Namun suatu hari ketika sakit Rasul makin berat,
Fatimahlah yang mencium ayahnya tercinta.
“Selamat datang, puteriku“, sambut Rasul.
Dengan wajah menahan duka Fatimahpun duduk disamping ayahnya. Tak lama kemudian
Rasul membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah. Seketika Fatimah tertawa.
Wajahnya langsung berubah cerah. Tetapi beberapa saat kemudian setelah
Rasulullah kembali membisikan sesuatu, Fatimahpun menangis sedih.
Aisyah kemudian bertanya, apa yang dikatakan ayahnya itu.
Fatimah hanya menjawab pendek : ” Aku tidak akan membuka
rahasia ayahku “.
Di kemudian hari,
setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kata
bahwa dirinya adalah orang pertama dari pihak keluarga yang akan menyusul
Rasulullah wafat. Itu sebabnya ia tertawa. Selanjutnya ketika Rasulullah
berbisik bahwa beliau akan wafat disebabkan sakitnya itu, iapun tak tahan
untuk tidak menangis.
Selama beberapa hari
kemudian, Rasulullah menggigil hebat. Tubuhnya mengalami demam sangat tinggi.
Oleh karenanya sebuah bejana berisi air dinginpun diletakkan disamping Nabi
saw. Sekali-sekali beliau memasukkan tangan beliau ke dalam air tersebut lalu
mengusapkannya ke muka. Saking tingginya suhu tubuh Rasulullah, kadang beliau
sampai tak sadarkan diri. Tak lama setelah itu beliaupun sadar kembali dengan
keadaan yang begitu payah.
Karena perasaan sedih yang sungguh menyayat hati, suatu hari
Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu: “Alangkah
beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawab nabi saw,
berusaha menenangkan putri kesayangan satu-satunya itu .
Suatu hari, Rasulullah meminta Aisyah agar memanggil ayahnya
datang. Aisyah ra berkata: “Pada waktu sakit, Rasulullah saw pernah berkata
kepadaku:‘Panggillah kemari Abu Bakar, bapakmu dan saudaramu,
sehingga aku menulis sesuatu wasiat. Sebab aku khawatir ada orang yang
berambisi mengatakan: “Aku lebih berhak“, padahal Allah dan orang-orang Mukmin
tidak rela kecuali Abu Bakar”.
Sementara itu, Ibnu Abbas meriwayatkan : “Ketika Rasulullah saw
sedang sakit keras, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di dalam rumah:
‘Kemarilah aku tuliskan sesuatu wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan
sesat sesudahnya’. Kemudian sebagian mereka berkata, ‘Sesungguhnya
Rasululah saw dalam keadaan sakit keras sedangkan di sisi kalian ada Al-Quran,
cukuplah bagi kita Kitab Allah’. Maka timbullah perselisihan
diantara orang-orang yang ada di dalam rumah. Diantara mereka ada yang berkata:
‘Mendekatlah, beliau hendak menulis suatu wasiat buat kalian di mana kalian
tidak akan sesat sesudahnya’. Diantara mereka ada juga yang
mengatakan selain itu. Mendengar perselisihan itu bertambah sengit dan gaduh
akhirnya Rasulullah saw bersabda: “Pergilah kamu sekalian! Tidak
patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”
Berita sakitnya Nabi
saw yang dari hari ke hari makin bertambah itu telah diketahui oleh seluruh
penduduk Madinah. Usama dan pasukannya yang selama itu menunggu di Jurf
akhirnya juga mendengar berita tersebut. Maka Usamapun memutuskan untuk pulang
dan segera menjenguk Rasulullah. Betapa sedihnya Usama ketika dilihatnya, Rasulullah
tidak lagi mampu mengeluarkan suara. Sebaliknya begitu melihat orang yang
dicintai datang menjenguk, Rasulullah mengangkat tangan beliau dan meletakannya
di bahu Usama, tanda bahwa beliau sedang mendoakannya.
Beberapa waktu kemudian,menyadari bahwa waktunya telah makin
mendekat, Rasulullah saw bertanya kepada Aisyah : “Apa
yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? “.
Ketika sakit
Rasulullah makin bertambah parah, beliau, yang hanya memiliki harta tujuh dinar
di tangan itu, memang telah meminta Aisyah agar menyedekahkan uang tersebut.
Namun karena kesibukannya mengurus dan merawat sang suami tercinta, tampaknya
Aisyah lupa melaksanakan permintaan Rasulullah. Dengan menyesal Aisyah
menunjukkan uang yang masih ada di tangannya.
“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhannya, sekiranya ia
menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya”, begitu komentar Rasul
sambil memegang uang yang baru saja diserahkan kembali oleh Aisyah itu.
Kemudian segera beliau membagikan uang tersebut kepada fakir-miskin di kalangan
Muslimin.
