Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay
al-Quraisyiah al-Asadiyah adalah seorang perempuan bangsawan Quraisy.
Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah bin Jundub. Beliau dilahirkan di
Mekkah 68 tahun sebelum hijrah. Layaknya seorang putri bangsawan Khadijah
dididik dengan akhlak mulia hingga tumbuh menjadi karakter yang terhormat,
suci, kuat dan cerdas. Tak salah bila orang-orang sekitarnya memberinya
julukan ‘Afifah Thahirah ‘ yang artinya perempuan
suci.
Khadijah juga dikenal
sebagai seorang perempuan kaya raya yang sukses berkat kelihaiannya dalam
menjalankan usaha perdagangannya. Khadijah mempekerjakan kaum laki-laki agar
barang dagangannya bisa dibawa ke Syam, dan kembali ke Mekkah dengan membawa
barang yang lain untuk di jual di kota kelahirannya tersebut.
Khadijah pernah
menikah dua kali. Namun tak berlangsung lama karena keduanya wafat tak lama
setelah pernikahan mereka. Khadijah sempat mendapatkan seorang anak dari
suami keduanya. Setelah itu Khadijah memutuskan untuk tidak lagi menikah meski
beberapa lelaki terhormat datang melamarnya.
Namun Allah
menghendaki lain. Sejak ia mendengar sendiri laporan dari pembantu setianya,
Maisaroh, tentang bagaimana santunnya seorang pemuda bernama Muhammad
yang ditunjuknya untuk membantu menjalankan bisnisnya, hatinya tiba-tiba hidup
kembali. Sebelum itu ia memang pernah mendengar kabar bahwa pemuda Quraisy
ponakan Abu Thalib, cucu Abdul Mutthalib itu memiliki akhlak yang sungguh
mulia. Ia dikenal sebagai pemuda yang jujur dan sopan Sangat berbeda
dengan kebanyakan pemuda Mekah yang gemar bermabuk-mabukan dan pesta pora.
Hal inilah yang membuat Khadijah berpikir ulang. “ Pasti
ada sesuatu yang istimewa dalam diri anak muda ini. Dari begitu banyak orang
yang pernah aku serahi tugas menjalankan perniagaan tak satupun yang pernah
pulang dengan membawa berkah yang demikian berlimpah. Dan ini semua berkat
kejujuran dan kesantunannya ”, pikirnya keheranan. “
Walaupun beda usia antara aku dan dirinya cukup jauh, rasanya bukan hal
mustahil bagi kami untuk bersatu dalam sebuah pernikahan. Semoga firasatku ini
firasat yang baik. Semoga darinya akan lahir anak-anak yang berkwalitas ”.
Itu sebabnya maka
Khadijahpun memberanikan diri mengutus sahabatnya, Nafisah binti Muniyah, untuk
menanyakan apa yang menjadi penghalang pemuda yang diam-diam telah mencuri
hatinya itu, sehingga ia belum juga menikah.
“ Aku tidak pernah berani berpikir ke arah itu karena aku belum
memiliki cukup harta untuk meminang seseorang”, begitu jawaban
pendek Muhammad. Maka akhirnya ketika Nafisah memberitahukan bahwa Khadijah,
yang masih memiliki hubungan kekerabatan walau jauh itu, menginginkan Muhammad
melamar dirinya, Muhammad langsung setuju. Ternyata diam-diam sang pemuda juga
menyimpan rasa kagum terhadap Khadijah. Itu sebabnya Muhammad segera
melamarnya.
Dengan persetujuan
kedua keluarga besar maka menikahlah Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah
binti Khuwailid. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun sementara Khadijah
40 tahun. Pasangan bahagia ini hingga akhir hayat Khadijah, sang itri tercinta,
yang wafat di usianya yang ke 65 tahun, dikaruniai 4 putri dan 2 putra.
Empat putri mereka adalah Zainab, Ruqaiah, Ummi Kultsum dan Fatimah binti
Muhammad. Sedangkan dua putra mereka adalah Abdullah dan Qasim bin
Muhammad. Keduanya meninggal ketika masih kecil.
Selama 25 tahun
pernikahannya itu Muhammad tidak pernah mencoba menambah istri lagi, bahkan
terpikirpun tidak. Padahal adalah hal yang amat lazim bagi pria Arab ketika itu
untuk memiliki istri lebih dari satu.
Begitu menikah
Khadijah mempercayakan urusan perniagaannya kepada sang suami tercinta, dan di
tangan Muhammad perniagaan Khadijah semakin lancar dan maju. Sementara Khadijah
sendiri lebih konsentrasi kepada urusan rumah tangganya. Namun demikian
ini tidak berarti bahwa Muhammad lepas tangan terhadap urusan yang umumnya
dianggap sebagai urusan perempuan itu. Tidak jarang ia terlihat membantu
pekerjaan sehari-hari Khadijah. Pendek kata meskipun kini Muhammad telah
menjadi seorang saudagar kaya raya, ia tetap sederhana dan bersahaja.
Muhammad bin Abdullah
adalah benar-benar contoh yang patut menjadi keteladanan. Ia amat menyayangi
istri dan anak-anaknya yang semuanya perempuan itu. Padahal masyarakat Arab
ketika itu tidak menghargai anak perempuan. Memiliki anak perempuan dianggap aib
yang memalukan bagi kehormatan dan harga diri keluarga.
وَاِذَا
بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌ - يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“ Dan apabila seseorang dari
mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya.
Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa
yang mereka tetapkan itu “. (QS. An-Nahl(16):58-59).
Selama itu pulalah Khadijah memperhatikan bahwa prilaku suaminya
tercinta itu tidak pernah berubah. Sabar, jujur dan amanah adalah sifat utama
beliau. Itu sebabnya orang memberinya gelar Al-Amin (orang
yang dipercaya). Ini terbukti jelas pada suatu peristiwa yang terjadi ketika
Muhammad berusia 35 tahun.
Menurut Ibnu Hisyam,
salah seorang penulis kitab-klasik Shirah Nabawiyah ternama yang termasuk orang
pertama yang menulis sejarah kehidupan Rasulullah yang hidup pada sekitar tahun
1100 M, Ka’bah sebelum zaman Islam telah mengalami pemugaran selama 4 kali.
Pemugaran ke 4 terjadi
ketika Muhammad berusia 35 tahun. Pada mulanya pemugaran berjalan lancar,
masing-masing kelompok kabilah bekerja menurut pembagian tugas yang telah
disepakati bersama. Demikian pula Muhammad, ia turut bekerja membantu pamannya,
Al-Abbas bin Abdul–Mutthalib. Namun setelah pemugaran sampai pada tahap
peletakkan kembali batu Hajar Aswad terjadilah perselisihan. Masing-masing
kabilah merasa lebih berhak untuk melasanakan pekerjaan tersebut.
Perselisihan
berkembang menjadi pertikaian hingga nyaris terjadi pertumpahan darah. Hal ini
terus memanas hingga berhari-hari. Beruntung akhirnya suasana mendingin
setelah semua pihak mau berkumpul dan berembug. Diputuskan bahwa siapapun yang
pertama kali memasuki pintu Ka’bah, dialah yang berhak memutuskan perkara.
Tak lama kemudian, dalam suasana tegang tampak Muhammad berjalan
menuju pintu Ka’bah. Serentak merekapun berucap : “
Nah, dialah Al-Amin (orang yang terpercaya), kita rela dan puas menerima
keputusannya.!”. Setelah Muhammad mengetahui duduk perkaranya,
maka iapun meminta selembar kain, lalu setelah kain dihamparkan ia meletakkan
Hajar-Aswad ditengah-tengah kain tersebut.
Kemudian ia berujar :” Setiap kabilah hendaknya memegang
pinggiran kain, lalu angkatlah bersama-sama!”. Setelah kain
didekatkan ketempat penyimpanan Hajar-Aswad kemudian Muhammadpun mengangkat
benda tersebut dan meletakkannya pada tempatnya. Dengan cara itu maka
berakhirlah perselisihan dan semua pihak merasa puas.
Menjelang usianya yang
ke 40 tahun, Muhammad makin sering pergi menyendiri ke gua Hira’ di Jabal
Nur, sebuah bukit yang terletak sekitar 6 km sebelah timur Mekah. Tampak bahwa
Muhammad makin hari makin risau melihat masyarakat kotanya yang makin
lama makin rusak akhlaknya. Penyembahan terhadap berhala Latta, Manat dan Uzza,
ritual haji yang makin hari makin liar dimana para jamaah melaksanakan sa’i dan
thawaf dengan bertelanjang, ritual penyembelihan hewan korban yang darahnya di
oleskan ke dinding-dinding Ka’bah dsb.
Kesemuanya ini membuat
Muhammad yang hatinya masih bersih ini prihatin. Ia yakin bahwa semua ini
tidaklah pada tempatnya. Ia bermunajat memohon petunjuk agar Allah memberi
petunjuk kepada masyarakat apa yang seharusnya mereka lakukan.
Semua ini tidak
terlepas dari pengawasan Khadijah. Dengan penuh kesetiaan dan kasih-sayangnya,
ia mengutus salah satu putrinya untuk membawakan makanan sekaligus menjenguk
dan melihat keadaan ayah mereka di atas sana.
Hingga suatu hari di bulan Ramadhan tanggal
17 tahun 611M, Muhammad melihat sebuah sosok raksasa di atas langit
mendekatinya. Sebelum sempat berpikir tentang apa yang dilihatnya
tiba-tiba sosok tersebut telah berada disampingnya dan mendiktekan sebuah
kalimat yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ
الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥
”Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”. ( QS.Al-Alaq (96):1-5).
Sosok tersebut
memaksanya untuk mengikuti apa yang dikatakannya. Yang ketiga kalinya akhirnya
sosok yang belakangan kemudian dikenalnya sebagai malaikat Jibril itu
mendekapnya kencang-kencang hingga ia merasa tercekik dan lari pulang menuju
rumah dengan perasaan amat ketakutan.
Setibanya di rumah,
Khadijah segera menyelimut tubuh sang suami yang berkeringat dingin
tersebut. Muhammad menceritakan apa yang dialaminya. Dengan perasaan dan
pandangan waswas ia memperhatikan reaksi Khadijah, khawatir menganggap
dirinya dusta bahkan mungkin gila !
Alangkah leganya
perasaan Muhammad mendapati istrinya tercinta itu ternyata tetap
mempercayainya. Dan hal ini terus dikenangnya hingga jauh setelah kerasulan.
“Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman
kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu
semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.”
Khadijah tercatat
sebagai empat orang pertama yang memeluk Islam. Tiga lainnya adalah Ali bin Abu
Thalib bin Abdul Muthallib yang sejak kecil sudah berada dibawah asuhan
pasangan Muhammad dan Khadijah. Kemudian Abu Bakar ash Shiddiq dan Zaid bin
Haritsah.