Penduduk Yatsrib, nama lama kota Madinah,
sebelum hijrahnya Rasulullah selalu berada dalam perselisihan. Menurut
beberapa sumber, penduduk kota ini adalah para pendatang dari Yaman,
semenanjung Arab bagian Selatan. Mereka adalah suku Aus dan suku Khazraj yang
termasuk kedalam bani Qailah, salah satu kaum negri Saba’. Mereka
berbondong-bondong berpindah dan menetap di Yatsrib sejak ambruknya bendungan
raksasa Ma’arib yang selama ratusan tahun menjadi tumpuan dan sumber kehidupan
masyarakat negri tersebut. Di kemudian hari, Allah swt menceritakan peristiwa
nahas tersebut dalam ayat berikut, tujuannya tak lain agar orang-orang yang
datang kemudian dapat mengambil hikmahnya :
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon
Sidr”.(QS.Saba’(34):16).
Dalam pengembaraanya
itu, kedua suku tersebut menemukan kota Yatsrib dan segera mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan barunya. Mereka hidup dengan mengandalkan kemampuan lama
mereka yaitu bertani. Hal ini menyebabkan kaum Yahudi yang sudah lebih dulu
menetap di Yatsrib merasa tidak senang. Dengan sekuat tenaga mereka terus
berusaha mengadu domba kedua suku yang ketika itu masih menyembah berhala ini.
Mereka berhasil. Hampir setiap waktu suku Aus dan Khazraj terus bertikai dan
berperang.
Keduanya baru bersatu
dan berdamai setelah Islam datang. Ajaran ini dalam sekejap membuat mereka
merasa bersaudara. Dan karena mereka menjadikan Al-Quran sebagai pegangan maka
otomatis merekapun menjadikan Rasulullah sebagai panutan, sebagai pemimpin
mereka dalam segala hal.
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya
kamu mendapat petunjuk“.(QS.Al’Araf(7):158).
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat kemenangan”. ( QS.An-Nur (24):52).
Selanjutnya mereka
mendapat sebutan penghormatan sebagai kaum Anshor. Ini disebabkan jasa mereka
yang telah dengan suka rela mau membantu dan menampung kaum Muhajirin yang
diusir dari kota kelahiran mereka, Mekkah.
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin);
dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(QS.Al-Hasyr(59):9).
Sejak itu nama kota
Yatsribpun berubah menjadi Madinah Al-Munawarah. Di kota inilah Rasulullah
mulai menata kehidupan masyarakat Madinah berdasarkan petunjuk Allah swt yang
disampaikan melalui malaikat Jibril dan tertulis dalam kitab-Nya, Al-Quranul
Karim.
Hal pertama yang
dilakukan Rasulullah begitu beliau menginjakkan kaki di kota Madinah adalah
mendirikan masjid. Masjid ini tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah
ritual melainkan juga sebagai pusat segala aktifitas masyarakat Islam, baik
dalam bidang spiritual maupun keduniaan. Di dalam lingkungan masjid inilah
masyarakat Madinah menimba berbagai ilmu pengetahuan. Mulai ilmu
pengetahuan keagamaan hingga ilmu pengetahuan umum.
Tempat ini selalu
terbuka untuk umum, siapa saja, besar kecil, kaya miskin, lelaki atau
perempuan, berhak masuk dan menerima pengajaran baik langsung dari
Rasulullah maupun dari para sahabat.
” Barangsiapa mendatangi masjidku ini
dan ia tidak mendatanginya melainkan untuk mempelajari suatu kebaikan dan
mengajarkannya maka kedudukannya laksana pejuang fi sabilillah. Namun
barangsiapa datang bukan dengan tujuan tersebut maka ia seperti orang yang melihat
harta orang lain” (HR Bukhari).
Masjid ini didirikan
di atas sebidang tanah dimana unta Rasulullah berhenti untuk pertama kalinya.
Tanah tersebut milik 2 anak yatim piatu yang berada di bawah pengawasan As’ad
bin Zurarah. Ketika Rasulullah tiba di tempat tersebut, tanah tersebut telah
dijadikan mushola oleh As’ad.
Oleh karenanya, Rasulullah kemudian memanggil kedua anak yatim
tersebut untuk menanyakan harga tanah mereka. Namun keduanya menjawab serempak
: “ Tanah ini kami hibahkan saja, wahai Rasulullah”.
Akan tetapi Rasulullah menolak tawaran tersebut dan membelinya dengan harga
tertentu.
Selanjutnya secara
gotong royong para sahabat membangun masjid dengan ukuran 100 hasta dikali 100
hasta. Masjid yang ketika itu masih berkibat ke arah Baitul Maqdis itu
dindingnya terbuat dari batu bata, tiang dan atapnya dari batang dan pelepah
kurma. Masjid tersebut tetap dalam keadaan demikian hingga akhir masa
pemerintahan khalifah Abu Bakar ra.
Di dalam masjid inilah
terbangun ukhuwah dan mahabbah sesama kaum Muslimin. Selama itu pulalah 5 kali
dalam sehari para sahabat bertemu dan berkumpul untuk melaksanakan shalat
berjamaah. Di bawah pimpinan dan bimbingan Rasulullah saw dengan adanya
komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan serta disiplin Islam yang tinggi
maka akhirnya lahirlah rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan yang begitu
erat. Tidak ada perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan, status, warna kulit dan
atribut sosial apapun. Keadilan dan persamaan hak benar-benar terjamin. Dan
semua ini diikat karena ketaatan dan kecintaan kepada Sang Khalik, Allah Azza
wa Jalla Yang Esa.
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.”
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.(QS.At-Taubah(9):24).
Langkah selanjutnya
secara khusus Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshor dan kaum Muhajirin.
Beliau mempersaudarakan Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah
bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Khariyab
bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Uthbah bin Malik, Abdulrahman bin Auf
dengan Sa’ad bin Rabi’dll.
“ Kamu akan melihat kepada orang-orang Mukmin itu dalam hal
kasih-sayang diantara mereka, dalam kecintaan dan belas kasihan diantara mereka
adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh itu merasa sakit maka akan
menjalarlah kesakitan itu pada anggota tubuh yang lain dengan menyebabkan tidak
dapat tidur dan merasakan demam.”(HR Bukhari).
Pada tahap awal
pembentukkan masyarakat Madinah ini ikatan persaudaraan tersebut berada di atas
persaudaraan sedarah daging. Termasuk juga dalam hak waris.
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya … … “(QS.An-Nisa(4):33).
Namun hak waris kepada
kerabat ini hanya berlaku hingga terjadi Perang Badar. Setelah turun ayat
75 surat Al-Anfal, hukum waris terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan
darah kembali lebih utama dari pada hubungan kekerabatan.
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah
dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).
Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS.Al-Anfal(8):75).
Disamping itu
Rasulullah juga mengatur hukum dan tata cara pergaulan dan hubungan antar
sesama penduduk Madinah, baik antar Muslim, antar Yahudi maupun antara
Muslim dengan Yahudi. Hal ini sangat penting karena masyarakat Arab sejak
dahulu telah dikenal sebagai bangsa yang memiliki sifat kesukuan yang teramat
kental. Rasulullah menyadari bahwa hal tersebut tidak boleh dibiarkan karena
hal yang demikian berpotensi menjadi penghalang persatuan umat.
Secara detail Rasulullah bahkan menuangkan segala peraturan dan
hukum tersebut dalam sebuah perjanjian yang terkenal dengan nama ” Piagam
Madinah”. Sebagai produk yang lahir dari rahim peradaban Islam,
piagam ini belakang hari diakui sebagai piagam yang mampu membentuk sekaligus
menciptakan perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat
yang plural, adil, dan berkeadaban. Hal ini diakui sejumlah sejarahwan dan
sosiolog Barat diantaranya adalah Robert N. Bellah, seorang sosiolog jebolan
Harvard University, Amerika Serikat. Ia menilai bahwa piagam Madinah adalah
sebuah konstitusi pertama dan termodern yang pernah dibuat di zamannya.
Piagam inilah yang di
kemudian hari menjadi pegangan dasar kekhalifahan Islam di masa lalu. Demikian
juga umumnya negara-negara dimana Islam menjadi agama mayoritas penduduknya,
seperti di Indonesia. Andalusia di Spanyol dan Sisilia di Italia adalah contoh
bekas kerajaan Islam di benua Eropa yang hingga kini tak mungkin dipungkiri
bahwa toleransi di kedua kerajaan tersebut betul-betul dijunjung tinggi. Islam,
Nasrani dan Yahudi dapat berdiri berdampingan tanpa masalah berarti.
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan
untukkulah, agamaku”.(QS.Al-Kafirun(109):1-6).
Demikianlah Rasulullah
sebagai pemimpin tertinggi menjalankan pemerintahan. Ahli kitab ( Nasrani dan
Yahudi) yang memang merupakan penduduk Madinah sebelum datangnya Islam
diizinkan tidak saja tinggal dengan aman di Madinah namun juga untuk
menjalankan ibadah dan mengikuti aturan dan hukum agamanya masing-masing,
secara benar.
Dalam sebuah riwayat yang disampaikan Imam Ahmad dan Muslim,
disampaikan bahwa suatu ketika Rasulullah saw melewati sekelompok orang Yahudi
yang sedang menghukum seseorang. Orang tersebut dihukum jemur dan dipukuli.
Lalu Rasulullah memanggil mereka dan bertanya : ”Apakah
demikian hukuman terhadap orang yang berzina yang kalian dapat dalam kitab
kalian?”
Mereka menjawab ,”Ya.”
Rasulullah kemudian memanggil seorang ulama mereka dan
bersabda, ”Aku bersumpah atas nama Allah yang
telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah demikian kamu dapati hukuman kepada
orang yang berzina di dalam kitabmu?”
Ulama (Yahudi) itu menjawab, ”Tidak.
Demi Allah jika engkau tidak bersumpah lebih dahulu niscaya tidak akan
kuterangkan. Hukuman bagi orang yang berzina di dalam kitab kami adalah dirajam
(dilempari batu sampai mati). Namun, karena banyak di antara pembesar-pembesar
kami yang melakukan zina, maka kami biarkan, dan apabila seorang berzina kami
tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemudian kami berkumpul dan mengubah hukum tersebut
dengan menetapkan hukum yang ringan dilaksanakan, bagi yang hina maupun
pembesar yaitu menjemur dan memukulinya.”
Rasulullah lalu bersabda, ”Ya Allah,
sesungguhnya saya yang pertama menghidupkan perintah-Mu setelah dihapuskan oleh
mereka.”
Selanjutnya Rasulullah
menetapkan hukum rajam, dan dirajamlah Yahudi pezina itu. Dari riwayat di atas
dapat disimpulkan bahwa orang-orang Yahudi (non-Muslim) tetap diwajibkan
menjalankan hukum-hukum mereka (Taurat). Mereka dilarang membuat-buat hukum
sendiri, meskipun mereka menyepakatinya.