Manusia adalah mahluk yang paling pandai diantara semua mahluk
yang pernah ada di dunia ini. Dengan akalnya ia berusaha agar kehidupannya
menjadi aman, tenang, mudah dan menyenangkan. Berbeda dengan mahluk lain yang
cenderung hanya mengandalkan apa yang ada dan tersedia di muka bumi ini
tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu, maka manusia justru sebaliknya. Ia
selalu ingin dan berusaha agar apa yang ada diolahnya, sehingga dapat
memberikan hasil yang lebih optimal dan lebih berkwalitas. Dengan ambisinya ini
manusia selalu ingin maju dan tidak pernah merasa puas atas segala apa yang
telah diperolehnya. Dan dengan ambisinya ini pula manusia berhasil memanfaatkan
kekuatan alam.
Disamping
itu, manusia juga mempunyai rasa keingin-tahuan yang sangat tinggi. Dengan
menggunakan akalnya ia cenderung gemar memikirkan keadaan diri dan keadaan
sekitarnya. Mengapa ia ada dan hidup di dunia ini, mengapa manusia harus
mati, kemana dan bagaimana pula setelah terjadinya kematian, akankah
semuanya kemudian berakhir begitu saja. Bila demikian apakah apa yang telah
diusahakannya selama ia hidup menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat?
Bagaimana pula dengan kehidupan mahluk lain dan juga alam semesta ini, apakah
ia terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuasaan yang menciptakan semua ini?
Selain itu, manusia juga sering bertanya-tanya mengapa
tidak semua yang diusahakannya dapat memberikan hasil yang sesuai dengan apa
yang diharapkannya. Berdasarkan pengalamannya, ia menyadari bahwa akal dan
kepandaian bukanlah segalanya. Emosi atau keadaan hati juga dapat
memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi berhasil atau tidaknya suatu
pekerjaan atau usaha. Meskipun begitu ia tetap dapat merasakan bahwa ada
sesuatu yang tidak dapat diterima hanya melalui akal saja walaupun emosi seseorang
sedang dalam keadaan prima. Ia dapat merasakan ada ‘kekuatan lain’ yang berkuasa atas
dirinya yang tidak sanggup dan tidak mungkin dilawannya.
Dari sinilah kemudian tampak bahwa sesungguhnya disamping
akal, manusia juga mempunyai hati / qolbu. Dan hanya dengan qolbunya inilah ia
dapat melihat ‘kekuatan
lain’ tersebut, yaitu mata hati. Selanjutnya, sebagaimana akal
yang dapat diasah dan dipertajam, maka demikian pula hati. Jadi ternyata untuk
membentuk manusia yang berkualitas, ternyata tidak cukup dengan hanya
mengandalkan intelektual semata tetapi juga harus didukung oleh suatu
kecerdasan emosi.
Dari Abu Bakar RA, Rasulullah bersabda: “Janganlah seseorang diantara
kalian menentukan
suatu hukum pada
kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”. Sedangkan
Abu Darda RA berkata bahwa Rasulullah suatu ketika bersabda: “Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”.
Dengan kecerdasan emosi ini pula seseorang akan mampu
mengendalikan segala perasaannya. Dan ketika perasaannya telah bersih dan
terbebas dari segala macam prasangka buruk seperti iri, dengki maupun sombong,
maka lahir kekuatan dan kesadaran akan adanya kebenaran sejati yang
kemudian mampu memberinya naluri untuk merasakan, mendengar dan melihat ‘kekuatan lain’ yang
tersembunyi, kekuatan yang paling berhak menentukan berhasil tidaknya
usaha seseorang.
Faktor ini disebut SQ (Spiritual
Quotient) atau kecerdasan spiritual. Dengan adanya
keseimbangan antara ketiga faktor diatas ini, yaitu kecerdasan Intelektual, kecerdasan
Emosi dan kecerdasan Spiritual, nantinya akan terbentuk suatu pribadi yang
tangguh, pribadi yang memiliki pandangan yang tidak sempit yang tidak hanya
tertuju kepada kepuasan duniawi namun juga memiliki dimensi keakhiratan, yang
pandai bersyukur dan sabar menghadapi segala tantangan. Sikap inilah yang
nantinya akan memunculkan sikap pantang berputus asa yang pada akhirnya akan
melahirkan ketakwaan.
