Abu Sufyan Shakh bin Harb, nama yang tak asing lagi di kalangan
kaum Quraisy karena sikapnya yang menentang Rasulullah saat berdakwah di Mekah.
Abu Sufyan sosok pembesar sekaligus bangsawan Quraisy yang memiliki kedudukan,
kebesaran, dan pengaruh luar biasa di tengah kaumnya.
Ketika
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tampil dengan membawa agama yang sempurna,
nama Abu Sufyan tercatat sebagai salah satu pemimpin Quraisy yang sangat
membenci Islam. Dia gunakan kekuasaan untuk memberikan tekanan bahkan siksaan
kepada Rasulullah dan para sahabatnya agar mereka kembali kepada agama
nenek moyang.
Tekanan Abu Sufyan tehadap segelintir umat Islam saat itu, tak
meneguhkan mereka untuk berpaling ke agama selain Islam. Bahkan Allah punya
rencana indah dengan hadirnya putri Abu Sufyan yang justru memporak-porandakan
kebesaran namanya ketika sang putri meninggalkan agama berhala dan
terang-terangan menyatakan keislaman dan keimanannya.
Dialah Ummu Habibah Ramlah
binti Abu Sufyan Al-Qurasyiyyah, putri Abu Sufyan yang berani meninggalkan
sesembahan ayah dan kaumnya lantas memilih agama Allah ketika
kebenaran telah tampak di hadapan matanya dan hidayah Allah telah
menerangi relung hatinya.
Tidak hanya itu, kenyataan pahit harus kembali diterima Abu
Sufyan ketika menantunya, Ubaidullah bin Jahsy Al-Asadi, ikut menjadi pengikut
Muhammad, musuh besarnya selama ini. Semua itu menjadi pukulan berat bagi Abu
Sufyan.
Segala
upaya dia kerahkan untuk membawa putri dan menantunya kembali kepada ajaran
nenek moyangnya, tetapi usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ummu Habibah sedikitpun
tidak bergeming dari prinsipnya, keimanan yang telah terhunjam di dalam hatinya
tidak mampu dicabut dan digoyahkan dengan kekuatan serta badai kemarahan sang
ayah.
Kemurkaan Abu Sufyan kepada putri dan menantunya membuat
orang-orang Quraisy ikut menunjukkan kebencian kepada keduanya. Mereka mulai
melancarkan gangguan, siksaan, dan penindasan kepada keduanya. Hingga tiba
saatnya Allah dan Rasul-Nya memberikan izin kepada kaum muslimin
untuk hijrah menuju Habasyah.
Baca
Juga:
Tsabit
bin Qais; Juru Bicara Rasulullah yang Handal
Ja’far bin Abi Thalib; Gugur Memegang Panji Islam
Ummu Habibah dan suaminya ikut masuk dalam barisan kaum muslimin
yang hijrah. Mereka meninggalkan Mekah dan pergi menuju Habasyah, negeri asing
di seberang untuk menyelamatkan agama dan keimanan mereka.
Suatu malam, ketika Ummu Habibah telah terlelap di atas pembaringan,
dia bermimpi melihat suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, dalam keadaan dan rupa
yang amat buruk. Ummu Habbibah terbangun dengan perasaan terguncang dan
khawatir. Dia menyimpan mimpi buruknya dan tidak menceritakannya kepada
siapapun termasuk suaminya. Keesokan harinya, apa yang dia khawatirkan menjadi
kenyataan.
Suaminya keluar dari Islam dan menjadi seorang Nasrani. Suami
yang dicintainya, suami yang menemaninya berjuang mempertahankan agama, dan
suami yang bersamanya melewati masa-masa mencekam di Mekah hingga sampai pada
suasana aman di Habasyah.
Inilah cobaan yang Allah tetapkan untuk Ummu Habibah.
Sebuah cobaan yang tidak pernah terlintas dalam benaknya dan sebuah cobaan yang
tegar dihadapinya selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh
keyakinan.
Ummu Habibah merasakan dilematis dengan kondisi yang menimpanya.
Ada tiga pilihan hidup dihadapannya: menjalani hidup bersama sang suami dengan
melepaskan keislamannya seraya menyandang kehinaan di dunia dan di akhirat,
mempertahankan prinsipnya dengan tetap tinggal di Habasyah dalam keadaan
terasing tanpa kerabat dan keluarga, atau memilih kembali ke Mekah menjadi
putri bangsawan yang tinggal di dalam ‘istana’ di bawah naungan sang ayah,
tetapi hidup dalam keadaan terjajah agamanya.
Namun Ummu Habibah bertekad untuk tetap tinggal di Habasyah
menjalani hidup dalam keterasingan demi mempertahankan agamanya, dengan
senantiasa berharap suatu saat nanti Allah akan memberikan kemudahan bagi
urusannya, dan mendatangkan kelapangan dari sisi-Nya.
Suatu hari datanglah budak wanita utusan Najasy (penguasa
Habasyah) membawa kabar yang tidak terduga. Budak wanita itu mengatakan bahwa
Rasulullah telah mengirim surat kepada Raja Najasy yang di dalamnya berisi
keinginan Rasul untuk melamar Ummu Habibah, sekaligus menunjuk Najasy sebagai
wakil beliau dalam melaksanakan akad nikah di Habasyah.
Perasaan Ummu Habibah serasa melayang mendengar berita ini,
hingga dengan serta-merta, dia lepaskan perhiasan yang dia kenakan saat itu dan
memberikan semua perhiasannya kepada budak wanita yang memberi berita gembira
ini.
Persiapan pernikahan segera dilakukan hingga tiba di hari yang
telah dinantikan. Semua sahabat yang hijrah berkumpul menyaksikan akad
pernikahan Rasulullah dan Ummu Habibah. Najasy menyerahkan mahar sebesar
empat ratus dinar. Mahar itu kemudian diterima oleh Kholid bin Sa’id bin
Al-Ash, wakil Ummu Habibah dalam akad pernikahan ini.
Setelah akad nikah ini, Ummu Habibah tetap tinggal di
Habasyah. Hingga pada tahun ke-6 Hijriah, sang pengantin kembali ke Madinah,
bertemu dengan kekasih yang dirindukannya, Rasulullah Muhammad.
Ummu Habibah, senantiasa mendampingi Rasulullah hingga
beliau wafat. Dan pada tahun 44 Hijriah, pada masa Khalifah Mu’awiyah binti Abi
Sufyan. Allah memanggil ruh wanita mulia ini kembali ke sisi-Nya.