Surah ke-83. 36 ayat. Makkiyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Ayat 1-6: Ancaman terhadap orang-orang yang curang dalam
menakar dan menimbang.
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١)
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ
أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤) لِيَوْمٍ
عَظِيمٍ (٥) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (٦)
Terjemah Surat Al Muthaffifin Ayat 1-6
1. Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar
dan menimbang),
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang
lain), mereka mengurangi.
4.Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan,
5. pada suatu hari yang besar,
6. (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit
menghadap Tuhan seluruh alam.
Ayat 7-17: Keadaan orang-orang yang celaka dan balasan
untuk mereka pada hari Kiamat.
كَلا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ
لَفِي سِجِّينٍ (٧) وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ (٨)كِتَابٌ مَرْقُومٌ (٩) وَيْلٌ
يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ (١٠) الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ
الدِّينِ (١١) وَمَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (١٢) إِذَا
تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ (١٣) كَلا بَلْ رَانَ
عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤) كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ
يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ (١٥) ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ (١٦) ثُمَّ
يُقَالُ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ (١٧)
Terjemah Surat Al Muthaffifin Ayat 7-17
7. Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang
yang durhaka benar-benar
tersimpan dalam Sijjin.
8. Dan tahukah engkau apakah Sijjin itu?
9. (Yaitu) kitab yang berisi catatan (amal).
10. Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang
mendustakan!
11. (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.
12. Dan tidak ada yang mendustakannya (hari pembalasan)
kecuali setiap orang yang melampaui batas dan berdosa,
13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia
berkata, "Itu adalah dongeng orang-orang dahulu."
14. Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.
15. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu
benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.
16. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk
neraka.
17. Kemudian, dikatakan (kepada mereka), "Inilah
(azab) yang dahulu kamu dustakan.”
Ayat 18-28: Keadaan kaum mukmin dan kenikmatan yang
mereka peroleh.
كَلا إِنَّ كِتَابَ الأبْرَارِ
لَفِي عِلِّيِّينَ (١٨) وَمَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّونَ (١٩)كِتَابٌ مَرْقُومٌ
(٢٠) يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ (٢١) إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي
نَعِيمٍ (٢٢) عَلَى الأرَائِكِ يَنْظُرُونَ (٢٣) تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ
نَضْرَةَ النَّعِيمِ (٢٤) يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ (٢٥) خِتَامُهُ
مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦) وَمِزَاجُهُ مِنْ
تَسْنِيمٍ (٢٧)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ (٢٨)
Terjemah Surat Al Muthaffifin Ayat 18-28
18. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya
catatan orang-orang yang berbakti benar-benar tersimpan dalam 'Illiyyin.
19. Dan tahukah engkau apakah 'Illiyyin itu?
20. (yaitu) kitab yang berisi catatan (amal),
21. yang disaksikan oleh (malaikat-malaikat) yang
didekatkan (kepada Allah).
22. Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar
berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan,
23. mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan.
24. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan
hidup yang penuh kenikmatan.
25. Mereka diberi minum dari khamr murni (tidak
memabukkan)
yang (tempatnya) masih dilak (disegel),
26. Laknya dari kesturi. Dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba.
27. Dan campurannya dari tasnim,
28. (yaitu) mata air yang diminum oleh mereka yang dekat
(kepada) Allah.
Ayat 29-36: Ejekan-ejekan orang-orang yang berdosa
terhadap orang-orang mukmin di dunia dan balasan terhadapnya di akhirat.
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا
كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ (٢٩)
وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ
يَتَغَامَزُونَ (٣٠) وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوا فَكِهِينَ
(٣١)وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلاءِ لَضَالُّونَ (٣٢) وَمَا أُرْسِلُوا
عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ (٣٣) فَالْيَوْمَ الَّذِينَ آمَنُوا مِنَ
الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ (٣٤) عَلَى الأرَائِكِ يَنْظُرُونَ (٣٥) هَلْ ثُوِّبَ
الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (٣٦)
Terjemah Surat Al Muthaffifin Ayat 29-36
29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka
yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman.
30. Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman)
melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.
31. Dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali
dengan gembira ria.
32. Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin),
mereka mengatakan, "Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat,”
33. Padahal (orang-orang yang berdosa itu), mereka tidak
diutus sebagai penjaga (orang-orang mukmin dan perbuatannya).
34. Maka pada hari ini,
orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,
35. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan.
36. Bukankah orang-orang kafir telah mendapat balasan
(hukuman) terhadap apa yang telah mereka kerjakan?
Pengantar
Surat ini menggambarkan beberapa potong kenyataan praktis yang dihadapi dakwah
Islamiah di Mekah, selain untuk membangkitkan hati, menggugah perasaan, dan
mengarahkannya kepada peristiwa baru di dalam kehidupan bangsa Arab dan
kehidupan manusia. Yaitu, adanya risalah langit untuk bumi dengan segenap
kandungannya yang berupa pandangan baru yang lengkap dan meliputi segalanya.
Potongan realita yang digambarkan surat ini pada permulaannya ialah diancamnya
orang-orang yang curang dengan kecelakaan besar yang bakal diterimanya pada hari
yang besar (kiamat).
Surat ini terdiri atas empat segmen.
Segmen pertama dimulai dengan menyatakan perang terhadap orang-orang
yang curang, sebagaimana terdapat pada ayat 1-6.
Segmen kedua, yang tercantum pada ayat 7-17, membicarakan
orang-orang yang durhaka dengan kecaman yang amat keras dan ancaman kecelakaan
yang benar. Juga mencap (mengidentifikasi) mereka sebagai orang yang suka
berbuat dosa dan pelanggaran. Kemudian segmen ini menjelaskan sebab kebutaan
dan keterpadaman cahayanya, dan melukiskan balasan bagi mereka pada hari
kiamat, serta diazabnya mereka sehingga terhalang untuk melihat Tuhannya,
sebagaimana dosa-dosa sewaktu di dunia menghalangi dan menutup hati mereka.
Kemudian mereka dimasukkan ke dalam neraka dengan dihina dan direndahkan.
Segmen ketiga yang terdapat pada ayat 18-28, membentangkan
lembaran baiknya. Yaitu, lembaran orang-orang yang berbakti dengan kedudukannya
yang tinggi, segala kenikmatan yang telah ditetapkan untuk mereka, dan
kecerahan yang memancar di wajah mereka, serta khamar murni yang mereka minum
sambil duduk di atas sofa dengan memandang ke sana ke mari. Nah, ini adalah
lembaran kenikmatan yang terang cemerlang.
Segmen terakhir (keempat) menjelaskan apa yang dihadapi orang-orang yang
berbakti di dunia yang penuh tipu daya dan kebatilan ini, dari orang-orang yang
durhaka. Penjelasan mengenai gangguan, hinaan, dan kebiadaban orang-orang yang
durhaka itu, merupakan kecenderungan yang berlawanan antara orang-orang yang
berbakti dan orang-orang yang durhaka, di dunia hakikat yang abadi dan panjang.
Keterangan mengenai segmen ini ada pada ayat 29-36.
Surat ini secara umum pada satu sisi mencerminkan lingkungan dakwah. Pada sisi
lain melukiskan uslub dakwah dalam menghadapi realitas lingkungan itu beserta
realitas kejiwaan manusia. Inilah yang hendak kami coba ungkapkan dalam paparan
kami terhadap surat ini secara rinci.
Orang-Orang yang Curang
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan, apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada
suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta
alam?" (Al Muthaffifiin: 1-6)
Surat ini dimulai dengan perang yang dimaklumatkan Allah terhadap orang-orang
yang curang, "Kecelakan besarlah bagi orang-orang yang curang. "
'Al-wail" berarti kebinasaan, kecelakaan yang besar.
