Islam memang sebuah ajaran yang unik.
Ajaran yang disampaikan kepada Rasulullah saw sebagai nabi penutup, melalui
malaikat Jibril as, ini mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Dunia adalah ladang tempat bekerja, beribadah berbuat kebaikan demi
mengumpulkan bekal akhirat nanti. Karena akhirat adalah tujuan, yang ujungnya
hanya 2 : surga atau neraka. Itu sebabnya, ketika lingkungan tidak memungkinkan
kita untuk beribadah, bekerja dan menjalani hidup tenang dibawah aturan yang
dikehendaki-Nya maka hijrah adalah solusinya.
Mekah dan Madinah meski sama-sama berada di tanah
Saudi dengan jarak sekitar 450 km adalah dua kota yang benar-benar berbeda.
Mekah adalah kota yang sangat gersang dan panas. Sebagian besar penduduknya
hidup dari berdagang. Sedangkan Madinah adalah kota yang tanahnya subur dan
relative lebih dingin dibanding Mekah. Mayoritas penduduknya hidup sebagai
petani.
Tentu saja perbedaan kebiasaan ini menimbulkan
permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik secara ekonomi, sosial
kemasyarakatan maupun kesehatan. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan
baru. Pada saat yang sama mereka juga harus mencari penghidupan, padahal mereka
tidak memiliki modal. Namun dengan semangat persaudaraan muslim yang baru
saja mereka terima semua itu dapat diatasi dengan baik.
Ketika itu Rasulullah mempersaudarakan antara kaum
Muhajirin dengan kaum Anshar. Diantaranya Abu Bakar dipersaudarakan dengan
Kharijah bin Zaid, Umar bin Khattab dengan Uthbah bin Malik, Utsman bin
Affan dengan seorang laki-laki dari bani Zuraiq bin Sa`ad Az-Zuraqi,
Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Muthalib
dengan Zaid bin Zuhair, Abdul Rahman bin Auf dengan Sa’id bin Rabi’, Zubair
dengan Ka`ab bin Malik, Abdullah bin Zaid bin Tsa`labah bin Abdi Rabbih
dengan Balharits bin Al-Khazraj dll.
Bahkan antara suku Aus dan suku Khazraj, dua suku
penduduk Madinah yang sejak lama selalu bermusuhan, sejak datangnya Islam tidak
pernah lagi bertikai. Kecuali suatu hari orang-orang Yahudi pernah
mengadu-domba mereka hingga hampir saja terjadi pertumpahan darah kalau saja
Rasulullah tidak segera mengingatkan bahwa sesama muslim adalah bersaudara.
“Sesungguhnya orang-orang
mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (QS.Al-Hujurat (49):10).
Hebatnya lagi, pada awal hijrah ikatan persaudaraan
tersebut berlaku hingga ke hukum waris. Namun hal ini tak lama berlangsung
karena kemudian turun ayat yang menjelaskan bahwa kerabat lebih berhak
mendapatkan waris dari pada yang bukan kerabat ( Muhajirin).
“
… Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab (Allah)”.(QS.Al-Ahzab(33):6).
Zubair ra berkata:
“Allah
Azza wa Jalla, menurunkan ayat khusus tentang kami orang-orang Muhajirin
dan Anshar, QS. Al-Anfaal :75, “ … … Orang-orang yang mempunyai
hubungan (kerabat) itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.( QS. Al-Anfaal(8) :75).
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:
“Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang
Anshar tanpa adanya hubungan keluarga, karena Ukhuwwah yang telah dijalin oleh
Nabi saw ketika turun ayat (artinya) : “Bagi tiap harta peninggalan dari harta
yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya
….“ Terhapuslah hukum tersebut.
“Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika
ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.”(QS.An-Nisa(4):33).
Dari peristiwa diatas, satu lagi hikmah turunnya
ayat-ayat Al-Quran secara bertahap dapat diambil. Karena ternyata ada beberapa
ayat yang hanya berlaku pada saat tertentu. Itulah yang disebut ayat-ayat yang
di-nasakh dan di-mansukh. Dan ini hanya dapat diketahui bila kita mempelajari
Al-Quran bersamaan dengan mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah saw ( sirah
nabawiyah). Disinilah pentingnya kita mempelajari hadits. Karena ayat-ayat
Al-Quran yang diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari itu amatlah erat kaitannya
dengan kehidupan Rasulullah. Hanya dengan cara inilah kita dapat mengetahui
asal usul, kapan dan dalam keadaan bagaimana ayat diturunkan. Artinya,
mempelajari Al-Quran ayat per ayat, surat per surat secara berurut layaknya
mempelajari kitab biasa, secara otodidak pula, adalah hal yang benar-benar
mustahil.
Riwayat juga menceritakan, betapa kebaikan orang-orang
Anshar yang tanpa pamrih tersebut sempat membuat kaum Muhajirin merasa khawatir
bahwa kasih sayang Allah swt akan terlimpah hanya kepada kaum Anshar.
