Setelah keimanan meresap jauh merasuk
tertanam kedalam kalbu, tahap berikutnya adalah menjalankan syariah, sesuai
dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW.
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan
(yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah
kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu;
upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka bertakwalah kepada
Allah dan taatlah kepadaku”. (QS.Asy-Syuaara(26):107-110).
Islam yang dikenal umum selama ini sebagai agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW, sesungguhnya berasal dari
akar kata Salama yang berarti tunduk patuh.
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk
patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya`qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam”. Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut,
ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”
Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya.”(QS.Al-Baqarah(2):131-133).
Berdasarkan ayat-ayat diatas maka dapat dipastikan
bahwa agama-agama Tauhid yang diturunkan kepada para Rasul mulai Ibrahim AS
hingga Muhammad SAW adalah agama yang satu yaitu, Islam. Agama yang mengajarkan
agar manusia sebagai mahkluk ciptaan Allah untuk senantiasa tunduk patuh hanya
kepada-Nya semata.
“Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah
diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan
diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka
berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya
kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama
Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang
musyrik”.(QS.Al-Baqarah(2):134-135).
Dan karena kasih sayang-Nya jualah, pada setiap zaman
Allah SWT menurunkan para Rasul untuk dijadikan contoh dan panutan sekaligus
mengingatkan akan jati diri manusia. Karena manusia cenderung selalu lupa akan
hal tersebut. Jadi sesungguhnya setiap orang yang mencontoh dan menjadikan Rasul
pada zamannya, yang mengajarkan ketundukkan dan kepatuhan hanya kepada-Nya,
sebagai panutan pada hakekatnya adalah seorang Islam. Oleh karenanya kita
sebagai manusia yang hidup saat ini, karena Muhammad SAW adalah Rasul terakhir
yang diturunkan ke dunia ini dan karena ajarannya telah sampai kepada kita,
maka tidak ada contoh dan panutan selain beliau yang wajib kita taati dan
teladani.
Rasulullah bersabda: “Islam itu ialah
engkau akan menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya akan sesuatu, mendirikan shalat,
menunaikan zakat yang diwajibkan, berpuasa
Ramadhan dan berhaji ke Baitul Haram(masjidil haram dan sekitarnya)”.
(HR. Bukhari-Muslim).
Walaupun demikian sesungguhnya kewajiban yang
disyariatkan atas umat Muhammad SAW tersebut, seperti shalat, zakat, puasa dan
berhaji bukanlah hal yang baru karena umat sebelumnya juga pernah menerima
perintah yang sama yang disampaikan melalui Rasulnya masing-masing.
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada
Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu
memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi
orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang
yang ruku` dan sujud”.(QS.Al-Hajj(22):26).
“Hai Maryam, ta`atlah kepada Tuhanmu, sujud dan
ruku`lah bersama orang-orang yang ruku`”. (QS.Ali Imraan(3):43).
Namun bisa jadi cara dan aturannya berbeda. Ini yang
membedakan umat Islam saat ini dengan umat Islam sebelum era nabi Muhammad SAW.
Setiap Rasul pada zamannya memiliki syariat masing-masing yang membedakannya
dari umat setiap Rasul. Dan itu semua atas izin-Nya.
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari`at
tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah
sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari`at) ini
dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada
jalan yang lurus”.(QS.Al-Hajj(22):67).
Rukun Islam ini wajib dilaksanakan sebagai kelanjutan
dari Rukun Iman. Ini adalah satu-satunya cara yang dicontohkan Rasulullah yang
akan menyebabkan keimanan terus bertambah tebal dan tumbuh subur di dalam dada.
Jadi dengan demikian sesunggguhnya ibadah-ibadah seperti shalat, zakat dan
berpuasa bukanlah tujuan akhir melainkan jalan agar kita selalu mengingat
keberadaan-Nya. Jadi ibadah-ibadah tersebut adalah suatu bentuk pembinaan diri
yang mustinya bila dikerjakan dengan benar dan baik akan menjadikan seseorang
menjadi berakhlak mulia.
1. Mengucapkan 2 kalimat Syahadat.
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit
dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan
dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi
yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)
dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS.Al-A’raaf(7):158).
Menyembah hanya kepada Allah SWT dan tidak
menyekutukan-Nya serta bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah adalah suatu
pernyataan yang harus diucapkan secara lisan. Inilah pintu gerbang masuknya
seseorang sebagai umat Islam generasi terakhir, seorang yang mengikrarkan diri
sebagai hamba Allah SWT dan menjadikan Muhammad SAW, Sang Rasul penghabisan,
sebagai panutan, pemimpin, contoh dan teladan dalam merealisasikan penghambaannya
kepada Sang Khalik. Dan Ia berjanji sebagaimana yang dikatakanNya dalam ayat
diatas bahwa bila kita mengikutinya maka kita akan mendapatkan petunjuk
dari-Nya.
“…Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukannya ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya
dengan azab yang pedih”.(QS.Al-Fath(48):17).
Rasulullah bersabda: “Bersaksilah kalian :
bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah
Rasulullah. Tidak akan menemui Allah dengan kalimat syahadat itu seorang hamba
selain yang meragukannya sehingga surgapun tertutup baginya”.
Inilah sesungguhnya inti ajaran Islam. Islam
mengajarkan manusia agar terbebas dari segala macam kungkungan tradisi,
kebiasaan, pikiran maupun ideologi yang dapat menyebabkan seseorang menjadi
berpaling dari-Nya. Sesungguhnya hal ini pula yang menyebabkan ajaran Muhammad
SAW pada awal penyebarannya di semenanjung tanah Arab ditolak, ditentang dan
dimusuhi oleh umumnya kaum Quraisy.
