Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Mu’adz bin Jabal
pernah diberi wasiat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diutus ke
Yaman,
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ ، فَإِنَّهُ
لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Hati-hatilah dengan doa orang yang dizalimi. Ingatlah
tak ada hijab antara dirinya dengan Allah (doa tersebut akan diijabahi, tak
tertolak, pen-).” (HR. Bukhari, no. 1496 dan Muslim, no. 19)
Hadits ini kata Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9:
100) menunjukkan larangan untuk bertindak zalim.
Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bar (3: 360) menyatakan bahwa
doa tetap terkabul walaupun yang mendoakan adalah orang yang fajir (gemar
maksiat). Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ مُسْتَجَابَةٌ وَإِنْ
كَانَ فَاجِراً فَفُجُورُهُ عَلَى نَفْسِهِ
“Doa orang yang terzalimi itu terkabul meskipun yang
mendoakan adalah orang yang fajir (gemar maksiat). Kefajiran yang perbuat itu
tanggung jawab dirinya.” (HR. Ahmad, 2: 367. Ibnu Hajar menyatakan dalam Fath
Al-Bari, 3: 360 bahwa hadits ini hasan. Sedangkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
pada komentarnya dalam Musnad Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini dha’if)
Syukur-syukur orang yang dizalimi malah doakan kebaikan[1],
“Moga si perokok itu mendapatkan hidayah.” Namun kalau yang ia doakan jelek
bagaimana?
Coba renungkan nasihat di atas. Bisa jadi masalah-masalah
kita belum Allah angkat dan berikan jalan keluar, cuma lantaran ada tindakan
zalim kita pada orang lain yang belum kita utarakan maaf. Bahkan mungkin tanpa
sadar, asap rokok kitalah yang membuat orang lain mendoakan jelek pada kita
yang merokok.
Semoga menjadi renungan berharga pagi bagi para perokok.
Moga Allah beri hidayah dan menjauhkan kita dari setiap kezaliman.
—
[1] Di antara nasihat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu
‘anhu,
مَا عَاقَبْتَ مَنْ عَصَى اللهَ فِيْكَ
بِمِثْلِ أَنْ تَطِيْعَ اللهَ فِيْهِ
“Engkau tiada pernah dapat membalas orang yang telah
berbuat dosa kepada Allah dengan cara menyakiti dirimu, melebihi sikapmu yang
tetap menegakkan ketaatan kepada Allah pada diri orang tersebut.” (HR.
Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 6: 323). Maksudnya, tetap lebih baik membalas
orang yang menzalimi kita dengan kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا
السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ
وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35(
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Baca juga: Khutbah Jumat: Ramadhan Bulan Al Quran