Perang yang terjadi sebulan setelah
penaklukkan Mekkah ini terjadi karena rasa tidak senang pemimpin suku Hawazin
dan suku Tsaqif terhadap kemenangan pasukan Islam. Dalam pandangan para
pemimpin kedua suku yang menempati daerah sekitar Mekkah ini, kemenangan Islam
bakal mengancam kedudukan mereka sebagai pemimpin yang selama ini sangat
dihormati masyarakatnya.
Maka pada suatu hari,
Malik bin Auf, seorang tokoh Hawazin, menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki
berupa harta kekayaan, kaum perempuan dan anak-anak mereka untuk
berkumpul di Authas, tempat antara Mekkah dan Tha’if, untuk memerangi Islam.
Rasulullah menyambut tantangan tersebut dengan memberangkatkan pasukan besar
berjumlah 12.000 orang, yang terdiri dari 10.000 penduduk Madinah dan 2.000
penduduk Mekah.
Namun di suatu pagi
yang masih gelap ketika pasukan Islam tiba di lembah Hunain tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh serangan mendadak pasukan musyrik. Pasukan ini keluar dari
persembunyian rahasia mereka di lorong-lorong lembah yang dilalui pasukan
Islam. Serangan mendadak ini ternyata mampu membuat pasukan yang sebagian
besarnya baru saja memeluk Islam menjadi bubar dan lari tunggang
langgang.
Muslim meriwayatkan dari Abbas ra, katanya: “Aku ikut bersama
Rasulullah saw dalam perang Hunain. Aku bersama Abu Sofyan bin Al-Harits bin
Abdul Muthalib berada di atas baghal putihnya ketika kaum Muslimin lari mundur
terbirit-birit. Kemudian Rasulullah saw mengarahkan baghalnya menuju ke arah
orang-orang kafir.” Abbas ra berkata: “Aku memegangi tali kekang baghal
sementara Rasulullah saw menahannya agar tidak terlalu cepat. Sedangkan Abu
Sofyan memegangi pelananya. Nabi saw lalu bersabda: “Panggillah
Ash-habus Samrah (para sahabat yang pernah melakukan baiat Ridhwan pada tahun
Hudaibiyah).“Kemudian aku panggil dengan suaraku yang keras: “Wahai
Ash-habus Samrah!“Abbas berkata: “Demi
Allah, begitu mendengar teriakan itu, mereka segera kembali seperti sapi yang
datang memenuhi panggilan anaknya, seraya berkata: “Kami sambut seruanmu, kami
sambut seruanmu!“. Kemudian mereka maju bertempur dengan
seruan: “Wahai orang-orang Anshar!“ Rasulullah
saw memperhatikan pertempuran seraya berkata: “Sekarang
pertempuran berkecamuk.“, lalu beliaupun mengambil batu-bati
kerikil dari tanah dan melemparkannya ke arah wajah orang-orang kafir seraya
berkata: “Musnahlah kalian demi Rabb Muhammad!“.
Pertempuran sengitpun
tak dapat terhindarkan. Bahkan sejumlah kaum perempuan ikut terlibat dalam
peperangan ini. Ummu Sulaim binti Milhan terlihat berada disamping suaminya,
Abu Thalhah, sambil membawa belati. Ia bersiaga dan siap menusukkannya ke
tubuh orang musrik yang berusaha mendekatinya. Dalam peperangan ini
pasukan Islam hanya didukung sekitar 200 orang sahabat Anshar karena sebagian
besar telah bubar. Mereka yang bubar sebagian besar adalah penduduk Mekah yang
baru saja meng-ikrarkan keislamannya. Dari sini tampak jelas bahwa keimanan
belum benar-benar meresap kedalam sanubari. Ironisnya, hal ini ternyata cukup
mampu menularkan saudara-saudara mereka yang telah lebih dulu berislam hingga
mereka ikut takut bertempur.
Beruntung kemudian
Allah memasukkan rasa gentar ke dalam hati musuh. Kaum musryik akhirnya kalah
dan lari terbirit-birit meninggalkan medan pertempuran dan harta benda yang
melimpah. Malik bin Auf sendiri bersama sejumlah pendukungnya berhasil
melarikan diri ke Thaif dan berlindung di benteng-benteng mereka.
Rasulullah segera
memerintahkan untuk mengumpulkan para tawanan dan harta rampasan perang.
Barang-barang rampasan perang tersebut kemudian disimpan di Ji’ranah dan dijaga
oleh Mas’ud bin Amr al-Ghiffari. Selanjutnya bersama para sahabat Rasulullah
mengejar Malik dan kawan-kawannya ke Thaif. Selama 10 hingga 20 hari,
Rasulullah mengepung benteng-benteng tersebut. Terjadi perlawanan sengit hingga
jatuhlah beberapa korban.
Akhirnya Rasulullah memutuskan untuk meninggalkan lokasi.
Abdullah bin Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengumumkan kepada para
sahabatnya,“ Kita berangkat, insya Allah”. Sebagian
sahabat bertanya, “ Kita pergi sebelum berhasil
menaklukkannya?”. Nabi saw bersabda,” Jika
kalian suka, perangilah mereka”. Merekapun kemudian
memeranginya sampai ada yang terluka. Sementara Rasulullah saw mengatakan
kepada mereka, “ Besok kita berangkat”.
Pengumuman ini sangat mengherankan mereka tetapi Rasulullah saw hanya
membalas dengan senyuman. ( HR. Bukhari Muslim).
Di tengah perjalanan, Rasulullah bersabda, “
Katakanlah! Kami kembali,bertobat, beribadah dan
bertasbih kepada Rabb kami”. Sebagian sahabat yang tidak puas
berkata : “ Wahai Rasulullah, berdoalah untuk
kehancuran Tsaqif!”Namun sebaliknya Rasulullah malah berdoa “
Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan datangkanlah mereka”.
Sungguh, betapa
mulianya Rasulullah itu. Berkat rasa kasih sayangnya beliau mampu menghilangkan
kenangan dan sakit hati yang pernah dirasakannya ketika beberapa tahun yang
lalu penduduk Thaif mengusir dan melemparinya dengan batu. Semua itu hanya
karena beliau tidak ingin penduduk kota berhawa sejuk ini ditimpa
kemurkaan-Nya. Beliau sama sekali tidak mengharapkan upah ataupun balasan dari
mereka. Semata-mata hanya balasan ridho Allah yang diharapkan beliau.
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu
dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang
yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan bertawakkallah kepada Allah Yang
Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah
Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya, “(QS.Al-Furqan(25):57-58).
Maka Sang Khalikpun
mengabulkan doa kekasih-Nya. Tak lama kemudian beberapa penduduk Tsaqif datang
menemui Rasulullah dan menyatakan keislaman mereka. Kemudian mereka kembali.
Sementara itu, di Ji’ranah, Rasulullah beristirahat sambil menunggu kedatangan
Amr bin Auf dan pendukungnya. Setelah sepuluh hari menanti, datanglah yang
ditunggu-tunggu itu. Namun ternyata mereka adalah kaum Muslimin yang baru
beberapa hari lalu berikrar. Mereka diutus untuk meminta dikembalikannya
tawanan dan harta rampasan perang.
Rasulullah menjawab permohonan tersebut “
Pilihlah salah satu, harta atau tawanan. Sesungguhnya aku sengaja menunda
pembagian pampasan karena mengharap keislaman kalian”. Kemudian
Rasulullah mempersilahkan mereka untuk kembali dan membicarakan hal tersebut
kepada pemimpin mereka.
Tak lama kemudian mereka kembali dan memilih tawananlah yang
dikembalikan kepada mereka. Rasulpun menepati janji beliau. Rasulullah
mengembalikan para tawanan seraya bersabda : “Beritahukan
kepada pemimpin kalian. Jika dia mau datang menyatakan diri masuk Islam aku
akan mengembalikan seluruh harta dan keluarganya. Bahkan akan aku tambahkan
seratus unta”.
Dengan cara itulah
datang hidayah kepada Malik bin Auf. Ia datang dan menyatakan keislamannya.
Rasulullahpun memenuhi janjinya dan sejak saat itu Malik membuktikan
keislamannya itu dengan baik. Lalu Rasulullah dan rombongan kembali ke Mekah.
Di kota yang baru ditaklukkanya ini Rasululullah kemudian membagikan
ghanimah ( pampasan perang) kepada para mualaf, penduduk Mekah yang baru masuk
Islam. Ini dimaksudkan untuk menundukkan dan mengikat hati mereka kepada
Islam.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah
(9):60).
Namun ternyata hal ini memancing kecemburuan sebagian kaum
Anshar. “ Semoga Allah mengampuni Rasulullah. Dia memberi Quraisy
dan membiarkan kita padahal pedang-pedang kita masih meneteskan darah mereka”.
Betapa sedihnya
Rasulullah mendengar berita ini. Beliau tidak menyangka bahwa kaum Anshar yang
begitu tinggi keimanan dan amat dicintainya ternyata menyimpan rasa
cemburu terhadap harta benda keduniawian. Maka Rasulpun mengumpulkan mereka dan
berkhutbah khusus dihadapan orang-orang yang dicintainya itu.
“ Hai kaum Anshar, apakah kalian jengkel karena tidak menerima
sejumput sampah keduniaan yang tidak ada artinya? Dengan ‘sampah’ itu, aku
hendak menjinakkan suatu kaum yang baru saja memeluk Islam. Hai kaum Anshar,
apakah yang kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan
unta sedangkan kalian pulang membawa Rasul Allah? Demi Allah, apa yang kalian
bawa pulang itu lebih baik daripada apa yang mereka bawa. Demi Allah yang nyawa
Muhammad berada di tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah niscaya aku menjadi
salah seorang dari Anshar. Seandainya orang lain berjalan di lereng gunung dan
kaum Anshar juga berjalan di lereng gunung yang lain, aku pasti turut berjalan
di lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar”.
Mendengar ucapan nabi tersebut kaum Anshar menangis hingga
jenggot mereka basah karena air mata. Mereka kemudian menjawab “ Kami
rela mendapatkan Allah dan Rasul-Nya sebagai pembagian dan jatah kami”. (
HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’ad).