“Allah senantiasa memindahkan diriku
dari tulang-tulang sulbi yang baik ke dalam rahim-rahim yang suci, jernih dan
terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku berada di dalam
yang terbaik dari dua tulang sulbi itu “. ( Hadits Syarif).
Muhammad saw lahir dari seorang ibu bernama Aminah binti Wahb.
Hadist diatas adalah cerminan bahwa Aminah adalah seorang perempuan yang suci
dan terpelihara. Ayah Aminah adalah seorang terkemuka dari bani
Zuhrah. Moyangnya adalah berasal dari bani ‘Abdu Manaf bin Zuhrah bin
Kilab. Sementara moyang ibu Aminah adalah ‘Abdu ‘Manaf bin Qushaiy bin
Kilab. Jadi nasab mereka bertemu di Kilab.
Sementara itu ayah Muhammad saw adalah Abdullah bin Abdul
Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdu ‘Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Dari sini dapat
kita ketahui bahwa nasab Rasulullah dari pihak ayah dan ibu juga bertemu di
Kilab. Mereka adalah termasuk ke dalam kabilah Quraisy yang dikenal
selain sebagai keluarga pedagang yang handal dan sukses juga dihormati sebagai penjaga
Ka’bah yang baik dan bijaksana. Kilab sendiri adalah 15 generasi dibawah Adnan,
keturunan Ismail as.
Untuk diketahui, menjadi penjaga Ka’bah termasuk menjaga sumber
air zam-zam adalah merupakan suatu kehormatan. Itu sebabnya sejak wafatnya nabi
Ismail as sekitar 4000 tahun silam perselisihan dalam rangka merebut hak
untuk menjaga rumah yang disucikan tersebut sering kali terjadi. Diantara tugas
penting penjaga Ka’bah adalah bertanggung-jawab terhadap kelangsungan upacara
haji seperti tawaf, sai, pembagian air zam-zam, pembagian makanan, keamanannya
dll. Tak seorangpun yang tak kenal Abdul Mutthalib. Ia adalah seorang kabilah
Quraisy dari bani Hasyim sejati, penjaga Ka’bah yang amat dihormati. Abdul
Mutthalib mempunyai 10 orang anak lelaki. Abdullah adalah yang
termuda.
Menurut kabar, tiga puluh tahun sebelum kelahiran Abdullah
lelaki gagah ini pernah bernazar bahwa ia akan berkurban dengan menyembelih
salah satu putranya bila ia memiliki 10 anak lelaki. Pada waktu itu masyarakat
Arab memiliki keyakinan bahwa anak lelaki adalah lambang kehormatan. Sebaliknya
anak perempuan adalah lambang kegagalan, kenistaan dan keterpurukan.
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ
بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ - يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“ Dan apabila seseorang
dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu”.(Terjemah QS. An-Nahl(16):58-59).
Hingga saat itu nazar tokoh Quraisy ini memang belum dipenuhi
walaupun ia telah memilki 10 anak lelaki. Namun orang yang mengenalnya dengan
baik yakin bahwa suatu saat nanti pasti Abdul Mutthalib akan melaksanakan nazar
tersebut. Bagi masyarakat Arab apalagi bila yang bernazar itu adalah pemuka
Mekah dan penjaga Ka’bah, nazar baik itu untuk kebaikan atau keburukan adalah
suatu janji tertinggi terhadap Sang Khalik. Menurut keyakinan mereka tidak
memenuhi nazar adalah dosa besar. Sementara bagi pemuka masyarakat tidak
memenuhi nazar sama dengan mencoreng muka sendiri. Kehormatan adalah
taruhannya.
Itu sebabnya suatu hari Abdul Muttahlib mengumpulkan ke 10
anaknya untuk diundi siapa yang harus disembelih. Abdul Mutthalib sebenarnya
bukanlah lelaki kasar dan jahat. Ia hanya terikat dengan nazarnya sendiri yang
di belakang hari ternyata amat membuatnya tertekan. Ia amat berharap kalau saja
undian itu tidak jatuh ke putra bungsunya, Abdullah yang sangat disayanginya
itu sudah merupakan keberuntungan yang besar baginya. Namun apa boleh buat
undian justru jatuh kepada Abdullah. Walaupun kecewa, Abdul Mutthalib tetap
terlihat tegar melaksanakan nazarnya. Tampak bahwa kecintaannya kepada
Sang Khalik dan harga dirinya lebih tinggi daripada hatinya yang hancur.
Di tengah suasana tegang itulah tiba-tiba terdengar bisik-bisik
bahwa masyarakat tidak setuju terhadap perbuatannya itu. Seorang pemuka Quraisy
lainnya akhirnya tampil dan mengingatkan bahwa perbuatan Abdul Mutthalib itu
dapat menjadi contoh yang tidak baik. Bagaimanapun mereka tidak setuju,
menyembelih anak sendiri apalagi anak lelaki adalah suatu perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan. Mereka menganjurkan agar Abdul Muthalib segera pergi
mencari seorang ahli nujum untuk menanyakan apa yang sebaiknya ia perbuat.
