Manusia adalah mahluk Allah yang paling
pandai. Itu adalah perbedaan yang paling mencolok antara manusia dan mahluk
lain termasuk binatang. Meskipun struktur tubuh manusia tidak sebesar gajah,
giginya tidak setajam gigi beruang ataupun gigi harimau dan larinyapun tidak
secepat kancil, namun dengan akalnya manusia dapat melumpuhkan mereka dan juga
mengalahkan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan dibandingkan para malaikatpun
manusia jauh lebih unggul dan pandai!
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”. Mereka
menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah
kepada mereka nama-nama benda ini”………….”(QS.Al-Baqarah(2):31-33).
Pada umumnya nafsu atau kebutuhan manusia yang pertama
kali harus dipenuhi adalah kebutuhan makan-minum, kebutuhan tempat
berlindung demi keamanan dirinya dan kemudian kebutuhan seksual. Setelah
hal ini terpenuhi, baru ia mulai mengfungsikan akalnya, bagaimana agar hidupnya
lebih berkwalitas, agar lebih tenang, aman dan nyaman . Dan disebabkan sifat
manusia yang selalu ingin mencari tahu, ia kemudian belajar dan mulai mengamati
keadaan sekelilingnya. Ia ingin mengetahui siapa dirinya, siapa penciptanya,
dari mana ia berasal, apa tujuan hidup ini dan kemana ia akan pergi setelah ia
mati.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS.An-Nahl(16):78).
Sebagian orang berpendapat bahwa
manusia terdiri dari 2 unsur, yaitu jasmani dan
rohani/ruh/jiwa. Atau dengan kata lain
fisik/badan/materi dan psikis/akal/pikiran.
Namun sebagian ada yang berkeyakinan
bahwa manusa bukan terdiri atas 2 unsur,
melainkan 3 unsur yaitu jasmani,
rohani dan jiwa. Yang jelas, bahkan para ahli
kejiwaanpun kadang sering rancu memberikan difinisi antara
rohani dan jiwa karena keduanya sama-sama
non materi. Al-Quran memang tidak memberikan definisi
yang pasti tentang hal tersebut. Kadang ia dikatakan sebagai “An-Nafs” kadang
“Ar-Ruh” dan ahli tafsir menterjemahkan kadang sebagai jiwa kadang sebagai ruh.
Namun demikian sesuatu yang pasti bahwa manusia tanpa jiwa adalah
bagaikan robot sedangkan manusia tanpa jasmani tentu tidak dapat lagi
dikategorikan sebagai manusia dan manusia tanpa ruh adalah mati.
Sebagai perbandingan mungkin kita dapat mengambil
contoh mudah yang nyata yaitu sebuah pesawat televisi. Bentuk fisik televisi
adalah jasad kita, program siaran yang dapat kita saksikan sehari-hari dan
dapat diganti dan diperbarui sewaktu-waktu adalah akal atau jiwa sedangkan
aliran listrik adalah ruh kita. Manusia dalam keadaan tidur adalah bagaikan
pesawat televisi yang dimatikan, yang aliran listriknya tidak dicabut namun
programnya tidak aktif, itulah sebabnya orang pada saat tidur tidak dapat
menggunakan akalnya dan kesadarannyapun hilang. Dan ketika ia kembali terjaga,
akal dan kesadarannyapun kembali. Sama halnya ketika kita kembali menghidupkan
pesawat televisi dengan remote control, programpun kembali aktif dan kita dapat
kembali menyaksikan program dan acaranya. Sedangkan manusia yang telah mati,
yaitu manusia yang telah dicabut ruhnya adalah bagaikan televisi yang telah
dicabut aliran listriknya sehingga otomatis programnya hilang, maka dengan
demikian aktifitasnyapun terhenti.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia
tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia
melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir.(QS.Az-Zumar(39):42).
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka manusia
merasa perlu mencari ilmu. Sungguh beruntung kita sebagai umat Islam, karena
Allah SWT telah menurunkan kitab suci Al-Quranul Karim dan As-Sunnah yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sempurna.
