BAB I : PENDAHULUAN

 

Manusia adalah mahluk yang paling pandai diantara semua mahluk yang pernah ada di dunia ini. Dengan akalnya ia berusaha agar kehidupannya menjadi aman, tenang, mudah dan menyenangkan. Berbeda dengan mahluk lain yang cenderung hanya mengandalkan apa yang ada  dan tersedia di muka bumi ini tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu, maka manusia justru sebaliknya. Ia selalu ingin dan berusaha agar apa yang ada diolahnya, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih optimal dan lebih berkwalitas. Dengan ambisinya ini manusia selalu ingin maju dan tidak pernah merasa puas atas segala apa yang telah diperolehnya. Dan dengan ambisinya ini pula manusia berhasil memanfaatkan kekuatan alam.

 Disamping itu, manusia juga mempunyai rasa keingin-tahuan yang sangat tinggi. Dengan menggunakan akalnya ia cenderung gemar memikirkan keadaan diri dan keadaan sekitarnya. Mengapa ia ada dan hidup di dunia ini, mengapa  manusia harus mati, kemana dan bagaimana  pula setelah terjadinya kematian, akankah semuanya kemudian berakhir begitu saja. Bila demikian apakah apa yang telah diusahakannya selama ia hidup menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat? Bagaimana pula dengan kehidupan mahluk lain dan juga alam semesta ini, apakah ia terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuasaan yang menciptakan semua ini?

 Selain itu, manusia juga sering bertanya-tanya mengapa tidak semua yang diusahakannya dapat memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkannya. Berdasarkan pengalamannya, ia menyadari bahwa akal dan kepandaian bukanlah segalanya. Emosi atau keadaan hati juga dapat memberikan  pengaruh yang tidak sedikit bagi berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan atau usaha. Meskipun begitu ia tetap  dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diterima hanya melalui akal saja walaupun emosi seseorang sedang dalam keadaan prima. Ia dapat merasakan ada ‘kekuatan lain’ yang berkuasa atas dirinya yang tidak sanggup dan tidak mungkin dilawannya.

 Dari sinilah kemudian tampak bahwa sesungguhnya disamping akal, manusia juga mempunyai hati / qolbu. Dan hanya dengan qolbunya inilah ia dapat melihat ‘kekuatan lain’ tersebut, yaitu mata hati. Selanjutnya, sebagaimana akal yang dapat diasah dan dipertajam, maka demikian pula hati. Jadi ternyata untuk membentuk manusia yang berkualitas, ternyata tidak cukup dengan hanya mengandalkan intelektual semata tetapi juga harus didukung oleh suatu kecerdasan emosi.

 Dari Abu Bakar RA, Rasulullah bersabda: “Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”.  Sedangkan Abu Darda RA berkata bahwa Rasulullah suatu ketika bersabda: Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.

 Dengan  kecerdasan emosi ini pula seseorang akan mampu mengendalikan segala perasaannya. Dan ketika perasaannya telah bersih dan terbebas dari segala macam prasangka buruk seperti iri, dengki maupun sombong, maka lahir kekuatan dan kesadaran  akan adanya kebenaran sejati yang kemudian mampu memberinya naluri  untuk merasakan, mendengar dan melihat ‘kekuatan lain’ yang tersembunyi, kekuatan  yang paling berhak menentukan berhasil tidaknya usaha seseorang.

 Faktor ini disebut SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan spiritual. Dengan adanya keseimbangan antara ketiga faktor diatas ini, yaitu kecerdasan Intelektual, kecerdasan Emosi dan kecerdasan Spiritual, nantinya akan terbentuk suatu pribadi yang tangguh, pribadi yang memiliki pandangan yang tidak sempit yang tidak hanya tertuju kepada kepuasan duniawi namun juga memiliki dimensi keakhiratan, yang pandai bersyukur dan sabar menghadapi segala tantangan. Sikap inilah  yang nantinya akan memunculkan sikap pantang berputus asa yang pada akhirnya akan melahirkan  ketakwaan.

