“Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.An-Nisaa(4):3).
Ayat inilah yang
sering dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami. Padahal
ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila
diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat tersebut
adalah sebagai berikut :
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).
Imam Bukhari, Muslim,
Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada
Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut
berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana
hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan
dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan
agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang
sesuai. Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa
sahabat bertanya kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat
127 surat An-Nisaa sebagai berikut :
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang
lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara
adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahuinya”.
Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah,
para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan
harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi
lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan
para wali. Karena itulah Allah berfirman “jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya)”,( kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada
para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat….”
Begitulah penjelasan
Aisyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah
anjuran untuk berpoligami. Dan lagi pada kenyataannya poligami telah dikenal
dan dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik
dunia Barat maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak terbatas
pula. Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti Ibrahim as, Musa
as dan Daud as juga berpoligami.
Jadi bukan agama Islam
yang mengajarkan hal tersebut. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai
jalan keluar bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah
lebih banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak mudah
dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam
Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua istri dan
anak yang dimilikinya, secara adil.
Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ”jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,… .
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, menunjukkan
bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu merasa ada kekhawatiran berbuat
tidak adil terhadap istri maupun anaknya.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129).
Dengan demikian jelas
Poligami hanya kebolehan, bukan sunah apalagi kewajiban. (Sebagai catatan
tambahan, jangankan poligami, menikah dengan satu orangpun tidak selamanya
hukumnya wajib. Ada beberapa penyebab haramnya menikah bagi seseorang). Dan
lagi bila alasannya ingin meneladani rasulullah, perlu diingat bahwa beliau
lebih lama ber-monogami daripada ber-poligami. Pada saat poligami adalah suatu
hal yang lumrah di tanah Arab, dimana kebanyakan laki-laki beristri hingga
lebih dari 10, rasulullah lebih memilih untuk bermonogami bersama istri
tercinta, Siti Khadijjah ra, selama lebih kurang 25 tahun, hingga akhir hayat
sang istri.
Padahal usia
rasulullah saat menikah baru 25 tahun, usia dimana dorongan syahwat seorang
laki-laki sedang tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah
berusia 40 tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat
dengan mudah menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat dan
tradisi yang berlaku pada masa itu. Rasulullah baru menikah lagi kurang-lebih 2
tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah, yaitu pada periode Madinah, periode yang
penuh peperangan.
Jadi sungguh mustahil
bila ada yang berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi mengejar kesenangan
duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang menjadi istri
rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk tujuan
menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat derajat
perempuan-perempuan yang kehilangan suami.
Bahkan sebenarnya,
Allah swt telah memberikan Rasulullah keleluasaan untuk menikahi perempuan
manapun yang beliau sukai, bila beliau mau. Ini benar-benar kekhususan yang
hanya diberikan Sang Khalik kepada beliau, tidak kepada yang lain. Namun
kenyataannya Rasulullah tidak mau memanfaatkan kesempatan tersebut. Karena
beliau tahu persis betapa sulit dan beratnya tanggung jawab sebagai seorang
suami.
“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan
hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu
dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Ahzab(33):50).
Berikut istri-istri
rasulullah dan sedikit latar belakang mengapa rasulullah menikahinya.
1.Khadijjah binti
Khuwailid ra.
Ia adalah seorang
saudagar perempuan kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia
mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia,
oleh sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut. Nabi
saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan Khadijjah ra.
Ialah orang pertama
yang membenarkan, mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi
kelancaran dakwah Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya
istri hingga wafatnya pada usia 65 tahun. Khadijah adalah satu-satunya istri
Rasulullah yang mendapat kepercayaan dari Sang Khalik untuk melahirkan
putra-putri Rasulullah kecuali Maryah Al-Qibthiyyah yang melahirkan
seorang putra. Namun meninggal dunia ketika masih bayi. Dari rahim
Khadijahlah, Rasullullah dikarunia 4 putri dan 2 putra, yaitu Zainab, Ruqayah,
Ummi Kultsum, Fatimah Az-Zahra, Qasim dan Ibrahim. Namun kedua putra Rasulullah
meninggal ketika masih bayi.
