Pada suatu hari di tahun 9 Hijriyah, kaum
Muslimin menerima kabar dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahwa
pasukan Romawi sedang merencanakan penyerangan besar-besaran terhadap Islam.
Pasukan berjumlah 40.000 personil ini mendapat dukungan dari orang-orang Arab
Nasrani yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran yang berpusat di
Konstantinopel itu.
Kekaisaran Romawi
meski menyatakan diri sebagai kerajaan Nasrani, sebenarnya mereka hanya
menjadikan agama sebagai tameng. Mereka mencampur-adukkan agama dengan
paganisme dan berbagai kebathilan lainnya. Mereka tidak menempatkan kekuasaan
dan hukum Allah diatas segalanya. Agama digunakan sebagai alat untuk menjajah
rakyat dan bangsa-bangsa di sekitarnya. Itu sebabnya kemenangan demi kemenangan
yang dicapai Islam di seluruh jazirah Arabia, yang memang telah dikisahkan
dalam Taurat maupun Injil, membuat para penguasa yang haus kekuasaan ini
menjadi ketakutan.
Mendengar itu,
Rasulpun tidak tinggal diam apalagi gentar. Beliau segera menyiapkan pasukannya
yang terdiri atas 30.000 orang untuk menyambut serbuan orang-orang yang tidak
menyukai ajaran yang dibawa Rasulullah dan berkembang amat pesat tersebut.
Secara bergantian, karena jumlah unta yang tidak seimbang, 1 ekor unta
digunakan untuk 2-3 orang, pasukan bergerak menuju medan perang. Itupun karena
kekurangan makanan, beberapa untapun terpaksa akan disembelih.
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah ra
ia berkata: “Pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami kelaparan sehingga
mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw, ijinkanlah
kami menyembelih onta-onta kami untuk dimakan.“ Nabi saw
menjawab: “Lakukanlah!“ Tetapi
Umar ra datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, kalau
mereka menyembelih onta-onta itu niscaya kendaraan kita makin berkurang. Tetapi
perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian
do‘akanlah semoga Allah memberkatinya.“ Lalu Nabi saw
memerintahkan agar sisa-sisa perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang
telah digelar. Maka orang-orang pun berdatangan. Ada yang membawa segenggam
gandum dan ada pula yang membawa segenggam kurma, sehingga terkumpullah
perbekalan makanan yang tidak terlalu banyak, kemudian Nabi saw memohonkan
keberkahannya. Setelah itu Nabi saw berkata kepada mereka: “Ambillah
dan penuhilah kantong-kantong makanan kalian!“ Kemudian mereka
pun memenuhi kantong-kantong makanan mereka sampai tidak ada tempat makanan
yang kosong di perkemahan kecuali mereka telah memenuhinya. Mereka juga telah
makan hingga kenyang. Bahkan makanan itu masih tersisa. Kemudian Nabi saw
bersabda: “Aku bersaksi tidak ada Ilah selian
Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Seorang hamba yang menghadap
Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan dihalangi masuk
surga.“
Perang ini berlangsung
pada bulan Rajab, di puncak musim panas dan ketika orang-orang menghadapi
kehidupan yang sangat sulit. Pada saat yang sama, musim buah-buahan Madinah
mulai dapat dipanen. Itu sebabnya banyak kaum Muslimin yang enggan menjalankan
ajakan Rasulullah untuk berjihad di jalan Allah. Berbagai alasan dikemukan.
Allah swt mengabadikan bermacam keberatan tersebut dalam ayat-ayat
berikut :
“Diantara mereka ada orang yang berkata: “Berikanlah saya ijin
(tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam
fitnah.“ Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan
sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.“ (QS At-Taubah(9):
49).
“ Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu
merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah saw, dan mereka
tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka
berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini. …… “ (QS.At-
Taubah(9):81).
Sebaliknya kaum Muslimin dari kalangan sahabat dekat Rasulullah
yang selama ini telah dikenal keimanannya tanpa ragu tetap memperlihatkan
kwalitas mereka. Turmidzi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia
berkata:“Aku pernah mendengar Umar ra berkata: Rasulullah saw
memerintahkan kami bersodaqoh dan kebetulan waktu itu aku sedang punya harta,
lalu aku berucap: Sekarang aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika memang aku
dapat mengalahkannya pada suatu hari. Kemudian aku datang kepada Rasulullah saw
membawa separuh hartaku. Nabi saw bertanya kepadaku: “Apa yang kamu tinggalkan
untuk keluargamu?“ Kujawab: “Sebanyak yang kuserahkan.“ Kemudian Abu Bakar ra
datang membawa semua hartanya. Nabi saw bertanya “Wahai Abu Bakar, apa yang
kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ “Allah dan Rasul-Nya.“ Akhirnya aku berkata:
“Aku tidak akan dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan)
untuk selama-lamanya”.
