II.2. Menjalankan Rukun Islam

 

Setelah keimanan meresap jauh merasuk tertanam kedalam kalbu, tahap berikutnya adalah menjalankan syariah, sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW.

“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku”. (QS.Asy-Syuaara(26):107-110).

Islam yang dikenal umum selama ini sebagai agama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW, sesungguhnya berasal dari akar kata Salama yang berarti tunduk patuh.

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”(QS.Al-Baqarah(2):131-133).

Berdasarkan ayat-ayat diatas maka dapat dipastikan bahwa agama-agama Tauhid yang diturunkan kepada para Rasul mulai Ibrahim AS hingga Muhammad SAW adalah agama yang satu yaitu, Islam. Agama yang mengajarkan agar manusia sebagai mahkluk ciptaan Allah untuk senantiasa tunduk patuh hanya kepada-Nya semata.

“Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”.(QS.Al-Baqarah(2):134-135).

Dan karena kasih sayang-Nya jualah, pada setiap zaman Allah SWT menurunkan para Rasul untuk dijadikan contoh dan panutan sekaligus mengingatkan akan jati diri manusia. Karena manusia cenderung selalu lupa akan hal tersebut. Jadi sesungguhnya setiap orang yang mencontoh dan menjadikan Rasul pada zamannya, yang mengajarkan ketundukkan dan kepatuhan hanya kepada-Nya, sebagai panutan pada hakekatnya adalah seorang Islam. Oleh karenanya kita sebagai manusia yang hidup saat ini, karena Muhammad SAW adalah Rasul terakhir yang diturunkan ke dunia ini dan karena ajarannya telah sampai kepada kita, maka tidak ada contoh dan panutan selain beliau yang wajib kita taati dan teladani.

Rasulullah bersabda: “Islam itu ialah engkau akan menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya akan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, berpuasa Ramadhan dan berhaji ke Baitul Haram(masjidil haram dan sekitarnya)”. (HR. Bukhari-Muslim).

Walaupun demikian sesungguhnya kewajiban yang disyariatkan atas umat Muhammad SAW tersebut, seperti shalat, zakat, puasa dan berhaji bukanlah hal yang baru karena umat sebelumnya juga pernah menerima perintah yang sama yang disampaikan melalui Rasulnya masing-masing.

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku` dan sujud”.(QS.Al-Hajj(22):26).

“Hai Maryam, ta`atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku`lah bersama orang-orang yang ruku`”. (QS.Ali Imraan(3):43).

Namun bisa jadi cara dan aturannya berbeda. Ini yang membedakan umat Islam saat ini dengan umat Islam sebelum era nabi Muhammad SAW. Setiap Rasul pada zamannya memiliki syariat masing-masing yang membedakannya dari umat setiap Rasul. Dan itu semua atas izin-Nya.

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari`at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari`at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”.(QS.Al-Hajj(22):67).

Rukun Islam ini wajib dilaksanakan sebagai kelanjutan dari Rukun Iman. Ini adalah satu-satunya cara yang dicontohkan Rasulullah yang akan menyebabkan keimanan terus bertambah tebal dan tumbuh subur di dalam dada. Jadi dengan demikian sesunggguhnya ibadah-ibadah seperti shalat, zakat dan berpuasa bukanlah tujuan akhir melainkan jalan agar kita selalu mengingat keberadaan-Nya. Jadi ibadah-ibadah tersebut adalah suatu bentuk pembinaan diri yang mustinya bila dikerjakan dengan benar dan baik akan menjadikan seseorang menjadi berakhlak mulia.

1. Mengucapkan 2 kalimat Syahadat.

“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS.Al-A’raaf(7):158).

Menyembah hanya kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya serta bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah adalah suatu pernyataan yang harus diucapkan secara lisan. Inilah pintu gerbang masuknya seseorang sebagai umat Islam generasi terakhir, seorang yang mengikrarkan diri sebagai hamba Allah SWT dan menjadikan Muhammad SAW, Sang Rasul penghabisan, sebagai panutan, pemimpin, contoh dan teladan dalam merealisasikan penghambaannya kepada Sang Khalik. Dan Ia berjanji sebagaimana yang dikatakanNya dalam ayat diatas bahwa bila kita mengikutinya maka kita akan mendapatkan petunjuk dari-Nya.

“…Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih”.(QS.Al-Fath(48):17).

Rasulullah bersabda: “Bersaksilah kalian : bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah. Tidak akan menemui Allah dengan kalimat syahadat itu seorang hamba selain yang meragukannya sehingga surgapun tertutup baginya”.

Inilah sesungguhnya inti ajaran Islam. Islam mengajarkan manusia agar terbebas dari segala macam kungkungan tradisi, kebiasaan, pikiran maupun ideologi yang dapat menyebabkan seseorang menjadi berpaling dari-Nya. Sesungguhnya hal ini pula yang menyebabkan ajaran Muhammad SAW pada awal penyebarannya di semenanjung tanah Arab ditolak, ditentang dan dimusuhi oleh umumnya kaum Quraisy.

