Perang ini dipicu karena kekecewaan
orang-orang Quraisy terhadap kekalahan mereka di perang Badar. Tak sampai
setahun setelah perang tersebut orang-orang Quraisypun mengerahkan 3000
pasukannya untuk menyerang Madinah. Diantara pasukan ini terdapat 700
ratus tentara berbaju besi, 200 tentara berkuda (kavaleri) dan 17 orang
perempuan. Seorang di antara perempuan tersebut adalah Hindun bin Utbah, isteri
Abu Sufyan. Ayahnya yang bernama Utbah telah terbunuh pada perang Badar. Ia
sangat bernafsu ikut berperang karena ingin balas dendam atas kematian ayahnya
itu. Dalam perang ini suaminya sendiri yang menjadi pimpinan.
Sementara itu di
Madinah, mendengar kabar tersebut Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat
untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat mengenai strategi yang akan digunakan
melawan orang-orang Quraisy nanti. Rasulullah ingin mendengar pendapat para
sahabat, mana yang lebih baik, bertahan di dalam kota dan menanti serangan atau
menyambut musuh di luar Madinah.
Tokoh munafikun,
Abdullah bin Ubay, yang merupakan tokoh senior dan konco-konconya termasuk
kelompok yang memilih bertahan. Sementara para sahabat yang tidak sempat
berpartisipasi dalam perang Badar mengusulkan agar mereka menyambut musuh di
luar kota. Rasulullah sendiri tampak bahwa sebenarnya lebih memilih bertahan di
Madinah. Namun karena terus didesak tanpa banyak bicara maka Rasulullahpun
masuk ke kamar dan segera keluar dengan memakai baju besi, tanda bahwa
Rasulullah siap berangkat berperang.
Para sahabat muda yang
semula mendesak Rasulullah menyambut musuh di luar Madinah belakangan menyadari
sikap mereka. Dengan rasa menyesal mereka berkata : “Wahai Rasulullah, kami
telah memaksamu keluar, dan itu tidak pantas kami lakukan. Jika Anda
berkehendak, silakan Anda duduk kembali (tidak usah keluar dari Madinah),
mudah-mudahan Allah memberi shalawat kepada Anda”. Namun Rasulullah saw hanya
menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang sudah mengenakan baju besi untuk
menanggalkannya kembali, hingga Allah menetapkan sesuatu baginya dan bagi
musuh.”
Kemudian berangkatlah
Rasulullah berserta lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus orang
diantaranya memakai baju besi dan hanya dua orang tentara yang berkuda. Itupun
di sepertiga perjalanan Abdulullah bin Ubay dan teman-temannya yang berjumlah
300 orang mengundurkan diri. Ia berkata: “Ia (Rasulullah) menuruti pendapat
para sahabatnya dan tidak menuruti pendapatku. Wahai manusia, untuk apa kita
membunuh diri kita sendiri di tempat ini “. Akibatnya pasukan Muslim hanya
tinggal 700 orang saja.
Bukhari meriwayatkan
bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat mengenai tindakan desersi itu. Sebagian
mengatakan, “Kita perangi mereka,” sedangkan sebagian yang lain mengatakan,
“Biarkanlah mereka.” Lau turunlah firman Allah sebagai berikut :
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam
(menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada
kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk
kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang
disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi
petunjuk) kepadanya”.(QS.An-Nisa’ (4): 88).
Mereka disesatkan
Allah karena dari awal memang tidak memiliki niat kuat untuk mentaati perintah
Allah dan Rasul-Nya. Menghadapi kenyataan pahit ini maka sebagian sahabat
mengusulkan supaya Rasulullah meminta bantuan orang-orang Yahudi, mengingat
mereka terikat perjanjian untuk tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Akan
tetapi Rasulullah menjawab singkat,
“Kita tidak akan
pernah meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang
musyrik (lainnya).”
Dalam sebuah riwayat
diceritakan bahwa sebelum peperangan berkecamuk Rasulullah bersabda : “Aku
bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu musibah yang
menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian aku ayunkan lagi pedang itu
lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itulah kemenangan yang
Allah Ta’ala anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu aku juga
melihat sapi – Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik – Itu
terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah
kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Ta’ala
karuniakan setelah perang Badar”.