Malamnya, panas tubuh
Rasulullah agak berkurang. Karena merasa agak sehat maka subuh esok paginya
beliau turun dari pembaringannya. Dengan berikat kepala dan bertopang
kepada Ali bin Abi Talib dan Fadzl bin’l-’Abbas, beliau keluar menuju masjid
untuk shalat subuh berjamaah. Disana beliau mendapati Abu Bakar sedang
mengimami shalat. Melihat kedatangan Rasulullah saw, Abu Bakar segera mundur.
Namun Rasulullah memberi isyarat agar ia terus melanjutkan memimpin shalat.
Selanjutnya Rasulullah duduk di sebelah kanan Abu Bakar lalu melakukan shalat,
bermakmum kepada Abu Bakar, bersama para sahabat yang tetap berdiri melanjutkan
shalat.
Betapa gembiranya para
sahabat melihat Rasulullah kembali dapat shalat bersama mereka. Mereka sama
sekali tidak menyangka bahwa shalat tersebut merupakan shalat terakhir mereka
bersama orang yang paling mereka cintai. Mereka bahkan menyangka Rasulullah
telah sehat dan pulih kembali. Padahal sebenarnya sakit Rasulullah semakin
bertambah serius.
Ibnu Mas‘ud meriwayatkan: “Aku pernah masuk membesuk Rasulullah
saw ketika beliau sedang sakit keras, lalu aku pegang beliau dengan tanganku
seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
engkau mengalami demam panas sekali’. Jawab Nabi saw: ‘Ya,
demam yang kurasakan sama dengan yang dirasakan oleh dua orang dari kalian (dua
kali lipat).’ Aku katakan: ‘Apakah hal ini karena engkau
mendapatkan dua pahala?’ Nabi saw menjawab: ‘Ya,
tidaklah seorang Muslim menderita sakitnya itu kesalahan-kesalahannya
sebagaimana daun berguguran dari pohonnya’“. ( HR. Muttafaq
‘Alaih).
Dalam keadaan sakit keras seperti itulah Rasulullah saw kemudian
menutupi wajahnya dengan kain. Apabila dirasakan sakit sekali maka beliau
membuka wajahnya lalu bersabda: “Semoga laknat Allah ditimpahkan ke
atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para Nabi mereka
sebagai masjid“. ( HR. Muttafaq ‘Alaih).
Ini adalah isyarat
dari Rasulullah saw agar kaum Muslimin tidak melakukan tindakan seperti yang
dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu menjadikan makam atau kuburan
sebagai tempat ibadah atau masjid.
Beberapa hari
kemudian, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun ke 11 H atau 8 Juni 632
M, ketika para sahabat sedang menunaikan shalat Subuh ber-jamaah, tirai kamar
Aisyah yang letaknya memang menempel dengan masjid dimana para sahabat biasa
shalat, tiba-tiba tersingkap. Dari balik tirai tersebut muncul seraut wajah
Rasulullah dengan senyuman tersungging di bibir.
Betapa gembiranya para
sahabat menyaksikan pemandangan tersebut. Mereka bahkan nyaris menangguhkan
shalat saking antusiasnya ingin menyambut sang pemimpin yang begitu mereka
cintai itu. Mengira bahwa Rasulullah akan shalat, Abu Bakarpun menggeser
tubuhnya, untuk memberi tempat kepada Rasulullah. Namun Rasulullah segera
memberi tanda agar Abu Bakar meneruskan shalatnya. Kemudian Rasulullah masuk
kembali ke kamar.
Selanjutnya karena
menyangka Rasulullah telah pulih kembali, dengan hati lega para sahabatpun
bergegas meninggalkan masjid untuk mengurus segala keperluan yang selama
ini agak terbengkalai. Demikian pula Abu Bakar. Ia meminta izin untuk pulang ke
rumahnya di Sunuh.
Sebaliknya, sebenarnya
Rasulullah telah mengetahui bahwa saat-saat terakhir beliau telah tiba.
Para sahabat tidak menyadari bahwa senyum Rasulullah yang mereka lihat
itu adalah isyarat pamit Rasulullah yang tampak puas menyaksikan umatnya telah
mampu mendirikan shalat Subuh berjamaah dengan tertib.
Aisyah menceritakan,“Ketika aku sedang memangku Rasulullah,
tiba-tiba Abdurahman masuk dengan membawa siwak ditangan. Aku melihat Rasulullah
terus menerus menatap siwak tersebut hingga aku tahu kalau beliau
menginginkannya. Aku tanya “ Kuambilkan untukmu?” Setelah
memberi isyarat‘ya’, lalu
kuberikan siwak itu. Karena siwak terlalu keras, kutawarkan untuk melunakkannya
dan beliau member isyarat setuju. Beliau kemudian memasukkan ke dua tangannya
ke dalam bejana berisi air yang ada di hadapannya lalu mengusap wajahnya seraya
berucap : “ La ilaha illallah. Sesungguhnya kematian itu
mempunyai sakarat”. ( HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau kemudian mengangkat tangannya seraya berucap, “
Fir-Rafiqil A’la’, sampai beliau wafat dan tangannya lunglai”. (
HR.Bukhari).
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun
sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan
kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan”.(QS.Al-Anbiya(21):34-35).