Berdasarkan hasil survey di AS pada tahun 1918 tentang IQ
(Intellectual Quotient),
ternyata ditemukan semakin tinggi IQ seseorang justru semakin
menurun kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Quotient). Beberapa puluh tahun
terakhir ini, banyak ditemukan kasus depresi di kalangan yang notabene
berpendidikan tinggi yang semakin tahun semakin memarah hingga mengakibatkan
kasus bunuh diri. Mereka pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki IQ
relatif tinggi namun memiliki masalah sosial, diantaranya tersumbatnya
komunikasi baik dilingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Mereka ini
rupanya hanya disibukkan dengan pengasahan terhadap IQ melulu hingga melupakan
pentingnya peran EQ sehingga tidak sanggup menata emosi dan mengatasinya.
Ironisnya, orang-orang seperti ini tidak hanya membahayakan dirinya sendiri
namun juga membahayakan diri banyak orang, seperti peristiwa yang terjadi pada
bulan April 2007 di Amerika Serikat yang lalu. Seorang mahasiswa menembaki
puluhan rekan mahasiswa dan dosen universitas dimana ia kuliah sebelum akhirnya
ia menembak dirinya sendiri. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara
maju seperti AS, Jepang dan Eropa Barat tetapi juga di negara-negara
berkembang.
Tidak dapat dipungkiri, setinggi apapun pendidikan
seseorang, kemungkinan sebuah kegagalan selalu ada. Terdapat suatu faktor ‘x’ atau ‘luck’ yang tidak
dapat diikuti oleh akal manusia. Disini berperan faktor spiritual. Dan hanya
faktor inilah sebenarnya yang dapat mengatasi kekecewaan seseorang. Berdasarkan
penelitian lain terbukti bahwa ternyata kasus depresi ini lebih disebabkan
akibat tidak matangnya kecerdasan emosi dan spiritual seseorang. Hal ini
tercermin dari bervariasinya korban depresi, mulai dari kalangan bawah sampai
kalangan atas, mulai dari yang memiliki IQ rendah sampai yang memiliki IQ
tinggi, dari yang tidak berpendidikan hingga yang berpendidikan. Dari sini
tampak nyata bahwa ketidak-seimbangan antara IQ, EQ dan SQ dapat
berakibat fatal.
“Dan
tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan
menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya? Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman”. (QS Az Zumar (39): 52).
Seorang pakar psikologi pendidikan, Daniel Coleman dalam
bukunya ‘Emotional
Intelligence’ menuturkan bahwa yang disebut kecerdasan emosi
antara lain adalah kemampuan mengendalikan impuls emosional, kemampuan membaca
perasaan orang lain serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang
lain. Menurut Daniel orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi ternyata
hidupnya lebih sukses dibanding orang yang rendah kecerdasan emosinya.
Kesimpulan ini diambil setelah ia melakukan tes ‘Marshmallow’, sebuah
tes yang dikembangkan oleh Walter Mischel, seorang psikolog asal Austria. Pada
intinya tes ini dilakukan untuk menguji kesabaran anak usia 4 tahunan. Setelah
dilakukan pengamatan ternyata anak yang lulus kesabaran 14 tahun yang lalu
tersebut lebih sukses dari pada anak yang tidak lulus tes. Anak-anak yang lulus
setelah dewasa memiliki kepercayaan diri, kepekaan bahkan kemampuan akademik
yang lebih baik dari anak yang tidak lulus.
Danah Zohar, seorang lulusan Harvard University dan Ian
Marshall dari Oxford Unversity adalah dua orang penggagas SQ. Dalam karya
ilmiahnya, mereka menyatakan adanya ‘God
Spot’ atau apa yang biasa disebut suara hati atau mata hati
pada otak manusia. Dan berdasarkan penelitian beberapa ahli syaraf dari tim
California University dan juga seorang ahli syaraf Austria terkemuka, terbukti
bahwa ‘God Spot’ ini
terletak diantara jaringan syaraf dan otak manusia yang berfungsi sebagai pusat
spiritual seseorang. Pada ‘God
Spot’ inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Namun sayangnya temuan mereka ini baru sebatas pada apa
yang nyata ada pada otak manusia. Sesuatu yang menunjukkan adanya proses syaraf
dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha untuk mempersatukan segala
pengalaman hidup manusia dan memberinya makna. Belum sampai pada tingkat
ke-Ilahian. Jalaludin Rumi seorang tokoh sufi besar Islam, mengatakan : ”Matahati punya kemampuan 70x lebih
besar untuk melihat daripada dua indra penglihatan.”
Saat ini, dimana isu ‘Global
Warming’ atau Pemanasan Global telah menjadi topik pembicaraan
yang hangat, maka tampaknya sudah tiba saat yang tidak mungkin lagi
dipungkiri bahwa dunia dan segala isinya harus menyerah pada ‘kekuatan ghaib’.
Bahkan dengan ilmu yang demikian canggihpun, penemuan demi penemuan yang terus
berlanjut, kekuatan nuklir yang terus dikembangkan namun dalam
kenyataannya tidak seorangpun saat ini dapat mengantisipasi apa yang sebenarnya
sedang terjadi saat ini. Berbagai cabang ilmupun banyak dipelajari orang. Kita
bahkan dapat dengan mudah mengikuti perkembangan dunia hanya dengan duduk
didepan televisi.
Namun apakah dengan adanya berbagai penemuan itu hidup
menjadi mudah, tenang dan damai? Bukankah salah satu tujuan memperdalam ilmu
agar kwalitas hidup meningkat? Kenyataannya dimana-mana masih terlihat berbagai
kasus mulai kelaparan, kemiskinan, bunuh diri hingga berbagai penyakit
fisik seperti AIDS, kanker, chikungunya, flue burung, demam berdarah maupun
penyakit mental seperti penyimpangan prilaku seksual seperti
pemerkosaan, pedofili dan
homoseksual. Juga munculnya berbagai masalah dunia seperti peperangan, isu
nuklir, pemanasan global, krisis energi hingga adanya perubahan iklim, rusaknya
lapisan Ozon, naiknya permukaan dasar laut yang semuanya itu sebagai akibat
dari pencemaran udara disebabkan gas buang kendaraan dan pabrik,
diexploitasinya perut bumi secara berlebihan dan juga musibah banjir yang
disebabkan penebangan liar dan pembuangan sampah yang sembarangan kemudian juga
ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum lemah.
Perubahan
musim yang tidak beraturan, peningkatan suhu udara, berbagai badai dan
berbagai perkiraan menakutkan seperti mencairnya gugusan salju di berbagai
tempat diseluruh dunia, merupakan petunjuk akan hal tersebut. Belum lagi
meningkatnya berbagai aktifitas sejumlah gunung yang begitu signifikan yang
kemudian menyebabkan berbagai musibah seperti gempa dan tsunami. Mengapa
para ilmuwan dengan ilmunya yang super canggih sekalipun tidak juga dapat
memperkirakan dimana dan kapan persisnya patahan-patahan lempeng dasar bumi
tersebut bakal bergerak dan mengakibatkan terjadinya hal-hal diatas?
Lalu dimana manfaat ilmu mereka itu? Tampaknya bumi benar-benar
sedang menuju kehancurannya. Bencana demi bencana yang terus bersusulan seolah
enggan untuk berhenti menyapa. Siapa sesungguhnya Sang “Kekuatan Ghaib “
tersebut?
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi
kamu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
Dan Dialah
yang menciptakan serta mengembang-biakkan kamu di bumi ini dan kepadaNyalah kamu akan
dihimpun.Dan Dialah
yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah yang(mengatur) pertukaran
malam dan siang.
Maka apakah kamu tidak memahaminya?”.(QS Al Mu’minun (23):78-80).
Manusia
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, suatu zat yang mustahil sama dengan
ciptaannya. Pada umumnya semua manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia ini
pada suatu waktu yang amat terbatas. Pada saatnya nanti setiap diri akan
kembali dan harus mempertanggung-jawabkan apa yang telah dikerjakannya selama
hidup di dunia. Ketika manusia menyadari akan kenyataan ini, manusia akan lebih
tenang karena ia mengetahui dengan pasti akan tujuan hidupnya. Ia akan
mempersiapkan dirinya dengan mencari bekal di dunia berdasarkan tuntunanNya
dengan mengharap ridho Allah SWT.
Maka dengan demikian, manusia yang menyadari akan hakekat hidup
ini cara berpikirnya tidak lagi hanya semata mengejar kebahagiaan dunia,
kepuasan material, kepuasan yang hanya sesaat. Dengan bimbingan hati nurani
atau ‘God Spot’ manusia
akan berhasil menjadi seorang khalifah sesuai dengan fitrahnya. Karena
sesungguhnya dengan meningkatnya kecerdasan spiritual maka kecerdasan emosi dan
kecerdasan intelektualnyapun akan makin meningkat. Karena Al-Quran memang
mengajarkan keseimbangan diantara ketiga kecerdasan tersebut. Itu pula
sebabnya mengapa ayat pertama yang diturunkan kepada manusia memerintahkan kita
untuk membaca.
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”.(QS Al ‘Alaq(96):1-5).
“…Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat…”. (QS.
Al-Mujadillah(58):11).