Rasulullah saw
menakwilkan mimpi tersebut dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi
dalam Perang Uhud. Selanjutnya Rasulullah kemudian mengambil posisi di sebuah
dataran di lereng gunung bernama Uhud dan membentengi diri di balik gunung
menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan lima puluh pasukan pemanah di
atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu. Rasulullah menunjuk
Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah.
Kepada pasukan pemanah
ini beliau berpesan : “Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan
kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan
menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut menjarah. Demikian pula
andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak
membantu”.
Setelah memberikan
pengarahan Rasulullah mengangkat tinggi pedangnya seraya berkata:
“Siapa yang akan
memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”
Beberapa orang tampil
menawarkan diri namun Rasulullah tetap memegang pedang tersebut. Hingga
akhirnya Abu Dujana maju ke depan dan bertanya:
“Apa tugasnya, Ya
Rasulullah?”
“Tugasnya ialah
menghantamkannya kepada musuh sampai ia bengkok,” jawab Rasulullah.
Abu Dujana adalah
seorang laki-laki yang sangat berani. Pada saat-saat tertentu ia mengenakan
pita merah. Dan bila pita merah itu sudah diikatkannya di kepala, orang akan
mengetahui, bahwa ia telah siap bertempur dan siap mati.
Itulah yang
dilakukannya. Begitu pedang diterima iapun mengeluarkan pita merah mautnya.
Kemudian ia berjalan di tengah-tengah barisan dengan gaya angkuh sebagaimana
biasa apabila ia siap menghadapi pertempuran.
“Cara berjalan begini
sangat dibenci Allah, kecuali dalam perang”, komentar Rasulullah melihat gaya
Abu Dujana.
Selanjutnya Rasulullah
menyerahkan panji perang kepada Mush’ab bin Umair. Maka meletuslah peperangan
sengit antara dua pasukan yang amat jauh dari seimbang itu. Masing-masing
pasukan dengan masing-masing latar belakangnya. Pasukan Quraisy dengan semangat
dendamnya terhadap kekalahannya di perang sebelumnya. Sementara pasukan
Muslimin dengan semangat takwa demi menjunjung kalimat tauhid sekaligus
semangat mempertahankan tanah air. Rasulullah saw tak henti-hentinya memberikan
semangat dengan menjanjikan kemenangan apabila mereka tabah.
Dengan gagah berani
Mush’ab, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Asim bin Tsabit, Ali dan Hamzah
bin Abu Thalib beserta para sahabat lain mengayunkan pedang dengan gesitnya.
Jumlah yang jauh lebih sedikit tampaknya tidak membuat mereka kehilangan
semangat. Janji Rasulullah bahwa hanya dengan ketabahan dan kesabaran dalam
rangka menjunjung kalimat tauhid yang bakal mengantar kepada kemenangan
membuat mereka begitu bersemangat menundukkan lawan. Kekafiran harus dienyahkan
maka berkumandanglah “ Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar “ di sepanjang
perang yang terjadi di suatu hari di bulan Syawal tahun ke 3 Hijriyah itu.
Beberapa sumber
meriwayatkan bahwa ketika itu Rasulullah memberikan izin kepada Samurah bin
Jundub al-Fazari dan Rafi’ bin Khudaij saudara Bani Haritsah untuk ikut
berperang. Ketika itu keduanya baru berusia lima belas tahun. Sebelumnya beliau
menyuruh keduanya kembali ke Madinah. Namun kemudian dikatakan : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Rafi’ adalah seorang pemanah yang hebat.” Maka
Rasulullah pun mengizinkannya ikut berperang. Dikatakan pula kepada beliau:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Samurah pernah mengalahkan Rafi’.” Maka
Rasulullah juga mengizinkannya ikut berperang. Sebaliknya Rasulullah
memulangkan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar bin al-Katthab, Zaid bin Tsabit
salah seorang dari Bani Malik bin an-Najjar, al-Bara’ bin Azib dari Bani
Haritsah, Amr bin Hazm dari Bani Malik bin an-Najjar dan Usaid bin Dhuhair dari
bani Haritsah. Mereka baru diizinkan ikut serta dalam perang Khandaq ketika
telah mencapai usia lima belas tahun.
