Ketika kaum Muslimin terjun ke medan perang demi membela kalimat
Allah, Abdullah bin Rawahah tampil membawa pedangnya ke medan tempur Badar,
Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Khaibar. Ia menjadikan kalimat syairnya sebagai
slogan perjuangan. “Wahai diri! Seandainya kamu tidak tewas terbunuh dalam
perang, maka kamu akan mati juga!”
Pada waktu Perang Mu’tah, balatentara Romawi sedemikian
besarnya, hampir 200.000 orang. Sementara barisan kaum Muslimin sangat sedikit.
Ketika melihat besarnya pasukan musuh, salah seorang berkata, “Sebaiknya kita
kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin
kita akan dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju
maka kita patuhi.”
Namun Abdullah bin Rawahah berdiri di depan barisan pasukan
Muslim. “Kawan-kawan sekalian,” teriaknya, “Demi Allah, sesungguhnya kita
berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasarkan bilangan, kekuatan atau
jumlah pasukan kita. Tapi kita memerangi mereka demi mempertahankan agama kita
ini, yang dengan memeluknya, kita dimuliakan Allah. Ayo, maju! Salah satu dari
dua kebaikan pasti kita raih; kemenangan atau syahid di jalan Allah.”
Dengan bersorak-sorai, kaum Muslimin yang berjumlah sedikit
namun besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak, “Sungguh, demi
Allah, benar apa yang dikatakan Ibnu Rawahah!”
Perang pun berkecamuk. Pemimpin pasukan pertama, Zaid bin
Haritsah gugur sebagai syahid. Demikian pula dengan pemimpin kedua, Ja’far bin
Abi Thalib. Abdullah bin Rawahah kemudian meraih panji perang dari tangan
Ja’far dan terus memimpin pasukan. Ia pun terus menerjang barisan tentara musuh
yang menyerbu bak air bah. Abdullah bin Rawahah pun gugur sebagai syahid,
menyusul dua sahabatnya; Zaid dan Ja’far.
Pada saat pertempuran berkecamuk dengan sengit di Balqa’, bumi
Syam, Rasulullah SAW tengah berkumpul dengan para sahabat dalam suatu majelis.
Tiba-tiba beliau terdiam, dan air mata menetes di pipinya. Rasulullah memandang
para sahabatnya lalu berkata, “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia
bertempur bersamanya hingga gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih
oleh Ja’far, ia bertempur dan syahid juga. Kemudian panji itu dipegang oleh
Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur, lalu gugur sebagai syahid.”
Baca Juga:
Abu
Umamah; Sahabat yang Diberi Susu Oleh Allah
Rasulullah kemudian terdiam sebentar, sementara mata beliau
masih berkaca-kaca, menyiratkan kebahagiaan, ketentraman dan kerinduan.
Kemudian beliau bersabda, “Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku di surga.”
Abdullah bin Rawahah, adalah seorang seniman yang pandai menulis
dan membawakan syair. Sejak memeluk Islam, ia membuktikan kemampuan bersyairnya
untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasulullah sangat menyukai dan menikmati
syair-syairnya.
Ketika Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada Umrah Qadha,
Ibnu Rawahah berada di depan beliau sambil bersyair, “Oh Tuhan, kalaulah tidak
karena Engkau, niscaya kami tidaklah akan mendapat petunjuk, tidak akan
bersedekah dan shalat. Maka mohon turunkan sakinah atas kami dan teguhkan
pendirian kami jika musuh datang menghadang. Sesungguhnya orang-orang yang
telah aniaya terhadap kami, bila mereka membuat fitnah, akan kami tolak dan
kami tentang.”
Suatu ketika Abdullah bin Rawahah sangat berduka dengan turunnya ayat,
ÙˆَٱلشُّعَرَآØ¡ُ ÙŠَتَّبِعُÙ‡ُÙ…ُ ٱلْغَاوُÛ¥Ù†َ
“Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat.” (QS
Asy-Syu’ara: 224).
Namun kedukaannya terhibur dengan turunnya ayat lain,
Ø¥ِÙ„َّا ٱلَّذِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا۟ ÙˆَعَÙ…ِÙ„ُوا۟ ٱلصَّٰÙ„ِØَٰتِ ÙˆَذَÙƒَرُوا۟
ٱللَّÙ‡َ ÙƒَØ«ِيرًا Ùˆَٱنتَصَرُوا۟ Ù…ِÙ†ۢ بَعْدِ Ù…َا ظُÙ„ِÙ…ُوا۟ ۗ ÙˆَسَÙŠَعْÙ„َÙ…ُ ٱلَّذِينَ
ظَÙ„َÙ…ُÙˆٓا۟ Ø£َÙ‰َّ Ù…ُنقَÙ„َبٍ ÙŠَنقَÙ„ِبُونَ
“Kecuali
orang-orang (penyair) yang beriman, beramal shalih, banyak ingat kepada Allah,
dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya.” (QS Asy-Syu’ara: 227).