Sebagaimana telah diterangkan pada bab mengenai
Rasululah Muhammad SAW, sejak sebelum diangkat sebagai utusanNya, beliau adalah
seorang pemuda yang dikenal karena kejujuran dan ahlak beliau yang mulia. Pada
waktu itu rata-rata moral masyarakat Arab dikenal rusak bahkan bejat.
Keprihatinan inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa Rasulullah sering
bermunajat di gua Hira. Hingga akhirnya Allah SWT mengangkatnya sebagai seorang
utusan-Nya. Maka sejak itu beliau mulai menjalankan tugas ke-Rasulan. Namun
selama 3 tahun pertama, dakwah berjalan secara sembunyi-sembunyi. Dakwah
dilakukan secara terang-terangan setelah turun perintah berikut :
“Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah
dari orang-orang yang musyrik”.(QS. Al-Hijr(15): 94).
Segera Rasulullah pergi ke atas bukit Shafa lalu
memanggil orang-orang agar hadir untuk mendengarkan dakwahnya. Maka mereka
semuapun datang memenuhi panggilan tersebut bahkan orang yang tidak dapat hadir
mengirimkan walinya untuk melihat apa yang ingin disampaikannya. Beliau membuka
dakwah dengan ucapan sebagai berikut : “Bagaimanakah pendapatmu jika aku
kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan
menyerangmu, apakah kamu akan mempercayaiku?”. Mereka segera menjawab
: “Ya, kami belum pernah mendengar kamu berdusta”.
Namun begitu Rasulullah menyampaikan kalimat
syahadat ; “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang disembah melainkan Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah”, maka Abu Lahab, seorang pemuka Quraisy
sekaligus paman Rasulullah segera menampik pernyataan Tauhid tersebut . Ia
rupanya sangat menyadari arti beserta konsekwensi kalimat ini. Ia menyadari
sebagai seorang pemuka ia akan kehilangan kekuasaan, sebagai seorang tuan yang
kaya-raya yang terbiasa dengan perbudakan ia akan kehilangan penghambaan. Ia
merasa bahwa kedudukan dan kehormatannya akan terancam. Penolakan ini yang
menyebabkan murka Allah SWT sehingga seketika itu juga turun laknat-Nya melalui
ayat sebagai berikut :
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya
harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api
yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar.
Yang di lehernya ada tali dari sabut”.(QS.Al-Lahab(111):1-5).
Demi kalimat Syahadat ini pula Rasulullah diboikot
baik secara ekonomi maupun secara sosial. Pada peristiwa pemboikotan yang
diprakasai Abu Lahab ini, Rasulullah dan para pengikut setianya harus rela
selama kurang lebih 3 tahun menahan makan, minum serta mengadakan komunikasi
dengan bani di luar baninya sendiri, yaitu bani Hasyim yang selama itu rela
membela dan melindunginya. Padahal sebelumnya beliau telah ditawari berbagai
tawaran yang menggiurkan seperti kekuasaan, kekayaan dan perempuan bila beliau
mau menghentikan dakwahnya tersebut. Namun dengan tegas Rasulullah menolak
seluruh tawaran tersebut. Berkat kalimat Tauhid ini pulalah para sahabat di
masa lalu rela menerima siksaan demi siksaan. Kalimat Tauhid dan kalimat
Syahadat inilah yang mampu merubah prilaku seseorang menjadi suatu kekuatan untuk
melawan kelemahan, kebodohan dan ketergantungan kepada yang selain Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan betapa pentingnya
makna kalimat Syahadat ini, karena memang inilah inti ajaran Islam. Islam
melarang adanya segala bentuk penjajahan di muka bumi. Manusia hanya berhak
takluk dan takut kepada-Nya dan Muhammad SAW adalah seorang Rasulullah yang
wajib diteladani.
Jadi seharusnya sebagai akibat dari pengikraran
kalimat syahadat akan lahir pribadi yang memperlihatkan keyakinan, cara
berfikir, emosi , pandangan, tingkah-laku, tampilan dan pergaulan yang Islami.
Itulah kepribadian muslim sejati. Sebaliknya segala amal-ibadah yang tidak
melaui pintu syahadat maka akan menjadi sia-sia belaka. Syirik atau
mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT adalah suatu dosa sangat besar yang
tak terampuni.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain
dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yangmempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia
telah tersesat sejauh-jauhnya”.(QS.An-Nisa(4):116).
Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata :”Saya bertanya:” Wahai
Rasulullah, dosa apakah yang paling besar disisi Allah? Nabi bersabda,
“kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah
menciptakanmu”. (HR Bukhari dan Muslim).
2. Shalat.
Pada suatu malam lebih kurang satu tahun sebelum
Hijrah, Rasulullah diberangkatkan dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil
Aqsa di Palestina untuk kemudian dibawa naik ke langit dengan menunggangi
seekor Bouraq, ditemani malaikat Jibril.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Al-Isra(17):1).
Disanalah Rasulullah Muhammad SAW mendapat perintah
untuk menjalankan shalat sehari 5 waktu.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah
bersabda :”…Lalu Allah mewahyukan kepadaku suatu wahyu, yaitu Dia
mewajibkan shalat kepadaku 50 kali sehari semalam. Lalu aku turun dan bertemu
dengan Musa as. Dia bertanya, “Apa yang telah difardhukan Tuhanmu atas umatmu?”
