Taubat ala Abu Lubabah


 

Saat Nabi Muhammad memobilisasi pasukan ke Tabuk, nampak ada beberapa pemuda tidak mengikuti pasukan menuju Tabuk. Dengan berbagai alasan yang kurang tepat, mereka terkesan enggan berangkat meski akhirnya mereka menyadari kesalahannya. Salah satunya adalah Abu Lubabah.

Beberapa hari setelah Nabi SAW dan pasukannya meninggalkan Madinah menuju Tabuk, Abu Lubabah beserta tiga (atau dua dalam riwayat lainnya) temannya menyadari kesalahannya. Mereka menyesal, tetapi tidak mungkin untuk mengejar atau menyusul pasukan tersebut. Abu Lubabah berkata, “Kita di sini berada di naungan pohon yang sejuk, hidup tentram bersama istri-istri kita, sedangkan Rasulullah beserta kaum muslimin sedang berjihad, sungguh, celakalah kita.”

Mereka terus menyesali apa yang mereka lakukan. Mereka meyakini bahaya akan menimpa karena ketertinggalannya ini. Untuk mengekspresikan penyesalannya ini, Abu Lubabah berkata kepada kawannya, “Marilah kita mengikatkan diri ke tiang masjid, kita tidak akan melepaskan diri kecuali jika Rasulullah sendiri yang melepaskannya!”

Teman-temannya menyetujui usulan ini. Mereka tetap terikat pada tiang masjid sampai Nabi SAW pulang, kecuali ketika mereka akan melaksanakan shalat. Ketika Nabi SAW pulang dari Tabuk dan masuk ke masjid, Rasulullah bertanya: “Siapakah yang diikat di tiang-tiang masjid itu?”

“Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak menyertai engkau berjihad, ya Rasulullah,” kata seorang sahabat.  “Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri, kecuali jika tuan yang melepaskannya” tambahnya. Namun, Nabi SAW bersabda, “Aku tidak akan melepaskan mereka kecuali jika mendapat perintah dari Allah¦”

Berhari-hari Abu Lubabah menanti dalam sedih dan penyesalan. Sampai akhirnya, memasuki hari ke-60, kabar baik datang. Menjelang subuh, ketika Nabi SAW sedang berada di rumah Ummu Salamah, tiba-tiba beliau tertawa kecil. Ummu Salamah heran dengan sikap beliau ini dan berkata, “Apa yang engkau tertawakan, Ya Rasulallah?”

Baca Juga:

Ummu Habibah; Penjaga Islam Dipinang Rasulullah

Mush’ab al-Khair bin ‘Umair; Duta Pertama dalam Islam


“Abu Lubabah dan teman-temannya diterima taubatnya” jelas Nabi SAW. Saat itu Nabi SAW memang menerima wahyu, Surah Taubah Ayat 102, yang menegaskan diterimanya taubat mereka yang berdosa karena ketertinggalannya menyertai jihad bersama Nabi SAW.

وَاٰخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلًا صَالِحًا وَّاٰخَرَ سَيِّئًاۗ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝١٠٢

(Ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosanya. Mereka mencampuradukkan amal yang baik dengan amal lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ummu Salamah berkata, “Bolehkah aku memberitahukan kepada Abu Lubabah, ya Rasulallah..?” “Terserah engkau saja..” jawab Nabi SAW

Mendengar pengumuman itu, para sahabat yang telah berkumpul di masjid untuk shalat Subuh juga merasa gembira. Mereka ingin melepaskan ikatan Abu Lubabah dan teman-temannya, tetapi Abu Lubabah berkata, “Tunggulah sampai datang Rasulullah dan melepaskan sendiri ikatanku” Akhirnya, Nabi SAW masuk masjid dan melepaskan ikatan-ikatan mereka.

Abu Lubabah juga mengikatkan diri ke tiang masjid untuk yang kedua kalinya ketika peristiwa dengan Bani Quraizhah. Bani Quraizhah adalah kaum Yahudi di Madinah yang terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah.

Suatu hari, kaum muslimin melakukan pengepungan selama beberapa hari hingga akhirnya pemimpin Bani Quraizhah, Ka’ab bin Asad mengirim utusan kepada Nabi SAW sebagai tanda menyerah. Tetapi mereka juga meminta Nabi SAW mengirim Abu Lubabah untuk melakukan pembicaraan dan mendengar pendapatnya.

Abu Lubabah memang sekutu terbaik kaum Yahudi Bani Quraizhah sebelum Islam datang. Bahkan, saat itu harta kekayaan dan anak Abu Lubabah ada yang masih tertinggal di wilayah kaum Yahudi tersebut. Dan, ternyata dalam situasi yang seperti itu Nabi SAW memenuhi permintaan mereka.

Ketika Abu Lubabah memasuki benteng dan perkampungan Bani Quraizhah, mereka mengelu-elukan dirinya, para wanita dan anak-anak menangis di hadapannya. Hal itu membuat Abu Lubabah terharu dan merasa kasihan. Ka’ab berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad?”

“Begitulah!”, kata Abu Lubabah. Tanpa sadar ia memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di lehernya, isyarat bahwa mereka akan dihukum mati. Mungkin karena suasana yang dilihatnya atau rasa kedekatan dengan Ka’ab selama ini yang membuat ia bersikap seperti itu.

Seketika itu, Abu Lubabah menyadari apa yang dilakukannya, artinya ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Tanpa bicara apa-apa lagi ia berlari keluar, bukannya kembali menghadap Nabi SAW, tetapi menuju masjid Nabawi dan mengikatkan dirinya di tiang masjid sembari bersumpah tidak akan pernah memasuki Bani Quraizhah, dan juga tidak akan melepaskan ikatannya kecuali Nabi SAW sendiri yang melepaskannya.

Sementara itu, Rasulullah SAW menunggu-nunggu kedatangan Abu Lubabah, karena tidak datang juga, beliau mengirimkan seorang utusan lainnya. Setelah mendengar tentang apa yang dilakukannya, beliau bersabda, “Andaikata ia datang kepadaku, tentu aku akan memaafkannya. Tetapi karena ia telah berbuat seperti itu, maka aku tidak bisa melepaskannya kecuali jika ia benar-benar bertaubat kepada Allah”.

 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama