Dalam perjanjian Hudaibiyah disebutkan
bahwa setiap kabilah dan bani Arab memiliki hak untuk memilih kepada siapa
mereka berpihak, kepada Rasulullah atau kepada bani Quraisy. Maka bani
Khuza’ahpun memilih untuk berdiri di pihak Rasulullah. Sementara bani Bakar
memilih bani Quraisy sebagai pihak yang didukungnya.
Suatu hari di tahun 8
H ( 630 M), orang-orang bani Bakar yang memang memusuhi bani Khuza’ah meminta
bantuan Quraisy untuk memerangi musuhnya itu. Tanpa berpikir panjang Quraisypun
mengirim bantuannya. Dengan cara menyamar mereka berkomplot mengepung
perkampungan bani Khuza’ah yang saat itu sedang tidur nyenyak. Orang-orang bani
Khuza’ah sama sekali tidak mengira bahwa malam tersebut mereka akan diserang
pada malam hari. Pada peristiwa nahas tersebut, 20 orang Khuza’ah terbunuh.
Keesokan harinya,
segera Amr bin Salim al-Khuza’ah bersama 40 orang dari bani Khuza’ah, dengan mengendarari
kudanya pergi menemui Rasulullah memohon bantuan.
“ Aku tidak akan ditolong jika aku tidak membantu sebagaimana
aku menolong diriku sendiri”, begitu tanggapan Rasulullah begitu
menerima pengaduan tersebut.
”Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang
kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”.(QS.At-Taubah(9):12).
Pihak Quraisy sendiri menyesali perbuatan ceroboh tersebut.
Segera mereka mengutus Abu Sufyan agar menemui Rasulullah guna meminta
perpanjangan dan perbaruan genjatan senjata. Namun Rasulullah tidak
menanggapi permintaan tersebut. Maka Abu Sufyanpun menemui Abu Bakar. Abu
Bakarpun menolak, « Aku tidak bisa melakukannya ».
Demikian pula Umar bin Khattab yang kemudian ditemuinya setelah mendengar
jawaban Abu Bakar.
“ Apa? Aku harus membantumu menghadapi Rasulullah? Demi
Allah, sekiranya aku tahu engkau berbuat kesalahan walau sebutir pasir, tentu
engkau kuperangi ».
Akhirnya Abu Sufyan
terpaksa pulang tanpa membawa hasil.
Sementara itu diam-diam Rasulullah menyiapkan penyerangan.
Beliau berdoa :« Ya Allah, tutuplah mata
orang-orang Quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-tiba”. (
HR. Ibnu Ishaq dan Ibnu Saa’d).
Rasulullah mengutus
satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan
Dzul Marwah. Hal ini dilakukan untuk mengecoh Quraisy agar tidak mengetahui
tujuan sebenarnya. Pada saat itulah Rasulullah tiba-tiba memerintahkan Ali bin
Abi Thalib bersama dua sahabat lain untuk segera mengejar seorang perempuan
yang berada di sebuah kebun bernama Khakh. Ali mendapat tugas untuk merampas
surat yang dibawa perempuan berkuda tersebut.
« Keluarkan surat yang kamu bawa ! », perintah Ali
begitu ia berhasil menemukan perempuan yang dimaksud Rasul. Mulanya perempuan
tersebut menyangkal bahwa ia membawa surat. Akan tetapi setelah Ali
mengancamnya maka terpaksa ia mengeluarkan surat yang disembunyikan di balik
gulungan rambutnya itu.
Setelah itu segera Ali
kembali ke hadapan Rasulullah dan menyerahkan surat tersebut. Ternyata surat
tersebut ditulis oleh Hatib bin Abi Balta’ah, seorang shahabat Muhajirin. Ia
menujukkan surat tersebut kepada seorang Quraisy, mengabarkan bahwa Rasulullah
saw sedang menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Dialah, Allah, Dzat
Yang Maha Melihat, yang kemudian mewahyukan kepada Nabi-Nya tentang apa yang
dilakukan Hatib.
Rasulullahpun segera memanggil Hatib dan meminta penjelasan
tentang apa yang telah dilakukannya itu. “Jangan terburu menuduhku
wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul–Nya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak
angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku
memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi
mereka. Sementara orang-orang yang bersama anda memiliki kerabat yang bisa
melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi
kerabatku di sana”, begitu penjelasan Hatib.
Mendengar itu, sontak Umar bin Ibn-Khattab berkata :
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.”
Namun dengan bijak, Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya
Hatib pernah ikut perang Badar … “.
Akan tetapi tak lama
kemudian turun ayat yang isinya teguran kepada orang yang suka
membocorkan rahasia Rasulullah, seperti apa yang diperbuat Hatib.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka
telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan
(mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu
benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat dari jalan yang lurus”.(QS.Al-Mumtahanah(60) :1).
Selanjutnya, pada
tanggal 10 Ramadhan tahun ke 8 H, dengan membawa 10 ribu Muslimin, Rasulullah
meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Di lain pihak, meski orang-orang Quraisy
belum mengetahui rencana Rasulullah, dengan gagalnya misi Abu Sufyan, mereka
telah memperkirakan penyerangan tersebut. Untuk memastikan hal itu, maka mereka
mengutus Abu Sufyan, Hakim bin Hizzam dan Badil bin Warqa untuk menyelidiki apa
yang dilakukan kaum Muslimin.
