Keutamaan dan Keteladanan Umar.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara
orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham.
Apabila salah seorang umatku mendapakannya, maka Umarlah orangnya.”
Zakaria bin Abi Zaidah menambahkan dari Sa’ad dari Abi
Salamah dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada
yang diberikan ilham walaupun mereka bukan nabi. Jika salah seorang dari umatku
mendapatkannya, maka Umarlah orangnya.”
Selain keutamaan mendapatkan ilham sesuai hadist di
atas, amirul mukminin Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat rendah hati
dan sederhana, namun keseriusan dan ketegasannya terutama dalam permasalahan
agama adalah ciri khas yang kental melekat padanya. Umar jarang tertawa dan
bercanda, di cincinnya terdapat tulisan “Cukuplah kematian menjadi peringatan
bagimu hai Umar”.
Ia suka menambal bajunya dengan kulit, dan terkadang
membawa ember di pundaknya, keledai yang digunakan sebagai kendaraanyapun
bahkan tak berkelana. Namun itu semua sama sekali tak menghilangkan ketinggian
wibawanya. Bahkan Sophronius, uskup gereja penguasa Yerusalem dan juga John bar
Penkaye seorang pendeta Kristen Suriah, tak sanggup memungkirinya. Keduanya
benar-benar terkagum-kagum melihat kedatangan Sang Khalifah yang sangat
dihormati bawahan dan ditakuti musuh itu datang ke Yerusalem dengan jubah lusuh
penuh jahitan.
Umar datang ke kota suci tersebut atas permintaan
Sophronius untuk serah terima kunci gerbang Yerusalem yang baru saja
ditaklukkan pasukan Islam. Umar datang dengan menunggang unta ditemani
seorang pembantunya.
Di bawah kepemimpinannya, agama dan kekhalifahan Islam
meluas, dari semenanjung Arabia hingga ke Suriah, Palestina bahkan Mesir. Tak
pernah habis kisah mengenai keteladanan Umar sebagai khalifah yang sangat
memerhatikan keadilan untuk rakyat kecil namun keras dan tegas kepada pejabat
yang bertindak sewenang-wenang.
Diantaranya adalah kisah seorang Yahudi tua yang
merasa keberatan dan terdzalimi karena rumahnya digusur gubernur Mesir demi
berdirinya sebuah masjid. Yahudi tersebut kemudian pergi ke Madinah untuk
mengadukan halnya kepada khalifah Umar.
Namun sesampai di Madinah ia hanya diberi sepotong
tulang yang telah digores garis lurus oleh pedang sang khalifah. “Kembalilah ke
Mesir, dan berikan tulang ini kepada gubernurmu”. Dengan penuh keheranan Yahudi
tersebut hanya bisa mengangguk patuh.
Tiba di Mesir iapun langsung memberikan tulang
tersebut kepada Amr bin Ash, gubernur Mesir. Tapi alangkah terkejutnya ia
melihat sang gubernur langsung gemetar memandang tajam tulang tersebut. Ia
segera memanggil kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk Yahudi
tersebut.
Ternyata tulang itu berisi ancaman. Seolah-olah
berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapapun kamu sekarang dan betapa
tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi
tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus,
adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian
pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”
Si Yahudi tertunduk, terharu mendengar penjelasan
gubernurnya. Ia kagum atas sikap Khalifah yang tegas dan adil, juga sikap
gubernur yang patuh dan taat kepada atasannya meski hanya dengan menerima
sepotong tulang kering. Akhirnya Yahudi tersebut menyatakan memeluk Islam, lalu
menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar dan yang paling tegas dalam
menegakkan agama Allah adalah Umar.” (HR. Tirmidzi dalam al-Manaqib, hadits no.
3791)
Di antara tanda kesempurnaan agamanya, adalah sifat
wara’ yang dimilikinya, yaitu meninggalkan sesuatu yang jelas keharamannya
maupun yang masih samar atau belum jelas halal dan haramnya (syubhat).
Dikisahkan beliau dahulu memiliki unta yang biasa
diperas susunya untuk diminum. Suatu hari, seorang pembantu yang kurang
dikenalnya datang kepada beliau. Maka berkatalah Umar radhiyallahu
‘anhu,“Celaka engkau! Darimana kau dapatkan susu ini?”.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya anak onta Anda
lepas dari induknya, kemudian (setelah kembali) anak onta itu pun menyusu
kepada induknya. Aku pun memeras susu untukmu dari unta lain yang merupakan
harta Allah”, jawab pembantunya.
