10+ kisah jenaka Abu Nawas

 

Sosok Abu Nawas sudah tidak asing lagi. Penyair Arab klasik yang terkenal itu cukup populer karena pribadinya yang jenaka dan kisah-kisah lucu mengenai hidupnya.

Pria bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani' al-Hakimi itu akrab disapa Abu Nawas karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu, seperti dituliskan dalam buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka karya Muhammad Ali Fakih. Adapun, terkait tahun kelahiran Abu Nawas masih menjadi perdebatan, banyak perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

 

1. Mencari neraka di siang hari

Ketika beranjak dewasa Abu Nawas membantu sang paman bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Seusai bekerja, ia sering pergi ke masjid untuk belajar berbagai ilmu agama dan pengetahuan lain, seperti syair, fikih, dan ilmu hadis. Abu Nawas terkenal sebagai murid yang cerdik dan antusias dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan Abu Usamah yang merupakan ahli sastra sekaligus pujangga terkenal. Ia sangat terkesima dengan kemampuan Abu Nawas membuat syair hingga diajarkan berbagai ilmu mengenai syair.

Dikenal sebagai sosok yang jenaka dan cerdas, banyak kisah menarik mengenai Abu Nawas, salah satunya ketika ia bersikeras mencari neraka. Kala itu, Abu Nawas merupakan seorang staf ahli dari Khalifah Harun Al-Rasyid.

Pada suatu siang, Abu Nawas membawa lampu minyak dan menggoyangkannya sembari berhenti pada setiap sudut rumah. Setelahnya, ia kembali berjalan dengan lampu yang masih dipegangnya.

Tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar Matahari menyorot sambil membawa lampu?

"Abu Nawas mulai gila," kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas.

Walau begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri.

Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas bertanya kepada Abu Nawas. Apa yang sebenarnya ia cari di siang hari dengan lampu di tangannya?

Abu Nawas lalu menjawab, "Saya sedang mencari neraka,"

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang digoyang-goyangkan.

Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad, ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya dengan nada tinggi,

"Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?"

"Hamba mencari neraka, paduka yang mulia," jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila.

"Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!"

"Tidak paduka, merekalah yang gila,"

"Siapa mereka?"

Abu Nawas kemudian meminta orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan. Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.

"Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?" tanya Abu Nawas.

"Benar!" jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

"Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?"

"Betul, dasar sesat!"

"Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?"

"Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!"

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali, "Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?"

Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?"

"Paduka mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menentukan orang lain masuk neraka?" tanya Abu Nawas.

"Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?" lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah Harun, ia lalu berkata sambil masih tergelak, "Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya,"

 

2. Menjual matahari

Dikisahkan kala itu sejumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagian berteriak dan meminta agar Abu Nawas ditangkap.

Para penduduk protes karena baliho raksasa milik Abu Nawas yang dipasang di depan rumahnya yang berbunyi, "Dijual Cepat: Matahari Baghdad, Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Unta"

Penduduk lainnya merasa panik dan kasak-kusuk di depan istana. Mereka takut sekaligus bingung, jika Matahari Baghdad dijual maka bagaimana mereka bisa hidup?

"Abu Nawas kamu serius mau menjual Matahari?" tanya Khalifah Harun Al-Rasyid sambil mengamati massa yang membludak di depan istananya.

"Benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak," jawab Abu Nawas.

"Maksudnya?" Khalifah kembali bertanya.

"Begini baginda, apakah baginda senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat sebagai khalifah baginda tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?" beber Abu Nawas.

Khalifah Harun Al-Rasyid yang bingung lantas meminta Abu Nawas untuk menjelaskan maksud dari ucapannya.

"Abu Nawas, coba ke inti masalah!"

"Jika baginda turun dan bertanya kepada massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Korramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tak bisa dimakan!" kata Abu Nawas menjelaskan.

Khalifah Harun Al-Rasyid terdiam.

"Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya korupsi agar mereka tak repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, baginda membiarkan partai Ba'ts yang sudah dilarang tumbuh lagi, wah pokoknya banyak baginda,"

"Lalu apa hubungannya dengan menjual Matahari?" tanya Khalifah Harun Al-Rasyid.

Abu Nawas kemudian menjelaskan apa yang dianggap Khalifah Harun sebagai prestasi nasional justru dianggap pemborosan dan membebani negara karena mereka terbiasa melihat prestasi yang ada di ruang gelap. Di ruang gelap, gadis cantik tak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi.