Secara umum, Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya
manusia selain terdiri dari jasmani, ruh dan akal, ia juga dibekali hati.
Dengan jasmani dan akalnya ia memiliki kemampuan untuk mendengar dan melihat,
sedang dengan hatinya ia mampu menilai dan merasakan apakah suatu perbuatan itu
baik atau buruk dan dengan adanya ruh ia hidup.
Hadist qudsi menyatakan: “Aku jadikan pada manusia itu
ada istana (Qashr), didalam istana itu ada dada (Sadr) didalam sadr itu ada
kalbu (Qalb), didalam Qalb itu ada Fu’ad, didalam Fu’ad itu ada Syaghr, didalam
Syagr itu ada Lubb, didalam Lubb itu ada Sirr dan didalam Sirr itu ada Aku
(Ana).”
Hadist qudsi ini menunjukkan bahwa Ana (Aku) adalah
inti dari manusia. Ana didalam Hadist ini adalah Allah. Jadi inti manusia ialah
sesuatu yang bersifat Ilahiyah, sesuatu yang bersih dan suci. Pada dasarnya
semua manusia pada waktu dilahirkan ke muka bumi adalah suci; bersih, bebas
dari segala sifat jahat dan kotor, bersih dari segala dosa. Itulah fitrah
manusia.
Dari sebuah hadist : “Aku telah menciptakan
hamba-hambaKu dalam keadaan hanif kemudian syaitan menggelincirkan mereka
dari agama mereka”….”; Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah
bersabda : “Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan
kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang-tuanyalah yang membuat anak
manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Jadi fitrah manusia adalah bagaikan pelita yang bila
dirawat dengan baik dapat memberikan cahaya kesekitarnya. Yang dapat memberikan
kebaikan dan manfaat bagi manusia lain dan alam sekitarnya. Yang dapat
memberikan kesejukan dan rasa aman bagi tetangganya. Hal ini dikarenakan cahaya
Ilahi telah menembus hatinya. Tak seorangpun dapat mencegah cahaya Allah yang
begitu indah dan terang ini kepada hati manusia. Dengan cahaya ini
dibimbing-Nya siapa yang dikehendaki-Nya, yaitu siapapun yang mau menjaga
hatinya agar tetap bersih dan jernih. Tidak ada buruk sangka dalam hatinya.
Namun demikian fitrah berke-Tuhanan Yang Esa ini
sesungguhnya adalah kebutuhan manusia paling kecil yang ada dalam diri manusia.
Fitrah terbesar adalah kebutuhan akan bernafas. Sebagai contoh manusia tidak
mungkin dapat dihambat kebutuhan akan oksigennya kecuali beberapa menit bahkan
beberapa detik saja. Sedangkan kebutuhan akan air sebagai minuman lebih besar
daripada kebutuhan akan makanan. Itu sebabnya manusia lebih kuat menahan lapar
daripada menahan haus. Selanjutnya adalah kebutuhan akan kasih-sayang dan
kebutuhan hubungan seksual. Meskipun demikian kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat dan harus dilatih dengan baik. Itulah perbedaan terbesar antara manusia
dan hewan.
Sedangkan kebutuhan berke-Tuhanan Yang Esa adalah
kebutuhan yang paling akhir, yaitu hingga ketika dalam sakratul maut. Oleh
sebab itu tidak seorangpun manusia dapat menghindar dari kebutuhan tersebut.
Namun kebutuhan yang dilontarkan pada detik-detik terakhir seperti ini tidak
diterima oleh-Nya. Ini yang sesungguhnya terjadi pada Firaun.
” …; hingga bila Fir`aun itu telah hampir
tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah)”.(QS.Yunus(10):90).
