Hijrah ke Madinah.
Pada tahun 622 M atau tahun 13 kenabian, kebencian
orang-orang Quraisy terhadap kaum Muslimin yang jumlahnya baru sedikit itu
makin menjadi-jadi. Penindasan dan penyiksaan makin sering terjadi. Puncaknya
adalah upaya pembunuhan terhadap Rasulullah s.a.w yang dianggap sebagai pemecah
kesatuan dan agama kaum penyembah berhala tersebut.
Maka ketika Allah swt menurunkan perintah untuk hijrah
ke Madinah ( dahulu Yathrib) maka para sahabatpun bergegas menunaikannya,
termasuk juga Umar. Namun tidak seperti sahabat lain yang pergi meninggalkan
Mekah di malam hari dan secara diam-diam sebagaimana arahan Rasulullah, Umar
melakukannya kebalikannya. Yaitu di siang hari dan bahkan menantang siapa yang
menghalanginya akan ia sambut dengan pedang.
“Barang
siapa yang ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim, atau istrinya
menjadi janda, hendaklah ia menemuiku di balik lembah ini”, demikian
tantang Umar berapi-api. Tapi tak ada seorangpun dari kaum Quraisy yang berani
menjawab tantangan Umar tersebut hingga Umar bersama rombongannyapun melenggang
ke Madinah tanpa sedikitpun hambatan.
Di Madinah Rasulullah dan para sahabat disambut baik
oleh kaum Anshor. Kaum Anshor adalah penduduk Madinah yang telah memeluk Islam
sejak peristiwa baiat Aqabah. Maka untuk memperkokoh persatuan dan persaudaraan
Islam maka Rasulullahpun mempersaudarakan kaum Muhajirin ( kaum Muslimin yang
datang dari Mekah) dengan kaum Anshor. Diantaranya yaitu Abu Bakar dengan
Kharijah bin Zaid, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Ja’far bin Abu
Thalib dengan Mu’az bin Jabal dll.
Peperangan dan keselarasan Al-Quran.
Sesuai dengan julukannya sebelum memeluk Islam bahkan
sejak muda yaitu Singa Padang Pasir, maka tak heran ketika memeluk Islampun,
Umar dikenal sebagai seorang pejuang tangguh yang tak kenal takut. Dalam setiap
peperangan dan pertempuran Umar tidak pernah ketinggalan. Ia dikenal sebagai
salah satu orang terdepan yang selalu membela Rasulullah dan ajarannya. Bahkan
terhadap kawan-kawan lamanya yang dulu bersama-sama menyiksa para pemeluk
Islam, Umar tidak ragu menentangnya. Ia mempertaruhkan seluruh sisa hidupnya
demi tegaknya ajaran Islam.
Dan berkat kecakapannya dalam hal tulis menulis dan
berdiplomasi sebelum memeluk Islam, Rasulullah menjadikannya juru tulis andalan
sekaligus duta Islam. Umar menjadi sahabat terdekat sekaligus penasehat
Rasulullah termasuk dalam strategi perang. Yang juga patut menjadi catatan,
keputusan Umar ternyata sering sesuai dengan perintah Al-Quran yang ketika itu
belum turun. Contohnya adalah sebagai berikut:
Usai kemenangan perang Badar melawan kaum musrikin
Quraisy yang merupakan perang pertama Islam, Rasulullah meminta usul para
sahabat apa yang harus dilakukan terhadap para tawanan perang. Umar mengusulkan
agar mereka dibunuh sebagai balasan kekejaman mereka selama 13 tahun di Mekah.
Sebaliknya Abu Bakar mengusulkan agar para tawanan
menebus diri masing-masing dengan apa yang mereka miliki, yaitu dengan harta
atau kepandaian tulis menulis. Rasulullah memilih usul Abu Bakar. Namun
kemudian Allah swt menegur keputusan tersebut dengan turunnya ayat 67 surat
An-Anfal yang ternyata sesuai dengan usulan Umar.
Contoh berikutnya, suatu saat ketika Abdullah bin Ubay
wafat, putranya memohon agar Rasulullah menshalati tokoh munafik Madinah
tersebut, Rasulullahpun memenuhinya. Namun Umar keberatan. Dan ternyata tak
lama kemudian turun ayat mengenai larangan menshalati orang munafik sebagai
ayat 84 surat At-Taubah berikut :
“Dan
janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di
antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo`akan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati
dalam keadaan fasik”.
Ibadah dan pribadi Umar.
Umar dikenal sebagai orang yang menggunakan banyak
malamnya untuk senantiasa shalat malam dan berdzikir. Kebiasaan ini terus
berlanjut bahkan ketika ia telah menjadi khalifah. Umar terbiasa terjaga di
malam untuk shalat malam, dan siang hari untuk beribadah termasuk berpuasa demi
hajat rakyatnya, sebagaimana yang diceritakan istri maupun Mu’awiyah bin
Khudayj, salah seorang jenderal Umar.
