“Bersabarlah (hai
Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan
janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu
bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan “.( QS.An-Nahl(16):127)
“Maka (apakah) barangkali engkau (
Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati sesudah mereka
berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini”.(QS.Al-Kahfi(18):6)
“Janganlah sekali-kali engkau ( Muhammad) menujukan pandanganmu
kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di
antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati
terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”.(QS.Al-Hijr(15):88).
Ayat-ayat diatas
adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Rasululllah dalam keadaan duka yang
mendalam. Rasulullah bersedih karena para pemimpin Quraisy dan penduduk Mekah
mendustakannya. Namun dengan pertolongan-Nya jualah Rasulullah bisa menahan
kesabarannya. Waktu demi waktu berlalu. Tak satupun ayat-ayat Al-Quran mampu
menggugah hati orang-orang Mekah untuk meninggalkan kesyirikan mereka.
Mereka tetap dalam keraguan yang mendalam.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang
Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang
semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar”.(QS.Al-Baqarah(2):23).
Lima tahun setelah
wahyu pertama turun berlalu sudah. Karena penyiksaan tidak juga berkurang,
akhirnya Rasulullah mengizinkan sejumlah Muslimin untuk mencari suaka ke
Habasyah. Mereka terdiri dari 12 Muslim dan 4 Muslimah, termasuk
diantaranya adalah Ruqayah, putri kedua Rasulullah dan suaminya, Ustman bin
Affan. Negri di Afrika yang sekarang bernama Ethiopia ini ketika itu berada
dibawah pemerintahan seorang raja Nasrani alim yang sangat bijaksana, yaitu
Najasyi.
Baru beberapa waktu
mereka menetap di negri tersebut, ketika kemudian mereka mendengar kabar
bahwa beberapa orang kuat Quraisy, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan
Umar bin Khattab telah memeluk Islam. Maka merekapun berniat kembali ke Mekah.
Namun ditengah perjalanan mereka terpaksa kembali ke Habasyah karena ternyata
ke-Islaman dua tokoh tersebut malah makin membuat orang Quraisy memperkuat
tekanan terhadap orang-orang Islam. Mereka bahkan mengirim beberapa wakilnya
untuk pergi ke Habasyah dan meminta secara langsung kepada raja Najasyi agar
mengembalikan orang-orang Islam yang meminta suaka kepadanya.
Namun bagaimana
tanggapan raja tersebut? Najasyi malah menangis terharu ketika mendengar Ja’far
bin Abu Thalib, salah seorang Muslim yang ikut hijrah, membacakan surat Maryam.
“ Kaaf Haa Yaa `Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah)
penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala
ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” ….. …. …. “Dan mereka
berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya
kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu dan bumi belah dan gunung-gunung runtuh karena
mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi
Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku
seorang hamba “… hingga akhir surat.
“ Aku tidak akan menyerahkan orang-orang yang mencari
kebenaran ini kepada kalian. Mereka adalah orang yang benar. Demikian pula
nabimu”, demikian jawaban Najasyi. Menurut beberapa sumber Najasyi
bahkan bersumpah akan mengakui Islam dan ajarannya bila ia sempat bertemu
Rasulullah.
Habis sudah kesabaran
para pembesar Quraisy. Betapa kesalnya mereka menghadapi kenyataan ini.
Sejumlah riwayat mengatakan bahwa para pemuka Quraisy berkumpul dan sepakat bahwa
Muhammad harus dibunuh. Keputusan ini disampaikan kepada bani Hasyim dan bani
Abdul Muthalib. Namun mereka menolak menyerahkan anggota keluarganya ini.
Selama Abu Thalib masih hidup tak mungkin mereka berani mengganggu apalagi
membunuh ponakan yang amat disayanginya itu. Akhirnya mereka bersepakat bahwa
jalan satu-satunya yang memungkinkan hanyalah memboikot kehidupan Muhammad dan
seluruh keluarga yang mendukungnya hingga Muhammad diserahkan.