Aku menjawab, “Shalat 50 kali sehari semalam”. Musa berkata, “Kembalilah kepada
Tuhanmu dan mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melakukannya.
Akupun telah menguji dan mencoba Bani Isrel”. Maka akupun kembali kepada
Tuhanku, lalu berkata, “Ya Tuhanku, ringankanlah bagi umatku, hapuslah lima
kali.” Lalu aku kembali kepada Musa seraya berkata, Tuhanku telah menghapus
lima kali shalat”. Musa berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup shalat
sebanyak itu. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka aku
bolak-balik antara Tuhanku dan Musa as hingga Dia berfirman, “Hai Muhammad,
yang 50 kali itu menjadi 5 kali saja. Setiap kali setara dengan 10 kali
sehingga sama dengan lima puluh kali shalat……”. Akupun turun hingga bertemu
lagi dengan Musa as dan mengatakan kepadanya bahwa aku telah kembali kepada
Tuhanku sehingga aku malu kepada-Nya”. (HR Muslim).
Jadi dapat disimpulkan betapa tinggi dan istimewanya
kedudukan shalat dimata Allah SWT. Namun untuk mengerjakan perintah ini
sesungguhnya diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar agar shalat
tersebut diterima dan mendapatkan ridho’ Allah SWT.
Ibnu Mas’ud berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah
SAW, “Pekerjaan apakah yang paling utama?. Beliau bersabda : “Shalat tepat
waktu”. Saya bertanya, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Berjihad dijalan
Allah”. Saya bertanya, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda,”Berbuat baik kepada
ibu-bapak”.
Ketika shalat, kita diwajibkan untuk membaca surah
Al-Fatihah. Surat ini juga dinamai Ummul-Quran yang berarti ibu atau inti
Quran. Membaca Al-Fatihah dalam shalat adalah rukun shalat. Dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda:“Barangsiapa yang mendirikan shalat tanpa membaca
Ummul-Quran maka shalatnya tidak sempurna”; “Tidaklah
berpahala shalat yang didalamnya tidak dibaca Ummul-Quran”.
Allah bersabda :”Dan sesungguhnya Kami telah
berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulangdan Al Qur’an yang
agung”. (QS.Al-hijr(15):87).
Surat yang dimaksud dalam ayat diatas ini adalah surat
Al-Fatihah yang terdiri dari 7 ayat, yang wajib dibaca pada setiap rakaat oleh
kaum Muslimin ketika shalat.
” Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat”. (QS.Al-Faatihah(1):1-7).
Surat ini memiliki makna yang amat padat dan mendalam;
suatu penghambaan yang dimulai dengan menyebut sifat utamanya, yaitu Pengasih
dan Penyayang, pujian yang hanya milik-Nya, yang menguasai hari Pembalasan,
yang hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan agar kita tidak tersesat,
memohon hidayah dan bimbingan sebagaimana yang telah Ia berikan kepada para
nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang saleh
dan memohon agar kita terhindar dari jalan kebathilan, sebagaimana yang
ditempuh kaum Yahudi yang dimurkai-Nya karena tidak memiliki amal dan banyak
membunuh para nabi maupun kaum Nasrani yang tersesat karena tidak memiliki
pengetahuan yang benar. Jadi sesungguhnya jalan yang dikendaki dan
diridho’i-Nya adalah jalan yang berdasarkan pengetahuan yang benar beserta
pengamalannya, bukan hanya salah satunya.
Jepang adalah suatu negara yang dikenal luas akan
kedisiplinannya. Rupanya masyarakat negri matahari terbit ini sejak lama telah
memiliki kebiasaan mengulang-ngulang kalimat tertentu seperti kalimat “
Aku juara! ” seratus kali dalam sehari. Teori ini disebut “Repetitive
Magic Power’ yang terbukti mampu merealisasikan apa yang diucapkan
tersebut dan menjadikannya motivasi untuk mencapai suatu cita-cita.
Begitu pula dengan shalat. Bacaan yang diulang-ulang
yang dimengerti maknanya, apalagi bila dilaksanakan secara khusu’, teratur dan
berkesinambungan pasti akan melahirkan manusia-manusia yang penuh ketakwaan.
Jadi shalat sebenarnya adalah suatu pembinaan diri yang nantinya akan memberi
keuntungan bagi pelakunya, yang dapat memberinya ketenangan batin, kedekatan
akan Tuhannya. Bacaan Syahadat dalam shalat, bacaan yang diucapkan minimal 9
kali dalam sehari dimaksudkan agar kita selalu ingat akan janji untuk
hanya menyembah kepada-Nya dan mengakui Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.
Sedangkan makna dibalik ucapan “Allahu Akbar” yang
mengawali sahnya shalat seseorang yang berarti “Allah Maha Besar” bila
direnungkan dengan penuh kesadaran, sesungguhnya mengandung hikmah suatu penghambaan
mutlak hanya kepada-Nya. Dialah yang Maha Besar, kita, manusia adalah kecil.
Apapun yang terjadi pada diri kita ini sesungguhnya atas izin dan kehendak-Nya.
Kita adalah kecil karena kita tidak memiliki kekuasaan maupun kekayaan apapun
dibanding Dia. Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Ilmu yang kita
miliki tidak ada artinya dengan apa yang dimiliki-Nya. Semua yang ada pada kita
sesungguhnya hanya titipan-Nya yang pada saatnya nanti harus dikembalikan dan
dipertanggung-jawabkan. Bahkan kitapun tidak memiliki kuasa untuk menolak
ketika Ia memanggil kita untuk kembali kepada-Nya dimanapun dan dalam keadaan
apapun kita berada. Maka dengan demikian sungguh hanya kepada-Nya kita patut
menyembah, memohon bantuan dan berserah diri atas ketetapan-Nya.