 Berdasarkan hasil survey di AS pada tahun 1918 tentang IQ (Intellectual Quotient), ternyata ditemukan semakin tinggi IQ seseorang  justru semakin  menurun kecerdasan emosi atau  EQ  (Emotional Quotient). Beberapa puluh tahun terakhir ini, banyak ditemukan kasus depresi di kalangan yang notabene berpendidikan tinggi yang semakin tahun semakin memarah hingga mengakibatkan kasus bunuh diri. Mereka pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki IQ relatif tinggi namun memiliki masalah sosial, diantaranya tersumbatnya komunikasi baik dilingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Mereka ini rupanya hanya disibukkan dengan pengasahan terhadap IQ melulu hingga melupakan pentingnya peran EQ sehingga tidak sanggup menata emosi dan mengatasinya. Ironisnya, orang-orang seperti ini tidak hanya membahayakan dirinya sendiri namun juga membahayakan diri banyak orang, seperti peristiwa yang terjadi pada bulan April 2007 di Amerika Serikat yang lalu. Seorang mahasiswa menembaki puluhan rekan mahasiswa dan dosen universitas dimana ia kuliah sebelum akhirnya ia menembak dirinya sendiri. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju seperti AS, Jepang dan  Eropa Barat tetapi juga di negara-negara berkembang.

 Tidak dapat dipungkiri, setinggi apapun pendidikan  seseorang, kemungkinan sebuah kegagalan selalu ada. Terdapat suatu faktor ‘x’ atau ‘luck’ yang tidak dapat diikuti oleh akal manusia. Disini berperan faktor spiritual. Dan hanya faktor inilah sebenarnya yang dapat mengatasi kekecewaan seseorang. Berdasarkan penelitian lain terbukti bahwa ternyata kasus depresi ini lebih disebabkan akibat tidak matangnya kecerdasan emosi dan spiritual seseorang. Hal ini tercermin dari bervariasinya korban depresi, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas, mulai dari yang memiliki IQ rendah sampai yang memiliki IQ tinggi, dari yang tidak berpendidikan hingga yang berpendidikan. Dari sini tampak nyata bahwa  ketidak-seimbangan antara IQ, EQ dan SQ dapat berakibat fatal.

 “Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman”. (QS Az Zumar (39): 52).

 Seorang pakar psikologi pendidikan, Daniel Coleman dalam bukunya ‘Emotional Intelligence’ menuturkan bahwa yang disebut kecerdasan emosi antara lain adalah kemampuan mengendalikan impuls emosional, kemampuan membaca perasaan orang lain serta  kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain. Menurut Daniel orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi ternyata hidupnya lebih sukses dibanding orang yang rendah kecerdasan emosinya. Kesimpulan ini diambil setelah ia melakukan tes ‘Marshmallow’, sebuah tes yang dikembangkan oleh Walter Mischel, seorang psikolog asal Austria. Pada intinya tes ini dilakukan untuk menguji kesabaran anak usia 4 tahunan. Setelah dilakukan pengamatan ternyata anak yang lulus kesabaran 14 tahun yang lalu tersebut lebih sukses dari pada anak yang tidak lulus tes. Anak-anak yang lulus setelah dewasa memiliki kepercayaan diri, kepekaan bahkan kemampuan akademik yang lebih baik dari anak yang tidak lulus.

 Danah Zohar, seorang lulusan Harvard University dan Ian Marshall dari Oxford Unversity adalah dua orang penggagas SQ. Dalam karya ilmiahnya, mereka menyatakan adanya ‘God Spot’ atau apa yang biasa disebut suara hati atau mata hati pada otak manusia. Dan berdasarkan penelitian beberapa ahli syaraf dari tim California University dan juga seorang ahli syaraf Austria terkemuka, terbukti bahwa ‘God Spot’ ini terletak diantara jaringan syaraf dan otak manusia yang berfungsi sebagai pusat spiritual seseorang. Pada ‘God Spot’ inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.

 Namun sayangnya temuan mereka ini baru sebatas pada apa yang nyata ada pada otak manusia. Sesuatu yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha untuk mempersatukan segala pengalaman hidup manusia dan memberinya makna. Belum sampai pada tingkat ke-Ilahian. Jalaludin Rumi seorang tokoh  sufi besar Islam, mengatakan : ”Matahati punya kemampuan 70x lebih besar untuk melihat daripada dua indra penglihatan.”

 Saat ini, dimana isu ‘Global Warming’ atau Pemanasan Global telah menjadi topik pembicaraan yang  hangat, maka tampaknya sudah tiba saat yang tidak mungkin lagi dipungkiri bahwa dunia dan segala isinya harus menyerah pada ‘kekuatan ghaib’.  Bahkan dengan ilmu yang demikian canggihpun, penemuan demi penemuan yang terus berlanjut,  kekuatan  nuklir yang terus dikembangkan namun dalam kenyataannya tidak seorangpun saat ini dapat mengantisipasi apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Berbagai cabang ilmupun banyak dipelajari orang. Kita bahkan dapat dengan mudah mengikuti perkembangan dunia hanya dengan duduk didepan televisi.

 Namun apakah dengan adanya berbagai penemuan itu hidup menjadi mudah, tenang dan damai? Bukankah salah satu tujuan memperdalam ilmu agar kwalitas hidup meningkat? Kenyataannya dimana-mana masih terlihat berbagai kasus mulai kelaparan, kemiskinan, bunuh diri  hingga berbagai penyakit fisik seperti AIDS, kanker, chikungunya, flue burung, demam berdarah maupun penyakit mental seperti  penyimpangan prilaku seksual  seperti pemerkosaan, pedofili dan homoseksual. Juga munculnya berbagai masalah dunia seperti peperangan, isu nuklir, pemanasan global, krisis energi hingga adanya perubahan iklim, rusaknya lapisan Ozon, naiknya permukaan dasar laut yang semuanya itu sebagai akibat dari pencemaran udara disebabkan  gas buang kendaraan dan pabrik, diexploitasinya perut bumi secara berlebihan dan juga musibah banjir yang disebabkan penebangan liar dan pembuangan sampah yang sembarangan kemudian juga ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum lemah.

 Perubahan musim yang tidak beraturan, peningkatan  suhu udara, berbagai badai dan berbagai perkiraan menakutkan seperti mencairnya gugusan salju di berbagai tempat diseluruh dunia, merupakan petunjuk akan hal tersebut. Belum lagi meningkatnya berbagai aktifitas sejumlah gunung yang begitu signifikan yang kemudian menyebabkan berbagai musibah seperti gempa dan  tsunami. Mengapa para ilmuwan dengan ilmunya yang super canggih sekalipun tidak juga dapat memperkirakan dimana dan kapan persisnya patahan-patahan lempeng dasar bumi tersebut bakal bergerak dan mengakibatkan terjadinya hal-hal diatas? 

Lalu dimana manfaat ilmu mereka itu? Tampaknya bumi benar-benar sedang menuju kehancurannya. Bencana demi bencana yang terus bersusulan seolah enggan untuk berhenti menyapa. Siapa sesungguhnya Sang “Kekuatan Ghaib “ tersebut?

 “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang-biakkan kamu di bumi ini dan kepadaNyalah kamu akan dihimpun.Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah yang(mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”.(QS Al Mu’minun (23):78-80).

Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, suatu zat yang mustahil sama dengan ciptaannya. Pada umumnya semua manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia ini pada suatu waktu yang amat terbatas. Pada saatnya nanti setiap diri akan kembali dan harus mempertanggung-jawabkan apa yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia. Ketika manusia menyadari akan kenyataan ini, manusia akan lebih tenang karena ia mengetahui dengan pasti akan tujuan hidupnya. Ia akan mempersiapkan dirinya dengan mencari bekal di dunia berdasarkan tuntunanNya dengan mengharap ridho Allah SWT.

Maka dengan demikian, manusia yang menyadari akan hakekat hidup ini cara berpikirnya tidak lagi hanya  semata mengejar kebahagiaan dunia, kepuasan material, kepuasan yang hanya sesaat. Dengan bimbingan hati nurani atau ‘God Spot’ manusia akan berhasil menjadi seorang khalifah sesuai dengan fitrahnya. Karena sesungguhnya dengan meningkatnya kecerdasan spiritual maka kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektualnyapun akan makin meningkat. Karena Al-Quran memang mengajarkan keseimbangan  diantara ketiga kecerdasan tersebut. Itu pula sebabnya mengapa ayat pertama yang diturunkan kepada manusia memerintahkan kita untuk membaca.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.(QS Al ‘Alaq(96):1-5).

  “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”. (QS. Al-Mujadillah(58):11).

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama