Ya Rabb, Rahmat-Mu Meliputi Segala Sesuatu

 


Seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang ingin bertaubat. Ia datang kepada seorang Rahib, menanyainya adakah pengam-punan buatnya. "Tidak!" jawab si Rahib. Si pembunuh marah, lalu dibunuhlah si rahib. Kini genaplah seratus orang yang dibunuhnya.

Setelahnya; ia mendatangi seorang alim, menanyainya apakah masih ada pengampunan baginya. "Ya, siapa yang menghalangi antara dosa dan taubat? Pindahlah ke tempat orang-orang yang menyembah Allah, sembahlah Allah bersama mereka. Dan jangan kembali ke kampung halamanmu yang rusak itu!" jawab si Alim memberi harapan.


Kisah di atas merupakan penggalan makna dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Kerangka ceritanya kelihatan sederhana, namun pesan moral di dalamnya amat bermakna dan berbilang. Tokoh utamanya adalah orang yang berdosa-membunuh sembilan puluh sembilan atau seratus orang ingin bertaubat. Konflik cerita tentang perbedaan cara pandang antara seorang rahib dan seorang alim; apakah pintu taubat masih terbuka buat sang pembunuh.


Alur kehidupan manusia pada tiap masanya mungkin terwakili oleh kisah hadits di atas. Dalam kehidupan (selalu) ada orang yang bergelimang dalam noda dan dosa atau salah dalam menerapkan ajaran agama (ibtida' fid din); ada pula orang yang bersifat seperti si alim, bijksana dan arif; dan juga orang seperti si rahib. Pun bukan tak jarang kita jumpai, yang menatap orang berdosa dengan mata menusuk tajam menghakimi.


Manusia tidak terimunisasi dari dosa dan kesalahan, kecuali para nabi dan rasul. Membiarkan orang lain berkubang dalam kesalahan adalah sikap egoistis, bahkan itu juga merupakan kesalahan. Seluruh penduduk Tsamud, kaum Nabi Shalih alaihissalam diadzab oleh Allah dengan suara keras yang mengguntur dan menggelegar sehingga mereka seperti rumput-rumput kering. Padahal yang menyembelih unta betina mukjizat Nabi Shalih alaihissalam hanya salah seorang dari mereka (Al Qamar: 29-31). Allah juga melaknat Bani Israil disebabkan mereka bersikap;satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat, sebagaimana difirmankan:

"Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (QS. 5: 78-79).

Juga firman-Nya yang lain:

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. 8: 25)

Kehidupan manusia diibaratkan sebuah bahtera yang sedang mengarungi lautan. Di dalamnya berisikan penumpang yang memiliki watak serta karak-teristik yang beraneka ragam. Suatu ketika salah seorang penumpang membutuhkan air, namun ia ingin jalan pintas yaitu dengan cara melobangi dinding kapal. Jika penumpang yang lain diam saja ketika melihat hal ini dan tidak berusaha mencegahnya maka seandainya kapal tersebut karam tentu yang tenggelam bukan hanya orang yang melobangi kapal tersebut, tapi seluruh penumpang yang ada akan merasakan akibat dari ulah yang dilakukan oleh satu oknum penumpang saja.


Lebih dari sekedar mendiamkan kemungkaran, maka ikut melebur dalam perilaku yang tidak sesuai syari'at (mungkar) tentu lebih tidak bijaksana dengan alasan apapun. Sebab melebur dengan mereka akan dianggap sebagai pembenaran, rela terhadap kemaksiatan adalah kemaksiatan (Tafsir Ath Thabary, An-Nisaa: 140)

Artinya: "Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka."


Umar bin Khaththab radhialaahu anhu dan kenalannya

"Aku ucapkan syukur kepada Allah atas karunia-Nya kepadamu, Allah yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, Maha Mengampuni dosa dan Maha Menerima taubat, lagi amat keras siksa-Nya, Rabb yang mempunyai karunia. Tiada sesembahan yang hak kecuali Dia, dan hanya kepada-Nya segala sesuatu kembali. " Demikian Umar bin Khaththab menulis surat kepada seorang teman lelaki yang telah dikenalnya, ketika ia tahu dari orang-orang bahwa kenalannya itu seorang pemabuk. Sewaktu membaca surat Umar, kenalannya itu amat terharu, berulang-ulang ia baca surat itu hingga akhirnya menangis. Diapun lalu bertekat untuk bertobat yang sebenar-benarnya dan tidak akan minum lagi. Diceritakan bahwa ia meninggal dalam husnul khatimah. Ketika mendengar kematiannya maka Umar berkata: "Begitulah hendaknya kalian berbuat. Jika melihat seorang saudara tergelincir, tunjukkanlah ia ke jalan yang benar. Jangan sekali-kali kalian membantu setan untuk menjerumuskannya.