Hingga di suatu tempat
di sekitar Zhahran, mereka melihat obor api yang sangat besar. Sebelum mereka
menyadari bahwa itu adalah rombongan kaum Muslimin dibawah pimpinan Rasulullah,
para pengawal telah menangkap ketiganya. Maka keesokan harinya, ketiga orang
Quraisy tersebutpun memeluk Islam.
Ibnu Ishaq berkata,: Diriwayatkan dari Abbas tentang rincian
Islamnya Abu Sufyan, “ Keesokan harinya, aku bawa Abu Sufyan menghadap
Rasulullah saw. Setelah melihatnya, Rasulullah berkata, “ Celaka
engkau, wahai Abu Sufyan. Tidakkah tiba saatnya bagi anda untuk mengetahui
sesungguhnya tidak ada Ilah kecuali Allah ?” Abu Sufyan
menyahut, “ Alangkah penyantunnya engkau,
alangkah mulianya engkau dan alangkah baiknya engkau! Demi Allah, aku telah
yakin seandainya ada Ilah selain Allah niscaya dia telah membelaku “.
Nabi saw bertanya lagi, “ Tidakkah tiba saatnya bagi
anda untuk mengetahui bahwa aku adalah Rasul Allah?” Abu
Sufyan menyahut, “ Sungguh engkau sangat penyantun,
pemurah dan suka menyambung tali keluarga. Demi Allah, mengenai hal yang satu
ini sampai sekarang di dalam diriku masih ada sesuatu yang mengganjal”. Abbas
menukas,: “ Celaka ! Masuk Islamlah dan
bersaksilah tiada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah sebelum
aku penggal lehermu”. Abu Sufyan kemudian mengucapkan syahadat
dengan benar dan masuk Islam”.
Hadist diatas mencerminkan
bahwa Abu Sufyan, dedengkot musuh Islam itu, sesungguhnya mengakui bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Ia juga mengakui bahwa Muhammad, ponakannya itu,
adalah orang yang patut menjadi panutan karena beliau adalah seorang yang baik
hatinya, penyantun, pemurah dan suka menyambung tali silaturahmi. Namun
demikian ia masih belum dapat mengakuinya sebagai utusan karena menurutnya ada
sesuatu yang masih mengganjal meski ia sendiri tidak tahu apa ganjalan
tersebut. Yang kemungkinan besar adalah hilangnya kedudukannya sebagai pemuka
dan penguasa Mekah bila ia meninggalkan kepercayaan leluhurnya hanya karena
memeluk Islam.
Itu sebabnya, Abbas
yang merupakan sahabat karib Abu Sufyan, mendesaknya agar segera berikrar.
Karena ia tahu bahwa ganjalan tersebut bukanlah hal utama. Islam memang
mengajarkan bahwa untuk memeluk Islam ( tunduk ) seseorang tidak harus telah
memiliki keimanan yang tinggi. Karena keimanan itu akan tumbuh dan berproses
seiring dengan berjalannya waktu dan pengetahuan, atas izin-Nya.
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami telah beriman”.
Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah
tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada
Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Hujurat(49):14).
Itu pula sebabnya,
pada saat peperangan, seorang Mukmin tidak boleh menganggap Islamnya seseorang
yang tadinya kafir di tengah pertempuran hanya sekedar rasa takut atau ingin
mendapatkan rampasan perang meski dari luar tampaknya memang demikian.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di
jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mu’min” (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu
Allah menganugerahkan ni`mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.
An-Nisa(4):94).
Abu Sufyan, sebagai
orang Quraisy yang awalnya sangat membenci dan memusuhi Islam serta memeluk
Islam karena ancaman Abbas membuktikan hal tersebut. Setelah penaklukkan Mekah,
ia ikut berperang beberapa kali. Pada peristiwa pengepungan Tha’if ia
kehilangan salah satu matanya.
Rasulullah saw kemudian bertanya, : “Yang
manakah yang engkau lebih inginkan, sebuah mata di surga atau aku berdoa kepada
Allah agar matamu dikembalikan sekarang?” . Ternyata Abu
Sufyan lebih memilih sebuah mata di surga. Kemudian pada perang berikutnya,
yaitu perang Yarmuk yang terjadi 6 tahun setelah penaklukkan Mekah, ia bahkan
kehilangan matanya yang keduanya. Selama 14 tahun setelah peristiwa itu, Abu
Sufyan tetap dalam keislamannya hingga akhir hayatnya.
Kembali ke peristiwa masuk Islamnya Abu Sufyan. Tak lama setelah
Abu Sufyan bersyahadat, Abbas yang adalah juga salah satu paman Rasul
itu, berkata: “Ya Rasul, Abu Sofyan adalah orang yang
senang dengan kebanggaan. Karena itu berikan sesuatu kepadanya.”
“Ya. Aku sudah memikirkan hal itu. Untuk itu, siapa saja yang
memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman, siapa saja yang menutup pintu
rumahnya, maka ia aman. Dan siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka
ia aman.”