Kembali kepada hadits qudsi diatas. Bila
di’analogi’kan dengan pengetahuan jiwa modern mungkin Qashr dapat
disejajarkan dengan jasad, jasmani atau fisik sedangkan Sadr (dada)
dan Qalb (hati) adalah jiwa atau psikis. Sedangkan lapisan-lapisan
dibawah Qalb kita tidak memiliki pengetahuan apapun.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
“Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”. (QS.Al-Israa’(17):85).
Oleh karena itulah, manusia hanya diberi kemampuan
memahami hakikat manusia hanya sampai sebatas kalbu atau hati saja. Sedangkan
pengetahuan mengenai ruh hanya sedikit sekali bahkan hanya meraba-raba atau
sekedar menduga-duga. Untuk merawat dan memelihara inti sebagai sumber cahaya
tidaklah mudah karena letaknya yang sangat dalam dan terlindungi. Oleh sebab
itu segala penghalang yang menyelubungi lapisan-lapisan tersebut harus
disingkap terlebih dahulu. Lapisan Sadr dan Qalb adalah
tempat bercokolnya segala macam jenis penyakit seperti penyakit sombong, riya,
benci, iri, dengki, buruk sangka dan sebagainya. Ini yang harus dibersihkan
terlebih dahulu. Pada mulanya, hati adalah bersih. Namun dalam perjalanan
hidupnya, lama-kelamaan ia menjadi terkotori dan tercemar. Dan hati yang terus
dibiarkan kotor lama kelamaan akan menimbulkan penyakit.
Alkisah pada zaman Nabi Syuaib a.s datanglah seseorang
dan berkata :
“Tuhan telah melihat semua perbuatan buruk yang aku
lakukan.Tetapi karena kasih-sayang Nya, ia tidak menghukumku”. Tuhan kemudian
berkata kepada Syuaib melalui Jibril: ”Jawablah dia.”.“Kamu berkata Tuhan tidak
menghukummu. Sebaliknyalah yang terjadi. Tuhan telah menjatuhkan hukuman,
tetapi kamu tidak menyadarinya. Kamu sudah berputar-putar tanpa arah di rimba
belantara.Tangan dan kakimu terbelenggu. Kamu adalah poci yang menumpuk
karat. Makin lama kamu makin buta dari hal-hal ruhaniah. Ketika asap
menjilati poci tembaga yang baru,orang akan segera melihat bekasnya.
Tetapi dengan permukaan segelap kamu, siapa yang tahu kapan ia menjadi
lebih hitam. Di kala kau berhenti takafur, tumpukan karat menembus masuk ke
cermin jiwamu. Tak ada lagi gemerlap didalamnya. Jika kamu menulis diatas
selembar kertas baru, tulisanmu terbaca jelas. Jika kamu terus-menerus
mencoreti kertas yang sama, tulisanmu tak akan terbaca . Tenggelamkan
dirimu dalam asam yang membersihkan tembaga . Kikis habis noda-noda hitammu”.
Sebaliknya
ketika Sadr dan Qalb telah bebas dari segala macam
penyakit, bebas dari segala prasangka buruk, hatipun kembali seperti sedia
kala, menjadi bersih dan bening. Dengan demikian maka iman akan dengan sangat
mudah masuk ke dalam hati. Dan ketika iman telah tertanam dengan sangat kuat di
dalam hati (Qalb) maka inti akan menampakkan cahayanya, ia akan mampu
menembus seluruh lapisan yang menyelimutinya. Maka prilaku mulianyapun akan
muncul ke permukaan hingga ke lapisan terluar yaitu Qashr atau fisik manusia,
karena disamping sifat-sifat buruk tersebut manusia memang dianugerahi berbagai
sifat baik, yaitu sifat Ilahiah.
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami telah
beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah:
“Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu………”.(QS.Al-Hujurat(49):14).
“……yaitu di antara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahalhati mereka
belum beriman;……”(QS.Al-Maidah(5):41).
Dalam hadis qudsi dikatakan : “Bumi dan langit-Ku
tidak dapat memuat-Ku. Tetapi hati hamba-Ku yang berimanlah, yang
lemah-lembut, yang dapat memuat-Ku”.
Allah SWT memberikan kebebasan bagi manusia untuk
memilih; bertakwa dengan membersihkan diri atau sebaliknya membantah dengan
mengotorinya.
“dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kedurhakaan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya”. (QS.Asy-Syams (91):7-10).
Al-Ghazali dalam tulisannya yang
berjudul “Mutiara Ihya Ulumuddin’ mengatakan bahwa Rasulullah pernah
bersabda : “Hati ada empat, yaitu : Hati yang bersih, didalamnya ada pelita
yang bersinar; itulah hati orang Mukmin. Hati yang hitam dan
terbalik; itulah hati orang kafir. Hati yang tertutup dan tutupnya
terikat, itulah hati orang munafik. Dan hati yang dilapis, didalamnya terdapat
keimanan dan kemunafikan. Keimanannya ibarat sayuran yang menjadi panjang
dengan disiram air yang baik dan perumpamaan kemunafikannya adalah seperti luka
bernanah yang dipenuhi nanah. Mana saja dari keduanya yang lebih dominan, maka
ialah yang memerintah”.
Allah SWT menganugerahi manusia berbagai nafsu; ada
nafsu makan dan minum, nafsu syahwat, nafsu mencapai keberhasilan, nafsu
mencari tahu dan mencari ilmu, dan nafsu-nafsu lain. Nafsu atau juga kemauan
dan kebutuhan ini dapat bersifat kebaikan namun sebaliknya juga bisa bersifat
keburukan.
Kebutuhan ini bila karena suatu hal tidak terpenuhi
atau terhambat akan mengakibatkan timbulnya suatu reaksi emosi alamiah yang
bersifta negatif. Emosi negatif ini bermacam- macam, ada emosi marah, kecewa,
takut, ragu, benci dan juga cemas. Namun emosi negatif ini sesungguhnya
diperlukan agar seseorang terdorong untuk melawan dan berjuang mengatasi
hambatan yang merintangi terpenuhinya kebutuhan/ keinginan tersebut. Tingkat
emosi negatif seseorang dapat diukur berdasarkan tingkat kebutuhan yang
terhambat dan tujuannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Jika emosi negatif
itu terjadi pada saat adanya hambatan yang menghalangi tercapainya suatu tujuan
utama kehidupan maka reaksi tersebut adalah reaksi yang mulia bahkan merupakan
suatu keharusan.
Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat untuk
menahan diri dari rasa marah dan saling memaafkan. Seseorang yang dapat
menguasai rasa marah akan menemukan nilai kehidupan tertinggi. Nilai kehidupan
ini sepadan dengan“jihad spiritual ”. Maka siapapun yang berhasil dalam
jihad ini maka ia akan mampu menguasai diri dari nafsu dan segala godaan dunia
yang mengepungnya. Abu Dzaarr RA meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda
:” Jika salah seorang diantara kalian marah dan ia dalam
posisi berdiri, maka hendaknya ia segera duduk, makakemarahannya akan
hilang. Namun jika kemarahan itu tidak reda, maka hendaknya
ia berbaring”.
Rasulullah juga menganjurkan para sahabat agar
berwudhu’ untuk mengendalikan emosi kemarahan. Diriwayatkan dari Urwah bin
Muhammad as-Sa’di RA, Rasulullah bersabda : “Marah itu berasal dari setan,
setan itu diciptakan dari api. Adapun api dapat dipadamkan dengan air,
maka jika seseorang diantara kalian marah, hendaknya segeraberwudhu’.
Hadis ini menguatkan kebenaran ilmu kedokteran yang
menyatakan bahwa air dingin dapat meredakan tekanan darah karena emosi,
sebagaimana air dapat meredakan ketegangan otot dan syaraf. Oleh karena itu,
mandi dapat dijadikan penawar untuk mengobati penyakit kejiwaan. Disamping itu,
Rasulullah juga terbiasa menganjurkan para sahabat yang sedang dikuasai rasa
amarah untuk mengalihkan perhatian pada aktifitas lain yang memungkinkan
seseorang lupa akan rasa amarahnya ataupun merasa lelah sehingga ia tidak lagi
memiliki tenaga untuk melampiaskan kemarahannya.
Sebaliknya bila suatu kebutuhan dapat terpenuhi maka
akan muncul emosi atau rasa puas, senang dan gembira. Sama halnya dengan emosi
negatif, emosi positif inipun tidak boleh dibiarkan terlalu berkuasa, ia tetap
perlu dikendalikan. Karena seseorang yang dalam kondisi emosi yang berlebihan
dapat mengakibatkan daya pikir menjadi melemah.
Oleh karena itu Rasulullah melarang orang dalam
kondisi seperti itu untuk memutuskan suatu perkara (hukum). Dari Abu Bakar RA,
ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada
kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”. Begitu pula
dengan emosi cinta. Dari Abu Darda RA: “Kecintaanmu terhadap sesuatu
dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.
Oleh sebab itu Allah SWT membekali diri manusia selain
hati juga akal. Dengan akal dan hati yang bersih nafsu dapat dikendalikan dan
diarahkan, agar ia tidak bersifat merusak. Abu Dzarr RA meriwayatkan,
Rasulullah bersabda :”Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan
bersedekahlah dengan tidak berlebihan dan sombong”.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.(QS.Al-Furqon(25):67).
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnyanerakalah tempat tinggal (nya).
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal (nya)”.(QS.An-Naziat(79))37-41).
Abdullah bin Mas’ud RA berkata bahwa Rasulullah pernah
bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah
mampu mencukupi untuk hidup, maka nikahlah! Karena nikah itu
dapat menutup mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu merupakan benteng
bagi dirinya”.
Ilmu Psikologi Barat Psikoanalisa yang
diprakasai oleh Sigmund Freud dan kawan-kawan mengajarkan bahwa nafsu syahwat
adalah suatu emosi yang harus disalurkan yang bila terhambat dapat
mengakibatkan suatu penyakit. Ajaran ini sebenarnya berdasarkan pengalaman
Kristen masa lalu yang menganggap bahwa nafu syahwat adalah nafsu setan yang
harus dihancurkan sehingga sebagai akibat dari pelarangan tersebut ditemukan
banyak penderita kelainan syaraf. Pendapat inilah sesungguhnya yang pada
akhirnya melahirkan budaya ’kumpul kebo’ di dunia Barat, yaitu
hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan. Tidak demikian dengan Islam, Islam
mengajarkan nafsu syahwat adalah nafsu alamiah yang bila disalurkan melalui
suatu perkawinan yang diridhoi Allah SWT justru akan mampu melahirkan emosi
cinta dan rasa kasih sayang yang suci.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS.Ar-Ruum(30):21).
Namun sebaliknya bila seseorang belum mampu membina
suatu perkawinan maka wajib baginya menahan nafsu syahwatnya, diantaranya yaitu
dengan berpuasa. Karena dengan berpuasa seseorang akan termotivasi untuk selalu
menahan diri dari hal-hal yang dilarang Sang Pencipta.
“Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya”.(QS.An-Nuur(24):33).
Islam begitu menghormati hubungan antara laki-laki dan
perempuan, termasuk hubungan seksual. Laki-laki dan perempuan adalah mahluk
Allah yang paling tinggi derajatnya. Mereka tidak sama dengan binatang yang
bebas tanpa aturan dapat menyalurkan nafsu birahi mereka. Tidak demikian dengan
manusia. Adalah fitrah manusia bahwa Allah swt menciptakan ketertarikan antara
dua jenis kelamin berlainan ini. Namun untuk memagari agar ketertarikan
tersebut tetap dalam bingkai yang terjaga baik, Allah memerintahkan agar
keduanya menutup bagian yang dapat memancing nafsu lawan jenisnya. Dimulai
dari menahan pandangan, tidak menampakkan perhiasan, menutup aurat hingga
menjaga kesuciannya, yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan yang tidak
terhormat, yaitu perzinahan.
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, danmemelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, ……”.(QS.An-Nuur(24):30-31).
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu”.(QS.Al-Ahzab(33:59).
Dengan demikian jelas bahwa nafsu syahwat tidak untuk
dihancurkan maupun dibinasakan, yang terpenting manusia harus mampu mengatur
pemenuhan dan pengendaliannya. Tidak berdosa bagi manusia untuk menikmatinya
selama dengan cara halal dan memenuhi syariat yang ditentukan-Nya.
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.(QS.An-Nisa’(4):3).
Ayat diatas bukan anjuran agar seorang mukmin
berpoligami. Ayat ini sebenarnya kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila
diperhatikan dengan lebih seksama akan memberikan pengertian lain.
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk
dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy
meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat
tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut berkaitan dengan anak
yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana hartanya bergabung
dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan dan terutama karena
hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai
hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian
melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya kepada
rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa
sebagai berikut:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang
masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu)supaya kamu mengurus anak-anak
yatim secara adil. ……..”.
Perlu diketahui, pada waktu ayat ini diturunkan, dalam
tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya
disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim
tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta
mereka terlepas dari tangan para wali. Karena itulah Allah berfirman “jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya)”, (kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada
para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat….”
Allah swt memberikan batasan maksimal empat istri
karena pada waktu itu (tidak hanya dunia Arab namun juga Eropa termasuk Romawi
dan Yunani) hampir sebagian besar lelaki memiliki istri yang tidak terbatas.
Namun Ia menegaskan bahwa satu adalah lebih baik bila seorang suami khawatir
tidak dapat berbuat adil terhadap mereka. Karena tanggung-jawab seorang suami
selain harus menanggung hidup istrinya juga harus mampu mengayomi,
membahagiakan serta mendidiknya menjadi wanita shalehah. Dan kelak ia
harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Jadi tidak benar jika ada yang menyatakan bahwa
Islamlah yang mengajarkan praktek Poligami. Islam hanya mengaturnya.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telahmenafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (QS.An-Nisaa(4):34).
Setiap manusia adalah pemimpin, minimal bagi dirinya
sendiri. Dan bagi seorang lelaki setelah ia menikah ia adalah pemimpin bagi
keluarganya. Salah satu tugas utama seorang suami adalah bekerja dan menafkahi
istri dan keluarganya. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa hukum waris Islam
menyatakan bahwa bagian antara anak lelaki dan perempuan adalah 2 banding 1.
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; ………Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.An-Nisa’(4):11).
Namun ini tidak berarti bahwa Allah SWT
membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, karena dimata Allah hanya
ketakwaannyalah yang membedakan mereka. Karena sebuah keluarga idaman adalah
bagaikan sebuah perahu kecil dengan satu tujuan yang pasti yang untuk itu
diperlukan hanya satu nakhoda. Meskipun demikian mereka harus bekerja-sama,
saling sayang-menyayangi, saling membantu dan saling mengingatkan. Perumpamaan
mereka bagaikan dinding suatu bangunan yang mana bila diangkat salah satu batu
batanya maka ambruklah seluruh bangunan tersebut.
“Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang mu’min lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga`Adn.
…….”.(QS.At-Taubah(9):71-72).
Disamping itu Sang Khalik juga amat
memahami bahwa manusia membutuhkan teman dan kawan dalam mengarungi hidupnya
karena manusia adalah juga mahluk sosial. Oleh karenanya manusia cenderung
selalu berkelompok dan membentuk masyarakat agar lebih memudahkan hidup mereka.
Dan memang salah satu diantara keuntungan menjaga nafsu serta emosi adalah agar
hubungan silaturahmi antara sesama manusia dapat terjaga dengan baik. Agar dapat
saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain hingga timbul rasa
kasih-sayang dan keadilan. Itulah fungsi hati.