"Tapi kalau pun mata mereka tak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? "

Abu Nawas kemudian berkata, "Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Apakah Baginda tidak capek berpikir rasional?"

Khalifah Harun Al-Rasyid kembali terdiam, Abu Nawas lanjut menjelaskan.

"Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, semuanya sama sekali tidak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakan, 'infrastruktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan,' itu cara berpikir rasional dan normal, paduka,"

Massa di depan istana semakin membludak. Khalifah Harun Al-Rasyid masih diam, ia lantas memberi isyarat membenarkan ucapan Abu Nawas.

"Jadi, boleh saya menjual Matahari?"

Kisah ini menunjukkan Abu Nawas sebagai pribadi yang cerdas dan peduli. Mimpi tak akan nyata karena keajaiban, butuh keringat, kebulatan tekad dan kerja keras untuk mewujudkannya.

 

3. Menjual raja untuk dijadikan budak

Dikisahkan Abu Nawas telah ditinggal wafat ayahnya sejak kecil. Sang ibu membawanya ke sebuah kota di Irak karena alasan ekonomi.

Abu Nawas kecil dititipkan kepada seseorang bernama Attar untuk melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan anak kecil. Walau begitu, Attar memperlakukan Abu Nawas dengan baik, ia disekolahkan di sekolah A-Qur'an hingga menjadi seorang hafiz.

Suatu hari, dia berencana untuk menjual sang raja yang kala itu bernama Khalifah Harun ar-Rasyid. Akibat rencana tersebut lantas Abu Nawas menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid seraya berkata,

"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada paduka yang mulia,"

Mendengar hal itu, Khalifah tersebut menjawab dengan rasa penasaran,

"Apa itu wahai Abu Nawas?"

"Sesuatu yang hamba yakin tidak pernah terlintas di dalam benak paduka yang mulia, saya ingin memperlihatkan kepada baginda sebuah benda ajaib"

"Oke, kalau begitu cepatlah ajak saya ke sana untuk menyaksikannya,"

Abu Nawas memang terkenal sebagai sosok yang selalu membuat orang penasaran akan sesuatu. Karenanya, ia kembali berkata,

"Tapi baginda..."

"Tetapi apa?" Jawab sang raja yang sudah tidak sabar dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Abu Nawas.

"Oke, baginda. Jadi begini, baginda harus menyamar sebagai rakyat biasa, supaya orang-orang tidak banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu,"

Sang raja yang sudah sangat penasaran lantas mengiyakan anjuran Abu Nawas. Ia bersedia menyamar sebagai seorang rakyat biasa dan keduanya pergi ke sebuah hutan.

Sesampainya di sana, Abu Nawas mengajak mendekat ke sebuah pohon yang rindang dan memohon kepada sang raja untuk menunggu di situ. Lalu, Abu Nawas menemui seorang Badui yang merupakan penjual budak, ia mengajaknya untuk melihat calon budak yang ingin dijual namun Abu Nawas mengaku tak tega menjual budak di depan matanya langsung, ia mengaku budak tersebut merupakan temannya.

Setelah dilihat dari kejauhan, Badui tersebut merasa cocok dengan orang yang ingin dijual Abu Nawas. Usai kesepakatan terjalin beserta kontrak, Abu Nawas mendapat beberapa keping uang mas.

Sang raja yang tidak tahu menahu terus menunggu Abu Nawas. Sayangnya, beliau justru tak kunjung menampakkan dirinya, malahan terdapat seorang penujal budak yang menghampiri raja.

"Siapa engkau?" tanya raja.

"Aku adalah tuanmu sekarang," ujar Badui tersebut yang menghampiri sang raja tanpa mengetahui bahwa yang ada di depannya sekarang merupakan seorang raja.

"Apa maksud perkataanmu tadi?" jawab sang raja dengan wajah yang memerah.

Dengan enteng, penjual budak itu mengeluarkan surat kuasa seraya menjawab, "Abu Nawas telah menjualmu kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,"

"Apa??? Abu Nawas menjual diriku kepadamu?"

"Yaaa!" jawab sang badui dengan nada membentak.

Merasa makin geram, sang raja lantas berkata, "Tahukah engkau siapa sebenarnya diriku ini?"

"Tidak. Itu tidak penting dan tidak perlu," ujar sang Badui singkat. Ia kemudian menyeret bahu budak barunya ke belakang rumah.

Sesampainya di sana, Badui tersebut memberikan parang kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dan memintanya untuk membelah serta memotong kayu. Melihat tumpukan kayu yang banyak, sang raja memandangnya dengan ngeri, apalagi ia harus membelahnya.

Sayangnya, sang raja tidak mampu membelah kayu tersebut dengan baik. Malahan, ia menggunakan bagian parang yang tumpul ke arah tumpukan kayu.

Sang Badui kemudian memarahi Khalifah Harun ar-Rasyid. Dengan begitu, si raja membalik parangnya sehingga bagian yang tajam mengarah ke kayu dan berusaha membelahnnya.

Menurutnya, pekerjaan tersebut terasa aneh. Dalam hati ia bergumam, seperti inikah derita orang-orang miskin demi mencari sesuap nasi? Harus bekerja keras lebih dulu.

Badui tersebut kerap memandang Khalifah Harun ar-Rasyid dengan tatapan heran dan berujung marah. Dirinya merasa menyesal telah membeli seorang budak bodoh. Si raja lalu berkata,

"Hei Badui! Semua ini sudah cukup, aku tidak tahan,"

Mendengar hal itu, sang Badui semakin marah. Ia lalu memukul raja seraya berkata,

"Kurang ajar kau budakku. Kau harus patuh kepadaku!"

Khalifah Harun ar-Rasyid yang tidak pernah disentuh oleh orang lain tiba-tiba menjerit keras akibat pukulan dengan kayu yang dilakukan oleh si Badui. Karena tidak kuat, ia lalu berkata sambil memperlihatkan tanda kerajaannya,

"Hai Badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun ar-Rasyid!"

Melihat hal itu, sang Badui langsung menjatuhkan diri dan memohon ampun kepada  sang raja yang habis dipukulnya. Walau begitu, sang raja mengampuninya karena si Badui tidak tahu menahu mengenai dirinya yang merupakan seorang raja. Sementara itu, Khalifah Harun ar-Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas dan ingin segera menghukumnya.

 

4. Abu Nawas dan hakim yang tamak

Pada suatu hari datang seorang wanita tua dan gelandangan ke rumah Abu Nawas untuk mengadukan masalah mereka padanya. Mereka kemudian menceritakan peristiwa yang telah menimpa mereka.

Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas meminta mereka datang kembali nanti malam bersama teman-temannya dengan membawa cangkul, kayu, kapak, martil, dan batu.

Wanita tua dan pemuda gelandangan itu merasa heran dengan pesan Abu Nawas. Namun, mereka begitu percaya kepada Abu Nawas. Mereka yakin Abu Nawas dapat memecahkan persoalan yang mereka alami. Abu Nawas selalu membela orang yang lemah. Mereka percaya karena mereka berada di pihak yang benar.

Pada malam harinya, wanita tua dan pemuda gelandangan datang bersama teman-temannya. Jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang sambil membawa benda-benda yang diminta Abu Nawas. Mereka berkumpul di depan rumah Abu Nawas menunggu perintah selanjutnya.

Abu Nawas lalu menyuruh mereka untuk menghancurkan rumah Pak Hakim. Abu Nawas melarang mereka berhenti jika rumah itu belum benar-benar hancur. Semua orang keheranan mendengar perintah Abu Nawas. Namun, mereka tetap menuruti perintah itu.

Orang-orang itu segera pergi menuju rumah Pak Hakim. Mereka berteriak-teriak sambil menghancurkan rumah Pak Hakim. Penduduk yang tinggal di sekitar rumah Pak Hakim tampak kebingungan. Mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

Penduduk pun berusaha mencegah perbuatan orang-orang itu. Namun, mereka tak mau berhenti melakukan pengrusakkan. Penduduk akhirnya hanya pasrah dan membiarkan mereka melakukan keinginannya.

Pak Hakim terkejut melihat banyak orang ingin merusak rumahnya. Pak Hakim segera keluar dari rumahnya dan menemui orang-orang itu. Pak Hakim sangat marah. Ia menanyakan siapa yang menyuruh merusak rumahnya. Mereka pun memberi tahu Pak Hakim bahwa mereka hanya disuruh oleh Abu Nawas.

Setelah menjawab pertanyaan Pak Hakim, mereka bukannya berhenti, malah terus menghancurkan rumah tersebut hingga roboh dan rata dengan tanah. Pak Hakim tak berdaya melawan para perusak rumahnya. Jumlah mereka terlalu banyak.