Bacaan Allahu-Akbar ini terus kita ulang-ulang paling
tidak 5 kali dalam satu rakaat atau berarti minimal 85 kali dalam sehari.
Bacaan ini dibaca setiap kali kita merubah gerakan. Hal ini memberi makna bahwa
dalam keadaan apapun seperti berdiri, duduk, berbaring, sujud maupun ruku’,
ketika kita dalam keadaan susah maupun senang, sakit maupun sehat kita harus
senantiasa mengingat kebesaran-Nya.
Demikian pula bacaan lain seperti do’a Iftitah yang
dibaca setelah takbiratul Ikhram, sebagai berikut :“…Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
(QS.Al-An’aam(6:162) yang diucapkan dalam shalat kita minimal 5 kali dalam
sehari . Adakah kita benar-benar memahami makna ikrar, janji kita tersebut?
Juga do’a yang kita ucapkan ketika dalam posisi duduk diantara dua sujud yang
diucapkan minimal 17 kali dalam sehari sebagai berikut “Ya
Tuhanku, ampunilah aku dan kasihanilah aku dan cukupilah aku
dan tinggikanlah aku dan berilah rizki padaku
dan tunjukilah aku jalan dan berilah aku
sehat dan maafkanlah aku”.
Sadarkah kita bahwa sebenarnya rezeki, kesehatan,
jabatan, kemuliaan maupun petunjuk yang ada pada kita ini adalah wujud atau
buah dari permintaan dan permohonan yang setiap hari kita mintakan secara
berulang kali, yang kemudian dikabulkan-Nya?
Shalat ditutup dengan membaca Tahiyatul-akhir,
sementara Tahiyatul- awal diselipkan pada rakaat ke 2 untuk
shalat-shalat yang ber-rakaat lebih atau sama dengan 2. Bacaan ini
berfungsi untuk mempertegas dan mengulang ikrar kita sebagai umat Islam, yaitu
bacaan Syahadat. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah. Syahadat dilanjutkan dengan shalawat nabi, memohon kepada Allah
agar junjungan kita Muhammad saw mendapat tempat yang tinggi di sisi Allah
sebagaimana nabi Ibrahim as. Ini adalah bentuk kecintaan kita kepada sang
Rasul yang telah berjasa mengajak manusia kepada jalan yang benar,
menjauhkan kita dari kesesatan dan kegelapan.
Begitulah shalat yang diajarkan Rasulullah sebagaimana
dicontohkan malaikat Jibril as atas izin-Nya. Dengan menyadari hal-hal diatas
maka seharusnya shalat mampu mengubah prilaku dan cara berpikir seseorang.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al
Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnyashalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.(QS.Al-Ankabuut(29):45).
Disamping itu penting untuk diingat, bahwa Rasulullah,
seorang nabi kesayangan yang walau telah dijanjikan baginya surga, beliau tidak
hanya menjalankan shalat wajib yang 5 waktu saja. Beliau banyak mengerjakan
shalat sunnah seperti shalat rawatib, yaitu shalat sunah yang menyertai shalat
wajib baik yang dilaksanakan sebelum maupun sesudah shalat wajib, shalat duha,
shalat qiyamul lail, tahajud maupun shalat sunnah lainnya.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar
dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):45-46).
3. Zakat.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya
dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)”.(QS.Al-Ma’aarij(70):19-25).
Pada dasarnya sifat manusia adalah kikir lagi tamak.
Padahal sifat tersebut amat dibenci Allah SWT. Bila kita perhatikan dua rukun
Islam sebelum zakat yaitu mengucap dua kalimat syahadat dan shalat, keduanya
adalah rukun yang pada dasarnya mewajibkan mengutamakan kecintaan hanya kepada
Sang Maha Pemberi Hidup Yang Satu, Allah Azza wa Jalla. Islam mengajarkan untuk
mencinta dan membenci hanya karena Allah SWT bukan karena selain-Nya. Padahal
manusia sebagai mahluk ciptaan yang hidup di dunia nyata sudah menjadi tabi’at
bahwa ia amat mencintai segala sesuatu yang bersifat materi, diantaranya yaitu
harta, kesenangan hidup dan anak. Hal ini yang umumnya mampu memalingkan dan
melalaikan kecintaan manusia dari mengingat kepada-Nya sehingga akhirnya iapun
lupa bahwa pada suatu saat nanti ia akan kembali kepada-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
rugi”.(QS.Al-Munaafiquun(63):9).
Itu sebabnya Abu Bakar Ash-Shiddiq menginfakkan
seluruh hartanya dan ketika Rasulullah SAW bertanya : “Apa yang kamu sisakan
untuk keluargamu?”, maka dengan penuh kemantapan beliaupun menjawab
:” Allah dan Rasul-Nya”. Inilah derajat tertinggi keimanan seorang manusia
yang biasanya hanya dimiliki para sahabat Rasul. Jadi sesungguhnya zakat adalah
pengorbanan, yaitu bukti kecintaan seseorang kepada Allah SWT, keinginan untuk
selalu memenuhi kehendak-Nya agar terus dicinta dan diperhatikan oleh-Nya. Ada
suatu kerinduan yang mendalam untuk segera menemui Sang Pencipta.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang benar”.(QS.Al-Hujurat(49):15).