2. Saudah binti
Zam’ah ra.
Ia seorang janda
berumur yang ditinggal wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia)
guna menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil
menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad oleh
kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.
3. Aisyah binti Abu
Bakar Ash-Shiddiq ra.
Ia satu-satunya istri
rasulullah yang ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk
rasulullah agar mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat
rasulullah terus bersedih hati ditinggal wafat Khadijjah.
Riwayat lain
mengatakan bahwa pernikahan Rasulullah adalah atas petunjuk Jibril as.
Malaikat Jibrillah yang memperlihatkan gambar Aisyah kepada Rasulullah untuk
dinikahi beliau sepeninggal Khadijah.
4. Hafsah binti
Umar Ibnul Khatab ra.
Ayahnya sangat
bersedih hati ketika suami Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau
menikahinya, namun tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali
‘menawarkan’ kepada Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan
ini kepada rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu
sekaligus sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.
5. Hind binti Abi
Umayyah atau Ummu Salamah ra.
Juga seorang janda
berumur. Suaminya luka parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama
kemudian. Rasulullah menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan
demi menanggung anak-anaknya.
6. Ramlah binti Abu
Sufyan ra atau Ummu Habibah.
Ia meninggalkan
orang-tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan,
sang suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah
menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan ayahnya
yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.
7. Juwairiyah binti
Al-Harits ra.
Ia seorang putri
kepala suku yang tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk
memohon kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik
kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai
penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota sukunya
memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.
8. Shaffiyah binti
Huyaiy ra.
Ia seorang perempuan
Yahudi yang tertawan dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang
pasukan muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar dimerdekakan.
Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan dipulangkan kepada
keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal bersama kaum muslimin. Ternyata
ia memilih tinggal dan malah memeluk Islam. Sebagai penghargaan
rasulullah menikahinya.
9. Zainab binti Jahsyi
ra.
Ia sepupu rasulullah
dan beliau menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak
beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan sebagai
penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah menikahinya atas
perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini sekaligus merupakan
perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab Jahiliyah yang menganggap anak
angkat sebagai anak kandung sehingga tidak boleh mengawini bekas istri mereka.
10. Zainab binti
Khuzaimah ra.
Ia seorang janda,
suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin
setelah itu mau menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.
11. Maryah
Al-Qibthiyyah ra.
Ia seorang hamba
sahaya, hadiah dari penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk
Islam, rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar
Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih berusia
18 bulan.
Rasulullah tidak
pernah lagi menikahi perempuan lain begitu turun perintah dari Sang Khalik
untuk tidak lagi menambah istri. Dari sini jelas terlihat bahwa pernikahan yang
dilakukan Rasulullah adalah berdasarkan perintah Allah swt, bukan atas kehendak
dan kemauan sendiri.
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu
dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain),
meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba
sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”.
(QS.Al-Ahzab(33):52).
Selanjutnya para istri
Rasulullah itu diberi sebutan sebagai Ummul Mukminun atau ibu kaum Muslimin.
Dan setelah wafatnya Rasulullah Allah swt memuliakan mereka dengan melarang
mereka untuk menikah lagi. Dengan demikian di alam akhirat nanti mereka akan
berkumpul kembali dengan suami tercinta, Rasulullah saw.
” … … Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak
(pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”. (QS.Al-Ahzab(33):53).
Jadi jelas kedudukan
Ummul Mukminin sangatlah tinggi. Mereka adalah ahlul bait (keluarga nabi) yang
sudah sepatutnya harus kira junjung tinggi. Bahkan Allah swt sendiri yang telah
memuliakan mereka, dan memberi mereka perlakuan khusus.
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai AHLUL BAIT dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya”. ( Terjemah QS.Al-Ahzab (33):32-33).
Jadi sungguh tidak
masuk akal jika orang-orang Syiah meragukan kebersihan dan keimanan beberapa
diantara Ummul Mukminin tersebut. Bahkan menganggap mereka bukan ahlul bait.
Itulah sekeji-kejinya fitnah. Sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana perasaan
Rasulullah saw jika beliau masih hidup dan mengetahui fitnah keji tersebut.