Hatinya sangat dongkol karena tidak ada orang yang membelanya. Ia pun bertekad akan melaporkan kejadian ini kepada Raja.

Keesokan harinya, Pak Hakim pergi ke istana untuk mengadukan kejadian semalam kepada sang Raja. Ia ingin Raja memutuskan perkara ini dengan bijaksana. Raja pun memerintahkan prajurit untuk memanggil Abu Nawas.

Prajurit kerajaan segera menangkap dan membawa Abu Nawas ke istana. Abu Nawas memang sudah tahu akan dipanggil oleh Raja. Ia sudah mempersiapkan diri jika ditanya oleh Sang Raja. Ia pun bersikap sangat tenang.

Raja menanyakan apakah Abu Nawas yang menyuruh orang-orang untuk merusak rumah Pak Hakim. Abu Nawas mengakui perbuatannya itu tanpa rasa takut sedikit pun. Raja bertanya mengapa ia melakukannya.

Abu Nawas lalu menjelaskan kepada Raja. Pada suatu malam, Abu Nawas bermimpi. Di dalam mimpi itu, Pak Hakim menyuruh Abu Nawas untuk menghancurkan rumahnya. Pak Hakim menginginkan rumah yang lebih besar dan lebih indah. Karena mimpi itulah maka Abu Nawas menghancurkan rumah Pak Hakim.

Raja merasa heran. Raja menanyakan apakah ada aturan yang memperbolehkan seseorang melaksanakan perintah dari dalam mimpi. Dengan tenang Abu Nawas menjawab bahwa ia menjalankan aturan yang dibuat oleh Pak Hakim sendiri.

Wajah Pak Hakim seketika menjadi pucat mendengar jawaban Abu Nawas. Ia teringat akan perbuatannya kepada seorang pemuda belum lama ini.

Raja menanyakan apakah benar Pak Hakim telah membuat aturan seperti itu. Pak Hakim tidak menjawab. Tubuhnya gemetaran karena rasa takut. Ia sadar telah melakukan kesalahan.

Raja pun bingung dengan sikap hakim tersebut. Raja meminta Abu Nawas untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Abu Nawas lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada suatu malam, seorang pemuda kaya bermimpi kawin dengan anak Pak Hakim. Di dalam mimpi ia membayar mas kawin agak banyak. Pak hakim mendengar kabar mimpi itu, ia segera mendatangi si Pemuda dan meminta mas kawin anaknya.

Tentu saja pemuda itu tak mau membayar mas kawin hanya karena mimpi. Namun, Pak Hakim merampas semua harta milik pemuda itu. Pemuda itu menjadi seorang gelandangan dan akhirnya ditolong oleh seorang wanita tua.

Raja sangat terkejut mendengar cerita Abu Nawas. Ia memerintahkan Abu Nawas untuk memanggil si Pemuda. Raja ingin membuktikan bahwa Abu Nawas tidak berbohong.

Abu Nawas memang sudah menyuruh pemuda itu menunggu di depan istana. Abu Nawas segera memanggil pemuda itu ke hadapan Raja. Raja meminta pemuda itu menceritakan kejadian yang dialaminya. Ternyata, cerita pemuda itu sama dengan cerita Abu Nawas.

Raja sangat murka. Ia telah salah mengangkat hakim yang tamak dan sewenang-wenang. Hakim itu dipecat dan seluruh hartanya diberikan kepada si Pemuda.

Pemuda itu sangat senang karena hartanya sudah kembali menjadi miliknya. Ia ingin membalas kebaikan Abu Nawas yang telah menolongnya. Ia akan memberikan sebagian hartanya sebagai hadiah. Namun, Abu Nawas menolak pemberian pemuda itu. Ia menolong dengan tanpa pamrih.

 

5. Abu Nawas dan rumah sempit

Suatu hari ada seorang laki-laki tua datang ke kedai teh. Wajahnya tampak bingung dan seperti sedang mencari seseorang. Rupanya ia sedang mencari Abu Nawas. Ia ingin mengadukan masalah pelik yang sedang dihadapinya.

Ia merasa tak dapat menemukan jalan keluar dari masalah itu. Ia sudah hampir putus asa dan tak tahu harus berbuat apa.

Salah seorang pengunjung kedai teh itu ingin mencoba menolong. Ia menanyakan masalah yang sedang dihadapi laki-laki tua itu. Laki-laki tua itu menceritakan masalah yang dihadapinya.