Sementara Ustman ra menyerahkan 300 keping uang sebanyak 1000
dinar yang diletakkan di kamar Rasulullah saw. Menanggapi ini Rasulullah
berujar :“”Tidak akan membahayakan Ustman apa yang dilakukan
sesudahnya.“
Beberapa orang dari kaum Muslimin yang dikenal dengan panggilan
Al-Buka‘un (orang-orang yang menangis)
datang kepada Rasulullah saw meminta kendaraan guna pergi berjihad bersamanya.
Akan tetapi Nabi saw menjawab mereka: “Aku tidak punya kendaraan lagi
untuk membawa kalian.“ Kemudian mereka kembali dengan meneteskan
air mata karena sedih tidak dapat ikut serta berjihad.
Namun tampaknya ajakan
perang kali ini hanya merupakan ujian belaka. Karena setiba di Tabuk, para
hamba Allah ini tidak menemukan pasukan musuh. Demikianlah Sang Khalik menguji
keimanan hamba-Nya.
Bahkan tak lama kemudian,
Yohanna, gurbernur Ailah, datang kepada Nabi saw meminta diadakan perjanjian
damai. Untuk itu menyatakan kesediaannya membayar jizyah. Demikian pula yang
dilakukan penduduk Jarba‘ dan Adzrah. Rasulullahpun menerima permintaan damai
tersebut. Maka dibuatlah surat perjanjian antara ke dua belah pihak…
Allahuakbar ..
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk”.(QS. At-Taubah(9):29).
Setelah itu Rasulullah
dan pasukan kembali ke Madinah dan langsung memasuki masjid untuk mendirikan
shalat 2 raka’at. Nabi saw kemudian duduk dikelilingi para sahabat, baik yang
baru pulang dari perjalanan perang yang baru lalu maupun yang tidak pergi.
Terhitung ada sekitar
80 orang yang tidak ikut dalam perang. Di tempat inilah masing-masing kemudian
mengajukan alasan mengapa mereka tidak datang memenuhi panggilan Rasulullah.
Setelah mendengarkan dengan seksama, dengan bijaksana, Rasulullahpun menerima
pernyataan dan alasan mereka. Lalu Rasulullah berdoa dan memohonkan ampunan
Allah swt bagi mereka. Kecuali Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan
Hilal bin Umaiyah. Rasulullah tidak dapat menerima alasan ketiganya.
Rasulullah hanya berkata bahwa Allah swt sendiri yang akan memberikan
keputusan-Nya.
Ka‘ab ra dalam sebuah
hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengungkapkan kisahnya
sendiri sebagai berikut :
Diantara kisahku bahwa
aku tidak ikut dalam berperang itu. Aku segera memulai persiapan untuk maju ke
medan perang bersama kaum Muslimin, tetapi aku kembali lagi dan belum
mempersiapkan sesuatu, kemudian aku berkata dalam hati: Aku sebenarnya mampu
(ikut ke medan perang). Aku terus berusaha mempersiapkan untuk berangkat tetapi
ternyata aku belum mendapatkan apa-apa untuk berangkat. Ketika kaum Muslimin
sudah berangkat dan berjalan jauh menuju medan perang akupun masih belum
mempersiapkan apa-apa. Lalu aku berkeinginan untuk menyusul mereka andai aku
telah melakukannya tetapi aku pun tidak ditakdirkan untuk itu.
Setelah Rasulullah saw
berangkat, aku keluar menemui orang-orang. Aku sangat sedih karena aku tidak
melihat kecuali orang yang kental sekali kemunafikannya atau orang lemah yang
diberi dispensasi oleh Allah.
Ketika kudengar Nabi saw telah bergerak pulang, aku merasa
gelisah. Terlintas pula keinginan untuk berbohong demi menyelamatkan diri dari
kemarahan beliau nanti! … Kemudian aku meminta pandangan setiap orang yang
pantas memberikan pandangan dari keluargaku. Ketika diberitahukan bahwa
Rasulullah saw telah datang, hilanglah segala kebathilan dari pikiranku dan aku
putuskan untuk berkata jujur kepada beliau. Aku datang menemui Rasulullah saw
seraya mengucapkan salam kepadanya tetapi beliau tersenyum sinis kemudian
berkata: “Kemarilah!“ Setelah aku dihadapannya,
beliau bertanya: “Kenapa kamu tidak berangkat?
