I. 1. Mengenal diri

 

Manusia adalah mahluk Allah yang paling pandai. Itu adalah perbedaan yang paling mencolok antara manusia dan mahluk lain termasuk binatang. Meskipun struktur tubuh manusia tidak sebesar gajah, giginya tidak setajam gigi beruang ataupun gigi harimau dan larinyapun tidak secepat kancil, namun dengan akalnya manusia dapat melumpuhkan mereka dan juga mengalahkan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan dibandingkan para malaikatpun manusia jauh lebih unggul dan pandai!

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”………….”(QS.Al-Baqarah(2):31-33).

Pada umumnya nafsu atau kebutuhan manusia yang pertama kali harus dipenuhi adalah kebutuhan makan-minum, kebutuhan  tempat berlindung demi keamanan dirinya dan kemudian  kebutuhan seksual. Setelah hal ini terpenuhi, baru ia mulai mengfungsikan akalnya, bagaimana agar hidupnya lebih berkwalitas, agar lebih tenang, aman dan nyaman . Dan disebabkan sifat manusia yang selalu ingin mencari tahu, ia kemudian belajar dan mulai mengamati keadaan sekelilingnya. Ia ingin mengetahui siapa dirinya, siapa penciptanya, dari mana ia berasal, apa tujuan hidup ini dan kemana ia akan pergi setelah ia mati.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS.An-Nahl(16):78).

Sebagian   orang berpendapat bahwa  manusia  terdiri dari 2 unsur,  yaitu  jasmani  dan rohani/ruh/jiwa.  Atau  dengan kata lain     fisik/badan/materi dan  psikis/akal/pikiran.  Namun  sebagian  ada   yang berkeyakinan  bahwa  manusa bukan  terdiri  atas  2   unsur, melainkan   3  unsur   yaitu   jasmani,  rohani  dan  jiwa.  Yang jelas, bahkan para ahli kejiwaanpun kadang sering rancu memberikan   difinisi  antara   rohani  dan  jiwa  karena  keduanya sama-sama  non materi.  Al-Quran  memang tidak  memberikan definisi yang pasti tentang hal tersebut. Kadang ia dikatakan sebagai “An-Nafs” kadang “Ar-Ruh” dan ahli tafsir menterjemahkan kadang sebagai jiwa kadang sebagai ruh. Namun demikian sesuatu yang pasti bahwa  manusia tanpa jiwa adalah bagaikan robot sedangkan manusia tanpa jasmani tentu tidak dapat lagi dikategorikan sebagai manusia dan manusia tanpa ruh adalah mati.

Sebagai perbandingan mungkin kita dapat mengambil contoh mudah yang nyata yaitu sebuah pesawat televisi. Bentuk fisik televisi adalah jasad kita, program siaran yang dapat kita saksikan sehari-hari dan dapat diganti dan diperbarui sewaktu-waktu adalah akal atau jiwa sedangkan aliran listrik adalah ruh kita. Manusia dalam keadaan tidur adalah bagaikan pesawat televisi yang dimatikan, yang aliran listriknya tidak dicabut namun programnya tidak aktif, itulah sebabnya orang pada saat tidur tidak dapat menggunakan akalnya dan kesadarannyapun hilang. Dan ketika ia kembali terjaga, akal dan kesadarannyapun kembali. Sama halnya ketika kita kembali menghidupkan pesawat televisi dengan remote control, programpun kembali aktif dan kita dapat kembali menyaksikan program dan acaranya. Sedangkan manusia yang telah mati, yaitu manusia yang telah dicabut ruhnya adalah bagaikan televisi yang telah dicabut aliran listriknya sehingga otomatis programnya hilang, maka dengan demikian aktifitasnyapun terhenti.

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.(QS.Az-Zumar(39):42).

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka manusia merasa perlu mencari ilmu. Sungguh beruntung kita sebagai umat Islam, karena Allah SWT telah menurunkan kitab suci Al-Quranul Karim dan As-Sunnah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sempurna.

Secara umum, Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya manusia selain terdiri dari jasmani, ruh dan akal, ia juga dibekali hati. Dengan jasmani dan akalnya ia memiliki kemampuan untuk mendengar dan melihat, sedang dengan hatinya ia mampu menilai dan merasakan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk dan dengan adanya ruh  ia hidup.

Hadist qudsi menyatakan: “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (Qashr), didalam istana itu ada dada (Sadr) didalam sadr itu ada kalbu (Qalb), didalam Qalb itu ada Fu’ad, didalam Fu’ad itu ada Syaghr, didalam Syagr itu ada Lubb, didalam Lubb itu ada Sirr dan didalam Sirr itu ada Aku (Ana).”

Hadist qudsi ini menunjukkan bahwa Ana (Aku) adalah inti dari manusia. Ana didalam Hadist ini adalah Allah. Jadi inti manusia ialah sesuatu yang bersifat Ilahiyah, sesuatu yang bersih dan suci. Pada dasarnya semua manusia pada waktu dilahirkan ke muka bumi adalah suci; bersih, bebas dari segala sifat jahat dan kotor, bersih dari segala dosa. Itulah fitrah manusia.

Dari sebuah hadist : “Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hanif kemudian syaitan menggelincirkan mereka dari agama mereka”….”; Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda : “Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang-tuanyalah yang membuat anak manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Jadi fitrah manusia adalah bagaikan pelita yang bila dirawat dengan baik dapat memberikan cahaya kesekitarnya. Yang dapat memberikan kebaikan dan manfaat bagi manusia lain dan alam sekitarnya. Yang dapat memberikan kesejukan dan rasa aman bagi tetangganya. Hal ini dikarenakan cahaya Ilahi telah menembus hatinya. Tak seorangpun dapat mencegah cahaya Allah yang begitu indah dan terang ini kepada hati manusia. Dengan cahaya ini dibimbing-Nya siapa yang dikehendaki-Nya, yaitu siapapun yang mau menjaga hatinya agar tetap bersih dan jernih. Tidak ada buruk sangka dalam hatinya.

Namun demikian fitrah berke-Tuhanan Yang Esa ini sesungguhnya adalah kebutuhan manusia paling kecil yang ada dalam diri manusia. Fitrah terbesar adalah kebutuhan akan bernafas. Sebagai contoh manusia tidak mungkin dapat dihambat kebutuhan akan oksigennya kecuali beberapa menit bahkan beberapa detik saja. Sedangkan kebutuhan akan air sebagai minuman lebih besar daripada kebutuhan akan makanan. Itu sebabnya manusia lebih kuat menahan lapar daripada menahan haus. Selanjutnya adalah kebutuhan akan kasih-sayang dan kebutuhan hubungan seksual. Meskipun demikian kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dan harus dilatih dengan baik. Itulah perbedaan terbesar antara manusia dan hewan.

Sedangkan kebutuhan berke-Tuhanan Yang Esa adalah kebutuhan yang paling akhir, yaitu hingga ketika dalam sakratul maut. Oleh sebab itu tidak seorangpun manusia dapat menghindar dari kebutuhan tersebut. Namun kebutuhan yang dilontarkan pada detik-detik terakhir seperti ini tidak diterima oleh-Nya. Ini yang sesungguhnya terjadi pada Firaun.

” …; hingga bila Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.(QS.Yunus(10):90).

Kembali kepada hadits qudsi diatas. Bila di’analogi’kan dengan pengetahuan jiwa modern mungkin Qashr dapat disejajarkan dengan jasad, jasmani atau fisik sedangkan Sadr (dada) dan Qalb (hati) adalah jiwa atau psikis. Sedangkan lapisan-lapisan dibawah Qalb kita tidak memiliki pengetahuan apapun.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.Al-Israa’(17):85).

Oleh karena itulah, manusia hanya diberi kemampuan memahami hakikat manusia hanya sampai sebatas kalbu atau hati saja. Sedangkan pengetahuan mengenai ruh hanya sedikit sekali bahkan hanya meraba-raba atau sekedar menduga-duga. Untuk merawat dan memelihara inti sebagai sumber cahaya tidaklah mudah karena letaknya yang sangat dalam dan terlindungi. Oleh sebab itu segala penghalang yang menyelubungi lapisan-lapisan tersebut harus disingkap terlebih dahulu. Lapisan Sadr dan Qalb adalah tempat bercokolnya segala macam jenis penyakit seperti penyakit sombong, riya, benci, iri, dengki, buruk sangka dan sebagainya. Ini yang harus dibersihkan terlebih dahulu. Pada mulanya, hati adalah bersih. Namun dalam perjalanan hidupnya, lama-kelamaan ia menjadi terkotori dan tercemar. Dan hati yang terus dibiarkan kotor lama kelamaan akan menimbulkan penyakit.