“Celaka
engkau! Engkau memberiku minum dari api neraka”, tukas Umar.
Salah satu kebiasaan Umar yang juga patut dicontoh
adalah sidak langsung turun ke bawah. Ini untuk memastikan bahwa keadaan
rakyatnya baik-baik saja. Pada suatu hari di tengah paceklik yang melanda, Umar
berpatroli dari satu rumah penduduk ke rumah lainnya. Hingga suatu malam di
luar Madinah, tampak dari kejauhan sebuah cahaya redup dari sebuah gubug. Umar
yang ditemani seorang pembantu diam-diam segera mendekatinya.
Mereka melihat seorang perempuan tua sedang memasak
sesuatu di dalam panci. Ia dikelilingi oleh tiga anak kecil yang semuanya menangis.
Sambil mengaduk-aduk isi panci perempuan tersebut bergumam, “Wahai Tuhanku,
berilah balasan terhadap Umar. Ia telah berbuat dzalim. Enak saja, kami
rakyatnya kelaparan sementara dia hidup serba berkecukupan”.
Mendengar itu Umar segera mengetuk pintu, memberi
salam dan memohon izin untuk masuk. Setelah diizinkan masuk Umar bertanya
mengapa ketiga anaknya menangis.
“Kami datang dari jauh. Aku dan anak-anakku kelaparan.
Aku tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa”, jawab perempuan yang
tidak tahu bahwa tamunya adalah Umar sang khalifah.
“Lalu,
apa yang kau masak di panci ini?”
“Itu hanya air mendidih. Agar anak-anak mengira aku
sedang memasak makanan. Dengan begitu mereka akan terhibur.”
Alangkah terkejut dan sedihnya Umar. Tak lama Umar pamit
pulang, dan segera pergi menuju ke sebuah toko untuk membeli banyak sembako
(riwayat lain menyebut ia menuju baitul mal). Lalu ia memanggulnya sendiri
untuk menuju kembali ke gubug perempuan tadi.
“Wahai
Amirul Mu’minin, turunkan bawaanmu, biar aku saja yang memikulnya,” pinta
pembantunya.
“Jangan, biar aku saja yang membawanya. Anggap saja
aku sedang memikul dosa-dosaku, juga semoga menjadi penghalang dikabulkannya
doa perempuan tadi,” tegas Umar.
Sesampainya di gubug tersebut Umar memberikan
bawaannya sambil berkata, “Ibu sekarang tidak perlu lagi mendoakan keburukan
untuk Umar. Mungkin ia belum mendengar kabar ada kalian kelaparan di sini”.
Di lain hari Umar melarang rakyatnya mencampur laban
(susu) dengan air. Suatu malam dia mengelilingi kota Madinah. Kemudian dia
bersandar di sebuah dinding untuk beristirahat. Ternyata seorang wanita sedang
berpesan kepada puterinya untuk mencampur laban dengan air.
Maka sang puteri tersebut berkata, ‘Bagaimana aku
mencampurnya sedangkan Amirul Mukminin melarang hal tersebut.” Lalu wanita
tersebut berkata, “Amirul Mukminin tidak mengetahuinya.” Maka sang anak
menjawab, “Jika Umar tidak mengetahuinya, maka Tuhannya Umar mengetahuinya. Aku
tidak akan melaksanakannya selama hal tersebut telah dilarang.”
Ucapan sang anak perempuan tersebut sangat berkesan di
hati Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu. Maka di pagi harinya dia memanggil
puteranya bernama Ashim, lalu dia ceritakan kejadiannya dan dia beritahu
tempatnya, kemudian dia berkata, “Pergilah wahai anakku, nikahilah anak
tersebut.” Maka akhirnya Ashim menikahi puteri tersebut, dan dari perkawinan
tersebut, lahirlah Abdu Aziz bin Marwan bin Hakam, salah seorang gubernur
terbaik pada masa Bani Umayah, kemudian darinya lahir khalifah Umar bin Abdul
Aziz.
Kisah lain, yaitu ketika putranya yang masih kecil
meminta dibelikan baju baru karena bajunya sudah sobek dan diolok-olok
teman-temannya. Semula Umar tidak menanggapinya tapi karena putranya terus
merengek akhirnya Umar memutuskan untuk meminta baitulmal memberikan gajinya
lebih awal.
Namun apa jawaban pegawai baitulmal? Ia mempertanyakan
apakah ada jaminan Umar masih hidup sampai tiba waktunya menerima jatah
gajinya?? Umar terkesiap dan langsung menangis menyadari kekhilafannya.