Bukankah kamu telah membeli kendaraan?“ Aku jawab:“Ya,
benar!. Demi Allah sekiranya aku sekarang ini berhadapan dengan orang lain dari
penduduk dunia, tentu mudah bagiku mencari alasan untuk menghindari
kemarahannya. Apalagi aku adalah orang ynag pandai berdebat. Demi Allah aku
tahu jika aku hari ini berbicara bohong kepada engkau sehingga engkau tidak
memarahiku, sungguh pasti Allah yang mengetahui kebohongan itu akan memarahi
engkau karena aku. Jika aku berkata jujur kepada engkau niscaya engkau
memarahiku. Namun aku akan tetap berkata jujur demi mengharap ampunan Allah.
Demi Allah, sungguh aku tidak punya halangan (udzur) apa-apa. Demi Allah,
sebenarnya aku saat itu dalam keadaan kuat dan sanggup berangkat ke medan
perang!“.
Rasulullah saw menyahut: “Ya, itu memang tidak bohong.
Pergilah sampai Allah menentukan sendiri persoalanmu!“. Aku lalu
pergi.
Ketika aku pergi, beberapa orang dari Banu Salmah menyusul dan
menyalahkan tindakanku (karena tidak mengemukakan alasan sebagaimana orang
lain). Kutanyakan kepada mereka: “Apakah ada orang lain yang berbuat
sama seperti yang kulakukan?“ Mereka menjawab: “Ya,
ada dua orang, dua-duanya mengatakan kepada Rasulullah saw seperti yang telah
engkau katakan, dan beliau juga mengatakan kepada mereka, seperti yang beliau
katakan kepadamu!“ Aku bertanya lagi: “Siapakah
kedua orang itu?“ Mereka menjawab: “Murarah
bin Ar-Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah.“ Mereka lalu menerangkan bahwa
dua-duanya itu orang shaleh dan pernah ikut perang Badr. Dua-duanya dapat dijadikan
contoh.
Kemudian Rasulullah
saw mencegah kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami bertiga, sebagai orang
yang tidak turut serta berangkat ke medan perang Tabuk. Semua orang menjauhkan
diri dari kami dan berubah sikap terhadap kami, hingga aku sendiri merasa
seolah-olah bumi yang kuinjak bukan bumi yang kukenal.
Keadaan seperti ini
kualami selama lima puluh hari. Dua orang temanku tetap tinggal di rumah
masing-masing dan selalu menangis sedang aku sendiri sebagai orang muda dan
berwatak keras tetap keluar seperti biasa, shalat jama‘ah bersama kaum Muslimin
dan mondar-mandir ke pasar. Selama itu tak seorangpun ynag mengajakku
bercakap-cakap. Akhirnya aku datang menghadap Rasulullah saw, kuucapkan salam
kepadanya saat sedang duduk sehabis shalat. Dalam hati aku bertanya: Apakah
beliau menggerakkan bibir membalas ucapan salamku atau tidak. Kemudian aku
shalat dekat beliau sambil melirik ke arah beliau. Ternyata di saat aku masih
shalat beliau memandangku, tetapi setelah selesai shalat dan aku menoleh kepadanya,
beliau memalingkan muka.
Pada suatu hari di saat aku sedang berjalan di pasar Madinah,
tiba-tiba seorang asing penjaja dagangan yang datang dari Syam bertanya-tanya:“Siapakah
yang dapat membantu saya menunjukkan orang yang bernama Ka‘ab bin Malik?“ Banyak
orang menunjukkannya. Ia kemudian menghampiriku lalu menyerahkan sepucuk surat
kepadaku dari Raja Ghassan. Setelah kubuka ternyata berisi sebagai
berikut: “Amma ba‘du, kudengar bahwa sahabatmu (yakni Rasulullah
saw) telah mengucilkan dirimu. Tuhan tidak akan membuat dirimu hina dan nista.
Datanglah kepadaku, engkau pasti kuterima dengan baik….“
Setelah kubaca aku berkata: “Ini juga termasuk cobaan!“ Kunyalakan
api kemudian surat itu kubakar.