Ia mempunyai rumah yang sangat sempit. Sementara ia tinggal bersama istri dan delapan anak-anaknya. Rumah itu terasa terlalu sempit sehingga mereka merasa tidak bahagia. Suasana rumah tidak nyaman dan tidak memberi ketenangan.

Semua pengunjung kedai teh itu mendengarkan cerita laki-laki tua. Namun, tak ada seorang pun yang bisa memberi saran untuk orang itu. Akhirnya mereka menyuruh orang itu pergi mencari Abu Nawas. Kebetulan letak rumah Abu Nawas tidak jauh dari kedai itu. Orang itu pun pergi ke rumah Abu Nawas dan menceritakan masalahnya.

Setelah laki-laki itu selesai bercerita, Abu Nawas menanyakan apakah ia mempunyai seekor domba. Jika tidak, Abu Nawas menyarankan agar ia membeli seekor domba. Ia harus memelihara domba itu di dalam rumahnya. Orang itu menuruti saran Abu Nawas. Ia langsung pergi ke pasar hewan dan membeli seekor domba seperti yang disarankan Abu Nawas.

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. Sekarang ia telah memelihara seekor domba di rumahnya. Namun, rumahnya justru bertambah sesak. Keluarganya merasa suasana rumah menjadi lebih buruk dibandingkan sebelum tinggal bersama domba. Mereka merasa sangat tersiksa.

Abu Nawas menyarankan agar orang itu memelihara beberapa unggas di rumahnya. Orang itu menuruti saran Abu Nawas. Ia lalu pergi ke pasar hewan untuk membeli beberapa ekor ayam dan itik dan ia memeliharanya di dalam rumah.

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi ke rumah Abu Nawas. masalah di rumahnya menjadi semakin runyam. Setiap hari istrinya marah-marah. Anak-anaknya pun tak betah lagi tinggal di rumah. Orang itu semakin putus as. Ia berharap kali ini Abu Nawas memberinya jalan keluar yang terbaik.

Abu Nawas menyarankan agar orang itu membeli seekor anak unta dan memeliharanya di rumah. Lagi-lagi orang itu tidak membantah. Ia langsung pergi ke pasar hewan dan membeli seekor anak unta. Ia lalu memelihara anak unta itu di dalam rumahnya.

Beberapa hari kemudian ia mendatangi Abu Nawas kembali. Wajahnya semakin kusut. Masalah yang dihadapinya bertambah banyak. Ia sudah kehilangan harapan. Keadaan di rumahnya sekarang lebih mengerikan daripada hari-hari sebelumnya. Rumahnya menjadi kotor dan bau serta penuh sesak. Ia dan keluarganya sudah tidak tahan tinggal serumah dengan binatang-binatang itu.

Abu Nawas menyarankan agar orang itu menjual anak unta miliknya. Orang itu segera melaksanakan saran Abu Nawas. Ia langsung menjual anak unta yang ada di rumahnya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu. Ia ingin melihat keadaan mereka sekarang. Orang itu tampak tersenyum ketika menemui Abu Nawas. Orang itu bercerita bahwa keadaan merek sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak ada.

Rumahnya tidak terasa mengerikan lagi. Mereka merasa lebih bahagia. Abu Nawas lalu menyarankan untuk menjual unggas-unggasnya. Orang itu menuruti saran Abu Nawas. Ia pergi ke pasar hewan dan menjual unggas-unggasnya.

Beberapa hari kemudian, Abu Nawas kembali memintanya untuk menjual domba milikmya ke pasar hewan. Orang itu pun menjalankan saran Abu Nawas. Ia segera pergi ke pasar hewan untuk menjual domba miliknya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjunginya lagi. Orang itu menemui Abu Nawas dengan wajah berseri-seri. Ia mengatakan bahwa rumahnya sudah tidak penuh sesak lagi. Ia dan keluarganya merasa rumah itu bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak tinggal bersama mereka lagi.

Abu Nawas menjelaskan sebuah rahasia. Sebenarnya batas sempit dan luas itu ada dalam pikiran. Rahasianya ada pada rasa syukur kita. Bersyukurlah atas nikmat dari Tuhan maka Tuhan akan menanam keluasan dalam hati dan pikiran kita.

Laki-laki tua itu tersenyum mendengar penjelasan Abu Nawas. Ia menyadari kesalahannya selama ini. Ia dan keluarganya tak pernah bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada mereka. Kini ia bersama istri dan delapan anaknya dapat hidup berbahagia walaupun rumah mereka tidak lebih besar.