Namun Allah SWT tahu bahwa hanya sedikit sekali
manusia yang memiliki keimanan setinggi Abu bakar ra dan Dia dapat
memakluminya. Oleh karenanya kita hanya diwajibkan berzakat atas sebagian harta
yang kita miliki, bukan seluruhnya.
“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak
kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan
menampakkan kedengkianmu”. (QS.Muhammad(47):37).
Sebaliknya, kecintaan yang berlebihan terhadap harta
dapat menjadikan seseorang menjadi rusak jiwanya. Ia akan berpikir hanya kepada
harta dan dirinya sendiri sehingga tidak peduli kepada kebutuhan orang
disekitarnya. Ia juga akan menjadi terlalu khawatir akan kehilangan hartanya
yang kemudian menyebabkan dirinya menjadi kikir lagi pelit. Dan karena sifat
manusia yang memang tidak pernah merasa puas maka jika hal ini terus didiamkan
lama-kelamaan iapun akan terus berusaha memperkaya diri. Maka lahirlah sifat
rakus dan tamak. Selanjutnya hal ini akan menjadi penyebab kegundahan hidupnya
sehingga seseorang menjadi tidak tenang dan tentram.
Sifat kikir dan tamak juga dapat merusak hubungan
antar sesama manusia. Oleh karenanya sifat buruk tersebut harus ditundukkan.
Untuk itulah Allah SWT memerintahkan manusia agar mengeluarkan zakat dan infak.
Islam mengajarkan kita untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya dan mengingatkan
bahwa didalam rezeki yang dilimpahkan-Nya ada bagian yang bukan menjadi milik
kita, suatu bagian yang wajib untuk dikeluarkan. Bagian ini adalalah milik para
fakir-miskin, orang-orang yang berjuang di jalan Alllah, yang dalam perjalanan,
yang dalam kesulitan dll. Itulah zakat.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah(9):60).
Dengan zakat manusia akan terlatih untuk menjadi tidak
serakah dan tamak. Selain itu dengan berzakat akan terjalin hubungan
kasih-sayang antara yang kaya dan yang miskin. Zakat akan menimbulkan rasa
peduli kepada yang kurang beruntung mendapatkan rezeki lebih. Dengan demikian
zakat mampu mengurangi bahkan menghilangkan rasa kecemburuan sosial.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,dan mendo`alah untuk
mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS.At-Taubah(9):103).
Uniknya lagi, zakat juga dapat diberikan kepada
seorang ilmuwan (baik ilmu agama maupun ilmu umum) yang mengabdikan dirinya
bagi kepentingan umum. Dengan syarat imbalan yang diterima dari pekerjaannya
tersebut ternyata tidak mencukupi kebutuhan minimal keluarganya. Ini
menunjukkan satu lagi kepedulian, penghargaan sekaligus penghormatan Islam
terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Orang seperti ini masuk dalam kelompok
fi-sabilillah, yaitu orang yang bekerja dalam rangka menunaikan kewajibannya
terhadap Sang Khalik.
Namun harus diingat, zakat yang diterima disisi Allah
hanya zakat yang didasarkan atas niat semata karena ketakwaan kepada-Nya dan
didalamnya ada keikhlasan. Zakat yang seperti inilah yang akan mendapatkan
balasan pahala dari sisi-Nya dan yang akan menyelamatkan seseorang dari siksa
api neraka. Salah satu ciri seorang yang berzakat dengan penuh ke-ikhlas-an, ia
tidak akan menyebut-nyebutkan ataupun menceritakan kepada orang lain apa dan
berapa besar yang dizakatkan dan diinfakkannya itu. Ia juga tidak ingin maupun
berniat agar orang yang diberinya itu merasa malu dan sakit hati atas
pemberiannya tersebut. Allah SWT berfirman bahwa zakat yang dilakukan dengan
cara menyakitkan si penerima adalah lebih buruk dari perkataan yang baik dan
perkataan maaf.
”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
sipenerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS.Al-Baqarah(2):262-263).
Allah SWT berfirman tidak ada pahala bagi orang yang
berzakat dengan cara menyakitkan. Perbuatannya adalah sia-sia dan tidak ada
manfaatnya di sisi Allah.
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang
itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS.Al-Baqarah(2):264).
Untuk mempertegas keburukan orang yang berzakat secara
menyakitkan ini, Al-Quran memberikan perumpamaan lain sebagai berikut:
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin
mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia
mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah
masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil.
Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu
terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu
supaya kamu memikirkannya”.QS.Al-Baqarah(2):266).
Sebaliknya, Allah SWT menjanjikan ganjaran kebaikan
dua kali lipat bagi mereka yang berzakat secara ridho’.
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram
oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika
hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu perbuat”.(QS.Al-Baqarah(2):265).
Al-Quran menambahkan bahwa zakat yang terbaik adalah
zakat yang dipilih dari harta terbaik yang kita miliki bukan harta yang buruk
yang kitapun bahkan tidak ingin menyimpannya.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya…”.
(QS.Al-Baqarah(2):267).
Allah SWT juga menegaskan bahwa zakat yang dilakukan
secara diam-diam adalah lebih baik dari pada zakat yang dilakukan secara
terang-terangan.
“……Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”. (QS.
Al-Baqarah(2):271).
“Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah
pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…… orang yang bershadaqah
(secara rahasia) sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
diberikan oleh tangan kanannya.” (Hadist HR Bukhari-Muslim).