Selama tiga tahun
keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib diasingkan dan dikucilkan dari pergaulan
dan perekonomian. Suku Quraisy yang terdiri atas beberapa bani ini dilarang
mengadakan jual beli dengan kedua keluarga bani tersebut. Tidak boleh ada
perdamaian, belas kasih, pertemanan, persahabatan apalagi perkawinan dengan
anggota Bani Hasyim maupun Bani Muthalib.
Mereka dipaksa hidup
di pemukiman ( syi’ib) bani Muthalib tanpa bisa keluar. Ditempat inilah
berkumpul semua anggota bani Hasyim dan bani Abu Muthalib, baik yang telah
memeluk Islam maupun yang masih kafir, kecuali Abu Lahab. Bagi yang masih
kafir, mereka bertahan karena dorongan semangat fanatisme kekabilahan. Ini
adalah sesuatu yang khas telah dimiliki masyarakat Arab sejak dulu.
Sejumlah riwayat
menceritakan bahwa selama tiga tahun itu mereka beberapa kali terpaksa makan
dedaunan karena kekurangan makanan. Begitu pula keluarga Rasulullah termasuk
Fatimah yang ketika itu baru berusia sebelas tahun-an. Tangis kelaparan
anak-anak sering terdengar hingga ke luar kota Mekah.
Hingga suatu ketika
pada awal tahun ke tiga pemboikotan, bani Qushayyi mulai mengecam perbuatan
biadab tersebut. Sementara itu Rasulllah mengatakan pada Abu Thalib bahwa surat
perjanjian yang ditanda tangani para pemuka Quraisy dan ditempel di salah satu
dinding Ka’bah itu telah dimakan rayap kecuali beberapa kalimat yang
menyebutkan kata Allah.
“ Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?”, tanya Abu Thalib
heran. “ Ya”, jawab Rasulullah singkat. “ Allah
telah mengirim sejumlah anai-anai untuk menghancurkannya”. Maka
Abu Thalibpun segera pergi menemui para pemuka Quraisy dan menyatakan
bahwa pemboikotan telah usai karena surat perjanjiannya telah rusak. Dengan
terheran-heran mereka terpaksa menerima kenyataan yang berada di luar perkiraan
mereka tersebut.
Tak lama setelah
itu,sejarah mencatat bahwa sekitar tiga puluh orang dari kaum Nasrani Habasyah
datang menemui Rasulullah untuk mengetahui Islam lebih jauh. Mereka datang
bersama Ja’far bin Abu Thalib yang telah membuat raja Najasyi menangis ketika
mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan kepadanya.
Setelah bertemu dengan Rasulullah, berbincang dan mendengar
ayat-ayat Al-Quran merekapun segera beriman. Abu Jahal yang mengetahui hal
tersebut langsung bersungut-sungut. “ Kami belum pernah melihat utusan
yang paling bodoh kecuali kalian. Kalian diutus oleh kaum kalian untuk
menyelidiki orang ini. Tetapi belum sempat kalian duduk dengan tenang di
hadapannya, kalian sudah melepaskan agama kalian dan membenarkan apa yang
diucapkannya”.
Mereka menjawab : “ Semoga keselamatan atasmu. Kami
tidak mau bertindak bodoh seperti kamu. Biarlah kami mengikuti pendirian
kami dan kamupun bebas mengikuti pendirianmu. Kami tidak ingin kehilangan
kesempatan yang baik ini”.
Berkaitan dengan itu
maka Allah berfirman :
“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al Kitab
sebelum Al Qur’an, mereka beriman (pula) dengan Al Qur’an itu. Dan apabila
dibacakan (Al Qur’an itu) kepada mereka, mereka berkata: “Kami beriman
kepadanya; sesungguhnya; Al Qur’an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan Kami,
sesungguhnya Kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (nya). Mereka
itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak
kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan
kepada mereka, mereka nafkahkan. Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil”.(QS.
Al-Qashah(28):52-55).