Sebagaimana telah diterangkan pada bab mengenai Rasululah Muhammad SAW, sejak sebelum diangkat sebagai utusanNya, beliau adalah seorang pemuda yang dikenal karena kejujuran dan ahlak beliau yang mulia. Pada waktu itu rata-rata moral masyarakat Arab dikenal rusak bahkan bejat. Keprihatinan inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa Rasulullah sering bermunajat di gua Hira. Hingga akhirnya Allah SWT mengangkatnya sebagai seorang utusan-Nya. Maka sejak itu beliau mulai menjalankan tugas ke-Rasulan. Namun selama 3 tahun pertama, dakwah berjalan secara sembunyi-sembunyi. Dakwah dilakukan secara terang-terangan setelah turun perintah berikut :

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”.(QS. Al-Hijr(15): 94).

Segera Rasulullah pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil orang-orang agar hadir untuk mendengarkan dakwahnya. Maka mereka semuapun datang memenuhi panggilan tersebut bahkan orang yang tidak dapat hadir mengirimkan walinya untuk melihat apa yang ingin disampaikannya. Beliau membuka dakwah dengan ucapan sebagai berikut : “Bagaimanakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu akan mempercayaiku?”. Mereka segera menjawab : “Ya, kami belum pernah mendengar kamu berdusta”.

Namun begitu Rasulullah menyampaikan kalimat syahadat ; “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah”, maka Abu Lahab, seorang pemuka Quraisy sekaligus paman Rasulullah segera menampik pernyataan Tauhid tersebut . Ia rupanya sangat menyadari arti beserta konsekwensi kalimat ini. Ia menyadari sebagai seorang pemuka ia akan kehilangan kekuasaan, sebagai seorang tuan yang kaya-raya yang terbiasa dengan perbudakan ia akan kehilangan penghambaan. Ia merasa bahwa kedudukan dan kehormatannya akan terancam. Penolakan ini yang menyebabkan murka Allah SWT sehingga seketika itu juga turun laknat-Nya melalui ayat sebagai berikut :

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut”.(QS.Al-Lahab(111):1-5).

Demi kalimat Syahadat ini pula Rasulullah diboikot baik secara ekonomi maupun secara sosial. Pada peristiwa pemboikotan yang diprakasai Abu Lahab ini, Rasulullah dan para pengikut setianya harus rela selama kurang lebih 3 tahun menahan makan, minum serta mengadakan komunikasi dengan bani di luar baninya sendiri, yaitu bani Hasyim yang selama itu rela membela dan melindunginya. Padahal sebelumnya beliau telah ditawari berbagai tawaran yang menggiurkan seperti kekuasaan, kekayaan dan perempuan bila beliau mau menghentikan dakwahnya tersebut. Namun dengan tegas Rasulullah menolak seluruh tawaran tersebut. Berkat kalimat Tauhid ini pulalah para sahabat di masa lalu rela menerima siksaan demi siksaan. Kalimat Tauhid dan kalimat Syahadat inilah yang mampu merubah prilaku seseorang menjadi suatu kekuatan untuk melawan kelemahan, kebodohan dan ketergantungan kepada yang selain Allah SWT.

Dengan demikian dapat disimpulkan betapa pentingnya makna kalimat Syahadat ini, karena memang inilah inti ajaran Islam. Islam melarang adanya segala bentuk penjajahan di muka bumi. Manusia hanya berhak takluk dan takut kepada-Nya dan Muhammad SAW adalah seorang Rasulullah yang wajib diteladani.

Jadi seharusnya sebagai akibat dari pengikraran kalimat syahadat akan lahir pribadi yang memperlihatkan keyakinan, cara berfikir, emosi , pandangan, tingkah-laku, tampilan dan pergaulan yang Islami. Itulah kepribadian muslim sejati. Sebaliknya segala amal-ibadah yang tidak melaui pintu syahadat maka akan menjadi sia-sia belaka. Syirik atau mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT adalah suatu dosa sangat besar yang tak terampuni.

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yangmempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”.(QS.An-Nisa(4):116).

Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata :”Saya bertanya:” Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar disisi Allah? Nabi bersabda, “kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu”. (HR Bukhari dan Muslim).

2. Shalat.

Pada suatu malam lebih kurang satu tahun sebelum Hijrah, Rasulullah diberangkatkan dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsa di Palestina untuk kemudian dibawa naik ke langit dengan menunggangi seekor Bouraq, ditemani malaikat Jibril.

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Al-Isra(17):1).

Disanalah Rasulullah Muhammad SAW mendapat perintah untuk menjalankan shalat sehari 5 waktu.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah bersabda :”…Lalu Allah mewahyukan kepadaku suatu wahyu, yaitu Dia mewajibkan shalat kepadaku 50 kali sehari semalam. Lalu aku turun dan bertemu dengan Musa as. Dia bertanya, “Apa yang telah difardhukan Tuhanmu atas umatmu?” Aku menjawab, “Shalat 50 kali sehari semalam”. Musa berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melakukannya. Akupun telah menguji dan mencoba Bani Isrel”. Maka akupun kembali kepada Tuhanku, lalu berkata, “Ya Tuhanku, ringankanlah bagi umatku, hapuslah lima kali.” Lalu aku kembali kepada Musa seraya berkata, Tuhanku telah menghapus lima kali shalat”. Musa berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup shalat sebanyak itu. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka aku bolak-balik antara Tuhanku dan Musa as hingga Dia berfirman, “Hai Muhammad, yang 50 kali itu menjadi 5 kali saja. Setiap kali setara dengan 10 kali sehingga sama dengan lima puluh kali shalat……”. Akupun turun hingga bertemu lagi dengan Musa as dan mengatakan kepadanya bahwa aku telah kembali kepada Tuhanku sehingga aku malu kepada-Nya”. (HR Muslim).