Diriwayatkan dari Anas radiallahu`anhu, ia berkata:
“Kaum
Muhajirin datang kepada Nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah!, kami
belum pernah menemui suatu kaum yang memberikan harta mereka dalam jumlah yang
banyak dan berbagi rata ketika jumlahnya sedikit. Mereka telah mencukupi
keperluan kami dan ikut dalam kesusahan kami, kami khawatir hanya mereka saja
yang mendapatkan seluruh pahala“. Rasulullah saw bersabda:“Kalian juga
mendapatkan bagian pahala, selagi kalian ber- terima kasih dengan kebajikan
mereka dan mendoa`kan mereka”. (HR. Ahmad).
Disamping itu ada lagi golongan lain, yaitu golongan
Ash-Shuffa (Penghuni Shuffa). Mereka adalah orang-orang Muhajirin yang
benar-benar tidak mampu. Mereka adalah golongan fakir-miskin yang membutuhkan
bantuan. Untuk itu keperluan mereka ini diambilkan dari harta kaum Muslimin
yang mampu, baik dari kaum Muhajirin maupun Anshor. Rasulullah menempatkan
mereka di selasar masjid yaitu shuffa (bahagian mesjid yang beratap) sebagai
tempat tinggal mereka. Bagi yang pernah mengunjungi Masjid Nabawi, tempat
tersebut kini berada di samping Raudhah, di bagian yang sangat indah, dimana
rak-rak buku tinggi berlapis kuning keemasan menghiasi dinding-dindingnya.
Namun anehnya, kebaikan dan kekhususan ikatan
persaudaraan muslim di awal keislaman yang terjalin antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar ini harus menanggung pelecehan dan penghinaan. Ironisnya
lagi, ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menjadi catatan penting, tidak semua penduduk Madinah
ketika itu, mempunyai kebaikan seperti kaum Anshor. Madinah sejak sebelum
hijrahnya kaum Muslimin telah dipenuhi orang-orang Yahudi yang dikenal kaya
raya. Tak heran bila pembesar-pembesar kota tersebut, meski telah memeluk
Islam, tetap berhubugan baik dengan orang-orang Yahudi, meski mereka ini
jelas–jelas sangat memusuhi ajaran Islam. Salah satunya yang paling mencolok
adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh Munafikun Madinah yang
dikenal sangat memusuhi Islam. Saking dekatnya hubungan dengan orang-orang
Yahudi, ia sering mencemooh ayat-ayat yang turun kepada Rasulullah saw.
“Di
antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan
dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi)
Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian
mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”.(QS.Al-Baqarah(2):101).
Orang-orang munafik tersebut selain mencela dan
mempermainkan ayat-ayat-Nya juga suka mencemooh apapun yang dilakukan kaum
Muslimin. Untuk itu Allah swt menurunkan sejumlah ayat diantaranya adalah ayat
74 hingga 87 surat At-Taubah. Dan puncaknya, ketika akhirnya turun perintah
perang, dengan berbagai alasan mereka menolak perintah tersebut.
“Dan
apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu):
“Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta
Rasul-Nya”, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin
kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: “Biarkanlah kami berada
bersama orang-orang yang duduk“.”.(QS.Al-Baqarah(2):86).
Bahkan Abdullah bin Ubay melindungi orang-orang Yahudi
yang jelas-jelas memusuhi kaum Muslimin dan menjadi duri yang sangat berbahaya
bagi perkembangan Islam di Madinah. Tidak cukup itu. Aisyah ra, istri tercinta
Rasulullahpun tak luput dari fitnah yang dimotori olehnya. Namun Allah
swt sendiri yang kemudian membela beliau, yaitu dengan turunnya ayat 11 hingga
20 surat An-Nuur yang menerangkan bahwa umirul mukminin yang dikenal banyak
meriwayatkan hadits, dimana ayat-ayat suci sering turun di kamar beliau, adalah
tidak bersalah. Dalam kesempatan itu, Allah swt bahkan membuka kedok tokoh
Munafikun tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang
yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah
kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”.(QS.An-Nur(24):11).
Anehnya, perbuatan terkutuk tersebut tidak menjadikan
orang-orang Munafik menjadi kapok. Malah dengan wafatnya Rasulullah saw
14 abad silam, fitnah tersebut makin menjadi-jadi, hingga detik ini. Ini adalah
fitnah terbesar dalam sejarah Islam. Bagaimana mungkin para sahabat seperti Abu
Bakar ra, Umar bin Khattab ra dan Ustman bin Affan ra yang selama hidup
Rasulullah telah terbukti begitu setia membela Rasulullah dan ajaran Islam
dapat tiba-tiba murtad begitu Rasulullah wafat? Atas alasan apa?? Padahal Allah
swt sendiri telah menjamin ampunan dan surga bagi mereka …
“
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan
Allah ( Muhajirin), dan orang-orang yang memberi tempat
kediaman dan memberi pertolongan ( Anshar, kepada orang-orang
Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia”.( QS. Al-Anfaal(8) :74).
Wallahuálam bish shawwab.