Beruntunglah, ternyata sang ahli nujum yang dipercaya masyarakat
itu menganjurkan agar Abdul Mutthalib menebus anak lelaki kesayangannya itu
dengan menyembelih 100 ekor unta. Dengan demikian maka Abdul Mutthalibpun bebas
dari nazarnya.
Pernikahan dan kehidupan Abdullah bin Abdul Mutthalib
dengan Aminah binti Wahb.
Abdul Muthalib telah bebas dari nazarnya. Sekarang ia dapat
hidup dan berpikir lebih tenang. Abdullah, putra bungsunya telah cukup dewasa.
Sudah waktunya ia menikah dan berkeluarga. Sebagai ayah yang baik ia tahu betul
siapa jodoh yang paling tepat bagi putranya itu.
Sejak kecil Abdullah telah mengenal Aminah binti Juhra dengan
sangat baik. Keluarga Aminah adalah keluarga yang memiliki reputasi baik di
mata masyarakat Mekkah. Kedua keluarga telah menjalin hubungan sejak lama.
Sebagai ayah yang penuh perhatian, walaupun ia sibuk dengan berbagai urusan
kota Mekkah yang dipimpinnya, ia menyadari bahwa putranya itu memiliki perasaan
khusus terhadap Aminah. Karena kebiasaan dan adat Arab, keduanya memang sejak
lama tidak pernah bertemu lagi. Sesuai adat yang berlaku turun temurun, begitu
Aminah menginjak usia remaja, ia tidak lagi dapat keluar rumah secara bebas. Ia
dipingit hingga seorang lelaki melamarnya.
Itu sebabnya masyarakat tidak terkejut ketika suatu ketika Abdul
Mutthalib datang menemui keluarga Aminah untuk melamarnya. Gayungpun bersambut.
Dengan suka cita, atas persetujuan sang gadis, keluarga Aminahpun menerima
lamaran tersebut. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi menikahlah
keduanya. Tentu saja masyarakat kota Mekkah ikut berbahagia mendengar
pernikahan dua anggota kabilah Quraisy dari bani Hasyim dan bani Zuhrah yang
mereka hormati tersebut.
Sayangnya bulan madu
yang dilalui pasangan muda tersebut amatlah singkat. Tak lebih dari sepuluh
hari kemudian tugas telah menanti. Abdullah harus segera kembali bergabung
dengan kafilah dagang keluarganya. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh
yang telah lama dijalani keluarga besar Quraisy, yaitu ke Syam.
Orang-orang Quraisy memang terbiasa pergi berdagang ke utara ( Syam)pada musim
panas dan ke selatan ( Yaman ) pada musim dingin.
لِاِيْلٰفِ
قُرَيْشٍۙ - لِاِيْلٰفِ
قُرَيْشٍۙ - فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ - الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ
ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ
ࣖ
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah
Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.(QS.Quraisy(106):1-4).
Namun waktu yang amat singkat tersebut bukannya berarti tidak
memiliki makna penting. Karena beberapa hari setelah pernikahan Aminah sempat
bercerita kepada suaminya tercinta bahwa ia bermimpi melihat sinar terang benderang
memancar di sekeliling dirinya. Sinar itu begitu terang hingga seakan ia bisa
melihat istana Buchara di Syam. Kemudian ia mendengar suara : “Engkau
telah hamil dan akan melahirkan orang termulia di kalangan umat ini”.
Tampaknya mimpi inilah
yang menjadi penyemangat hidup Aminah selama kepergian Abdullah. Ia benar-benar
menyadari bahwa perjalanan dagang yang dijalani suaminya bakal memakan waktu
berminggu-minggu bahkan mungkin bulanan. Ya Aminah harus sabar. Hingga suatu
hari di bulan kedua ia mendengar kabar kedatangan rombongan dagang suaminya.
Sungguh senang hati Aminah. Ia segera mempersiapkan diri menyambut kepulangan
suami tercinta.
Namun kegembiraan itu
segera sirna karena ternyata Abdullah tidak berada di antara rombongan
tersebut. Abdul Mutthaliblah yang langsung datang mengabarkan bahwa Abdullah
tiba-tiba menderita demam tinggi ketika dalam perjalanan pulang. Akhirnya ia
terpaksa ditinggalkan di Yatsrib ( Madinah).
“ Tidak usah terlalu khawatir anakku. Suamimu akan segera
kembali begitu ia pulih. Aku telah meminta Al-Harits, saudaranya, agar
menjaganya selama ia sakit. Bersabarlah Aminah, berdoalah agar ia segera sehat
”, begitu hibur Abdul Mutthalib kepada menantunya.
Tetapi rupanya Allah
berkehendak lain. Setelah menanti dua bulan lamanya akhirnya Al-Harits pulang
ke Mekkah sendirian dengan membawa kabar duka bahwa adik bungsunya yang baru
beberapa bulan lalu lolos dari nazar ayahnya yang mengerikan itu, telah
meninggal dunia.
Betapa berdukanya Aminah. Dalam usianya yang masih demikian muda ia harus kehilangan suami yang telah memberinya kebahagiaan walau hanya sejenak. Dan dalam keadaan hamil pula.