Setiap manusia pada
akhirnya akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Tidak ada yang tahu usia
seseorang, karena ajal dapat menjemput kapanpun dan dimanapun kita berada.
Ketika seseorang pergi untuk selamanya, maka seluruh harta bendanya baik hak
maupun kewajibannya akan langsung menjadi waris yang pembagiannya sudah diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sering kali hal ini menjadi
sengketa waris di kemudian hari.
Berbicara tentang waris
memang masih dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat. Ingin rasanya
membahas soal waris tapi khawatir akan dianggap tamak ataupun tidak elok oleh
keluarga. Bahkan pembahasan waris dapat menyebabkan keretakan hubungan di antara
sesama anggota keluarga. Padahal waris akan selalu melekat dalam kehidupan
manusia karena kematian adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi.
Situasi dapat menjadi
buruk apabila ada salah satu atau sebagian ahli waris yang merasa tidak mendapat
keadilan dalam pembagian harta waris. Belum lagi jika ada yang merasa harta
waris disembunyikan atau dikuasai oleh ahli waris lainnya. Jika sudah begini
pembahasan waris identik dengan masalah yang berujung sengketa di pengadilan.
Hal sensitif lainya dalam membahas waris adalah saat menentukan siapa yang
berhak dan tidak berhak mendapat waris, serta jumlah bagian masing-masing ahli
waris.
Penyebab terjadinya
konflik keluarga dalam hal waris bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan
sehingga ahli waris tidak memahami apa yang menjadi hak atau kewajibannya
terhadap harta waris. Kurangnya pengetahuan juga dapat menyebabkan sulitnya
mencapai kesepakatan dalam pembagian waris. Apalagi jika harta waris baru akan
dibagi setelah melewati beberapa generasi berikutnya, akan menimbulkan kerumitan
dalam menetapkan ahli waris yang sah maupun perhitungan bagian-bagiannya.
Konflik
antar ahli waris juga sering terjadi karena sikap egois yang ingin menang
sendiri dalam mendapatkan bagian harta waris yang terbesar atau terbaik.
Misalnya pewaris meninggalkan tiga bidang tanah, para ahli warisnya berebutan
untuk mendapatkan tanah yang lokasinya paling strategis.
Pembagian
waris di Indonesia sudah diatur dalam tiga sumber hukum, yaitu Hukum Islam,
Hukum Perdata, dan Hukum Adat. Bagi pewaris yang beragama Islam, maka pembagian
warisnya tunduk pada Hukum Islam yang berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam,
sedangkan non-Islam dapat memilih antara Hukum Adat atau KUHPerdata.
Penyelesaian sengketa dengan Hukum Islam dilakukan melalui Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sedangkan untuk penyelesaian sengketa berdasarkan sumber KUHPerdata dan Hukum
Adat dilakukan melalui Pengadilan Negeri.
Sebenarnya
untuk menghindari potensi sengketa waris di kemudian hari, setiap orang dapat
mempersiapkannya dengan membuat wasiat dan atau hibah pada saat masih hidup.
Dalam Pasal 171 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, mendefinisikan wasiat sebagai
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat ini dibuat pada saat pewaris
masih hidup dan diserahkan kepada penerimanya setelah pewaris meninggal dunia.
Adapun
hibah juga diperbolehkan dalam Hukum Islam, yaitu pemberian dari seseorang yang
masih hidup kepada orang lain. Hibah orang tua kepada anaknya juga
diperbolehkan, namun dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah orang tua
kepada anaknya juga dapat ditarik kembali. Baik wasiat maupun hibah hanya dapat
diterapkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari si pewaris.
Pemberian
hibah dan wasiat juga diperbolehkan dalam KUHPerdata. Harta benda yang menjadi
objek hibah atau wasiat dalam Hukum Perdata tidak boleh melebihi legitime portie atau
bagian mutlak dari para ahli waris. Legitime
portie adalah bagian dan harta benda yang harus diberikan
kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang
terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik
sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal
913 KUHPerdata). Pemberian hibah atau wasiat yang mengakibatkan berkurangnya
bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan pengurangan dengan tuntutatn
dari ahli waris atau pengganti mereka (Pasal 920 KUHPerdata). Sehingga jika
para ahli waris sepakat dan tidak mengajukan tuntutan terhadap berkurangnya legitime portie,
maka hibah ataupun wasiat tersebut tetap berlaku.