Mu’awiyah
melihat sang khalifah terlihat sangat kelelahan dan mengantuk dalam duduknya.
Kemudian bertanya, “Tidakkah kau tidur, wahai Amirul Mukminin?”
“Sungguh
celaka ucapanku, atau sungguh celaka prasangkaku. Jika aku tidur siang hari,
aku telah menyia-nyiakan amanah rakyatku. Jika aku tidur malam hari, aku telah
menyia-nyiakan kesempatanku dengan Tuhanku. Bagaimana aku bisa tidur di kedua
waktu ini, wahai Mu’awiyah?”, jawab Umar.
“Umar
bin Khattab adalah tetangga terdekatku. Aku tidak pernah mempunyai tetangga dan
orang-orang di sekitarku sebaik Umar. Malam-malam Umar adalah sholat dan siang
harinya adalah puasa demi hajat rakyatnya”, tetangga Umar bercerita.
“Ayahku
terus-menerus berpuasa kecuali saat hari raya kurban, hari raya fitri, dan
dalam perjalanan,” ujar Abdullah putra Umar.
Umar
juga sangat suka bersedekah. Dalam peristiwa perang Tabuk Rasulullah meminta
umat Islam untuk bersedekah sedekah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Umar
ra. menuturkan, “Rasulullah s.a.w menyuruh kami agar bersedekah. Kebetulan
sekali saat itu aku punya harta cukup banyak. Aku berkata dalam hati, ‘Hari ini
akan kuungguli Abu Bakar, karena selama ini aku tidak pernah unggul darinya.’
Aku menghadap Rasulullah s.a.w dengan membawa setengah hartaku. Rasulullah Saw.
bertanya, ‘Berapa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’ Aku menjawab, ‘Sama
dengan yang kubawa.’ Lalu datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh
hartanya. Rasulullah s.a.w bertanya, ‘Berapa yang engkau tinggalkan untuk
keluargamu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Hanya Allah dan Rasul-Nya yang
kutinggalkan untuk mereka.’ Aku berkata, ‘Aku tidak akan pernah dapat
bersaing denganmu lagi dalam apa saja”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Pada
peristiwa lain, Umar pergi ke kebun kurma miliknya. Ketika pulang ia mendapati
sejumlah orang keluar dari masjid usai menunaikan shalat Ashar. Sontak Umar
berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku ketinggalan shalat
jamaah!“. Bukan main kecewanya Umar tak sempat menunaikan shalat jamaah
bersama mereka. Sebagai pelunasan atas rasa bersalahnya ini, iapun mengeluarkan
pengumuman, “Saksikanlah, mulai sekarang aku sedekahkan kebunku untuk
orang-orang miskin,” ujarnya. Umar merelakan kebun lepas dari
kepemilikannya, sebagai kafarat atas keterlambatannya melaksanakan shalat
jamaah.
Umar
juga dikenal sebagai seorang yang zuhud. Saad bin Abi Waqqash bercerita,
“Umar tidak mendahului kami dalam berhijrah, tetapi aku tahu satu hal yang
membuatnya melebihi kami, dia orang yang paling zuhud terhadap dunia di antara kami
semua”.
Ia
selalu menolak jatah rampasan perang yang seharusnya memang haknya. Hingga
Rasulullah berkata: “Terima dan simpanlah wahai Umar, kemudian sedekahkan!”. Bahkan
jatah sebidang tanah di Khaibar yang sangat tinggi nilainyapun pokoknya ia
wakafkan, sementara hasilnya disedekahkan kepada orang yang memerlukan,
termasuk untuk membebaskan hamba sahaya. Ini ia lakukan sesuai jawaban
Rasulullah atas nasihat yang ia mintakan.
Demikian pula dalam penampilan, Umar amat sangat
sederhana. Dan ia menanamkan hal ini tidak hanya untuk dirinya tapi juga
seluruh anggota keluarganya. Rasulullahlah yang membuatnya demikian. Ia
senantiasa berusaha keras untuk mengikuti dan mencontoh apa yang Rasulullah
lakukan.
Suatu
hari Umar melihat Rasulullah sedang tidur di atas tikar dari pelepah kurma.
Tikar tersebut membekas dipunggung beliau, melihat itu air mata Umar menetes
tak tertahankan, tangisannya mengenai tubuh Rasulullah. Rasulullah lantas
tergerak dari tidurnya lalu terbangun, kemudian beliau bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis wahai Umar?”
Dengan
suara tersendat Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak
menangis, tikar ini membekas dipunggung engkau. Aku juga tidak melihat apapun
di rumah engkau. Para raja tidur di atas kasur sutra dan tinggal di istana yang
megah, sementara engkau disini. Padahal engkau adalah kekasih-Nya.”
Rasulullah
kemudian menjawab sambil tersenyum, “Wahai Umar, mereka adalah kaum yang
kesenangannya telah disegerakan, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau
rela mereka memiliki dunia sedangkan kita memiliki akhirat?”
“Kita
adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan
hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia
berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya”, lanjut Rasulullah.
Peristiwa tersebut benar-benar membekas di hati Umar.
Tak salah bila Umar juga begitu mencintai Rasulullah karena sang kekasih Allah
ini berkenan menikahi putri Umar yaitu Hafsah yang ditinggal mati suaminya.
Padahal ketika itu Umar telah menawarkan kepada Abu Bakar dan Ustman bin Affan
agar mau menikah putrinya, tapi keduanya menolak dengan alasan masing-masing.
“Hafsah
akan menikahi seseorang yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman akan menikahi
seseorang yang lebih baik dari Hafsah”, hibur Rasulullah melihat kekecewaan
Umar. Dan ternyata Rasulullahlah yang menikahi Hafsah. Betapa bahagianya Umar.
Sakit, wafatnya Rasulullah dan
pembaiatan Abu Bakar.
Ketika Rasulullah sakit keras dan akhirnya wafat, Umar
tidak mempercayainya. Ia mengganggap bahwa Rasullah tidak wafat melainkan
hanya pergi sebentar menuju Tuhannya seperti halnya nabi Musa dulu. Namun
ketika akhirnya Abu Bakar membacakan ayat 144 surat Ali Imran yang menyatakan
bahwa Rasulullah hanya seorang manusia yang sewaktu-waktu bisa meninggal Umar
sadar akan kesalahannya dan langsung jatuh pingsan. Kecintaan yang amat sangat
terhadap Rasulullah yang membuatnya demikian.
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur”.
Setelah sadar dan yakin bahwa Rasulullah telah wafat,
Umar segera memikirkan nasib dan masa depan umat yang baru seusia jagung itu,
tanpa adanya Rasulullah. Perpecahan dan pemberontakan juga munculnya
orang-orang yang mengaku nabi pada hari-hari akhir Rasulullah menghantui
pikiran Umar. Harus segera ada seorang pemimpin yang mampu memimpin dan
menyatukan umat Islam, begitu pikirnya.
Rasulullah memang tidak menyampaikan pesan apapun
untuk suksesi pemimpin setelahnya. Tapi tanda-tanda bahwa Rasulullah condong
kepada Abu Bakar terlihat jelas. Oleh sebab itu tanpa ragu Umarpun membaiat Abu
Bakar sebagai pemimpin, yang kemudian diikuti yang lain.
“Wahai
Abu Bakar, bentangkan tanganmu! Bukankah nabi menunjukmu menggantikannya untuk
menjadi imam shalat kami? Siapakah yang boleh membelakangimu, dan siapakah yang
lebih layak daripada engkau? Engkaulah yang paling dicintai nabi, satu-satunya
orang yang menemani Rasulullah di gua saat hijrah. Abu Bakar, kami membaiatmu
sebagai pengganti Raulullah“, demikian Umar berkata.
Padahal sebelumnya Abu Bakar sempat berpidato agar
memilih Umar sebagai pemimpin. Ini menunjukkan betapa tingginya akhlak Umar
yang dengan rendah hati menolak dan tetap memilih Abu Bakar sebagai pemimpin
umat. Ia tahu persis bahwa menjadi pemimpin adalah amanat yang maha berat
apalagi Rasulullah s.a.w telah memperlihatkan kecondongan kepada Abu Bakar. Dan
umatpun mencintai dan menaruh kepercayaan kepada Abu Bakar hingga ia mendapat
gelar As-Siddiq atau orang yang sangat dipercaya.
Selama kepemimpinan khalifah Abu Bakar, Umar
menunjukkan loyalitasnya yang sangat tinggi kepada Abu Bakar. Tak salah bila
kemudian Abu Bakarnya mengangkatnya sebagai penasehat. Umar ini pulalah yang
akhirnya berhasil meyakinkan pentingnya mengumpulkan lembaran-lembaran
ayat-ayat Al-Quran untuk disatukan dan disimpan dengan baik. Abu Bakar kemudian
membentuk tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit. Maka dikumpulkanlah
seluruh lembaran ayat-ayat Al-Qur’an dari para penghafal al-Qur’an,
tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis yang ada waktu itu seperti
tulang, kulit dan lain sebagainya. Dan setelah lengkap kemudian diserahkan dan
disimpan Abu Bakar.
Paska wafatnya Abu Bakar, kumpulan ayat tersebut
disimpan oleh Umar yang kemudian diserahkan dan disimpan oleh Hafshah, putri Umar
sekaligus istri Rasulullah saw. Kemudian baru pada masa pemerintahan khalifah
ke 3 yaitu Utsman bin Affan kumpulan ayat tersebut dibukukan dan menjadi dasar
penulisan teks Al-Qur’an yang dikenal saat ini.