Jadi dapat disimpulkan betapa tinggi dan istimewanya kedudukan shalat dimata Allah SWT. Namun untuk mengerjakan perintah ini sesungguhnya diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar agar shalat tersebut diterima dan mendapatkan ridho’ Allah SWT.

Ibnu Mas’ud berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, “Pekerjaan apakah yang paling utama?. Beliau bersabda : “Shalat tepat waktu”. Saya bertanya, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Berjihad dijalan Allah”. Saya bertanya, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda,”Berbuat baik kepada ibu-bapak”.

Ketika shalat, kita diwajibkan untuk membaca surah Al-Fatihah. Surat ini juga dinamai Ummul-Quran yang berarti ibu atau inti Quran. Membaca Al-Fatihah dalam shalat adalah rukun shalat. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa yang mendirikan shalat tanpa membaca Ummul-Quran maka shalatnya tidak sempurna”; “Tidaklah berpahala shalat yang didalamnya tidak dibaca Ummul-Quran”.

Allah bersabda :”Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulangdan Al Qur’an yang agung”. (QS.Al-hijr(15):87).

Surat yang dimaksud dalam ayat diatas ini adalah surat Al-Fatihah yang terdiri dari 7 ayat, yang wajib dibaca pada setiap rakaat oleh kaum Muslimin ketika shalat.

” Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (QS.Al-Faatihah(1):1-7).

Surat ini memiliki makna yang amat padat dan mendalam; suatu penghambaan yang dimulai dengan menyebut sifat utamanya, yaitu Pengasih dan Penyayang, pujian yang hanya milik-Nya, yang menguasai hari Pembalasan, yang hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan agar kita tidak tersesat, memohon hidayah dan bimbingan sebagaimana yang telah Ia berikan kepada para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang saleh dan memohon agar kita terhindar dari jalan kebathilan, sebagaimana yang ditempuh kaum Yahudi yang dimurkai-Nya karena tidak memiliki amal dan banyak membunuh para nabi maupun kaum Nasrani yang tersesat karena tidak memiliki pengetahuan yang benar. Jadi sesungguhnya jalan yang dikendaki dan diridho’i-Nya adalah jalan yang berdasarkan pengetahuan yang benar beserta pengamalannya, bukan hanya salah satunya.

Jepang adalah suatu negara yang dikenal luas akan kedisiplinannya. Rupanya masyarakat negri matahari terbit ini sejak lama telah memiliki kebiasaan mengulang-ngulang kalimat tertentu seperti kalimat “ Aku juara! ” seratus kali dalam sehari. Teori ini disebut “Repetitive Magic Power’ yang terbukti mampu merealisasikan apa yang diucapkan tersebut dan menjadikannya motivasi untuk mencapai suatu cita-cita.

Begitu pula dengan shalat. Bacaan yang diulang-ulang yang dimengerti maknanya, apalagi bila dilaksanakan secara khusu’, teratur dan berkesinambungan pasti akan melahirkan manusia-manusia yang penuh ketakwaan. Jadi shalat sebenarnya adalah suatu pembinaan diri yang nantinya akan memberi keuntungan bagi pelakunya, yang dapat memberinya ketenangan batin, kedekatan akan Tuhannya. Bacaan Syahadat dalam shalat, bacaan yang diucapkan minimal 9 kali dalam sehari dimaksudkan agar kita selalu ingat akan janji untuk hanya menyembah kepada-Nya dan mengakui Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.

Sedangkan makna dibalik ucapan “Allahu Akbar” yang mengawali sahnya shalat seseorang yang berarti “Allah Maha Besar” bila direnungkan dengan penuh kesadaran, sesungguhnya mengandung hikmah suatu penghambaan mutlak hanya kepada-Nya. Dialah yang Maha Besar, kita, manusia adalah kecil. Apapun yang terjadi pada diri kita ini sesungguhnya atas izin dan kehendak-Nya. Kita adalah kecil karena kita tidak memiliki kekuasaan maupun kekayaan apapun dibanding Dia. Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Ilmu yang kita miliki tidak ada artinya dengan apa yang dimiliki-Nya. Semua yang ada pada kita sesungguhnya hanya titipan-Nya yang pada saatnya nanti harus dikembalikan dan dipertanggung-jawabkan. Bahkan kitapun tidak memiliki kuasa untuk menolak ketika Ia memanggil kita untuk kembali kepada-Nya dimanapun dan dalam keadaan apapun kita berada. Maka dengan demikian sungguh hanya kepada-Nya kita patut menyembah, memohon bantuan dan berserah diri atas ketetapan-Nya.

Bacaan Allahu-Akbar ini terus kita ulang-ulang paling tidak 5 kali dalam satu rakaat atau berarti minimal 85 kali dalam sehari. Bacaan ini dibaca setiap kali kita merubah gerakan. Hal ini memberi makna bahwa dalam keadaan apapun seperti berdiri, duduk, berbaring, sujud maupun ruku’, ketika kita dalam keadaan susah maupun senang, sakit maupun sehat kita harus senantiasa mengingat kebesaran-Nya.

Demikian pula bacaan lain seperti do’a Iftitah yang dibaca setelah takbiratul Ikhram, sebagai berikut :“…Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS.Al-An’aam(6:162) yang diucapkan dalam shalat kita minimal 5 kali dalam sehari . Adakah kita benar-benar memahami makna ikrar, janji kita tersebut? Juga do’a yang kita ucapkan ketika dalam posisi duduk diantara dua sujud yang diucapkan minimal 17 kali dalam sehari sebagai berikut “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kasihanilah aku dan cukupilah aku dan tinggikanlah aku dan berilah rizki padaku dan tunjukilah aku jalan dan berilah aku sehat dan maafkanlah aku”.

Sadarkah kita bahwa sebenarnya rezeki, kesehatan, jabatan, kemuliaan maupun petunjuk yang ada pada kita ini adalah wujud atau buah dari permintaan dan permohonan yang setiap hari kita mintakan secara berulang kali, yang kemudian dikabulkan-Nya?

Shalat ditutup dengan membaca Tahiyatul-akhir, sementara Tahiyatul- awal diselipkan pada rakaat ke  2 untuk shalat-shalat  yang ber-rakaat lebih atau sama dengan  2. Bacaan ini berfungsi untuk mempertegas dan mengulang ikrar kita sebagai umat Islam, yaitu bacaan Syahadat.  Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat dilanjutkan dengan shalawat nabi, memohon kepada Allah agar  junjungan kita Muhammad saw mendapat tempat yang tinggi di sisi Allah sebagaimana nabi Ibrahim as.  Ini adalah bentuk kecintaan kita kepada sang Rasul yang telah berjasa mengajak manusia kepada jalan  yang benar, menjauhkan kita dari kesesatan dan kegelapan.

Begitulah shalat yang diajarkan Rasulullah sebagaimana dicontohkan malaikat Jibril as atas izin-Nya. Dengan menyadari hal-hal diatas maka seharusnya shalat mampu mengubah prilaku dan cara berpikir seseorang.

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnyashalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS.Al-Ankabuut(29):45).

Disamping itu penting untuk diingat, bahwa Rasulullah, seorang nabi kesayangan yang walau telah dijanjikan baginya surga, beliau tidak hanya menjalankan shalat wajib yang 5 waktu saja. Beliau banyak mengerjakan shalat sunnah seperti shalat rawatib, yaitu shalat sunah yang menyertai shalat wajib baik yang dilaksanakan sebelum maupun sesudah shalat wajib, shalat duha, shalat qiyamul lail, tahajud maupun shalat sunnah lainnya.

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):45-46).

3. Zakat.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.(QS.Al-Ma’aarij(70):19-25).

Pada dasarnya sifat manusia adalah kikir lagi tamak. Padahal sifat tersebut amat dibenci Allah SWT. Bila kita perhatikan dua rukun Islam sebelum zakat yaitu mengucap dua kalimat syahadat dan shalat, keduanya adalah rukun yang pada dasarnya mewajibkan mengutamakan kecintaan hanya kepada Sang Maha Pemberi Hidup Yang Satu, Allah Azza wa Jalla. Islam mengajarkan untuk mencinta dan membenci hanya karena Allah SWT bukan karena selain-Nya. Padahal manusia sebagai mahluk ciptaan yang hidup di dunia nyata sudah menjadi tabi’at bahwa ia amat mencintai segala sesuatu yang bersifat materi, diantaranya yaitu harta, kesenangan hidup dan anak. Hal ini yang umumnya mampu memalingkan dan melalaikan kecintaan manusia dari mengingat kepada-Nya sehingga akhirnya iapun lupa bahwa pada suatu saat nanti ia akan kembali kepada-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi”.(QS.Al-Munaafiquun(63):9).

Itu sebabnya Abu Bakar Ash-Shiddiq menginfakkan seluruh hartanya dan ketika Rasulullah SAW bertanya : “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?”, maka dengan penuh kemantapan beliaupun menjawab :” Allah dan Rasul-Nya”. Inilah derajat tertinggi keimanan seorang manusia yang biasanya hanya dimiliki para sahabat Rasul. Jadi sesungguhnya zakat adalah pengorbanan, yaitu bukti kecintaan seseorang kepada Allah SWT, keinginan untuk selalu memenuhi kehendak-Nya agar terus dicinta dan diperhatikan oleh-Nya. Ada suatu kerinduan yang mendalam untuk segera menemui Sang Pencipta.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”.(QS.Al-Hujurat(49):15).

Namun Allah SWT tahu bahwa hanya sedikit sekali manusia yang memiliki keimanan setinggi Abu bakar ra dan Dia dapat memakluminya. Oleh karenanya kita hanya diwajibkan berzakat atas sebagian harta yang kita miliki, bukan seluruhnya.

“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu”. (QS.Muhammad(47):37).

Sebaliknya, kecintaan yang berlebihan terhadap harta dapat menjadikan seseorang menjadi rusak jiwanya. Ia akan berpikir hanya kepada harta dan dirinya sendiri sehingga tidak peduli kepada kebutuhan orang disekitarnya. Ia juga akan menjadi terlalu khawatir akan kehilangan hartanya yang kemudian menyebabkan dirinya menjadi kikir lagi pelit. Dan karena sifat manusia yang memang tidak pernah merasa puas maka jika hal ini terus didiamkan lama-kelamaan iapun akan terus berusaha memperkaya diri. Maka lahirlah sifat rakus dan tamak. Selanjutnya hal ini akan menjadi penyebab kegundahan hidupnya sehingga seseorang menjadi tidak tenang dan tentram.

Sifat kikir dan tamak juga dapat merusak hubungan antar sesama manusia. Oleh karenanya sifat buruk tersebut harus ditundukkan. Untuk itulah Allah SWT memerintahkan manusia agar mengeluarkan zakat dan infak. Islam mengajarkan kita untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya dan mengingatkan bahwa didalam rezeki yang dilimpahkan-Nya ada bagian yang bukan menjadi milik kita, suatu bagian yang wajib untuk dikeluarkan. Bagian ini adalalah milik para fakir-miskin, orang-orang yang berjuang di jalan Alllah, yang dalam perjalanan, yang dalam kesulitan dll. Itulah zakat.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah(9):60).

Dengan zakat manusia akan terlatih untuk menjadi tidak serakah dan tamak. Selain itu dengan berzakat akan terjalin hubungan kasih-sayang antara yang kaya dan yang miskin. Zakat akan menimbulkan rasa peduli kepada yang kurang beruntung mendapatkan rezeki lebih. Dengan demikian zakat mampu mengurangi bahkan menghilangkan rasa kecemburuan sosial.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS.At-Taubah(9):103).

Uniknya lagi, zakat juga dapat diberikan kepada seorang ilmuwan (baik ilmu agama maupun ilmu umum) yang mengabdikan dirinya bagi kepentingan umum. Dengan syarat imbalan yang diterima dari pekerjaannya tersebut ternyata tidak mencukupi kebutuhan minimal keluarganya. Ini menunjukkan satu lagi kepedulian, penghargaan sekaligus penghormatan Islam terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Orang seperti ini masuk dalam kelompok fi-sabilillah, yaitu orang yang bekerja dalam rangka menunaikan kewajibannya terhadap Sang Khalik.

Namun harus diingat, zakat yang diterima disisi Allah hanya zakat yang didasarkan atas niat semata karena ketakwaan kepada-Nya dan didalamnya ada keikhlasan. Zakat yang seperti inilah yang akan mendapatkan balasan pahala dari sisi-Nya dan yang akan menyelamatkan seseorang dari siksa api neraka. Salah satu ciri seorang yang berzakat dengan penuh ke-ikhlas-an, ia tidak akan menyebut-nyebutkan ataupun menceritakan kepada orang lain apa dan berapa besar yang dizakatkan dan diinfakkannya itu. Ia juga tidak ingin maupun berniat agar orang yang diberinya itu merasa malu dan sakit hati atas pemberiannya tersebut. Allah SWT berfirman bahwa zakat yang dilakukan dengan cara menyakitkan si penerima adalah lebih buruk dari perkataan yang baik dan perkataan maaf.

”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan sipenerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS.Al-Baqarah(2):262-263).

Allah SWT berfirman tidak ada pahala bagi orang yang berzakat dengan cara menyakitkan. Perbuatannya adalah sia-sia dan tidak ada manfaatnya di sisi Allah.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS.Al-Baqarah(2):264).

Untuk mempertegas keburukan orang yang berzakat secara menyakitkan ini, Al-Quran memberikan perumpamaan lain sebagai berikut:

“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”.QS.Al-Baqarah(2):266).

Sebaliknya, Allah SWT menjanjikan ganjaran kebaikan dua kali lipat bagi mereka yang berzakat secara ridho’.

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat”.(QS.Al-Baqarah(2):265).

Al-Quran menambahkan bahwa zakat yang terbaik adalah zakat yang dipilih dari harta terbaik yang kita miliki bukan harta yang buruk yang kitapun bahkan tidak ingin menyimpannya.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya…”. (QS.Al-Baqarah(2):267).

Allah SWT juga menegaskan bahwa zakat yang dilakukan secara diam-diam adalah lebih baik dari pada zakat yang dilakukan secara terang-terangan.

“……Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”. (QS. Al-Baqarah(2):271).

“Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…… orang yang bershadaqah (secara rahasia) sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (Hadist HR Bukhari-Muslim).

Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak riya atau memamerkan perbuatan baik tersebut dengan maksud mencari pujian orang yang mengetahuinya dan bisa jadi mengharapkan pamrih. Namun bila zakat sengaja diperlihatkan dengan maksud agar seseorang mau meniru perbuatan baik tersebut, tidak ada sedikitpun niat untuk mencari pujian orang lain, maka hal itu masih dibenarkan.

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali”. (QS. Al-Baqarah(2):271).

Selain itu Islam mengajarkan bahwa zakat juga adalah suatu bentuk perniagaan antara seorang manusia dengan Tuhannya, Allah SWT. Inilah perniagaan yang tidak akan ada rasa penyesalan di kemudian hari karena Allah SWT telah menjanjikan bahwa seseorang tidak akan merugi dengan adanya perniagaan yang sungguh mulia ini. Balasan bagi mereka selain penyempurnaan pahala di hari kemudian kelak juga tambahan karunia dari sisi-Nya di dunia ini.

“…… dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya”. (QS. Fathir(35):29-30).

Namun Allah SWT mengingatkan bahwa perniagaan dan jual beli yang ditawarkan-Nya memiliki waktu yang terbatas, yaitu selama kita masih diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini. Sayangnya kita tidak pernah tahu berapa lamakah umur kita ini!Bahkan dikatakan dalam suatu hadis, akan tiba suatu saat dimana tidak ada seorangpun yang membutuhkan dan mau menerima zakat dan infak dari seseorang. Oleh karenanyalah bersegeralah.

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim”.(QS.Al-Baqarah(2):254).

Jadi zakat sungguh adalah suatu perbuatan yang amat mulia. Allah SWT mengganjar dan melipat-gandakan pahala seorang yang berzakat dengan sempurna, yaitu yang berzakat dengan memenuhi segala persyaratannya, hingga 700 kali lipat.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi MahaMengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):261).

Balasan bagi mereka adalah cahaya yang menerangi jalan menuju tujuan yang pasti yaitu surga.

“Siapa  yan  mau  meminjamkan  kepada Allah pinjaman yang  baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh  pahala  yang banyak, (yaitu)  pada  hari  ketika kamu melihat  orang mu’min laki-laki dan perempuan, sedang  cahaya  mereka  bersinar  di hadapan  dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulahkeberuntungan yang banyak”.(QS.Akl-Hadiid(57):11-12).

4. Puasa.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al-Baqarah(2):183).

Tidak seperti ibadah-ibadah lain seperti shalat, zakat dll, puasa adalah satu-satunya ibadah yang tidak mungkin diketahui orang lain. Puasa adalah hubungan langsung dengan Tuhannya, karena hanya Dia dan orang yang bersangkutan yang mengetahui apakah ia berpuasa atau tidak.

Puasa yang dimaksud pada ayat Al-Baqarah 183 diatas adalah puasa yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi manusia yang takwa. Manusia yang takwa adalah manusia yang takut akan Tuhannya dalam arti ia takut ditinggalkan olehNya, takut tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayangNya. Manusia bertakwa adalah mereka yang membersihkan diri dari segala yang tidak disukai Tuhannya. Yang untuk itu ia rela menjauhi segala larangan dan mengerjakan segala perintahNya. Manusia yang takwa bersyukur atas nikmat yang diberikan dan bersabar atas musibah yang menimpanya. Dan itu dilaksanakan setelah berijtihad yaitu berupaya keras dan maksimal agar mencapai apa yang diinginkannya sesuai dengan ketentuanNya.

“……beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikanshalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS.Al Baqarah(2):177)).

Dan imbalan bagi orang-orang yang bertakwa,

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya……” (QS. Ath Thalaaq(65):2,3)).

“…………Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS.Ath Thalaaq(65):4)).

Ciri-ciri orang takwa terlihat jelas dari prilakunya, mereka tidak berpenyakit hati (sombong, dengki, iri, riya dll), ber-akhlakul-khorimah atau mempunyai akhlak yang baik dan hidupnya senantiasa tenang dan tentram.

Puasa terbagi atas 3 tingkatan, yaitu:

1.   Puasa yang dibangun diatas pengertian menahan makan dan minum saja. Puasa semacam ini tidak akan mengakibatkan perubahan atau peningkatan spiritual, sebagaimana pernyataan sebuah hadits :

”Banyak orang yang melakukan shaum (puasa) akan tetapi tidak ada hasil untuknya kecuali haus dan lapar saja”.

2.   Puasa yang dibangun dengan pengertian dan pemahaman yang benar yaitu mengendalikan segala perbuatan yang bersifat keduniawian seperti menahan nafsu makan, minum,syahwat, amarah dan juga dari perbuatan dan perkataan kotor.

3.   Puasa yang tidak hanya mengendalikan segala perbuatan keduniawian saja namun juga menahan hati dari mengingat selain Allah.

Jadi puasa yang dikerjakan pada tingkatan 2 dan 3 sesungguhnya adalah merupakan pelatihan agar seseorang terbiasa mampu mengatur dan menguasai prilakunya. Dan dengan berpuasa pula seseorang seharusnya menjadi lebih dapat merasakan kesusahan dan kesengsaraan saudaranya yang hidup dalam kekurangan sehingga ia dapat lebih mensyukuri nikmat yang selama ini diterimanya. Sikap inilah yang nantinya akan melahirkan kecintaan kepada-Nya, yang menyebabkannya senantiasa memikirkan dan mengingat-Nya dimana dan kapanpun ia berada.

Perintah berpuasa ini telah diberikan jauh sebelum Islam datang. Umat nabi Ibrahim as diwajibkan puasa sepanjang waktu hidupnya kecuali pada Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Sementara umat nabi Daud diperintahkan berpuasa selang-seling, yaitu satu hari puasa satu hari berbuka selama hidupnya!  Sementara  umat nabi  Muhammad saw hanya diwajibkan berpuasa 1 kali dalam setahun selama 29 atau 30 hari, yaitu pada bulan Ramadhan. Bulan suci dimana didalamnya diturunkan Al-Quran untuk kali pertama.

”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS.Al Baqarah(2):185).

Bulan Ramadhan disebut juga bulan Pengampunan, bulan yang penuh rahmah karena pada waktu itu Allah SWT berkenan memberikan pengampunan yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang memintanya. Jadi bulan Ramadhan adalah sebuah bulan remisi.

Dan selanjutnya, sebagai jawaban pertanyaan para sahabat mengenai besarnya pahala puasa umat Rasulullah dibanding pahala puasa umat-umat terdahulu, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berpuasa sebanyak 6 hari dalam bulan Syawal bila ingin mendapatkan pahala yang sama dengan umat-umat terdahulu.

” Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringi dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh”. ( HR Muslim, Abu Dawud,  At-Tirmidzi , An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

5.Berhaji.

Sebagai penyempurnaan rasa syukur manusia atas segala nikmat yang telah dikaruniakan oleh-Nya, maka manusia diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji minimal 1x dalam hidupnya, bila ia sanggup.

“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS.Ali Imran(3):97).

Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa kesanggupan yang dimaksud adalah kesanggupan dalam menyiapkan perbekalan diri dan harta untuk melakukan perjalanan pulang-pergi ke Baitullah, termasuk didalamnya adalah kekuatan atau kesehatan untuk melaksanakan seluruh kegiatan fardhu haji serta perbekalan keluarga yang ditinggalkan.

Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa Rasulllah bersabda : “Bersegeralah melakukan haji (yaitu haji yang fardhu) karena kalian tidak tahu apa yang akan menimpa kalian.”(HR Ahmad).

Rasulullah juga menambahkan bahwa barangsiapa yang dengan sengaja memperlambat pergi haji padahal ia mampu, maka bila ia meninggal dunia dalam keadaan demikian maka matinya sama dengan matinya orang Yahudi atau Nasrani.

Ibadah haji adalah sebuah kegiatan ritual, suatu rentetan kegiatan simbolis yang mencerminkan perjalanan kehidupan manusia. Ibadah haji bertujuan agar manusia mau berpikir apa hakekat dan tujuan hidup ini, dari mana dan hendak kemana kita ini, apa yang telah kita lakukan selama ini. Dalam berhaji, seseorang dituntut untuk menjaga dan mengendalikan segala nafsu yang ada dalam dirinya, seperti nafsu syahwat, amarah dan nafsu lainnya.

Berhaji adalah melatih diri untuk bersabar dalam menghadapi segala cobaan. Ditempat ini seseorang akan belajar melihat persamaan dan persaudaraan diantara sesama manusia. Si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, penguasa dan bawahan, laki-laki dan perempuan semua adalah sama dimata Allah SWT.

Dan sebagai hasilnya manusia yang telah menyelesaikan ibadah haji semestinya akan memperbaiki diri, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ia banyak berzikir untuk mengingatNya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia yang telah berhasil menyempurnakan rukun islam ini seharusnya akan terlihat dari prilakunya. Ia jauh dari sifat-sifat buruk dan jahat seperti pendendam, pembohong, pendengki. Sebaliknya ia akan menjelma menjadi seorang yang pemaaf dan penyantun, yang peduli terhadap lingkungan serta mampu menjalin dan mengikat kembali silaturahmi yang terputus. Itulah yang disebut haji mabrur, surga adalah imbalan baginya.

Ibadah haji adalah ibadah yang telah berumur sangat tua. Ibadah ini dilaksanakan di kota Mekah, Saudi Arabia. Di dalam Al-Quran , kota ini disebut Ummul Qura yang berarti ibu negeri. Menurut beberapa mufassir terkenal yang kemudian diperkuat dengan adanya hasil penyelidikan terhadap lapisan bumi, ternyata lapisan sekitar jazirah Arab lebih tua daripada lapisan bagian bumi lainnya. Oleh karena itulah Al-Quran menyebutnya ‘Umm’ atau ‘ibu’ yang dapat diartikan sebagai asal-usul sebuah negeri, tempat yang tertua di dunia. Ditempat ini Ibrahim as dan Ismail as melaksanakan ibadah haji untuk pertama kalinya.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS.Al-Baqarah(2):127-128).

Jadi sesungguhnya Islam hanya meluruskannya kembali setelah ibadah ini sempat diselewengkan selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya. Kegiatan-kegiatan dalam haji seperti Tawaf, Sa’i, Wukuf, melempar Jumrah dan sebagainya bukanlah sekedar kegiatan ritual belaka. Semua mempunyai makna yang amat mendalam. Tawaf yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak 7x, merupakan gerakan simbolis yang mencerminkan bahwa manusia, mau ataupun tidak mau, harus mengikuti arus perputaran waktu, 7 hari dalam seminggu terus menerus selama hidupnya. Ia harus pasrah, tunduk patuh terhadap hukum-Nya, sunatullah, hukum alam yang diciptakan-Nya. Bila tidak, ia akan terlempar dari perputaran, terinjak-injak dan menderita.

Sedangkan Sa’i, yaitu lari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah sebanyak 7x, merupakan cerminan usaha manusia untuk bekerja keras 7 hari dalam seminggu selama hidupnya demi mendapatkan apa yang dicita-citakannya dengan mengharap ridho-Nya. Dan bila Allah SWT ridho, cita-cita tersebut akan terlaksana. Kegiatan ini juga untuk mengenang bagaimana seorang Siti Hajjar, seorang perempuan yang ditinggalkan di tengah padang pasir karena ketakwaan sang suami (Ibrahim as) akan Tuhannya, berjuang keras untuk mendapatkan setetes air untuk bayi yang baru dilahirkannya (Ismail as). Dan atas ridho-Nya pula akhirnya muncul sumber air zam-zam di dekat kaki sang bayi. Sumber air yang telah ribuan tahun umurnya ini hingga kini masih terus memancarkan airnya walaupun setiap tahun dikonsumsi oleh jutaan jamaah haji.

Berikutnya adalah Wukuf di padang Arafah. Inilah puncak kegiatan haji. Tamu-tamu Allah yang datang dengan susah payah dari segala penjuru dunia ini diberi kesempatan mulai waktu zuhur hingga waktu magrib untuk ‘menemui’Nya.“Lihatlah kepada hamba-Ku yang lesu dan berdebu. Mereka datang kesini dari seluruh penjuru dunia. Mereka datang memohon rahmat-Ku sekalipun mereka tidak melihat Aku. Mereka meminta perlindungan dari azab-Ku sekalipun mereka tidak melihat Aku”. Di tempat inilah Allah SWT langsung mendengar keluh-kesah maupun permintaan hamba-hambaNya dan menatapnya dengan penuh kasih-sayang. Rasulullah bersabda :“…Ia (Allah) mendekat kepada orang-orang yang di Arafah. Dengan bangga Ia bertanya kepada para malaikat, “Apa yang diinginkan oleh orang-orang yang sedang wukuf itu?”

Kehadiran Sang Khalik di padang Arafah untuk menyaksikan hamba-Nya yang datang dan hadir di padang yang gersang tersebut  sesungguhnya adalah sebuah kehormatan besar dan kemuliaan bagi umat Rasulullah saw. Karena bahkan Musa as pun, salah satu rasul pilihan, tidak sanggup menyaksikan kehadiran Allah swt.

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (QS.Al-‘Araaf(7):143).

Disamping itu, wukuf di Arafah adalah sebuah gambaran puncak perjalanan hidup bahwa semua manusia kelak sebelum masuk surga atau neraka akan dikumpulkan disuatu tempat yang dinamakan padang Masyar. Ditempat ini semua atribut keduniawian ditanggalkan. Kain Ihram yang dikenakan para jemaah haji adalah cerminan kain kafan yang merupakan satu-satunya harta yang dibawa seseorang ketika wafat dan masuk kubur. Hadir di Arafah juga mengingatkan agar manusia hendaknya kembali ke fitrah semula sebagaimana bayi yang dilahirkan ke dunia tanpa membawa apapun. Jadi wukuf adalah sebuah kegiatan untuk merenungkan diri dalam rangka menghadapi hari akhir yang sungguh dasyat dan mengerikan, yaitu sebuah hari yang pasti terjadi dan tak terelakkan.

Selanjutnya adalah Jumrah, yaitu melempar batu kerikil ke 3 buah tugu, Jumrah Aqabah, Ula’ dan Wustha’. Kegiatan ini melambangkan perlawanan manusia terhadap nafsu jahat yang ditebarkan oleh syaitan. Ditempat ini Ibrahim as dicegah oleh syaitan agar membatalkan niat melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail as. Dan sebagai bukti bahwa seorang hamba telah berhasil mengusir dan melawan nafsu jahat tersebut maka ia wajib berkorban dengan menyembelih kambing, unta ataupun sapi. Pengorbanan atau penyembelihan ini sesungguhnya hanyalah lambang ketaatan dan ketakwaan terhadap Tuhannya, Allah Azza wa Jalla sebagaimana dicontohkan Ibrahim as yang dengan patuh melaksanakan perintah-Nya walau perintah tersebut adalah perintah untuk menyembelih putra satu-satunya.

” Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” .(QS.Ash-Shaffat (37):102-107).

Namun sebelum Jumrah, kita harus ‘mabit’ atau ‘bermalam’ dahulu di Muzdalifah guna mencari batu-batu kerikil yang akan digunakan untuk melempar Jumrah. Hikmah yang dapat diambil dalam kegiatan ini adalah diperlukannya persiapan dalam menghadapi masalah dan juga lawan, diantaranya yaitu pentingnya bekal ilmu dan pengetahuan.

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama