Perintah takwa inilah yang sering kita dengar dalam khutbah Jumat berulang kali,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam.“ (QS. Ali Imran: 102)
Apa bentuk takwa yang sebenarnya?
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim
oleh Ibnu Katsir, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai takwa yang
sebenarnya,
لاَ يَتَّقِي العَبْدُ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ حَتَّى
يَخْزُنُ مِنْ لِسَانِهِ
“Tidaklah seseorang disebut bertakwa dengan
sebenar-benarnya kepada Allah sampai ia bisa menjaga lisannya.”
Kata Ibnu Katsir rahimahullah,
وَمَنْ مَاتَ عَلَى شَيْءٍ بُعِثَ عَلَيْهِ
“Siapa yang meninggal dunia dengan suatu keadaan, maka ia
akan dibangkitkan seperti keadaan itu pula.”
Perlu diingat bahwa ada dua amalan yang membuat seseorang
mudah masuk surga, yaitu takwa dan akhlak yang mulia.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau
menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.’ Beliau ditanya pula
mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau,
‘Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.’” (HR. Tirmidzi, no. 2004
dan Ibnu Majah, no. 4246. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih).
Apa itu Takwa?
Takwa asalnya adalah menjadikan antara seorang hamba dan
sesuatu yang ditakuti suatu penghalang. Sehingga takwa kepada Allah berarti
menjadikan antara hamba dan Allah suatu benteng yang dapat menghalangi dari
kemarahan, murka dan siksa Allah. Takwa ini dilakukan dengan melaksanakan
perintah dan menjauhi maksiat.
Namun takwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al-Hambali
adalah dengan mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara
syubhat, juga mengerjakan perkara sunnah, dan meninggalkan yang makruh. Inilah
derajat takwa yang paling tinggi.
Ibnu Mas’ud ketika menafsirkan ayat “bertakwalah pada
Allah dengan sebenar-benarnya takwa” yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat
102, beliau berkata,
أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ، وَيُذْكَرُ فَلاَ
يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكَفَّرُ
“Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak
bermaksiat pada-Nya. Allah itu terus diingat, tidak melupakan-Nya. Nikmat Allah
itu disyukuri, tidak diingkari.” (HR. Al-Hakim secara marfu’, namun mauquf
lebih shahih, berarti hanya perkataan Ibnu Mas’ud). Yang dimaksud bersyukur
kepada Allah di sini adalah dengan melakukan segala ketaatan pada-Nya.
Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya
adalah selalu mengingat Allah dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya,
begitu saat berucap. Semuanya dilakukan hanya untuk meraih pahala dari Allah.
Begitu pula larangan-Nya pun dijauhi. (Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:397-402)
Apa itu Akhlak yang Baik?
Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk
bagian dari takwa. Akhlak disebutkan secara bersendirian karena ingin
ditunjukkan pentingnya akhlak. Sebab banyak yang menyangka bahwa takwa hanyalah
menunaikan hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama. (Jami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam, 1:454).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
akhlak yang baik sebagai tanda kesempurnaan iman. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud, no. 4682 dan Ibnu Majah, no. 1162. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Bentuk Akhlak yang Baik
Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para
salaf dengan menyebutkan beberapa contoh.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,
حُسْنُ الخُلُقِ : الكَرَمُ وَالبَذْلَةُ وَالاِحْتِمَالُ
“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa
menahan amarah.”
Asy-Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,
البَذْلَةُ وَالعَطِيَّةُ وَالبِشرُ الحَسَنُ ،
وَكَانَ الشَّعْبِي كَذَلِكَ
“Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan
pada orang lain.” Demikianlah Asy-Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.
Ibnul Mubarak mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,
هُوَ بَسْطُ الوَجْهِ ، وَبَذْلُ المَعْرُوْفِ
، وَكَفُّ الأَذَى
“Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan, dan menahan
diri dari menyakiti orang lain.”
Imam Ahmad berkata,
حُسْنُ الخُلُقِ أَنْ لاَ تَغْضَبَ وَلاَ تَحْتَدَّ
، وَعَنْهُ أنَّهُ قَالَ : حُسْنُ الخُلُقِ أَنْ تَحْتَمِلَ مَا يَكُوْنُ مِنَ النَّاسِ
“Akhlak yang baik adalah tidak mudah marah dan cepat naik
darah.” Beliau juga berkata, “Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di
hadapan manusia.”
Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,
هُوَ بَسْطُ الوَجْهِ ، وَأَنْ لاَ تَغْضَبَ
“Bermuka manis dan tidak marah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum
wa Al-Hikam, 1:457-458)
Demikian khutbah pertama ini. Semoga kita bisa memiliki
ketakwaan dan akhlak yang mulia yang memudahkan kita ke surga.
Baca juga: Satu Kata Ajaib; Rahasia Menggapai Kebahagiaan