Setelah lewat empat puluh hari, datanglah utusan Rasulullah saw
kepadaku. Ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan supaya
engkau menjauhkan diri dari istrimu!“ Aku bertanya: “Apakah
ia harus kucerai ataukah bagaimana?“ Ia menjawab: “Tidak!
Engkau harus menjauhinya, tidak boleh mendekatinya!“
Kepada dua orang temanku (yang senasib) Rasulullah saw juga
menyampaikan perintah yang sama. Kemudian kukatakan kepada istriku: “Pulanglah
engkau kepada keluargamu, dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka hingga
Allah menetapkan keputusann-Nya mengenai persoalanku!“
Tinggal sepuluh hari lagi lengkaplah masa waktu lima puluh hari
sejak Rasulullah saw melarang kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami. Tepat
pada hari kelima puluh aku shalat subuh memikirkan keputusan apa yang akan
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas diriku yang tengah mengalami penderitaan
berat ini, hingga bumi yang luas ini kurasa amat sempit. Tiba-tiba kudengar
suara orang berteriak dari bukit: “Hai Ka‘ab bin Malik,
bergembiralah…!“
Seketika itu juga aku sujud (syukur) karena aku sadar bahwa
ampunan Allah telah datang. …
Setelah mengimami shalat subuh berjama‘ah Rasulullah saw mengumumkan kepada
kaum Muslimin bahwa Allah berfirman berkenan menerima taubat kami. Banyak orang
berdatangan memberitahukan kabar gembira itu kepada kami bertiga.
Setelah orang yang kudengar
suaranya dari atas bukit itu datang untuk menyampaikan kabar gembira kepadaku,
kulepas dua baju yang sedang kupakai, kemudian dua-duanya kuberikan kepadanya
dengan senang hati. Demi Allah, aku tidak mempunyai baju selain yang dua itu.
Aku berusaha mencari pinjaman baju kepada orang lain, dan setelah kupakai aku
segera pergi menemui Rasulullah saw. Banyak orang yang menyambut kedatanganku
mengucap selamat atas ampunan Allah yang telah kuterima.
Aku kemudian masuk ke
dalam masjid. Kulihat Rasulullah saw sedang duduk dikelilingi para sahabatnya.
Thalhah bin Ubaidillah berdiri kemudian berjalan tergopoh-gopoh kepadaku.
Selain Thalhah tidak ada orang lain dari kaum Muhajirin yang berdiri menyambut
kedatanganku. Kebaikan Thalhah itu tidak dapat kulupakan.
Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw , beliau
dengan wajah berseri-seri kegirangan berkata: “Gembiralah menyambut hari baik
yang belum pernah engkau alami sejak lahir dari kandungan ibumu!“ Aku
bertanya: “Apakah itu dari anda sendiri, wahai
Rasulullah? Ataukah dari Allah?“ Beliau menjawab:“Bukan
dari aku, melainkan dari Allah.“
Kemudian aku berkata: “Wahai Rasulullah saw, sebagai tanda
taubatku, aku hendak menyerahkan seluruh harta bendaku kepada Allah dan
Rasul-Nya.“ Tetapi beliau menjawab: “Lebih
baik engkau ambil sebagian dari hartamu itu!“.
Selanjutnya kukatakan kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, Allah telah menyelamatkan diriku karena aku berkata benar. Setelah
aku bertaubat, selama sisa umurku aku tidak akan berkata selain yang benar!“.
Kemudian turunlah
firman Allah kepada Rasul-Nya :
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang
Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah
menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang
luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh
mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan)
Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS
At-Taubah(9):117-119).
Sementara itu,
semenjak kepulangan Rasullullah dan pasukan Muslim dari perang Tabuk,
Rasulullah menerima sejumlah utusan yang datang berduyun-duyun menyatakan
ke-Islaman mereka. Sebaliknya, Rasulullah juga aktif mengirim beberapa utusan
untuk memperkenalkan Islam. Diantaranya yaitu Khalid bin Walid yang dikirim ke
Najran, Ali bin Abi Thalib ra yang dikirim ke Yaman dan Abu Musa Al-Asy’ari serta
Mu’adz bin Jabal ke pelosok Yaman.
Dalam kesempatan tersebut, Rasulullah berwasiat, “
Permudah dan jangan mempersulit ! Gemarkan dan jangan membuat orang lari,
berusahalah dengan penuh keikhlasan dan kekuatan!”