Zubair
bin Awwam adalah satu dari sahabat Rasulullah yang mendapatkan jaminan masuk
surga. Bahkan kelak, Zubair dan Thalhah akan menjadi tetangga Rasulullah di
surga. Kedua nama ini selalu disebut Nabi ketika Rasulullah mempersaudarakan
para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah. Seperti sabda Nabi, “Thalhah dan Zubair adalah
tetanggaku di surga.”
Zubair dan Thalhah masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih
keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan
Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab.
Shafiyah ibunya Zubair, sekaligus sebagai bibi Rasulullah.
Zubair termasuk sosok muda yang masuk Islam di masa-masa awal,
karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis
perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diberi
hidayah Allah saat masih remaja.
Keahlian yang nampak sejak anak-anak, Zubair adalah sosok
keberanian dalam menunggang kuda. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang
pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.
Suatu hari, ketika masa awal, jumlah umat Islam sedikit dan
masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh.
Kontan saja, Zubair menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah untuk mencari
kebenaran kabar berita terbunuhnya Nabi. Seandainya berita itu benar, ia
bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir
Quraisy.
Zubair termasuk satu di antara sahabat Rasul yang ikut merasakan
pedihnya siksaan dari kaum Quraish. Meskipun ia seorang bangsawan terpandang,
namun ia tetap pada keyakinan aqidah yang dibawa Nabi Muhammad. Ironisnya,
orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Pamannya pernah
mengikat dan membungkusnya dengan tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas.
Saat itulah sang paman membujuk Zubair, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan
kubebaskan kamu dari siksa ini.” Namun Zubair menolak tawaran sang paman.
Zubair ikut selalu menemani gerakan Nabi. Ia juga hijrah ke
Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan
bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.
Baca
Juga:
Ja’far
bin Abi Thalib; Gugur Memegang Panji Islam dalam Perang Mu’tah
Harun al-Rasyid; Khalifah yang Memuliakan Ulama
Ia percaya diri dengan kemampuannya di medan perang dan itulah
kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah ratusan ribu prajurit, namun ia seakan-akan
sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung
jawab perang. Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur
siasat perang adalah keistimewaannya.
Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah
menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela
dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”
Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti
Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan
karena pengabdiannya yang luar biasa dalam syiar Islam.
Zubair meninggal dunia dalam sebuah peperangan akibat fitnah
tentang pembunuh Usman bin Afan. Peperangan disusupi oleh orang-orang yang
mengadu domba. Saat terjadi perselisihan antara sahabat tersebut, dua ahli
surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam berada di pihak yang
berseberangan dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang sahabat Nabi ini, bertolak
dari Mekah menuju Bashrah di Irak untuk menuntut ditegakkannya hukum atas para
pembunuh Utsman. Peristiwa itu terjadi para tahun 36 H, puncaknya, terjadi
Perang Jamal.
Saat
perang terjadi, Ali bin Abi Thalib menyadarkan
Zubair dan Thalhah dari kejamnya fitnah. Lalu Zubair tidak
memerangi Ali. Setelah pergi dari perang fitnah itu, akhirnya saat sedang
shalat, Zubair wafat dibunuh oleh seorang penghianat yang bernama Amr bin
Jurmuz.
Zubair bin Awwam wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat
itu berusia 66 atau 67 tahun. Ia dibunuh oleh seorang yang bernama Amr bin
Jurmuz. Kabar wafatnya Zubair membawa duka yang mendalam bagi amirul mukminin
Ali bin Abi Thalib.