Al-Quran adalah kitab
suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui perantaraan
malaikat Jibril as. Sebelum kitab ini Allah swt pernah menurunkan beberapa
kitab kepada para rasul, diantaranya kitab Zabur kepada nabi Daud as, kitab
Taurat kepada nabi Musa as dan kitab Injil kepada nabi Isa as Kitab-kita
tersebut diturunkan melalui malaikat yang sama, yaitu Jibril as.
Diantara kitab-kitab
tersebut terdapat sejumlah perbedaan dan persamaan. Persamaan yang mendasar
adalah perintah untuk menyembah hanya kepada Allah swt. Sedangkan perbedaan
mencolok terletak dari cara turunnya. Al-Quran turun secara
berangsur-angsur, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ayat –ayat
tersebut turun tidak dengan urutan seperti yang kita lihat saat ini.
Malaikat Jibrillah yang memberitahukan langsung kepada Rasulullah
bagaimana letak dan susunan ayat dalam surat harus diletakkan.
Perumpamaannya adalah
seperti rak lemari kosong yang telah diberi sekat, no dan tanda. Kemudian
Rasulullah tinggal memasukkan dan menyelipkannya sesuai no dan tanda yang
tertera. Susunan Al-Quran yang seperti ini sesuai dengan kitab yang ada
disisi-Nya dan dijaga ketat oleh para malaikat, yaitu yang ada di
Lauh-Mahfuzh.
۞
فَلَآ
أُقْسِمُ
بِمَوَٰقِعِ
ٱلنُّجُومِ
- وَإِنَّهُۥ
لَقَسَمٌ
لَّوْ
تَعْلَمُونَ
عَظِيمٌ
- إِنَّهُۥ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ -
فِى كِتَٰبٍ مَّكْنُونٍ - لَّا يَمَسُّهُۥٓ
إِلَّا
ٱلْمُطَهَّرُونَ
- تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ
ٱلْعَٰلَمِينَ - أَفَبِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ
“Maka Aku bersumpah dengan tempat
beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar
kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al
Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh
Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan
dari Tuhan semesta alam. Maka apakah
kamu menganggap remeh saja Al Qur’an ini?” (QS.Al-Waqi’ah(56):75-81).
Berkenaan dengan ayat
diatas, Ad-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra : ”Al-Quran diturunkan
secara keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh Mahfuz, melalui duta-duta
malaikat penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut
menyampaikannya kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam dan
selanjutnya diturunkan pula oleh Jibril as kepada Rasulullah saw secara
berangsur-angsur selama 23 tahun”. (22 tahun, 2 bulan 22
hari). Itu pula yang ditafsirkan Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu Hazrah.
Ayat-ayat turun begitu
saja tanpa penyebab tetapi tidak jarang pula diturunkan sebagai jawaban
suatu permasalahan atau keadaan tertentu dan bahkan ada yang turun atas
pertanyaan pribadi. Ini yang menjadi penyebab utama mengapa kitab suci
ini tidak dapat dibaca layaknya kitab-kitab lain, yaitu dibaca berurut dari
depan ke belakang lalu memahaminya secara tekstual.
Untuk dapat
memahami dengan baik apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Quran diperlukan
pemahaman latar belakang, keadaan dan suasana ketika ayat turun disamping
memahami bahasa Arab, arti secara bahasa maupun secara istilah, khususnya yang
berlaku umum pada masa itu. Itulah urgensi mengenal, mengetahui dan
memahami sejarah kehidupan Muhammad saw, nabi yang mendapat
kehormatan untuk menerima kitab suci ini. Itulah yang disebut Sirah Nabawiyah.
Muhammad saw adalah
seorang hamba Allah yang sejak kecil bahkan calon ayah ibunyapun telah
dipersiapkan secara matang oleh Sang Khalik. Beliau adalah seorang hamba
pilihan yang telah ditunjuk secara terhormat untuk mengemban tugas maha berat,
yaitu menerima wahyu Allah dan kemudian menyampaikannya kepada umat
manusia. Yang tak lama setelah menunaikan misi suci tersebut dengan
sangat memuaskan maka Allahpun memanggilnya. Masya Allah …
Dengan mempelajari
Sirah Nabawiyah inilah kita dapat mengetahui makna sebenarnya perintah dan
maksud ayat-ayat suci al-Quran. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah kita dapat
mengetahui bagaimana Rasulullah memahami dan merespons perintah-perintah
Tuhannya. Uniknya, kadang perintah tersebut direspons Rasulullah tidak secara
kontekstual. Contohnya adalah cara berwudhu.
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ
اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى
الْكَعْبَيْنِۗ
“ Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki,… ”. (QS Al-Maidah (5): 6).
Dalam prakteknya
Rasulullah menyempurnakan wudhu dengan membasuh tapak tangan, berkumur,
memasukkan dan megeluarkan air dari hidung serta membasuk kedua telinga. Dan
Allah swt tidak melarang hal tersebut. Artinya Sang Khalik meridhoi apa
yang dilakukan nabi. Jadi selama Allah swt mendiamkan dan tidak
menegur apa yang dilakukan Rasulullah, wajib kita mencontohnya.
مَنْ
يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَۚ
وَمَنْ
تَوَلّٰى
فَمَآ
اَرْسَلْنٰكَ
عَلَيْهِمْ
حَفِيْظًاۗ
“Barang siapa yang menaati
Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan
barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS.An-Nisa(4):80).
Dari sini tampak jelas
bahwa untuk memahami Al-Quran tidak cukup hanya dengan sekedar
membacanya kemudian mengartikan dan menafsirkannya sesuai pengetahuan dan
pengertian akal kita.
Para sahabat yang
ketika itu sedang berada di sisi Rasulullah adalah saksi turunnya ayat-ayat.
Mereka tahu persis bunyi ayat yang turun karena Rasulullah memang selalu
langsung menyampaikan apa yang diterimanya itu. Beliau bahkan memerintahkan
mereka untuk segera menghafalnya. Meski demikian dalam penerapannya
mereka tetap mengerjakan apa yang dicontohkan junjungan mereka itu.
Sebaliknya, bila dalam
perjalanannya ternyata ada sejumlah perbedaan penafsiran, ini harus dimaklumi.
Karena Rasulullah pada awalnya memang melarang menuliskan apa yang
dikatakan, dikerjakan dan diamnya Rasulullah karena khawatir bercampur
dengan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Namun Rasulullah tetap
memerintahkan para sahabat agar mengingat, mencatat dalam
hati dan kemudian meneruskan serta menyampaikannya kepada yang lain. Yang juga
harus diingat, ada saat-saat dalam keadaan dan situasi tertentu dimana
Rasulullah menyikapinya dengan sikap dan cara berbeda.
Ini yang menjadi
penyebab menambahnya perbedaan hadits. Beruntung beberapa tahun setelah
wafatnya Rasulullah, sejumlah sahabat dan para tabi’in segera
memutuskan untuk menuliskannya. Ini dilakukan demi menjaga agar hadist
tetap terjaga ( dengan bermacam perbedaannya) dan tidak makin sering dipalsukan
baik sengaja maupun tidak.
Tampaknya ini sudah
menjadi sunatullah. Perbedaan selama bukan mengenai hal-hal yang pokok dan
masih mengikuti apa yang pernah dicontohkan Rasulullah tetap dibenarkan. Kita
tidak boleh saling merasa bahwa kitalah yang benar dan pihak lain salah.
“ Perbedaan pendapat (di kalangan)
umatku adalah rahmat”.(HR. Al-Baihaqi).
Sebaliknya orang
yang suka mencari-cari perbedaan secara sengaja, diantaranya dengan
mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat, Allah melaknatmya. Tempat mereka adalah
neraka jahanam. ( Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang samar,
yang seringkali membutuhkan pemikiran yang bahkan seringkali memang tidak
dapat ditakwilkan. Contohnya adalah “Mim”, “ Nuun”, “ Alif Laam Miim” ) dan
yang semacamnya.
هُوَ
الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ
اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُۘ وَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَاۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya melainkan Allah”.(QS.Ali Imran(3):7).
Rasulullah saw telah
lama meninggalkan kita. Demikian pula para sahabat dan para tabi’in beserta
generasinya. Allah swt memerintahkan umat Islam tidak hanya mematuhi Allah dan
rasul-Nya namun juga para ulil amri atau pemimpin yang menjunjung tinggi
ayat-ayat-Nya. Demi mencegah perpecahan dan memberi manfaat yang
banyak bagi umat, sejumlah ulama mumpuni dengan kriteria yang sudah ditentukan
bahkan diberi keleluasaan memaknai ayat-ayat suci Al-Quran dan hadits.
Inilah ijma dan istihad yang bisa menjadi rujukan umat.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ
تَأْوِيْلًاࣖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS.An-Nisa’(4)59).
Adalah tugas kita,
umat Islam, saat ini, untuk menjaga kesucian dan keutuhan Al-Quran, isi
dan maknanya. Para hafidz adalah garda terdepannya. Sementara kaum Muslimin dan
Muslimat, secara keseluruhan, wajib menjaganya minimal dengan mengetahui
bagaimana Rasulullah menyikapi dan memaknai isi Al-Quran tersebut. Inilah
urgensi mengenal Sirah Nabawiyah.
Wallahu’alam bish
shawwab.