Di antara sahabat Rasulullah yang memiliki semangat dan
kepiawaian dalam menjalankan tugas dakwah ialah Mush’ab al-Khair bin Umair. Ia
terhitung salah seorang as-Sabiqun al-Awwaluun (pionir pemeluk Islam).
Senja itu, ketika Mush’ab duduk, ia terpesona oleh untaian
kalimat Rasulullah yang menyentuh qalbunya. Hampir saja anak muda itu terangkat
dari tempat duduknya karena rasa haru. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya
seraya mengurut dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga ia tenang dan
merasa damai.
Ketika masa jahiliyah, Mush’ab dikenal sebagai pemuda dambaan
kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng yang dikenal sangat perlente.
Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua
orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul
sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah sama sekali.
Ia tak lagi mewah dan perlente, setiap harinya Mush’ab memakai
jubah usang yang bertambal–tambal. Rasulullah menatapnya dengan pandangan penuh
arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, Nabi pun bersabda, “Dahulu
saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan
dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada
Allah dan Rasul-Nya.”
Mush’ab menjadi sosok yang meninggalkan kebanggan palsu dunia
dan menggantikannya dengan kemuliaan hakiki akhirat. Tak heran, bila akhirnya
Rasulullah menunjuknya menjadi duta pertama Islam berdakwah di Madinah padahal
masih banyak para senior yang dekat dengan Rasul.
Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah dalam mengajarkan
Islam kepada kaum Anshar yang telah beriman dan baiat kepada Rasulullah di
Bukit Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut agama
Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasul sebagai
peristiwa besar.
Mush’ab memikulkan amanah penting dari Rasulullah, ia
bertanggungjawab terhadap nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang
akan menjadi tempat hijrah, pusat dari dai dan dakwah, tempat berhimpunnya
penyebar Islam.
Mush’ab tipe muslim yang mengutamakan banyak kerja. Dengan sikap
“sami’na wa atho’na”, Mush’ab menerima tugas yang diamanahkan Rasulullah.
Jadilah ia seorang utusan dari Sang Utusan. Dengan segera, sesampainya di
Madinah, Mush’ab menemui para naqib (pimpinan kelompok) yang ditunjuk
Rasulullah di Aqabah.
Mush’ab
terjun langsung memimpin para naqib dalam berda’wah. Mush’ab berdakwah tanpa
membagi-bagikan roti dan nasi atau jampi-jampi. Ia meyakini Islam ini
adalah dienul-haq, dan
harus disampaikan dengan haq (benar) pula, bukan dengan bujukan apalagi
paksaan. Mush’ab terkenal sangat lembut namun tegas dalam menyampaikan dakwahnya,
termasuk ketika ia diancam dengan pedang oleh Usaid bin Khudzair dan Sa’ad bin
Muadz, dua pemuka Bani Abdil Asyhal.
Suatu hari, ketika berdakwah, tiga-tiba ia disergap oleh Usaid
bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab
dengan menyentakkan lembingnya. Usaid marah menyaksikan Mush’ab yang dianggap
akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka. Tetapi
Mush’ab tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah. Ia pun
mengucapkan, “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda
menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan
menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!” Usaid pun mengatakan, “Sekarang
saya insyaf,” ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk
mendengarkan. Ia pun kemudian masuk Islam disusul Sa’ad bin Mu’adz.
Baca
Juga:
Ummu
Kultsum; Dampingi Perjuangan Umar bin Khattab
Zubair
Bin Awwam; Ahli Pedang dalam Peperangan
Demikianlah, satu persatu para kabilah menerima Islam. Hampir
semua anggota kedua kabilah besar: Aus dan Khajraj, mau dan mampu menerima
Islam. Gaya hidup terasa mulai berubah di Yastrib. Lingkaran jamaah muslim
semakin melebar, hampir di setiap perkampungan ditemui halaqah-halaqah
al-Qur’an.
Untuk itu Mush’ab mengirim utusan kepada Rasulullah untuk
meminta pendapatnya mengenai langkah dakwah selanjutnya, apakah perlu terang-terangan
dengan shalat berjamaah ketika musim haji tiba.
Kaum Yahudi tidak banyak berbicara, mereka melihat kekuatan
Muslimin semakin besar, sulit untuk dipecah. Singkatnya, saat itu, kota Yastrib
dan mayoritas penduduknya telah siap secara aqidah dan siyasah (politik).
Mereka dengan antusias menantikan kedatangan Rasulullah dan muslimin Makkah.
Akhirnya, sampailah para Muhajirrin dari Makkah ke Madinah.
Islam berkembang semakin luas dan kuat. Pada titik ini, bukan berarti Mush’ab
minta pensiun, karena ia menyadari, bahwa tugas seorang dai tak kenal henti.
Mush’ab tetap terlibat aktif dalam dakwah dan peperangan. Bahkan ia mendapatkan
syahid-nya di medan pertempuran Uhud. Rasulullah sangat terharu hingga
menitikkkan air mata ketika melihat jenazah Mush’ab. Kain yang dipakai kuntuk
mengkafaninya tidak cukup, bila ditarik untuk menutupi kepalanya, tersingkaplah
bagian kakinya, dan bila di tarik ke bawah, tersingkaplah bagian kepalanya.
Mush’ab bin ‘Umair wafat sebelum usia 40 tahun. Ia masih muda,
tidak sempat melihat hasil positif dari kerja akbar yang telah dilakukannya.
Semoga Allah merahmati Mush’ab al-Khair bin ‘Umair.