Melihat semangat kaum
Muslimin yang begitu tinggi dan korban terus berjatuhan di pihak Quraisy
akhirnya pasukan Quraisy kehilangan rasa percaya diri. Mereka mundur dan
berusaha melarikan diri. Pasukan Muslimin terus mengejarnya sambil memunguti
harta benda yang ditinggalkan musuh. Sementara itu pasukan pemanah yang berjaga
di atas bukit mulai tergiur oleh banyaknya harta benda yang tercecer dan
dijadikan rebutan kawan-kawannya di bawah bukit sana. Bisikan syaitanpun mulai
beraksi.
Peringatan Abdullah
bin Jubair sebagai komandan pasukan pemanah agar mereka menepati janji kepada
Rasulullah untuk tetap bertahan di atas bukit apapun yang terjadi tidak
digubris. Mereka ikut berhamburan memperebutkan harta benda musuh yang
tercecer. Hingga hanya Abdullah dan 9 anak buahnya saja yang bertahan di tempat
strategis tersebut.
Sialnya, Khalid bin
Walid, komandan pasukan kuda andalan Quraisy yang ketika itu belum memeluk
Islam melihat peluang terbuka tersebut. Maka dengan segera ia memerintahkan
pasukannya untuk merebut bukit itu dari arah belakang. Akibatnya dapat
dibayangkan. Abdullah dan anak buahnya menjadi sasaran empuk. Setelah berhasil
membuat ke 10 sahabat syahid mereka membantai pasukan Muslim yang sudah cerai
berai di bawah bukit. Dengan cepat keadaan menjadi berbalik. Pasukan Muslim
benar-benar dibuat terperanjat. Dalam keadaan panik dan kucar kacir mereka
saling bunuh karena tidak menyadari mana kawan mana lawan.
Mush’ab sebagai
pemegang panji merasa yang paling bersalah. Dengan sigap dan gagah perkasa ia
menyerang dan mengibaskan pedangnya kesana kemari. Ia berusaha menarik
perhatian musuh agar tidak menyerang Rasulullah. Berkata Ibnu Sa’ad,
“Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari
dari bapaknya, ia berkata :
“Mush’ab bin Umair
adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah,
Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu
Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab
mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya
telah didahului oleh beberapa Rasul”. Maka dipegangnya bendera dengan tangan
kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu
hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua
pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain
hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.
Lalu untuk ketiga kalinya orang berkuda itu menyerangnya dengan tombak dan
menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera
jatuh.”
Mush’ab berseru
demikian karena merasa tidak bakal dapat melindungi Rasulullah, sang kekasih
Allah yang amat disayangi dan dihormatinya. Disamping itu ia juga ingin
meyakinkan diri dan teman-teman bahwa bila Rasulullah wafat, itu bukan berarti
bahwa perjuangan Islam dapat dihentikan. Ironisnya, Mush’ab sendiri syahid
justru karena Qumaimah menyangka dirinya Rasulullah karena Wajah Mush’ab
memang mirip dengan Rasulullah. Kemudian dengan sesumbar Qumaiah mengatakan
bahwa ia telah membunuh Rasulullah.
Umar bin Khattab
berkata :”Kami terpisah dari Rasulullah saat perang Uhud. Aku naik ke gunung dan
aku mendengar seorang Yahudi berkata : “Muhammad mati terbunuh!”. Akupun
berseru, “ Aku akan memenggal leher orang yang mengatakan bahwa Muhammad
telah mati terbunuh”. Setelah itu aku melihat Rasulullah dan para sahabat
kembali ke tempat semula. Lalu turunlah ayat 144 surat Ali Imran.( HR. Ibnu
Mundzir).
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS.Ali
Imran(3):144).