Akankah orang yang berbuat tidak sesuai atau mungkin belum sesuai dengan ajaran agama dijauhi? Allah telah memilih dan mengutus rasul-Nya dari kaum yang bergelimang dengan dosa, bahkan tenggelam dalam dosa kesyirikan, suatu dosa yang disebut oleh Allah sebagai zhulm 'azhim (kezhaliman yang besar) sebagaimana dikutip dalam surat Luqman ayat 13. Ternyata kesyirikan yang mereka perbuat tidak menjadikan para rasul tersebut menjauhi kaumnya. Dan hasilnya banyak dari mereka yang keluar dari kegelapan syirik kemudian menjadi generasi pilihan walau tak jarang di antara mereka yang tetap bersikeras dalam kesyirikan tersebut serta memerangi dakwah para rasul.


Kesadaran seseorang bahwa menyalahi perintah Allah adalah dosa, merupakan awal menuju kebaikan, walau itu bukan kemestian untuk meninggalkan dosa, ada jarak antara kesadaran dengan perilaku. Maka dengan berbekal nasehat orang alim si pembunuh pergi menuju kampung harapan, tempat membersihkan diri dari dosa. Namun belum sampai tempat tujuan kematian lebih dulu menjemputnya di tengah perjalanan. Malaikat Rahmat dan Malaikat Adzab berselisih. "Ia datang dengan sepenuh hati untuk bertaubat kepada Allah" kata Malaikat Rahmat. "Ia belum berbuat kebajikan sedikitpun" bantah Malaikat Adzab. Malaikat yang mengubah diri dalam bentuk manusia mendatangi mereka, dan keduanya sepakat menjadikan orang ini sebagai penengah perselisihan. "Ukurlah jarak antara kampung asal dan kampung tujuannya, yang lebih dekat ia yang lebih berhak" usul malaikat penengah. Dan ternyata hasilnya kampung kebaikan lebih dekat sejengkal daripada kampung keburukan. Malaikat Rahmat lalu membawanya; Allah telah mengampuninya. Memang rahmat Allah melampaui batas sesuatu.
"Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan Neraka yang bernyala-nyala." (QS. 40: 7).

 

"Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksaku akan Ku-timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami"." (QS. 7: 156).


Kisah tersebut di atas dapat dibuka dalam riwayat Imam Al-Bukhari Kitabul Anbiyaa Bab Ma Dzukira 'an Bani Israil . Sedang dalam riwayat Imam Muslim ada dalam Kitabut Taubah Bab Qabulu Taubati Alqatil (bab diterimanya taubat seorang pembunuh).
Selain menggambarkan tentang betapa luasnya rahmat Allah cerita tersebut juga menjelaskan perbedaan cara pikir orang alim dengan orang jahil walaupun ia adalah abid (ahli ibadah).


Jika permasalahannya jelas demikian maka mengetahui siapa ulama yang sebenarnya adalah perkara yang sangat urgen. Ulama hakiki yang rabbaniyyun menurut Syaikh Shalih Al 'Utsaimin adalah mereka yang mendidik dan membimbing manusia kepada syariat Allah. Secara sepintas mungkin orang awam akan menganggap sama antara orang alim dan orang jahil yang abid, sebab dari segi penam-pilan lahiriah atau amal perbuatannya mereka sama padahal dalam metode menasehati orang serta kehendak ketika memberi nasehat mereka berdua sangat jauh berbeda.


Dengan keluasan ilmunya seorang ulama biasanya mampu membimbing umat ke jalan Allah yang lurus, mampu mencermati setiap kasus dengan baik serta memberikan solusi yang propor-sional berdasarkan ilmu yang dimiliki-nya. Bukan sekedar menghakimi seseorang, apalagi mengukur orang lain dengan dirinya yang telah banyak melakukan berbagai macam ibadah dan amal kebajikan. Ulama ibarat lentera yang dengan cahayanya manusia meng-ambil petunjuk baik dalam langkah hidup keduniaan dan terlebih dalam urusan agama mereka. Wallahu a'alam.


Rujukan: Riyadhus Shalihin, Tafsir Al-Qurthubi, Syarh Al-Ushulus Sittah. 


Baca juga: Khutbah Jumat: Mari Mudahkan Urusan Orang Lain


Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama