Wajahnya mirip Rasulullah, keberaniannya menjadi inspirasi sahabat lainnya.
Dengan dua tangan terpotong, ia tetap tegar memegang panji dalam perang mu’tah.
Dialah Ja’far bin Abi Thalib.
Ja’far masuk Islam lewat perantara Abu Bakar Ash-Shiddiq, tepatnya sebelum
Rasulullah masuk ke rumah Al Arqam. Ketika orang Quraisy mendengar berita
tentang masuk Islamnya, mulailah mereka membuat makar dan gangguan-gangguan
dalam rangka melemahkan iman kaum muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum
muslimin bisa tenang beribadah.
Tatkala Rasulullah memberi izin untuk hijrah ke Habasyah, tanpa pikir
panjang ia bersama istrinya ikut serta dalam rombongan tersebut. Sungguh hal
ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya
yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari
83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.
Di Habasyah, Ja’far termasuk salah satu sahabat yang diutus untuk
menyampaikan surat kepada Raja Najasy. Tatkala dibaca surat tersebut, Raja
Najasyi menangis begitu juga para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka.
Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan
apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh
kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak
akan aku serahkan kepada kalian!”
Ketika Ja’far keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam dan
berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan
dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”
Setelah keesokan harinya Ja’far mengisahkan pesan-pesan Rasulullah, Raja
Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakannya
sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang
mencela kalian, dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian,
dia akan disiksa.”
Baca
Juga:
Arti
yaumul mizan dan nama-nama lain hari kiamat
Abu
Dzar Al-Ghifari; Berjuang Mengislamkan Kabilah Ghifar
Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah
hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.”
Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil
melaksanakan apa yang mereka niatkan.
Akhirnya Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa
merasakan ketenangan serta lindungan dari Najasyi. Pada tahun ketujuh hijriah,
pergilah Ja’far meninggalkan Habasyah untuk menuju ke Yatsrib. Sesampainya di
Yatsirb, ia disambut hangat oleh Rasulullah.
Pada waktu itu, Rasulullah baru saja kembali dari perang Khaibar.
Rasulullah menemui Ja’far dan bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang
mana aku merasa bahagia. Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan
kadatanganmu?”
Selang beberapa lama, ia tinggal di Madinah. Ketika pada awal-awal tahun ke
delapan hijriah Rasulullah berkehendak ingin mengirim pasukan untuk memerangi
Romawi, Rasulullah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Beliau
bersabda, “Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi
Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah.
Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka
sendiri.”
Kemudian beliau memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.
Berangkatlah pasukan pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah, kaum
muslimin mendapatkan orang-orang Romawi telah siap dengan jumlah yang sangat
banyak, sekitar 200.000 pasukan. Sementara jumlah kaum muslimin hanya 3.000
orang.
Ketika dua pasukan ini telah berhadapan, peperanganpun mulai berkecamuk,
hingga Zaid bin Haritsah gugur sebagai sahid. Begitu melihat Zaid jatuh tersungkur,
bergegas Ja’far melompat dan mengambil bendera, dan menyusup ke barisan
musuh.
Mulailah ia berputar-putar memporak-porandakan barisan musuh sehingga
terputus tangan kanannya. Segera ia ambil bendera itu dengan tangan kirinya,
kemudian terputus pula tangan kirinya sehingga ia gugur sebagai syahid. Setelah
itu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan terus mempertahankannya dan
akhirnya gugur juga sebagai sahid.