Namun, bagi mereka sekarang rumah sempit itu terasa luas.

 

6. Abu Nawas dan ibu yang sebenarnya

Pada suatu hari, ada dua orang wanita yang bertengkar di dekat rumah Abu Nawas. Dua wanita itu saling berteriak dan menyerang lawannya. Salah satu wanita itu menggendong seorang bayi.

Keributan ini mengundang kerumunan warga. Warga pun ingin tahu apa penyebab pertengkaran mereka. Ternyata dua wanita itu sedang memperebutkan bayi yang sedang digendong oleh salah satu di antara mereka. Keduanya mengaku sebagai ibu dari bayi itu. Pertengkaran ini tak bisa dilerai karena tidak ada penyelesainnya.

Kasus perebutan bayi ini akhirnya diserahkan kepada Hakim. Namun, hakim mengalami kesulitan untuk memutuskan wanita mana yang merupakan ibu bayi itu. Dua wanita itu sama-sama bersikeras bahwa bayi itu adalah anaknya.

Hakim itu akhirnya menghadap Raja untuk meminta bantuan. Raja pun mencari cara untuk menentukan ibu bayi yang sebenarnya. Raja pun berbicara kepada dua wanita itu secara terpisah. Raja berbicara dengan cara yang sangat halus agar mereka mengaku. Namun, cara yang ditempuh Raja tak membuahkan hasil apa-apa. Kedua wanita itu justru semakin mati-matian mengaku sebagai ibu dari bayi itu.

Raja hampir putus asa. Masalah ini harus segera diputuskan karena menyangkut nasib seorang bayi. Raja lalu ingat Abu Nawas. Selama ini Baginda sering meminta bantuan Abu Nawas untuk memutuskan perkara yang sulit.

Abu Nawas pun dipanggil ke istana untuk menghadap sang Raja. Raja menceritakan peristiwa yang terjadi. Raja meminta Abu Nawas untuk menyelesaikan masalahnya. Raja memberi waktu satu hari kepada Abu Nawas untuk memikirkan jalan keluarnya.

Keesokan harinya, Abu Nawas datang ke istana. Raja sudah mengundang dua wanita yang berebut bayi. Banyak warga yang datang ingin menyaksikan penyelesaian kasus ini. Semua yang hadir menunggu dengan hati berdebar-debar. Mereka ingin masalah ini segera diputuskan.

Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja. Lalu Abu Nawas memanggil algojo untuk maju ke depan. Algojo itu membawa pedang di tangannya. Wajah kedua wanita itu tampak khawatir. Tatapan mata mereka tertuju kepada bayi yang diletakkan di atas meja.

Abu Nawas bertanya kepada kedua wanita tersebut mengenai siapa ibu bayi yang sebenarnya. Bayi ini harus bersama ibunya yang asli. Salah satu dari mereka bukan ibunya harus mengalah. Namun, keduanya tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing tak akan mau menyerahkan bayi itu kepada orang lain.

Abu Nawas memutuskan akan mengabulkan keinginan kedua wanita itu dengan cara yang adil. Ia akan menyuruh algojo untuk membelah bayi ini menjadi dua. Jadi masing-masing akan mendapatkan bagian yang sama. Abu Nawas pun minta persetujuan kepada kedua wanita itu. Semua orang yang hadir tercengang. Bagaimana mungkin seorang bayi dibelah menjadi dua.

Wanita pertama tampak senang. Akhirnya masalah ini dapat diselesaikan dengan adil. Mereka akan sama-sama mendapat bagian yang seimbang. Ia pun menyetujui usul Abu Nawas.

Sementara wanita kedua langsung menangis meronta-ronya. Ia menjerit-jerit histeris. Ia meminta agar Abu Nawas tidak membelah bayi itu. Ia akan menyerahkan bayi itu seutuhnya kepada wanita pertama. Ia rela bayi itu dirawat oleh wanita itu.

Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang ia sudah tahu siapa ibu bayi yang sebenarnya. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan menyerahkannya kepada wanita kedua. Tak ada ibu yang tega membiarkan anaknya disembelih.

Ibu itu sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Abu Nawas. Wanita yang setuju anaknya disembelih pastilah bukan ibu yang sebenarnya. Abu Nawas lalu memerintahkan agar wanita pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya.

