Sebaik-baik
insan ialah Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebelum diangkat menjadi utusan Allah,
beliau telah menunjukkan keteladanan yang luar biasa di tengah masyarakat.
Orang-orang pun menjulukinya "al-Amin", yakni 'sosok yang dapat
dipercaya.'
Kebaikan
tidak hanya ditunjukkan beliau kepada sesama manusia, tetapi juga dalam
hubungan vertikal, yakni relasi antara hamba Allah dan Rabbnya. Nabi SAW hanya
menyembah kepada Allah. Sebelum menerima risalah pun, beliau membenci perbuatan
syirik dan selalu jauh dari kesyirikan.
Wajarlah
Muhammad SAW sejak kecil membenci berhala. Tak sekalipun beliau menaruh simpati
pada cara ibadah kaum musyrik, apalagi mengikuti mereka. Suatu kali, seseorang
pernah menyuruhnya untuk ikut ke tempat pemujaan berhala. Kontan saja, Muhammad
kecil menolaknya. Kisah ketegasan beliau saat masih seusia anak-anak dan remaja
disampaikan Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al-Wafa.
Orang-orang
Quraisy mengagungkan suatu patung bernama Bawwanah. Berhala itu amat
dipuja-puja mereka. Pemujanya sering menggunduli satu sisi kepala. Tak hanya
itu, orang-orang musyrik itu juga kerap bermalam di dekat makhluk tak bernyawa
tersebut sampai malam.
Ritual itu
memang biasanya terjadi “hanya” sekali dalam setahun. Salah satu peserta ritual
tersebut adalah Abu Thalib. Muhammad SAW kecil pernah diajak pamannya itu untuk
menghadiri acara tahunan itu. Tentu saja, tawaran itu ditolaknya.
Nabi
Muhammad SAW beribadah dengan segala ajaran yang murni dari syariat Nabi-Nabi
Allah Ta’ala
Maka,
timbul pertanyaan. Apakah ibadah Muhammad SAW sebelum dijadikan oleh Allah
Ta’ala sebagai utusan-Nya? Terkait ini, Ali bin Uqail menegaskan, “Rasulullah
SAW sebelum diutus dan diberikan wahyu (oleh Allah) telah memeluk ajaran
syariat Ibrahim yang masih murni.”
Adapun Abu
Al-Wafa berkata, “Pendapat yang mengatakan bahwa beliau beribadah dengan
syariat nabi sebelumnya masih diperdebatkan. Dengan syariat siapakah itu?
Sebagian ulama mengatakan, khusus dengan syariat Nabi Ibrahim AS. Ini adalah
pendapat asy-Syafi'i. Sebagian lagi berpendapat , beliau beribadah dengan
syariat Nabi Musa kecuali pada apa yang telah di-nasakh pada
syariat kita.”
Sementara
itu, Imam Ahmad berpendapat dengan merujuk pada keterangan dari surah al-An’am
ayat 90:
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى
اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْۗ قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًاۗ
اِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٰى لِلْعٰلَمِيْنَ
Artinya:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Alquran).’ Alquran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk
segala umat.”
Maknanya, Muhammad SAW sebelum
diangkat menjadi nabi beribadah dengan segala ajaran yang murni dari syariat
nabi-nabi Allah sebelumnya selama itu belum di-nasakh (diatur
atau dibatalkan dalam syariat terkini).
Amalan Nabi SAW sebelum menjadi
rasul
Mengenai
Amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diutus,
ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
[1] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti millah
ibrahim (Hanifiyah)
Al-Alusi menegaskan pendapat yang benar mengenai kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum
jadi diutus oleh Allah, beliau mengikuti ajaran Ibrahim ‘alaihis salam.
Al-Alusi membawakan keterangan Ibnu Aqil,
ونص أبو الوفاء على ابن عقيل على أنه صلى الله
عليه وسلم كان متديناً قيل بعثه بما يصح عنه أنه من شريعة إبراهيم عليه السلام
Abul Wafa, Ali bin Aqil menegaskan bahwa sebelum diutus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganut
syariat Ibrahim yang shahih dari beliau. (Tafsir al-Alusi, 23/160).
[2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beribadah dan
tidak mengikuti ajaran apapun
Ini merupakan pendapat al-Qadhi Iyadh. Beliau mengatakan,
والنبي – صلى الله عليه وسلم – لم يكن
متعبداً قبل أن يوحى إليه بشرع من قبله على الصحيح .
Sebelum mendapat wahyu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
beribadah dengan mengikuti syariat umat sebelumnya, menurut pendapat yang kuat.