Hukum
Adat juga memperbolehkan hibah dan wasiat, namun ketentuannya diatur menurut
adatnya masing-masing. Hukum Adat dalam pewarisan memiliki corak dan sifatnya
sendiri yang berbeda dengan Hukum Islam maupun Hukum Perdata. Hukum Adat
mengenal tiga sistem kekerabatan, yaitu: (a) sistem patrilineal, kedudukan
laki-laki lebih menonjol dibandingkan perempuan dalam pewarisan; (b) sistem
matrilineal, kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan laki-laki dalam
pewarisan; dan (c) sistem parental, kedudukan laki-laki dan perempuan tidak
dibedakan dalam pewarisan.
Pemberian
wasiat dan hibah memang lebih bersifat preventif untuk mencegah terjadinya
konflik waris di kemudian hari. Khususnya hibah karena pembagiannya dilakukan
saat pewaris masih hidup sehingga lebih dapat terkontrol dan mencegah
terjadinya pertengkaran.
Namun
demikian dalam beberapa kasus tertentu, justru sengketa waris bermula dari
pembagian harta benda melalui wasiat. Penerima wasiat yang memperoleh harta
peninggalan pewaris akan dihadapkan dengan para ahli waris yang merasa memiliki
hak lebih. Begitu juga hibah orang tua kepada anaknya malah menimbulkan konflik
baru karena ahli waris yang tidak menerima hibah atau menerima hibah tetapi
jumlahnya lebih kecil dapat menuntut menarik hibah atau paling tidak
menerapkannya sebagai bagian warisan untuk penerima hibah.
Padahal sebenarnya
selama pewaris memahami aturan terkait hibah dan wasiat, seharusnya konflik
tidak akan terjadi. Ada batas maksimal wasiat maupun hibah harusnya ditaati
oleh pewaris. Tata cara hibah maupun wasiat juga telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, yaitu dilakukan secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang
saksi atau di hadapan Notaris. Sedangkan dalam KUHPerdata wasiat harus dalam
bentuk tertulis yang diketahui dua orang saksi dan Notaris. Untuk hibah ada
yang mengharuskan tertulis dengan akta Notaris ada yang tidak (lihat Pasal 1687
KUHPerdata).
Begitu
juga keterbukaan informasi dari pewaris kepada para ahli warisnya sangat
penting untuk meghindari sengketa. Seperti informasi mengenai harta benda,
piutang maupun utang, hibah atau wasiat yang akan atau telah dilakukan,
termasuk juga terkait ahli waris lainnya. Mengingat pernah ada beberapa kasus
di Indonesia dimana setelah pewaris meninggal tiba-tiba muncul perempuan yang
mengaku sebagai istri siri ataupun seseorang yang mengaku sebagai anak kandung
menuntut pembagian harta warisan. Dampak dari miss informasi
di atas tentu sangat berpotensi menimbulkan konflik harta warisan.
Pada
akhirnya jika terjadi sengketa penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan.
Tidak hanya waktu dan biaya yang akan terkuras, harta benda yang menjadi objek
sengketa waris bisa jadi akan terbengkalai dan berkurang value-nya karena
dalam keadaan status quo dimana
tidak ada pihak yang boleh melakukan perbuatan hukum terhadapnya.
Kematian
adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi, sehingga selagi ada kesempatan
sudah sepatutnya mempersiapkan anggota keluarga yang akan menjadi ahli waris
untuk memahami hukum waris yang berlaku sesuai agamanya. Adapun pemberian hibah
ataupun wasiat baiknya dilakukan dengan sepengetahuan para ahli waris dengan
batasan jumlah sesuai yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.