Mudah Raih Rumah Di Surga
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ
لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ
لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ
لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi
orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku
memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan
walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang
tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.” (HR. Abu Daud, no. 4800. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Bisa Memaafkan Itu Bagian Akhlak Mulia
Kalau kita menelusuri kitab Riyadhus Sholihin, setelah
Imam Nawawi menyebutkan bab “Husnul Khuluq” yaitu berbudi pekerti yang baik,
lantas beliau menyebutkan bab “Al-Hilm wal Aanah war Rifq” yaitu santun dan
lemah lembut. Ini dalil AL QURAN yang
beliau maksudkan dalam bab tersebut agar kita sebagai seorang muslim dapat
memiliki sifat santun dan lemah lembut. Inilah yang menunjukkan akhlak mulia.
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS.
Al-A’raf: 199)
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا
السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ
وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35(
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ
عَزْمِ الْأُمُورِ
“Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya
(perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS.
Asy-Syura: 43)
Kalau kita melihat kandungan ayat-ayat di atas
menunjukkan bahwa termasuk akhlak mulia yaitu:
1. Menahan amarah.
2. Memaafkan kesalahan orang.
3. Mengerjakan yang ma’ruf.
4. Berpaling dari orang yang bodoh.
5. Membalas kejelekan dengan kebaikan.
Bagi yang Berbuat Salah
Ada dua pihak yang terlibat dalam pertikaian: (1) yang
berbuat salah, (2) yang dizalimi
Yang berbuat salah tentu saja punya kewajiban meminta
maaf. Meminta maafnya bukan tunggu moment tertentu, bukan tunggu nanti pas
Syawalan atau Halal bi Halal. Setiap tindakan jelek mesti diselesaikan sesegera
mungkin. Kapan? Yah, pas buat salah langsung meminta maaf.
Jangan jadi orang yang pura-pura tidak berbuat salah.
Contohnya saja jangan jadi orang yang pura-pura melupakan
utang.
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ «
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ
قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ
« إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam
shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku
berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang
berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering
meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta.
Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no.
589).
Jadi kalau buat salah, akui kesalahan dan mintalah maaf.
Coba perhatikan cara-cara meminta maaf:
• Bersungguh-sungguh
Jangan mencoba untuk melupakan kesalahan dengan sebuah
alasan atau permohonan maaf yang lemah. hanya akan menjadikan kesalahan semakin
buruk.
Jadi, jangan katakan “Itu bukan hal yang besar,” “Saya
tidak bermaksud melakukannya,” atau “Anda terlalu berlebihan”. Sebaliknya,
katakanlah “Saya telah membuat kesalahan besar,” “Seharusnya saya tidak
melakukannya,” atau “Saya seharusnya tahu mana yang benar.”
• Akui kesalahan yang sebenarnya dengan
mengemukakan alasan
Sebuah permintaan maaf yang baik mengungkapkan masalah
yang maksud dengan menggunakan kata “karena”.
Jadi jangan katakan “Maaf, saya lupa janji utang
kemarin.”
Sebaliknya, katakanlah “Maaf, saya lupa janji utang
kemarin karena memang saya sebenarnya malu belum punya uang untuk melunasi.”
• Jangan bilang “tetapi”
Satu kata itu dapat merusak permohonan maaf Anda. Itu
adalah sebuah cara untuk menutupi kesalahan.
Tidak baik mengatakan, “Maaf saya lupa utang tersebut
dilunasi kemarin, tetapi Anda seharusnya mengingatkan saya.”
• Bertekad tidak mengulangi kesalahan yang
sama di masa akan datang
Bagi yang Disakiti (Dizalimi)
Bagi yang dizalimi yang bisa dilakukan adalah:
1. Menahan amarah (hilm atau lemah lembut) dan
sabar (sadar itu musibah dan ujian).
2. Memaafkan kesalahan orang lain.
3. Membalas kejelekan dengan kebaikan.
Menahan amarah atau hilm
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ
إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan jika ada dalam sesuatu, maka
akan membuat sesuatu menjadi indah. Namun jika kelembutan itu lepas, maka akan
membuat sesuatu jadi jelek.” (HR. Muslim, no. 2594)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى الْمَسْجِدِ ،
فَثَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – « دَعُوهُ ، وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ –
أَوْ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ – فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ
تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »
“Ada seorang Arab Badui kencing di masjid. Orang-orang
kemudian marah ingin memukulnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika itu malah mengatakan, “Biarkan dia. Siramkan saja pada kencingnya
seember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk dipermudah, bukan untuk
mempersulit.” (HR. Bukhari, no. 220,
6128)
Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan,
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ
يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَىْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ
صَاحِبِهِ إِلاَّ أَنْ يُنْتَهَكَ شَىْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ
لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memukul apa pun dengan tangannya. Ia juga tidak pernag memukul istri-istrinya
dan hamba sahayanya. Kecuali, apabila beliau berjihad di jalan Allah. Dan
ketika beliau disakiti, beliau sama sekali tidak pernah membalas orang yang
menyakitinya, kecuali bila apa yang telah diharamkan Allah Ta’ala itu
dilanggar; maka beliau membalas karena Allah Ta’ala.” (HR. Muslim, no. 2328)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى
الله عليه وسلم – يَحْكِى نَبِيًّا مِنَ الأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ
فَأَدْمَوْهُ ، وَهْوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ ، وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِقَوْمِى فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ »
“Seolah-olah aku masih dapat melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menceritakan seorang nabi dari para
nabi, yaitu ketika nabi tersebut dipukul oleh kaumnya hingga menyebabkan keluar
darahnya dan nabi itu mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berdo’a, “Ya
Allah, ampunilah kaumku karena mereka itu tidak mengetahui.” (HR. Bukhari, no.
3477; Muslim, 1792)
Membalas Kejelekan dengan Kebaikan
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنْتُ أَمْشِى مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِىٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ ، فَأَدْرَكَهُ
أَعْرَابِىٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً ، حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ
عَاتِقِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ
الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ، ثُمَّ قَالَ مُرْ لِى مِنْ مَالِ اللَّهِ
الَّذِى عِنْدَكَ . فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ ، فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ
“Saya pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau mengenakan baju buatan negeri Najran yang kasar
tepinya. Lalu ada seorang Arab Badui yang menemuinya, kemudian ia menarik-narik
selendang beliau dengan kuat. Saya melihat leher beliau terdapat bekas ujung
baju karena kerasnya tarikan orang Badui itu. Kemudian ia berkata, “Wahai
Muhammad berilah kepadaku harta Allah yang ada padamu.” Beliau menoleh kepada
orang Badui itu. Sambil tersenyum, beliau menyuruh untuk memenuhi permintaan
orang Badui itu.” (HR. Bukhari, 3149; Muslim, no. 1057)
Semoga bermanfaat.
Baca juga: Khutbah Idul Fitri: Menyemai Nilai-nilai Moderasi dalam Idul Fitri