Raja merasa puas dengan keputusan Abu Nawas. Warga yang ikut menyaksikan kejadian ini pun gembira karena bayi itu sudah kembali pada ibunya. Sekali lagi Abu Nawas membuktikan kecerdikan dan kepadaiannya. Raja pun ingin mengangkat Abu Nawas menjadi penasehat kerajaan.

Namun Abu Nawas menolak. Ia ingin tetap menjadi rakyat biasa saja.

 

7. Abu Nawas dan istana raja yang hancur karena lalat

Abu Nawas tertunduk sedih saat mendengar perkataan istrinya. Tadi pagi, atas perintah langsung dari Raja, beberapa pengawal kerajaan membongkar dan menggali rumahnya dengan paksa.

Istrinya memberitahukan Abu Nawas bahwa perintah untuk menggali rumahnya itu disebabkan karena Raja bermimpi di bawah rumah Abu Nawas terdapat emas dan permata yang tak ternilai harganya.

Tetapi setelah digali, ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan, yang membuat Abu Nawas kesal dan bersedih adalah Raja tidak meminta maaf kepadanya. Bahkan tidak ada ganti rugi atas kerusakan yang telah dibuat orang-orang kerajaan.

Lama Abu Nawas berpikir, tapi belum juga ia menemukan cara untuk membalas perbuatan Raja. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan, karena nafsu makannya hilang. Malam pun tiba, tapi Abu Nawas tetap tidak beranjak dari tempatnya semula. Keesokan harinya, Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi. Tiba-tiba ia tersenyum gembira.

Abu Nawas berkata pada istrinya, “Tolong ambilkan kain penutup makananku dan sebatang besi.”

“Untuk apa?” tanya istrinya bingung. “Aku akan membalas perbuatan Raja yang seenaknya merusak rumah kita.” jawab Abu Nawas.

Dengan wajah berseri-seri, Abu Nawas berangkat menuju istrana. Tiba di istana, Abu Nawas memberi salam hormat dan berkata kepada Raja, “Maaf Raja, aku menemuimu untuk mengadukan perlakukan tamu-tamu yang tak diundang. Mereka memasuki rumahku tanpa izin dan berani memakan makananku.”

“Siapakah tamu-tamu yang tak diundang itu, wahai Abu Nawas?” tanya sang Raja.

“Lalat-lalat ini, Raja,” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya. “Kalau bukan kepadamu, kepada siapa lagi aku harus mengadukan ketidakadilan ini?” lanjut Abu Nawas.

“Keadilan seperti apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Raja.

“Aku hanya ingin mendapatkan izin tertulis dari Raja untuk bisa menghukum lalat-lalat ini,” jawab Abu Nawas.

Meskipun terdengar aneh, tapi Raja tidak bisa menolak permintaan Abu Nawas, karena saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Raja merasa malu jika menolak permintaan rakyatnya. Dengan terpaksa, Raja akhirnya membuat surat izin yang isinya membolehkan Abu Nawas untuk memukul lalat-lalat itu di mana pun mereka hinggap.

Tanpa menunda-nunda lagi, Abu Nawas segera mengusir lalat-lalat dari piringnya. Lalat-lalat itu terbang dan hinggap disana-sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukul lalat-lalat itu.

Seekor lalat hingga di kaca, Abu Nawas pun memukul kaca itu hingga pecah. Begitu pun dengan lalat-lalat lain yang menempel di vas bunga dan patung hias. Abu Nawas memukulkan tongkat besinya ke segala arah, sehingga sebagian perabotan istana hancur.

Bahkan, Abu nawas nekad memukul lalat yang kebetulan hinggap di guci sang Raja. Raja pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kesalahannya karena telah merusak rumah Abu Nawas dan keluarganya.

Setelah merasa puas, Abu Nawas pun pamit pulang. Kini barang-barang kesayangan Raja telah hancur. Bukan itu saja, Raja juga merasa malu. Ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas.

Abu Nawas yag selalu lucu dan sering menghibur banyak orang itu, ternyata bisa sangat marah kepada orang yang mengganggunya. Sementara itu, Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Ia sudah tidak sabar ingin bercerita kepada istrinya di rumah tentang apa yang baru saja ia lakukan di istana. 

 

8. Tingkatan Mata, Tingkatan Otak, Tingkatan Hati

Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit. Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu.

Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya, "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang pertama.

"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu. Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang kedua.

"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama."Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang mengerjakan dosa-dosa' besar." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang ketiga.

"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas.

Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas. Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya. "Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?"

"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati." "

Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena memang itulah yang dilihatnya." jawab Abu Nawas.

"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.

"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.

"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda, la bertanya lagi.

"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?" "Mungkin." jawab Abu Nawas.

"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu. "Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas

"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta murid Abu Nawas

"Doa itu adalah : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa 'ala naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi."

Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Melihat kisah diatas bahwa Abu Nawas menunjukkan kecerdasannya, dan kerendahan hatinya kepada Allah Swt.

 

9. Menanti Raja

Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh, kawan-kawannya sudah lebih dulu berada di sana. Ternyata mereka sengaja menunggu Abu Nawas.

“Nah ini dia Abu Nawas datang”, kata salah seorang dari mereka.

“Ada apa?” kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.

“Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap Raja Harun Al-Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum baginda raja bila engkau melakukannya”, kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.

“Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali Allah SWT”, kata Abu Nawas menentang.

“Selama ini belum pernah ada seorangpun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al-Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?” tanya kawan Abu Nawas.

 “Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat, siapa saja yang melakukannya pasti akan dipancung”, kata Abu Nawas memberitahu.

“Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?” tanya temannya yang lain.

“Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah SWT saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?” Abu Nawas balik bertanya.

“Seratus keping uang emas. Selain itu, baginda harus tertawa pada saat engkau pantati," tantang mereka.

Bukan Abu Nawas namanya jika tidak bisa menyelesaikan suatu masalah. Ia menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu dan kembali pulang ke rumahnya.

Kawan-kawan Abu Nawas merasa tidak yakin Abu Nawas sanggup untuk memantati baginda dan membuat baginda raja tertawa. Karena tantangan ini sangat berat, maka kali ini Abu Nawas pun harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.

Pekan depannya, Baginda Raja Harun Al-Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana, dan orang-orang dekat baginda diundang, termasuk juga Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka sudah tidak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.

Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda raja menginginkan acara itu akan digelar dengan meriah. Baginda tidak ingin mengecewakan para tamunya, terkhusus untuk raja-raja dari negeri sahabat yang datang.

Akhirnya hari yang dijanjikan telah tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun ternyata mereka keliru, Abu Nawas bukan tidak datang, tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk ditempat yang paling belakang.

Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Kemudian giliran Baginda Raja Harun Al-Rasyid menyampaikan pidatonya. Setelah menyampaikan pidato, baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian ditempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran baginda bertanya, “Mengapa engkau tidak duduk diatas karpet?”

“Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kasih atas perhatian baginda. Hamba sudah merasa bahagia duduk di sini," kata Abu Nawas.

“Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaiannmu kotor karena duduk di atas tanah,” baginda raja menyarankan.

“Ampun tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet," jawab Abu Nawas dengan santai.

Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk diatas lantai.

 “Karpet yang mana yang engkau maksudkan itu wahai Abu Nawas?” tanya baginda masih bingung.

“Karpet hamba sendiri tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi,” tata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.

“Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa," kata baginda raja bertambah bingung.

“Baiklah baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada paduka yang mulia,” kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut kedepan.

Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan dibagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-seolah memantati Baginda Raja Harun Al-Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel dipantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para tamu yang datang.

Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum. Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.

 

10. Berjalan ke Neraka

Suatu ketika Abu Nawas ditanya seseorang, "Kapan kamu mati?

"Maaf, barang kali Tuan bisa memberikan penjelasan sedikit terkait dengan pertanyaan Tuan tadi,' pinta Abu Nawas yang ternyata juga bisa menampilkan mimic serius.

"Begini, kalau kamu mati saya mau titip surat buat mendiang ayah saya yang telah mati beberapa tahun yang lalu," sambungnya.

"Terimakasih sebelumnya atas kepercayaan Tuan," jawab Abu Nawas, "Tapi maaf sekali, dengan sangat terpaksa keinginan Tuan tidak bisa kupenuhi.

"Kenapa?" Tanya Tuan kepada Abu Nawas.

Lalu Abu Nawas menjawab, "Sebab aku tak tahu jalan ke neraka Jahannam."

Mendadak wajah orang itu merah padam, dan sambil merunduk ia pun segera pergi.

Pertanyaan yang nyelekit dari Tuan kepada Abu Nawas, dijawab lebih nyelekit oleh Abu Nawas, itulah pintarnya Abu Nawas dalam kondisi yang seperti itu bisa membalasnya dengan cerdas dan penuh makna.  

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama