Itsar itu apa? Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam
urusan dunia walau kita pun sebenarnya butuh.
Secara bahasa itsar bermakna mendahulukan, mengutamakan.
Sedangkan secara istilah, yang dimaksud itsar adalah mendahulukan yang lain
dari diri sendiri dalam urusan duniawiyah berharap pahala akhirat. Itsar ini
dilakukan atas dasar yakin, kuatnya mahabbah (cinta) dan sabar dalam kesulitan.
Contohnya dapat dilihat pada orang Muhajirin dan Anshar
dalam ayat,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ
وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا
يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan
telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin),
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
(QS. Al-Hasyr: 9).
Yang dimaksudkan ayat ini adalah ia mendahulukan mereka
yang butuh dari kebutuhannya sendiri padahal dirinya juga sebenarnya butuh. Lihat
Tafsir AL QURAN Al-‘Azhim, 7:229.
Dalam masalah dunia, kita bisa mendahulukan orang lain,
itu memang yang lebih baik. Karena dalam masalah dunia, kita harus
memperhatikan orang di bawah kita agar kita bise mensyukuri nikmat Allah.
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ
عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ
مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang
memiliki kelebihan harta dan penampilan, maka lihatlah kepada orang yang berada
di bawahnya.” (HR. Bukhari, no. 6490 dan Muslim, no. 2963)
Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al-Khats’ami,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang
paling afdal. Jawab beliau,
جَهْدُ الْمُقِلِّ
“Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR.
An-Nasa’i, no. 2526. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kisah Itsar #01: Menyambut Tamu, Padahal Hanya Punya
Makanan untuk Bayi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ
Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengirim utusan ke para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para
istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami tidak memiliki
apa pun kecuali air”.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ
الْأَنْصَارِ أَنَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah
di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar
berseru, “Saya.”
فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ
أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا
عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي
Lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah
istrinya, (dan) ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam!” Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan
untuk anak-anak.”
فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي
سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا
وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا
Orang Anshar itu berkata, “Siapkanlah makananmu itu!
Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!”
Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan
anak-anaknya.
ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا
فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا
طَاوِيَيْنِ
Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan
memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan.
Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar.
فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ
عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ
الْمُفْلِحُونَ
Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Malam ini Allah tertawa atau takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah
menurunkan ayat (yang artinya), “Dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9). (HR Bukhari, no. 3798).
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Anshar yang melayani tamu
tersebut adalah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu. Istri Abu Thalhah adalah Ummu
Sulaim radhiyallahu ‘anha (Rumaysho atau Rumaisha).
Kisah Itsar #02: Abu Bakar Bersedekah dengan Seluruh
Harta
Sifat ini juga dimiliki oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah bersedekah dengan seluruh hartanya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya kepadanya,
« مَا أَبْقَيْتَ
لأَهْلِكَ ». قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ. قُلْتُ لاَ
أُسَابِقُكَ إِلَى شَىْءٍ أَبَدًا
“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar
menjawab, “Aku titipkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Umar bin Khattab
lantas mengatakan, “Itulah mengapa aku tidak bisa mengalahkanmu selamanya.”
Sebelumnya Umar bersedekah dengan separuh hartanya dan menyisakan separuhnya
untuk keluarganya. (HR. Abu Daud, no. 1678 dan Tirmidzi, no. 3675. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kisah Itsar #03: Abu Thalhah Bersedekah dengan Kebun
Kurma Terbaik
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah
radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota
Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia sukai
yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu
enak di dalamnya.”
Anas berkata, “Ketika turun ayat,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا
مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS.
Ali Imran: 92)
Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran:
92)
Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun
Bairaha’. Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari
Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar
beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar
perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk
kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR.
Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya
suatu perkara.
Pelajaran dari hadits:
• Keutamaan menafkahi dan memberi sedekah
kepada kerabat, istri, anak, dan orang tua walau mereka musyrik. Sebagaimana
Imam Nawawi membuat judul bab untuk hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim.
• Kerabat harusnya lebih diperhatikan dalam
silaturahim. Abu Thalhah akhirnya memberikan kebunnya kepada Ubay bin Ka’ab dan
Hassan bin Tsabit.
• Bersedekah kepada kerabat punya dua pahala
yaitu pahala menjalin hubungan kerabat dan pahala sedekah.
Kisah Itsar #04: Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari Membagi
Harta dan Istrinya kepada
‘Abdurrahman bin ‘Auf
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan
bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Ketika
itu Sa’ad Al-Anshari memiliki dua orang istri dan memang ia terkenal sangat
kaya. Lantas ia menawarkan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk berbagi dalam
istri dan harta. Artinya, istri Sa’ad yang disukai oleh ‘Abdurrahman akan
diceraikan lalu diserahkan kepada ‘Abdurrahman setelah ‘iddahnya. ‘Abdurrahman
ketika itu menjawab,
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِى أَهْلِكَ وَمَالِكَ
، دُلُّونِى عَلَى السُّوقِ
“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu.
Cukuplah tunjukkan kepadaku di manakah pasar.”
Lantas ditunjukkanlah kepada ‘Abdurrahman pasar lalu ia
berdagang hingga ia mendapat untung yang banyak karena berdagang keju dan
samin. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat pada ‘Abdurrahman
ada bekas warna kuning pada pakaiannya (bekas wewangian dari wanita yang biasa
dipakai ketika pernikahan, pen.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
mengatakan, “Apa yang terjadi padamu wahai ‘Abdurrahman?” Ia menjawab, “Wahai
Rasulullah, saya telah menikahi seorang wanita Anshar.” Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam kembali bertanya, “Berapa mahar yang engkau berikan kepadanya?”
‘Abdurrahman menjawab, “Aku memberinya mahar emas sebesar sebuah kurma (sekitar
lima dirham).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika itu,
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Lakukanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR.
Bukhari, no. 2049, 3937 dan Muslim, no. 1427. Lihat Syarh Shahih Muslim, 7:193)
Pelajaran dari hadits:
• Boleh seorang imam bertanya tentang keadaan
jamaahnya yang sudah lama tak terlihat.
• Boleh seorang wanita memakai wewangian untuk
suaminya, bahkan dianjurkan untuk tampil wangi di hadapan suami, lebih-lebih
lagi di malam pertamanya.
• Tidak masalah jika ada bekas wewangian istri
ada pada baju suami kalau memang tidak disengaja walau yang terkena sebenarnya
adalah syi’ar khas para wanita. Namun asalnya tetap tidak boleh laki-laki
tasyabbuh (menyerupai) wanita.
• Disunnahkan mendoakan berkah. Contoh, doa
kepada pengantin.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa
jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberikan ucapan selamat pada
seseorang yang telah menikah, beliau mendoakan,
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ
وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ
“Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika
susah dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud, no. 2130;
Tirmidzi, no. 1091. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih).
• Yang dimaksud walimah adalah makanan yang
disajikan ketika resepsi nikah. Walimah itu berarti berkumpul karena ketika itu
kedua pasangan telah menyatu menjadi suami-istri.
• Para ulama berselisih pendapat mengenai
hukum walimah. Ada yang mengatakan wajib dan ada yang sunnah. Menurut ulama
Syafi’iyah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah, hukum walimah
adalah sunnah mustahab. Kata perintah dalam hadits ini dipahami sunnah
(anjuran).
• Sebagian ulama menyatakan bahwa walimah itu
diadakan sesudah dukhul (jima’ atau malam pertama) seperti pendapat Imam Malik
dan selainnya. Sedangkan sekelompok ulama Malikiyah menyatakan bahwa walimah
diadakan ketika akad itu berlangsung.
• Bagi orang yang mudah mengadakan walimah,
maka tetaplah mengadakan walimah jangan sampai kurang dari seekor kambing.
Namun untuk acara walimah tadi tidak ada batasan tertentu, bentuk makanan apa
pun yang dibuat untuk walimah tetap dibolehkan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menikahi Shafiyyah, walimahnya tidak dengan daging. Ketika menikahi
Zainab disediakan untuk walimah dengan roti dan daging. Yang tepat, semuanya
disesuaikan dengan kemampuan pengantin.
• Pelajaran dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan
Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari adalah saling mendahulukan yang lain (itsar).
Lihatlah sikap Sa’ad yang sampai mendahulukan ‘Abdurrahman dalam hal harta dan
dua istrinya.
• ‘Abdurrahman mengajarkan pada kita tidak
bergantung pada pemberian orang lain yang didapat secara gratis. Mendapatkan
hasil dari bekerja walau dengan berdagang itu lebih baik.
• Hendaknya mendoakan kebaikan kepada siapa
saja yang ingin berbuat baik kepada kita.
Bagaimana kita bisa itsar?
1. Memperhatikan kewajiban, anggap selalu kurang
ketika melakukan yang wajib sehingga kehati-hatiannya ia mendahulukan orang
lain walau ia pun butuh.
2. Meredam sifat pelit.
3. Semangat punya akhlak yang mulia karena itsar
adalah tingkatan akhlak yang paling mulia. Sampai-sampai Imam Al-Ghazali dalam
Ihya’ Ulum Ad-Diin menyatakan bahwa itsar adalah tingkatan dermawan (as-sakha’)
yang paling tinggi. (Nudhrah An-Na’im fii Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim,
3:630, 639)
Faedah dari Itsar
1. Menunjukkan iman yang sempurna dan kebagusan
Islam seseorang.
2. Ini adalah jalan mudah untuk menggapai ridha
dan cinta Allah.
3. Akan timbul rasa cinta dan sayang antar
sesama manusia.
4. Menunjukkan begitu dermawannya seseorang
karena sampai ia butuh pun dikorbankan.
5. Punya sifat husnuzhan yang tinggi kepada
Allah.
6. Menunjukkan amalan yang baik di
penghujungnya (husnul khatimah).
7. Menunjukkan seseorang memiliki semangat yang
tinggi dan terjauhkan dari sifat tercela.
8. Itsar membuahkan keberkahan.
9. Itsar memudahkan seseorang masuk surga dan
terbebas dari neraka.
10. Itsar mengantarkan kepada keberuntungan
(falah) karena telah mengalahkan sifat pelit (syuhh).
Baca juga: Khutbah Jum'at: Pentingnya Pendidikan