Alkisah pada zaman Nabi Syuaib a.s datanglah seseorang dan berkata :

“Tuhan telah melihat semua perbuatan buruk yang aku lakukan.Tetapi karena kasih-sayang Nya, ia tidak menghukumku”. Tuhan kemudian berkata kepada Syuaib melalui Jibril: ”Jawablah dia.”.“Kamu berkata Tuhan tidak menghukummu. Sebaliknyalah yang terjadi. Tuhan telah menjatuhkan hukuman, tetapi kamu tidak menyadarinya. Kamu sudah berputar-putar tanpa arah di rimba belantara.Tangan dan kakimu terbelenggu. Kamu adalah poci yang menumpuk karat. Makin lama kamu makin buta dari hal-hal ruhaniah. Ketika asap menjilati poci tembaga yang baru,orang akan segera melihat bekasnya. Tetapi dengan permukaan segelap kamu, siapa yang tahu kapan ia menjadi lebih hitam. Di kala kau berhenti takafur, tumpukan karat menembus masuk ke cermin jiwamu. Tak ada lagi gemerlap didalamnya. Jika kamu menulis diatas selembar kertas baru, tulisanmu terbaca jelas. Jika kamu terus-menerus mencoreti kertas yang sama, tulisanmu tak akan terbaca . Tenggelamkan dirimu dalam asam yang membersihkan tembaga . Kikis habis noda-noda hitammu”.

Sebaliknya ketika Sadr dan Qalb telah bebas dari segala macam penyakit, bebas dari segala prasangka buruk, hatipun kembali seperti sedia kala, menjadi bersih dan bening. Dengan demikian maka iman akan dengan sangat mudah masuk ke dalam hati. Dan ketika iman telah tertanam dengan sangat kuat di dalam hati (Qalb) maka inti akan menampakkan cahayanya, ia akan mampu menembus seluruh lapisan yang menyelimutinya. Maka prilaku mulianyapun akan muncul ke permukaan hingga ke lapisan terluar yaitu Qashr atau fisik manusia, karena disamping sifat-sifat buruk tersebut manusia memang dianugerahi berbagai sifat baik, yaitu sifat Ilahiah.

“Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu………”.(QS.Al-Hujurat(49):14).

“……yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahalhati mereka belum beriman;……”(QS.Al-Maidah(5):41).

Dalam hadis qudsi dikatakan : “Bumi dan langit-Ku tidak dapat memuat-Ku. Tetapi hati hamba-Ku yang berimanlah, yang lemah-lembut, yang dapat memuat-Ku”.

Allah SWT memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih; bertakwa dengan membersihkan diri atau sebaliknya membantah dengan mengotorinya.

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kedurhakaan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.Asy-Syams (91):7-10).

Al-Ghazali dalam tulisannya yang berjudul “Mutiara Ihya Ulumuddin’ mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Hati ada empat, yaitu : Hati yang bersih, didalamnya ada pelita yang bersinar; itulah hati orang Mukmin. Hati yang hitam dan terbalik; itulah hati orang kafir. Hati yang tertutup dan tutupnya terikat, itulah hati orang munafik. Dan hati yang dilapis, didalamnya terdapat keimanan dan kemunafikan. Keimanannya ibarat sayuran yang menjadi panjang dengan disiram air yang baik dan perumpamaan kemunafikannya adalah seperti luka bernanah yang dipenuhi nanah. Mana saja dari keduanya yang lebih dominan, maka ialah yang memerintah”.

Allah SWT menganugerahi manusia berbagai nafsu; ada nafsu makan dan minum, nafsu syahwat, nafsu mencapai keberhasilan, nafsu mencari tahu dan mencari ilmu, dan nafsu-nafsu lain. Nafsu atau juga kemauan dan kebutuhan ini dapat bersifat kebaikan namun sebaliknya juga bisa bersifat keburukan.

Kebutuhan ini bila karena suatu hal tidak terpenuhi atau terhambat akan mengakibatkan timbulnya suatu reaksi emosi alamiah yang bersifta negatif. Emosi negatif ini bermacam- macam, ada emosi marah, kecewa, takut, ragu, benci dan juga cemas. Namun emosi negatif ini sesungguhnya diperlukan agar seseorang terdorong untuk melawan dan berjuang mengatasi hambatan yang merintangi terpenuhinya kebutuhan/ keinginan tersebut. Tingkat emosi negatif seseorang dapat diukur berdasarkan tingkat kebutuhan yang terhambat dan tujuannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Jika emosi negatif itu terjadi pada saat adanya hambatan yang menghalangi tercapainya suatu tujuan utama kehidupan maka reaksi tersebut adalah reaksi yang mulia bahkan merupakan suatu keharusan.

Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat untuk menahan diri dari rasa marah dan saling memaafkan. Seseorang yang dapat menguasai rasa marah akan menemukan nilai kehidupan tertinggi. Nilai kehidupan ini sepadan dengan“jihad spiritual ”. Maka siapapun yang berhasil dalam jihad ini maka ia akan mampu menguasai diri dari nafsu dan segala godaan dunia yang mengepungnya. Abu Dzaarr RA meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :” Jika salah seorang diantara kalian marah dan ia dalam posisi berdiri, maka hendaknya ia segera duduk, makakemarahannya akan hilang. Namun jika kemarahan itu tidak reda, maka hendaknya ia berbaring”.

Rasulullah juga menganjurkan para sahabat agar berwudhu’ untuk mengendalikan emosi kemarahan. Diriwayatkan dari Urwah bin Muhammad as-Sa’di RA, Rasulullah bersabda : “Marah itu berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api. Adapun api dapat dipadamkan dengan air, maka jika seseorang diantara kalian marah, hendaknya segeraberwudhu’.

Hadis ini menguatkan kebenaran ilmu kedokteran yang menyatakan bahwa air dingin dapat meredakan tekanan darah karena emosi, sebagaimana air dapat meredakan ketegangan otot dan syaraf. Oleh karena itu, mandi dapat dijadikan penawar untuk mengobati penyakit kejiwaan. Disamping itu, Rasulullah juga terbiasa menganjurkan para sahabat yang sedang dikuasai rasa amarah untuk mengalihkan perhatian pada aktifitas lain yang memungkinkan seseorang lupa akan rasa amarahnya ataupun merasa lelah sehingga ia tidak lagi memiliki tenaga untuk melampiaskan kemarahannya.

Sebaliknya bila suatu kebutuhan dapat terpenuhi maka akan muncul emosi atau rasa puas, senang dan gembira. Sama halnya dengan emosi negatif, emosi positif inipun tidak boleh dibiarkan terlalu berkuasa, ia tetap perlu dikendalikan. Karena seseorang yang dalam kondisi emosi yang berlebihan dapat mengakibatkan daya pikir menjadi melemah.

Oleh karena itu Rasulullah melarang orang dalam kondisi seperti itu untuk memutuskan suatu perkara (hukum). Dari Abu Bakar RA, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”. Begitu pula dengan emosi cinta. Dari Abu Darda RA: “Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.

Oleh sebab itu Allah SWT membekali diri manusia selain hati juga akal. Dengan akal dan hati yang bersih nafsu dapat dikendalikan dan diarahkan, agar ia tidak bersifat merusak. Abu Dzarr RA meriwayatkan, Rasulullah bersabda :”Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah dengan tidak berlebihan dan sombong”.

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.(QS.Al-Furqon(25):67).

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnyanerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)”.(QS.An-Naziat(79))37-41).

Abdullah bin Mas’ud RA berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu mencukupi untuk hidup, maka nikahlah! Karena nikah itu dapat menutup mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu merupakan benteng bagi dirinya”.

Ilmu Psikologi Barat Psikoanalisa yang diprakasai oleh Sigmund Freud dan kawan-kawan mengajarkan bahwa nafsu syahwat adalah suatu emosi yang harus disalurkan yang bila terhambat dapat mengakibatkan suatu penyakit. Ajaran ini sebenarnya berdasarkan pengalaman Kristen masa lalu yang menganggap bahwa nafu syahwat adalah nafsu setan yang harus dihancurkan sehingga sebagai akibat dari pelarangan tersebut ditemukan banyak penderita kelainan syaraf. Pendapat inilah  sesungguhnya yang pada akhirnya melahirkan budaya ’kumpul kebo’ di dunia Barat, yaitu hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan. Tidak demikian dengan Islam, Islam mengajarkan nafsu syahwat adalah nafsu alamiah yang bila disalurkan melalui suatu perkawinan yang diridhoi Allah SWT justru akan mampu melahirkan emosi cinta dan rasa kasih sayang yang suci.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS.Ar-Ruum(30):21).

Namun sebaliknya bila seseorang belum mampu membina suatu perkawinan maka wajib baginya menahan nafsu syahwatnya, diantaranya yaitu dengan berpuasa. Karena dengan berpuasa seseorang akan termotivasi untuk selalu menahan diri dari hal-hal yang dilarang Sang Pencipta.

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”.(QS.An-Nuur(24):33).

Islam begitu menghormati hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk hubungan seksual. Laki-laki dan perempuan adalah mahluk Allah yang paling tinggi derajatnya. Mereka tidak sama dengan binatang yang bebas tanpa aturan dapat menyalurkan nafsu birahi mereka. Tidak demikian dengan manusia. Adalah fitrah manusia bahwa Allah swt menciptakan ketertarikan antara dua jenis kelamin berlainan ini. Namun untuk memagari agar ketertarikan tersebut tetap dalam bingkai yang terjaga baik, Allah memerintahkan agar keduanya menutup bagian yang dapat memancing nafsu lawan jenisnya. Dimulai  dari menahan pandangan, tidak menampakkan perhiasan, menutup aurat hingga menjaga kesuciannya, yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan yang tidak terhormat, yaitu perzinahan.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, danmemelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, ……”.(QS.An-Nuur(24):30-31).

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”.(QS.Al-Ahzab(33:59).

Dengan demikian jelas bahwa nafsu syahwat tidak untuk dihancurkan maupun dibinasakan, yang terpenting manusia harus mampu mengatur pemenuhan dan pengendaliannya. Tidak berdosa bagi manusia untuk menikmatinya selama dengan cara halal dan memenuhi syariat yang ditentukan-Nya.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS.An-Nisa’(4):3).

Ayat diatas bukan anjuran agar seorang mukmin berpoligami. Ayat ini sebenarnya kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila diperhatikan dengan lebih seksama akan memberikan pengertian lain.

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).

Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa sebagai berikut:

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu)supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. ……..”.

Perlu diketahui, pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali. Karena itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”, (kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat….”

Allah swt memberikan batasan maksimal empat istri karena pada waktu itu (tidak hanya dunia Arab namun juga Eropa termasuk Romawi dan Yunani) hampir sebagian besar lelaki memiliki istri yang tidak terbatas. Namun Ia menegaskan bahwa satu adalah lebih baik bila seorang suami khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap mereka. Karena tanggung-jawab seorang suami selain harus menanggung hidup istrinya juga harus mampu mengayomi, membahagiakan serta mendidiknya menjadi wanita shalehah. Dan kelak ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

Jadi tidak benar jika ada yang menyatakan bahwa Islamlah yang mengajarkan praktek Poligami. Islam  hanya mengaturnya.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telahmenafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (QS.An-Nisaa(4):34).

Setiap manusia adalah pemimpin, minimal bagi dirinya sendiri. Dan bagi seorang lelaki setelah ia menikah ia adalah pemimpin bagi keluarganya. Salah satu tugas utama seorang suami adalah bekerja dan menafkahi istri dan keluarganya. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa hukum waris Islam menyatakan bahwa bagian antara anak lelaki dan perempuan adalah 2 banding 1.

“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; ………Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.An-Nisa’(4):11).

Namun ini tidak berarti bahwa Allah SWT membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, karena dimata Allah hanya ketakwaannyalah yang membedakan mereka. Karena sebuah keluarga idaman adalah bagaikan sebuah perahu kecil dengan satu tujuan yang pasti yang untuk itu diperlukan hanya satu nakhoda. Meskipun demikian mereka harus bekerja-sama, saling sayang-menyayangi, saling membantu dan saling mengingatkan. Perumpamaan mereka bagaikan dinding suatu bangunan yang mana bila diangkat salah satu batu batanya maka ambruklah seluruh bangunan tersebut.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu’min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga`Adn. …….”.(QS.At-Taubah(9):71-72).

Disamping itu Sang Khalik juga amat memahami bahwa manusia membutuhkan teman dan kawan dalam mengarungi hidupnya karena manusia adalah juga mahluk sosial. Oleh karenanya manusia cenderung selalu berkelompok dan membentuk masyarakat agar lebih memudahkan hidup mereka. Dan memang salah satu diantara keuntungan menjaga nafsu serta emosi adalah agar hubungan silaturahmi antara sesama manusia dapat terjaga dengan baik. Agar dapat saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain hingga timbul rasa kasih-sayang dan keadilan. Itulah fungsi hati.

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama