Thalhah bin Ubaidillah ra adalah 1 dari
10 sahabat yang disebut Rasulullah saw sebagai calon penghuni surga
sebagaimana hadist berikut,
“Abu
Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman masuk surga, Ali masuk surga, Thalhah
masuk surga, Zubeir masuk surga, Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga, Sa’ad masuk
surga, Sa’id masuk surga dan Abu Ubaidah bin Jarrah masuk surga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih.]
Thalhah bersama ke 9 sahabat yang dijamin masuk surga
tersebut di atas, dan sejumlah sahabat lain juga termasuk dalam golongan
As-Sabiqunal Al-Awwalun atau orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Bahkan
masuk dalam 8 orang pertama yang memeluk Islam. Melalui ayat 100 surat
At-Taubah Allah swt secara gamblang menyebutkan bahwa Allah swt menyediakan
surga bagi mereka.
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Masuk islamnya Thalhah.
Thalhah adalah seorang pemuda Quraisy dengan nasab
Thalhah bin Ubaidillah bin Ustman bin Amru bin Ka’ab hingga sampai pada Ka’ab
bin Lu’ai yang merupakan leluhur Rasulullah saw. Kisah keislaman Thalhah yang
ketika itu baru berusia 15 tahun dimulai ketika ia sebagai seorang
pedagang muda pergi ke Syam bersama rombongan kafilah dagangnya. Di kota
Bushra, Thalhah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.
Ia
melihat seorang pendeta berteriak-teriak,”Wahai para pedagang, adakah di
antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?”.
“Ya, aku penduduk Makkah,” sahut
Thalhah.
“Sudah munculkah orang di antara kalian
orang bernama Ahmad?” tanyanya.
“Ahmad siapa?”, tanya Thalhah keheranan.
“Ahmad
bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup
para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang
banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan
air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda”, sambung
pendeta itu.
Ucapan
pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa
menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di
Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya,”Ada peristiwa apa
sepeninggalku?”. “Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu
Bakar As Siddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya,”
jawab mereka.
“Aku
kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia
pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang
menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy,” gumam Thalhah bin
Ubaidillah.
Segera
Thalhah mencari Abu Bakar As Siddiq. “Benarkah Muhammad bin Abdullah
telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?” “Betul.” Abu Bakar As
Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira’ sampai turunnya
ayat pertama. Abu Bakarpun mengajak Thalhah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar
bercerita, Thalhah menceritakan pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar
tercengang. Lalu ia mengajak Thalhah untuk segera menemui Muhammad dan menceritakan
peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah
bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Masuk Islamnya Thalhah di lingkungan keluarganya bagai
petir di siang hari bolong. Mereka terutama sang ibu tidak mengira
putranya yang dikenal santun tersebut secepat itu mengakui Muhammad sebagai
seorang rasul bahkan langsung mengikutinya. Ibu dan seluruh keluarga besar
beserta seluruh anggota sukunya berusaha mengeluarkan Thahlah dari Islam.
Mulanya mereka bertindak dengan cara halus. Namun
karena Thalhah tak sedikitpun goyah merekapun bertindak kasar. Mereka
menyiksanya dengan berbagai cara. Dengan tangan terbelenggu di leher, Thalhah
digiring, dan disepanjang jalan orang-orang mendorong, memecut dan memukuli
kepalanya. Tak terkecuali ibunya yang sudah tua, terus berteriak mencaci
makinya. Tentu saja Thalhah sangat sedih dan kecewa namun ia tetap bertahan.
Walau akhirnya dalam waktu yang tak terlalu jauh, sang ibu dan
saudara-saudaranya juga memeluk Islam.
Suatu hari pernah seorang lelaki Quraisy menyeret Abu
Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian mengikat keduanya menjadi
satu dan seorang algojo mengeksekusi keduanya hingga darah mengalir dari tubuh
sahabat yang mulia ini. Peristiwa menyedihkan ini di kemudian hari menjadikan
keduanya digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia.
Keteguhan iman dan keberanian Thalhah.
Selain itu berkat keteguhan dan perjuangannya dalam
menegakkan Islam Thalhah yang gagah berani mendapat banyak gelar, diantaranya
yaitu Assyahidul Hayy yang artinya syahid yang hidup. Gelar kehormatan tersebut
didapat pemuda berbadan tegap dan kekar tersebut berkat perjuangan dalam perang
Uhud. Ketika itu ia bersama sejumlah sahabat berusaha mati-matian melindungi
Rasulullah dari kepungan musuh yang penuh rasa dendam ingin melumat Rasulullah
dan tentara Muslimin karena kekalahan musuh pada perang sebelumnya, yaitu
perang Badar.
Perang yang terjadi pada tahun ke 3H itu nyaris
dimenangkan pasukan Islam. Padahal jumlah tentara musuh jauh lebih besar ( 3000
personil) dibanding pasukan Muslim yang hanya 700 orang. Sayang kemudian
berbalik akibat kelalaian 43 dari 50 pemanah yang bertugas melindungi kaum
Muslimin di atas bukit tergiur oleh harta milik musuh yang tercecer di hadapan
mereka. Padahal berkali-kali Rasulullah mengingatkan mereka untuk tetap berjaga
pada tempatnya apapun yang terjadi.
Pasukan Quraisy dibawah panglima Khalid bin Walid yang
ketika itu belum memeluk Islam berhasil menyerang balik dari arah belakang pasukan
panah yang sibuk memunguti harta musuh. Keadaan menjadi kacau balau hingga
membahayakan posisi Rasulullah yang berada di atas bukit. Para sahabat segera
berusaha menyelamatkan Rasulullah. Akan tetapi sangat sulit bagi para sahabat
untuk berkumpul di satu posisi. Akhirnya mereka terpaksa berpencaran.
Dalam keadaan genting, Thalhah yang berada paling
dekat dengan Rasulullah melihat Rasulullah bersimbah darah. Dua mata besi
menancap pada pipi Rasulullah hingga mematahkan gigi dan merobek bibir bawah
dan kening Rasulullah. Thalhah segera melompat ke arah Rasul. Dipeluknya
Rasulullah dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan
kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengepungnya dari segala arah.
Akhirnya Rasulullah dapat diselamatkan dari amukan
musuh. Thalhah memapahnya ke tempat yang aman dan bersembunyi di atas bukit
Uhud. Tapi tak urung lebih dari tujuh puluh tikaman pedang dan panah melukai
Thalhah, dan satu jari tangannya putus. Karena inilah, ia mendapat gelar
Asy-Syahidu Hayyu atau seorang syahid yang hidup akibat banyak yang mengira
bahwa Thalhah telah syahid, namun ternyata masih hidup.
Sementara di medan pertempuran pasukan Muslim
bertempur mati-matian. Saking kacaunya, ada pasukan muslim yang membunuh muslim
lainnya. Hal itu lantaran terjadi penyerangan dari depan dan belakang. Pada
saat itu terlihat Mushab bin Umair yang mempunyai perawakan dan wajah mirip
Rasulullah terbunuh dengan bendera perang d tangan.
Rupanya begitulah cara Allah swt menyelamatkan pasukan
Muslimin. Yaitu dengan dimasukkannya persangkaan ke hati pasukan Musyirik bahwa
Rasulullah telah tewas hingga merekapun kegirangan dan pulang meninggalkan
medan perang.
Sementara
itu di atas bukit, dalam keadaan luka parah Thalhah terus menciumi tangan,
tubuh dan kaki Rasulullah seraya berkata, “Aku tebus engkau Ya
Rasulullah saw dengan ayah ibuku.” Nabi SAW tersenyum dan berkata, ” Engkau
adalah Thalhah kebajikan.” Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda,
“Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh.” Yang dimaksud nabi SAW
adalah memperoleh surga.
Sejak
peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan selain Assyahidul Hayy, juga “Burung
elang hari Uhud” dan “Sang Perisai Rasulullah”. Terlihat jelas
betapa tinggi keimanan, keikhlasan, pengorbanan serta dan kecintaan Thalahah
pada Islam dan Rasulnya. Thalhah tercatat merupakan salah seorang sahabat
yang selalu ikut berperang bersama Rasulullah. Kecuali dalam Perang Badar
karena Rasulullah menugaskannya bersama Sa’id bin Zaid menuju Syam.
Kedermawanan Thalhah.
Selain dikarunia Allah swt kekuatan dan badan yang
kekar, wajah yang tampan menyerupai Rasulullah, Allah swt juga menganugerahi
Thalhah kemampuan berdagang yang mumpuni. Kekayaan Thalhah tidak kalah dengan
Abdurahman bin Auf yang dikenal kaya raya. Sama dengan Abdurrahman,
Thalhah dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan hingga dijuluki
Thalhah Al-Jaud (Thalhah yang pemurah) serta Thalhah Al-Fayyadh atau Thalhah
yang dermawan. Gelar ini diberikan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Salah
satu contohnya adalah ketika suatu hari ia membawa keuntungan dagang yang
sangat besar yaitu 700 ribu dirham (setara dengan Rp 35 milyar sekarang).
Malamnya bukannya tidur nyenyak seperti kebanyakan orang, Thalhah justru merasa
tidak tenang dan gelisah. Melihat hal itu, istri Thalhah pun bingung dan
menanyakan apa gerangan yang terjadi hingga kemudian bertanya, “Mengapa
begitu gelisah, apakah aku melakukan suatu kesalahan?”
Thalhah
menjawab, “Engkau tidak melakukan kesalahan apapun, hanya saja terdapat
sesuatu yang mengganggu pikiranku. Pikiran yang tidak tenang sebagai hamba
karena ada harta yang tertumpuk di rumahnya.”
Istri
Thalhahpun menjawab, “Mengapa sampai risau begitu, bukankah masih banyak
yang membutuhkan pertolongan melaluimu?” Dia melanjutkan, “Bagikanlah
saja uang tersebut esok hari pada orang-orang yang membutuhkan.”
Thalhah
begitu bahagia mendapati jawaban penuh bijak dari istrinya itu. Dia berkata, “Semoga
Allah selalu merahmatimu. Sungguh, kau adalah wanita yang mendapatkan taufik
Allah.”
Esoknya Thalhah membagikan keuntungan perniagaannya
tersebut pada fakir miskin. Selain itu ia juga menggunakan uangnya untuk
pernikahan anak-anak muda di keluarganya dan mencukupi kebutuhan keluarga yang
tidak mampu.
Kedermawanan Thalhah juga terlihat ketika terjadi
masalah dengan Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat dari 10 sahabat yang
juga dijamin masuk surga. Alkisah Abdurrahman dan Thalhah mempunyai
sebidang tanah yang letaknya bersebelahan. Suatu hari Abdurrahman bermaksud
mengairi tanahnya lewat tanah Thalhah. Tapi oleh suatu sebab Thalhah tidak
mengizinkannya. Abdurrahmanpun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw.
Namun apa jawaban Rasulullah ?
“Bersabarlah, Thalhah adalah seseorang
yang telah wajib baginya surga”.
Abdurahmanpun
menahan diri. Ia lalu mendatangi Thalhah dan mengabarkan apa yang disampaikan
Rasulullah. Medengar itu, dengan suka cita Thalhah berseru, “Aku bersaksi
kepada Allah, dan kepada Rasullulah bahwa harta itu menjadi milikmu wahai
saudaraku”.
Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah.
Paska wafatnya Rasulullah saw, apalagi setelah
wafatnya khalifah Abu Bakar ra dan terbunuhnya khalifah Umar bin Khattab ra,
kondisi kehidupan kaum muslimin menjadi sangat kacau. Terjadi kerusuhan besar
akibat fitnah mengerikan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin
Affan ra yang menggantikan Umar. Ali bin Abi Thalib ra kemudian diangkat
menggantikan Ustman.
Namun orang-orang munafik terus menebar fitnah dan
hasutan, mereka mengadu domba umat Islam sehingga terjadilah peperangan yang dinamakan
perang Jamal yang membuat umat terpecah menjadi 2, yaitu antara yang memihak
Aisyah ra dan yang memihak Ali bin Thalib ra. Dengan suatu alasan yang
diyakininya, Thalhah memilih berada di pihak Aisyah ra.
Dalam perang tersebut banyak korban berjatuhan.
Khalifah Ali menangis dan menghentikan peperangan meskipun saat itu dalam
keadaan menang. Ali selain meminta Aisyah yang kemudian menyesal mengapa harus
berperang dengan Ali untuk berdamai, , juga meminta Thalhah dan Zubair yang
juga berpihak kepada Aisyah ra, untuk hadir melakukan perdamaian. Ali
mengingatkan Thalhah dan Zubair akan berbagai hal termasuk sabda-sabda
Rasulullah tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengarkan
perkataan Ali.
Thalhah dan Zubair akhirnya memutuskan untuk mundur
dan menghentikan pertempuran. Kemudian keduanya menemui pasukannya. Akan
tetapi, orang-orang munafik tidak puas dengan keputusan ini. Maka merekapun
membunuh kedua sahabat tersebut dengan cara memanah mereka. Karena luka yang
sangat dalam dan darah yang terus mengalir deras Thalhah bin Abu Ubaidillah,
Sang Perisai Rasul akhirnya meninggal dunia. Ia wafat dalam usia 64
tahun, dan dimakamkan di Basrah. Tragedi memilukan tersebut menambah kedukaan
yang amat mendalam bagi kaum Muslimin.
Wallahu’alam
bi shawwab.