(Fathul Bari, 7/144)
Dan insyaa Allah pendapat yang benar, ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
beribadah. Salah satu buktinya, beliau pernah melakukan tahannuts [التحنث] di gua-gua. Aisyah
radhiyallahu ‘anha pernah menceritakan peristiwa yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang
datangnya wahyu. Salah satunya,
وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ
فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri di gua
Hira melakukan Tahannuts. (HR. Bukhari no. 3)
Diceritakan oleh
Aisyah ra.:
عن عائشة - رضي الله عنها - في كيفية نزول الوحي - يعني أوّل ما أُوحي
إلى النبي صلى الله عليه وسلّم - فقالت: "كان النبي صلى
الله عليه وسلّم يتحنَّثُ في غار حراء الليالي ذوات العدد، والتحنُّث التعبد) رواه البخاري(
Dari Aisyah ra. Tentang turunnya Wahyu kepada Nabi SAW,
beliau berkata: Rasulullah SAW bertahannuts di Gua Hira malam hari selama
beberapa lama, tahhanuts adalah ibadah. (HR. Al Bukhari)
Mengenai makna tahannuts, dijelaskan oleh al-Hafidz
Ibnu Hajar, maknanya ada 2:
Pertama, tahannuts [التحنّث] artinya tahannuf [التحنّـف], yang artinya mengikuti
ajaran hanifiyah. Itulah ajaran dan millah Ibrahim.
Kedua, tahannuts artinya menjauhi dosa. Dari kata
al-Hints [الحنث] yang
artinya dosa. Dan kata ‘tahannuts’ [التحنّث] memiliki arti ‘Yatajannabu al-Hints’
[يتجنب الحنث], yang
artinya menjauhi dosa. (Fathul Bari, 1/23).
Muhammad
Husain Haikal – penulis Sejarah Hidup Muhammad – menjelaskan bahwa tahannuts
berasal dari akar kata hanif yang berarti cenderung kepada kebenaran,
meninggalkan berhala dan beribadah kepada Allah serta menjauhi perbuatan
syirik.
Menurut Quraish
Shihab, hanif berarti lurus atau cenderung kepada sesuatu. Dalam hal ini, hanif
berarti mengikuti ajaran Nabi Ibrahim as yang lurus, tidak bengkok, tidak
memihak kepada pandangan hidup orang-orag Yahudi dan tidak juga mengarah kepada
agama Nasrani. Sebagaimana firman Allah Ta’ala”
مَا كَانَ إِبْرَٰهِيمُ يَهُودِيًّا
وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ
ٱلْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan
seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia
termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali ‘Imrah [3] ayat 67)
Sementara
menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan kata hanif diterjemahkan
sebagai lurus yakni tidak mengikuti ajaran Yahudi maupun Nasrani dan tidak
menganut politheisme (menyembah berhala) yang waktu itu lazim dianut masyarakat
Arab jahiliyah.
Kegiatan
tahannuts tersebut dilakukan Muhammad SAW hingga menjelang usia 40-an. Beliau
membebaskan dirinya dari segala kebatilan, menghadapkan dirinya kepada jalan
yang lurus, kepada kebenaran yang abadi, menghadapkan dirinya kepada Allah
dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan membimbing
masyarakatnya yang hanyut dalam lembah kesesatan. Hingga turunlah firman Allah
Ta’ala yang pertama kepada beliau yakni QS. Al Alaq [96] ayat 1 – 5.
Dari
sini, kita belajar bahwa ketulusan hati untuk mencari kebenaran hakiki akan
mengantar seseorang menuju jalan yang lurus. Tentu saja ketulusan hati ini tak
boleh dinodai oleh hasrat/ nafsu dan kepentingan tendensius yang seringkali
menyesatkan.
Rasulullah
Muhammad SAW hidup di tengah masyarakat jahiliyah, namun beliau tetap bersih
dari dosa jahiliyah bahkan dibimbing-Nya sebagai utusan-Nya.
Semoga
kita senantiasa mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala untuk menjalankan
perintahNya dan menauhi laranganNya.
Referensi:
Ibnu Hisyam.
2000. Sirah Nabawiyah. Terj. Fadil Bahri. (Jakarta: Darul Falah).
Jilid ke-I.
Syaikh Shafiyyurrahman. 2014. Sirah
Nabawiyah. Terj. Kathur Suhardi. (Jakarta: Pustak Al-Kautsar).
Muhammad Husaian Haekal. 2011. Sejarah
Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah. (Jakarta: Lentera AntarNusa).
Shihab, M. Quraish. 2011. Membaca
Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih.
(Jakarta: Lentera Hati).
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. (Berbagai Penerbit).