Hal ini dimaksudkan agar seseorang
tidak riya atau memamerkan perbuatan baik tersebut dengan maksud
mencari pujian orang yang mengetahuinya dan bisa jadi mengharapkan pamrih.
Namun bila zakat sengaja diperlihatkan dengan maksud agar seseorang mau meniru
perbuatan baik tersebut, tidak ada sedikitpun niat untuk mencari pujian orang
lain, maka hal itu masih dibenarkan.
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu
adalah baik sekali”. (QS. Al-Baqarah(2):271).
Selain itu Islam mengajarkan bahwa zakat juga adalah
suatu bentuk perniagaan antara seorang manusia dengan Tuhannya, Allah SWT.
Inilah perniagaan yang tidak akan ada rasa penyesalan di kemudian hari karena
Allah SWT telah menjanjikan bahwa seseorang tidak akan merugi dengan adanya
perniagaan yang sungguh mulia ini. Balasan bagi mereka selain penyempurnaan
pahala di hari kemudian kelak juga tambahan karunia dari sisi-Nya di dunia ini.
“…… dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari
karuniaNya”. (QS. Fathir(35):29-30).
Namun Allah SWT mengingatkan bahwa perniagaan dan jual
beli yang ditawarkan-Nya memiliki waktu yang terbatas, yaitu selama kita masih
diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini. Sayangnya kita tidak pernah tahu
berapa lamakah umur kita ini!Bahkan dikatakan dalam suatu hadis, akan tiba
suatu saat dimana tidak ada seorangpun yang membutuhkan dan mau menerima zakat
dan infak dari seseorang. Oleh karenanyalah bersegeralah.
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di
jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum
datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi
persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir
itulah orang-orang yang zalim”.(QS.Al-Baqarah(2):254).
Jadi zakat sungguh adalah suatu perbuatan yang amat
mulia. Allah SWT mengganjar dan melipat-gandakan pahala seorang yang berzakat
dengan sempurna, yaitu yang berzakat dengan memenuhi segala persyaratannya,
hingga 700 kali lipat.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi
MahaMengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):261).
Balasan bagi mereka adalah cahaya yang menerangi jalan
menuju tujuan yang pasti yaitu surga.
“Siapa yan mau meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan)
pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang
banyak, (yaitu) pada hari ketika kamu melihat
orang mu’min laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, (dikatakan kepada mereka): “Pada hari ini ada berita gembira
untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu
kekal di dalamnya. Itulahkeberuntungan yang banyak”.(QS.Akl-Hadiid(57):11-12).
4. Puasa.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al-Baqarah(2):183).
Tidak seperti ibadah-ibadah lain seperti shalat, zakat
dll, puasa adalah satu-satunya ibadah yang tidak mungkin diketahui orang lain.
Puasa adalah hubungan langsung dengan Tuhannya, karena hanya Dia dan orang yang
bersangkutan yang mengetahui apakah ia berpuasa atau tidak.
Puasa yang dimaksud pada ayat Al-Baqarah 183 diatas
adalah puasa yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi manusia yang takwa.
Manusia yang takwa adalah manusia yang takut akan Tuhannya dalam arti ia takut
ditinggalkan olehNya, takut tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayangNya.
Manusia bertakwa adalah mereka yang membersihkan diri dari segala yang tidak
disukai Tuhannya. Yang untuk itu ia rela menjauhi segala larangan dan
mengerjakan segala perintahNya. Manusia yang takwa bersyukur atas nikmat yang
diberikan dan bersabar atas musibah yang menimpanya. Dan itu dilaksanakan
setelah berijtihad yaitu berupaya keras dan maksimal agar mencapai apa yang
diinginkannya sesuai dengan ketentuanNya.
“……beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikanshalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa”. (QS.Al Baqarah(2):177)).
Dan imbalan bagi orang-orang yang bertakwa,
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya……” (QS. Ath Thalaaq(65):2,3)).
“…………Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS.Ath
Thalaaq(65):4)).
Ciri-ciri orang takwa terlihat jelas dari prilakunya,
mereka tidak berpenyakit hati (sombong, dengki, iri, riya dll), ber-akhlakul-khorimah
atau mempunyai akhlak yang baik dan hidupnya senantiasa tenang dan tentram.
Puasa terbagi atas 3 tingkatan, yaitu:
1. Puasa yang dibangun diatas pengertian
menahan makan dan minum saja. Puasa semacam ini tidak akan mengakibatkan
perubahan atau peningkatan spiritual, sebagaimana pernyataan sebuah hadits :
”Banyak orang yang melakukan shaum (puasa) akan tetapi
tidak ada hasil untuknya kecuali haus dan lapar saja”.
2. Puasa yang dibangun dengan pengertian dan
pemahaman yang benar yaitu mengendalikan segala perbuatan yang bersifat
keduniawian seperti menahan nafsu makan, minum,syahwat, amarah dan juga dari
perbuatan dan perkataan kotor.
3. Puasa yang tidak hanya mengendalikan segala
perbuatan keduniawian saja namun juga menahan hati dari mengingat selain Allah.
Jadi puasa yang dikerjakan pada tingkatan 2 dan 3
sesungguhnya adalah merupakan pelatihan agar seseorang terbiasa mampu mengatur
dan menguasai prilakunya. Dan dengan berpuasa pula seseorang seharusnya menjadi
lebih dapat merasakan kesusahan dan kesengsaraan saudaranya yang hidup dalam
kekurangan sehingga ia dapat lebih mensyukuri nikmat yang selama ini
diterimanya. Sikap inilah yang nantinya akan melahirkan kecintaan kepada-Nya,
yang menyebabkannya senantiasa memikirkan dan mengingat-Nya dimana dan kapanpun
ia berada.
Perintah berpuasa ini telah diberikan jauh sebelum
Islam datang. Umat nabi Ibrahim as diwajibkan puasa sepanjang waktu hidupnya
kecuali pada Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Sementara umat nabi
Daud diperintahkan berpuasa selang-seling, yaitu satu hari puasa satu hari
berbuka selama hidupnya! Sementara umat nabi Muhammad saw
hanya diwajibkan berpuasa 1 kali dalam setahun selama 29 atau 30 hari, yaitu
pada bulan Ramadhan. Bulan suci dimana didalamnya diturunkan Al-Quran untuk
kali pertama.
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur”. (QS.Al Baqarah(2):185).
Bulan Ramadhan disebut juga bulan Pengampunan, bulan
yang penuh rahmah karena pada waktu itu Allah SWT berkenan memberikan
pengampunan yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang memintanya. Jadi bulan
Ramadhan adalah sebuah bulan remisi.
Dan selanjutnya, sebagai jawaban pertanyaan para
sahabat mengenai besarnya pahala puasa umat Rasulullah dibanding pahala puasa
umat-umat terdahulu, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berpuasa sebanyak 6
hari dalam bulan Syawal bila ingin mendapatkan pahala yang sama dengan
umat-umat terdahulu.
” Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu
diiringi dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun
penuh”. ( HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi , An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
5.Berhaji.
Sebagai penyempurnaan rasa syukur manusia atas segala
nikmat yang telah dikaruniakan oleh-Nya, maka manusia diperintahkan untuk
menunaikan ibadah haji minimal 1x dalam hidupnya, bila ia sanggup.
“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS.Ali Imran(3):97).
Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa kesanggupan yang
dimaksud adalah kesanggupan dalam menyiapkan perbekalan diri dan harta untuk
melakukan perjalanan pulang-pergi ke Baitullah, termasuk didalamnya adalah
kekuatan atau kesehatan untuk melaksanakan seluruh kegiatan fardhu haji serta
perbekalan keluarga yang ditinggalkan.
Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia
berkata bahwa Rasulllah bersabda : “Bersegeralah melakukan haji (yaitu
haji yang fardhu) karena kalian tidak tahu apa yang akan menimpa kalian.”(HR
Ahmad).
Rasulullah juga menambahkan bahwa barangsiapa yang
dengan sengaja memperlambat pergi haji padahal ia mampu, maka bila ia meninggal
dunia dalam keadaan demikian maka matinya sama dengan matinya orang Yahudi atau
Nasrani.
Ibadah haji adalah sebuah kegiatan ritual, suatu
rentetan kegiatan simbolis yang mencerminkan perjalanan kehidupan manusia.
Ibadah haji bertujuan agar manusia mau berpikir apa hakekat dan tujuan hidup
ini, dari mana dan hendak kemana kita ini, apa yang telah kita lakukan selama ini.
Dalam berhaji, seseorang dituntut untuk menjaga dan mengendalikan segala nafsu
yang ada dalam dirinya, seperti nafsu syahwat, amarah dan nafsu lainnya.
Berhaji adalah melatih diri untuk bersabar dalam
menghadapi segala cobaan. Ditempat ini seseorang akan belajar melihat persamaan
dan persaudaraan diantara sesama manusia. Si kaya dan si miskin, si kuat dan si
lemah, penguasa dan bawahan, laki-laki dan perempuan semua adalah sama dimata
Allah SWT.
Dan sebagai hasilnya manusia yang telah menyelesaikan
ibadah haji semestinya akan memperbaiki diri, memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukan dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ia banyak berzikir
untuk mengingatNya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Manusia yang telah berhasil menyempurnakan rukun islam ini seharusnya akan
terlihat dari prilakunya. Ia jauh dari sifat-sifat buruk dan jahat seperti
pendendam, pembohong, pendengki. Sebaliknya ia akan menjelma menjadi seorang
yang pemaaf dan penyantun, yang peduli terhadap lingkungan serta mampu menjalin
dan mengikat kembali silaturahmi yang terputus. Itulah yang disebut haji
mabrur, surga adalah imbalan baginya.
Ibadah haji adalah ibadah yang telah berumur sangat
tua. Ibadah ini dilaksanakan di kota Mekah, Saudi Arabia. Di dalam Al-Quran ,
kota ini disebut Ummul Qura yang berarti ibu negeri. Menurut beberapa mufassir
terkenal yang kemudian diperkuat dengan adanya hasil penyelidikan terhadap
lapisan bumi, ternyata lapisan sekitar jazirah Arab lebih tua daripada lapisan
bagian bumi lainnya. Oleh karena itulah Al-Quran menyebutnya ‘Umm’ atau ‘ibu’
yang dapat diartikan sebagai asal-usul sebuah negeri, tempat yang tertua di
dunia. Ditempat ini Ibrahim as dan Ismail as melaksanakan ibadah haji untuk
pertama kalinya.
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan
kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau
dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan
terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang”. (QS.Al-Baqarah(2):127-128).
Jadi sesungguhnya Islam hanya meluruskannya kembali
setelah ibadah ini sempat diselewengkan selama ratusan bahkan mungkin ribuan
tahun lamanya. Kegiatan-kegiatan dalam haji seperti Tawaf, Sa’i, Wukuf,
melempar Jumrah dan sebagainya bukanlah sekedar kegiatan ritual belaka. Semua
mempunyai makna yang amat mendalam. Tawaf yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak
7x, merupakan gerakan simbolis yang mencerminkan bahwa manusia, mau ataupun
tidak mau, harus mengikuti arus perputaran waktu, 7 hari dalam seminggu terus
menerus selama hidupnya. Ia harus pasrah, tunduk patuh terhadap hukum-Nya,
sunatullah, hukum alam yang diciptakan-Nya. Bila tidak, ia akan terlempar dari
perputaran, terinjak-injak dan menderita.
Sedangkan Sa’i, yaitu lari-lari kecil antara bukit
Safa dan bukit Marwah sebanyak 7x, merupakan cerminan usaha manusia untuk
bekerja keras 7 hari dalam seminggu selama hidupnya demi mendapatkan apa yang
dicita-citakannya dengan mengharap ridho-Nya. Dan bila Allah SWT ridho,
cita-cita tersebut akan terlaksana. Kegiatan ini juga untuk mengenang bagaimana
seorang Siti Hajjar, seorang perempuan yang ditinggalkan di tengah padang pasir
karena ketakwaan sang suami (Ibrahim as) akan Tuhannya, berjuang keras untuk
mendapatkan setetes air untuk bayi yang baru dilahirkannya (Ismail as). Dan
atas ridho-Nya pula akhirnya muncul sumber air zam-zam di dekat kaki sang bayi.
Sumber air yang telah ribuan tahun umurnya ini hingga kini masih terus
memancarkan airnya walaupun setiap tahun dikonsumsi oleh jutaan jamaah haji.
Berikutnya adalah Wukuf di padang Arafah. Inilah
puncak kegiatan haji. Tamu-tamu Allah yang datang dengan susah payah dari
segala penjuru dunia ini diberi kesempatan mulai waktu zuhur hingga waktu
magrib untuk ‘menemui’Nya.“Lihatlah kepada hamba-Ku yang lesu dan berdebu.
Mereka datang kesini dari seluruh penjuru dunia. Mereka datang memohon
rahmat-Ku sekalipun mereka tidak melihat Aku. Mereka meminta perlindungan dari
azab-Ku sekalipun mereka tidak melihat Aku”. Di tempat inilah Allah SWT
langsung mendengar keluh-kesah maupun permintaan hamba-hambaNya dan menatapnya
dengan penuh kasih-sayang. Rasulullah bersabda :“…Ia (Allah) mendekat kepada
orang-orang yang di Arafah. Dengan bangga Ia bertanya kepada para malaikat,
“Apa yang diinginkan oleh orang-orang yang sedang wukuf itu?”
Kehadiran Sang Khalik di padang Arafah untuk
menyaksikan hamba-Nya yang datang dan hadir di padang yang gersang tersebut
sesungguhnya adalah sebuah kehormatan besar dan kemuliaan bagi umat
Rasulullah saw. Karena bahkan Musa as pun, salah satu rasul pilihan, tidak
sanggup menyaksikan kehadiran Allah swt.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami)
pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci
Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.
(QS.Al-‘Araaf(7):143).
Disamping itu, wukuf di Arafah adalah sebuah gambaran
puncak perjalanan hidup bahwa semua manusia kelak sebelum masuk surga atau
neraka akan dikumpulkan disuatu tempat yang dinamakan padang Masyar. Ditempat
ini semua atribut keduniawian ditanggalkan. Kain Ihram yang dikenakan para
jemaah haji adalah cerminan kain kafan yang merupakan satu-satunya harta yang
dibawa seseorang ketika wafat dan masuk kubur. Hadir di Arafah juga
mengingatkan agar manusia hendaknya kembali ke fitrah semula sebagaimana bayi
yang dilahirkan ke dunia tanpa membawa apapun. Jadi wukuf adalah sebuah
kegiatan untuk merenungkan diri dalam rangka menghadapi hari akhir yang sungguh
dasyat dan mengerikan, yaitu sebuah hari yang pasti terjadi dan tak terelakkan.
Selanjutnya adalah Jumrah, yaitu melempar batu kerikil
ke 3 buah tugu, Jumrah Aqabah, Ula’ dan Wustha’. Kegiatan ini melambangkan
perlawanan manusia terhadap nafsu jahat yang ditebarkan oleh syaitan. Ditempat
ini Ibrahim as dicegah oleh syaitan agar membatalkan niat melaksanakan perintah
Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail as. Dan sebagai bukti bahwa
seorang hamba telah berhasil mengusir dan melawan nafsu jahat tersebut maka ia
wajib berkorban dengan menyembelih kambing, unta ataupun sapi. Pengorbanan atau
penyembelihan ini sesungguhnya hanyalah lambang ketaatan dan ketakwaan terhadap
Tuhannya, Allah Azza wa Jalla sebagaimana dicontohkan Ibrahim as yang dengan
patuh melaksanakan perintah-Nya walau perintah tersebut adalah perintah untuk
menyembelih putra satu-satunya.
” Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar”.Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya
atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai
Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar” .(QS.Ash-Shaffat (37):102-107).
Namun sebelum Jumrah, kita harus ‘mabit’ atau
‘bermalam’ dahulu di Muzdalifah guna mencari batu-batu kerikil yang akan
digunakan untuk melempar Jumrah. Hikmah yang dapat diambil dalam kegiatan ini
adalah diperlukannya persiapan dalam menghadapi masalah dan juga lawan,
diantaranya yaitu pentingnya bekal ilmu dan pengetahuan.