Terlepas apakah yang dimaksud ayat itu sebagai penetapan bahwa ini merupakan
keputusan ataukah doa, maka dalam kedua keadaannya ini substansinya adalah
satu, karena doa dari Allah juga berarti ketetapan.
Kemudian dua ayat berikutnya menjelaskan makna "muthaffifiin "itu.
Maka, mereka adalah, "Orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi. Dan, apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. " Mereka menuntut dipenuhinya
takaran dan timbangan barang-barang yang diperjualbelikan itu bila mereka
membeli. Namun, mereka menguranginya bila menjual untuk orang lain.
Kemudian tiga ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap orang-orang
curang itu. Mereka berbuat semaunya saja seakan-akan di sana nanti tidak ada
perhitungan dan pertanggungjawaban terhadap apa saja yang mereka kerjakan
selama hidup di dunia. Juga seakan-akan di sana tidak ada peradilan di hadapan
Tuhan, pada hari yang besar, untuk mendapatkan perhitungan dan balasan di depan
Tuhan semesta alam,
'Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ?" (Al Muthaffifun: 4-6)
Memaparkan keadaan orang-orang yang curang dengan metode seperti ini dalam
surat Makkiyah perlu mendapatkan perhatian, karena surat Makkiyah pada umumnya
mengarahkan perhatiannya kepada pokok-pokok akidah secara total seperti
penetapan tentang keesaan Allah, kehendak-Nya yang mutlak, dan pemeliharaan-Nya
terhadap manusia dan alam semesta. Juga seperti hakikat wahyu dan
nubuwwah, hakikat akhirat, hisab, dan pembalasan, serta perhatian terhadap
pembinaan akhlak dan mental secara umum, dengan mengaitkannya kepada akidah.
Sedangkan membicarakan masalah ini secara spesifik dari masalah-masalah akhlak
seperti masalah kecurangan dalam menakar dan menimbang dan muamalah secara
umum, biasanya dibicarakan belakangan dalam surat Madaniyah, yakni ketika
membicarakan tatanan kehidupan masyarakat di bawah Daulah Islamiah, sesuai
dengan manhaj lslami yang meliputi seluruh aspek kehidupan.
Karena itu, pembicaraan masalah ini secara spesifik dalam surat Makkiyah layak
mendapat perhatian, karena ia mengandung beberapa petunjuk yang bermacam-macam
yang tersembunyi di balik ayat-ayat yang pendek ini. Ia pertama-tama
menunjukkan bahwa Islam pada masa periode Mekah biasa menghadapi keadaan riskan
yang berupa kecurangan yang dilakukan oleh para pembesar yang pada waktu yang
lama sebagai para pedagang besar, dan suka melakukan penimbunan. Di
sana, terdapat harta kekayaan yang banyak sekali di tangan para pembesar itu
yang mereka perdagangkan melalui kafilah-kafilah yang biasa bepergian pada
musim dingin dan musim panas ke Yaman dan ke Syam. Mereka juga membuka
pasar-pasar musiman seperti Pasar Ukazh pada musim haji. Di sana mereka
melakukan perniagaan dan mengadakan lomba baca puisi.
Nash-nash Al Qur’anini menunjukkan bahwa orang-orang curang yang diancam oleh
Allah dengan kecelakaan besar, dan dinyatakan perang terhadapnya itu adalah
kelas elite yang memiliki kekuasaan, yang dapat saja memaksa manusia untuk
menuruti kehendak mereka. Maka, merekalah yang menakar untuk
orang lain, bukan menerima takaran dari orang lain. Seakan-akan mereka
mempunyai kekuasaan terhadap manusia dengan suatu sebab yang menjadikan mereka
dapat meminta orang lain memenuhi takaran dan timbangan dengan sepenuhnya.
Jadi, maksudnya bukan mereka meminta dipenuhi haknya. Sebab, kalau meminta
dipenuhi haknya, maka hal ini tidak perlu dinyatakan perang terhadapnya.
Pengertian yang dapat ditangkap adalah bahwa dengan cara kekerasan, mereka
dapat memperoleh sesuatu melebihi haknya. Mereka juga dapat menuntut
dipenuhinya takaran dan timbangan secara paksa menurut kehendak mereka. Kalau
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mempunyai kekuasaan
untuk mengurangi hak-hak orang lain itu. Sedangkan orang lain itu tidak
berkuasa menuntut mereka untuk memenuhi dan menyempurnakannya.
Hal ini berlaku bagi orang yang mempunyai kedudukan sosial seperti jabatan dan
kedudukan yang tinggi dalam kabilah ataupun orang yang memiliki status ekonomi
yang tinggi karena kebutuhan masyarakat berada di tangannya. Mereka biasa
menimbun barang-barang dagangan. Sehingga, apabila masyarakat sudah terdesak,
maka mereka terpaksa akan menerima kelalimannya itu, sebagaimana yang terjadi
hingga sekarang di pasar-pasar. Maka, di sana terdapat kondisi
kecurangan yang memprihatinkan, yang patut mendapatkan perhatian sejak dini.
Perhatian dini terhadap lingkungan Mekah ini pun menunjukkan karakter agama
Islam, dan kelengkapan manhaj-nya terhadap kehidupan nyata dan
persoalan-persoalan praktisnya. Juga menunjukkan ditegakkannya agama ini di
atas prinsip akhlaq yang dalam dan mendasar, di dalam karakter manhaj Ilahi
yang lurus. Maka, Islam tidak menyukai keadaan memprihatinkan yang berupa
kezaliman dan penyimpangan moral dalam pergaulan. Sesudah dikendalikannya
kehidupan masyarakat, ia tidak lepas untuk mengatur sesuai dengan syariatnya,
dengan kekuatan undang-undang dan kekuasaan negara. Karena itu,
dikumandangkannyalah seruan perang dan doa kebinasaan terhadap orang-orang yang
curang, padahal mereka pada waktu itu adalah pemuka-pemuka kota Mekah. Mereka
adalah pemegang dan pengendali kekuasaan yang bukan cuma berkuasa terhadap
spiritualitas dan perasaan masyarakat lewat jalur akidah keberhalaan raja,
tetapi juga menguasai perekonomian dan urusan kehidupan mereka.
Islam bersuara lantang menghadapi manipulasi dan kecurangan yang terjadi
terhadap golongan mayoritas yang diperas oleh para pembesar yang memutar roda
perekonomian mereka, yakni para pembesar yang suka melakukan riba dan
penimbunan, sekaligus sebagai penguasa terhadap rakyat dengan agama
khayalannya. Maka, Islam dengan teriakannya yang lantang dan dengan
manhaj sanawinya, membangkitkan kesadaran masyarakat yang tertindas. Islam
tidak pernah berdiam diri, meski ia terkepung di Mekah sekalipun oleh kekuasaan
para diktator yang menguasai masyarakat dengan harta, kedudukan, dan agama
berhala mereka!
Dengan demikian, kita mengetahui salah satu sebab sebenarnya yang menjadikan
para pembesar Quraisy bersikap demikian keras terhadap dakwah Islam. Karena
mereka mengetahui, tanpa disangsikan lagi, bahwa ajaran baru yang dibawa Nabi
Muhammad saw kepada mereka bukan semata-mata akidah yang tersimpan di dalam
hati, atau akidah yang hanya menuntut mereka mengucapkan kalimat syahadat bahwa
"Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah", serta menegakkan shalat dan melakukan peribadatan
kepada Allah saja, bukan kepada berhala-berhala dan patung-patung. Tidak, tidak
demikian. Sesungguhnya, mereka mengerti bahwa akidah ini merupakan manhaj yang
akan menghancurkan dan membongkar semua fondasi jahiliah yang menjadi tempat
bertumpunya segenap peraturan, kemaslahatan, dan kepentingannya. Mereka juga
mengetahui bahwa tabiat manhaj ini tidak menerima pendobelan dan tidak dilumuri
dengan unsur bumi yang tidak bersumber dari unsur langit. Ia justru
meng-hancurkan seluruh unsur bumi yang rendah, yang menjadi landasan jahiliah.
Oleh karena itu, mereka mengarahkan serangan terhadap dakwah Islam ini dari
segenap penjuru tanpa pernah meletakkan senjatanya sama sekali, baik sebelum
hijrah maupun sesudahnya. Peperangan mereka mencerminkan
pembelaan terhadap seluruh aturan dan sistem mereka untuk menghadapi
peraturan-peraturan Islam, yang bukan cuma sekadar urusan akidah dan pola
pikir. Orang-orang yang memerangi kekuasaan manhaj Islam terhadap kehidupan
manusia dalam setiap generasi dan pada setiap lokasi, pasti mengetahui hakikat
ini. Mereka mengerti dengan sebaik-baiknya. Mereka mengetahui bahwa peraturan
dan undang-undang mereka yang bathil, kepentingan-kepentingan mereka yang
diperoleh dengan cara merampas, dan keberadaan mereka yang palsu, serta tata
kehidupan mereka yang menyimpang, itu dikecam oleh manhaj Islami yang lurus dan
mulia.
Para penguasa tiran yang zalim dan curang, apa pun bentuk kecurangannya, baik
curang dalam masalah harta benda, hak, maupun kewajiban lebih banyak menentang
keberlakuan manhaj yang adil dan bersih itu, yakni manhaj yang tidak menerima
tawaran, kepura-puraan, dan kompromi. Hal itu sudah dimengerti oleh orang-orang
yang melakukan baiat kepada Rasulullah saw, yaitu para wakil suku Aus dan
Khazraj dalam Bai'ah Aqabah kedua sebelum hijrah.
Ibnu Ishaq berkata,'Telah diceritakan kepadaku oleh Ahim bin Umar bin Qatadah
bahwa ketika kaum itu sudah berkumpul untuk berbaiat dengan Rasulullah saw,
Abbas bin Ubadah bin Nadhlah Al Anshari, saudara Banu Salim bin Auf, berkata, 'Wahai
segenap kaum Khazraj, apakah kalian mengetahui untuk apa kalian berbaiat dengan
lelaki ini?' Mereka menjawab, Tahu.' Dia berkata, 'Sesungguhnya,
kalian berbaiat untuk memerangi orang-orang berkulit merah dan berkulit hitam.
Jika kalian mengetahui bahwa apabila harta benda kalian habis karena musibah
dan pemimpin-pemimpin kalian binasa karena terbunuh, lantas kalian menyerahkan
dia sejak sekarang, maka demi Allah, sesungguhnya kalian telah melakukan
kehinaan dunia dan akhirat. Dan jika kalian memandang bahwa kalian sanggup menunaikannya
sesuai dengan yang kalian dakwakan, meski harta kekayaan habis dan para pemuka
terbunuh, maka laksanakanlah. Karena yang demikian itu, demi Allah, adalah
kebaikan dunia dan akhirat'
Mereka berkata, 'Kami akan menunaikannya meskipun harta kami habis dan
pemuka-pemuka kami terbunuh. Apakah yang akan kami peroleh wahai Rasulullah,
jika kami memenuhinya?' Beliau menjawab, 'Surga.' Mereka berkata,
"Hamparkanlah tanganmu.' Rasulullah menghamparkan tangan beliau, lalu
mereka membaiat beliau."
Mereka telah mengetahui sebagaimana pembesar-pembesar Quraisy sebelumnya telah
mengetahui karakter agama Islam bahwa ia bagaikan mata pedang keadilan yang
menegakkan kehidupan ma-nusia di atas yang demikian itu. Ia
tidak dapat menerima kediktatoran sang diktator, kezaliman orang yang zalim,
dan kesombongan orang yang sombong. Ia tidak bisa menerima kecurangan,
kehinaan, dan pemerasan. Karena itu, Islam memerangi setiap diktator yang
zalim, aniaya, sombong, dan suka memeras orang lain, serta menghalang-halangi
dakwah, para juru dakwah, dan mengintai-intainya.
'Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam?" (Al Muthaffifiin: 4-6)
Sungguh mengherankan urusan mereka, hanya karena persangkaan terhadap hari yang
besar itu, yakni hari ketika manusia berdiri sendiri menghadap Tuhan semesta
alam, tanpa pelindung lagi selain-Nya. Juga tanpa
alternatif lain bagi mereka kecuali harus menghadapi keputusan terhadap apa
yang telah mereka lakukan, sedangkan mereka tidak lagi mempunyai pelindung dan
penolong. Semata-mata persangkaan bahwa mereka akan dibangkitkan untuk
menghadapi hari yang besar itu, sudah cukup untuk menahan mereka dari melakukan
kecurangan dan memakan (mengambil) harta orang lain dengan cara yang batil.
Juga untuk menghalangi mereka dari melayani sang penguasa untuk menganiaya
orang lain dan mengurangi haknya dalam bermuamalah. Akan tetapi, mereka tetap
saja melakukan kecurangan, seakan-akan mereka tidak menyangka bahwa mereka akan
dibangkitkan. Ini adalah suatu hal yang mengherankan, persoalan yang aneh!
Baca juga: Khutbah Jum'at: Menghidupkan Kembali Nilai Persaudaraan Manusia
Orang-Orang yang Durhaka
Pada segmen pertama, mereka disebut muthaffifiin 'orang-orang yang curang',
sedang pada segmen kedua disebut fujjar 'orang-orang yang durhaka'.
Karena, orang yang curang itu termasuk dalam kelompok orang yang durhaka.
Mereka ini sedang dibicarakan tentang kedudukan mereka dalam pandangan Allah,
dan keadaan mereka di dalam kehidupan. Juga tentang apa yang mereka nantikan
pada hari ketika mereka dibangkitkan untuk menghadapi hari yang besar.
"Sekali-kali jangan curang karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka
tersimpan dalam sijjiin. Tahukah kamu apakah sijjiin itu? (Ialah) kitab yang
bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan, (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Tidak ada
yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui
batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia
berkata, Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.' Sekali-kali tidak
(demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.
Lalu dikatakan (kepada mereka), Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan.
" (Al- Muthaffifun: 7-17)
Mereka tidak menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan untuk menghadapi hari yang
besar. Al Qur'an menakut-nakuti dan mengancam mereka dengan peristiwa ini.
Ditegaskan juga bahwa mereka mempunyai kitab yang selalu mencatat dan
menghitung amal perbuatan mereka. Kemudian dibatasi tempatnya untuk menambah
penegasan itu. Akhirnya, Al Qur’an mengancam mereka dengan kecelakaan yang
besar pada hari ketika dibeberkan kitab mereka yang bertulisan itu,
"Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya Kitab orang yang
durhaka tersimpan dalam sijjin. Tahukah kamu apakah sijjin itu? (ialah) Kitab
yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan," (Al Muthaffifiin: 7-10)
Al-fujar' orang-orang yang durhaka' ialah orang-orang yang melewati
batas dalam maksiat dan dosa. Lafal ini sendiri sudah mengesankan makna itu.
Sedangkan kitab mereka adalah catatan amal mereka. Kita tidak mengetahui
bagaimana eksistensinya, dan kita pun tidak dibebani tugas untuk mengetahuinya.
Kitab itu adalah urusan gaib yang kita tidak mengetahuinya melainkan sekadar
yang durhaka dinformasikan oleh Allah, tidak lebih. Karena itu, di sana
terdapat catatan amal orang-orang yang oleh Al Qur’an dikatakan di dalam
sijjiin. Kemudian dikemukakanlah kalimat tanya untuk menunjukkan besarnya
urusan yang sedang dihadapi, sebagaimana diungkapkan oleh Al Qur’an,
"Tahukah kamu apakah sijjiin itu?" (Al
Muthaffifiin: 8)
Kalimat ini memberikan bayang-bayang besarnya urusan itu. Juga memberikan kesan
kepada lawan bicara bahwa urusan ini terlalu besar untuk diketahui dan diliput
oleh pengetahuan manusia. Akan tetapi, dengan firman-Nya, "Sesungguhnya,
kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijiin"; berarti Allah telah
membatasi tempat tertentu untuknya, meskipun tidak dikenal oleh manusia.
Pembatasan atau penentuan ini menambah keyakinan lawan bicara karena adanya
isyarat yang menunjukkan adanya kitab catatan amal tersebut. Itulah isyarat
yang dimaksudkan di balik penyebutan hakikat ini dengan kadar tersebut, tidak
lebih.
Kemudian dibicarakan kembali sifat kitab orang-orang yang durhaka itu. Hal ini
tercantum dalam firman-Nya yang mengatakan bahwa sesungguhnya kitab itu adalah
"kitab yang bertulis "dan berisi catatan lengkap, tanpa ditambah dan
dikurangi, hingga dibeberkan pada hari yang besar itu. Kalau demikian maka,
"Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan." (Al Muthaffifiin: 10)
Dibatasi pula tema persoalan yang didustakan mereka, dan ditentukan pula
hakikat orang-orang yang mendustakan itu,
"(Yaitu) orang-orang yang mendustakan hari
pembalasan. Tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan orang yang
melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami,
ia berkata, 'Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu. "(Al
Muthaffifiin: 11-13)
Sikap melampaui Batas dan dosa itulah yang menuntun pelakunya mendustakan hari
pembalasan dan bersikap jelek terhadap Al Qur’an. Sehingga, ia mengatakan bahwa
ayat-ayat Al Qur’an yang dibacakan kepadanya "itu adalah dongengan
orang-orang yang dahulu". Pasalnya, Al Qur’an memuat kisah-kisah orang
dahulu yang dipaparkan untuk menjadi pelajaran dan nasihat, juga untuk
menjelaskan sunnah Allah yang tidak pernah berubah dan juga berlaku atas
manusia sesuai dengan undang-undang yang ada dan tidak akan pernah menyimpang.
Kesombongan dan pendustaan mereka ini diikuti dengan bentakan dan hardikan,
"Sekali-kali tidak (demikian)!"Tidak seperti yang mereka katakan.
Kemudian disingkapkan sebab kesombongan dan pendustaan
serta keberpalingan dari kebenaran yang jelas dan keterhapusan kebenaran itu
dalam hati orang-orang yang mendustakan ini,
"Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka." (Al Muthaffifiin: 14)
Artinya, hati mereka tertutup oleh dosa-dosa dan kemaksiatan yang biasa mereka
kerjakan. Hati yang selalu melakukan kemaksiatan itu akan menjadi redup
cahayanya dan menjadi gelap. Ia dikotori oleh tutup tebal yang menghalangi
cahaya masuk kepadanya dan menghalanginya dari cahaya. Juga menghilangkan
sensitivitasnya sedikit demi sedikit sehingga akhirnya menjadi bebal dan mati.
Ibnu Jarir, Tirmidzi, Nasal, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari beberapa jalan,
dari Muhammad bin Ajlan, dari Al Qa'qa' bin Hakim, dari Abi Shall, dari Abu
Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi roasallam, bersabda,
"Sesungguhnya
seorang hamba apabila melakukan suatu dosa, maka terdapat suatu titik hitam di
dalam hatinya. Jika ia bertobat, hatinya menjadi cemerlang kembali; dan jika
bertambah dosanya, titik hitam itu pun makin bertambah banyak. " Tirmidzi
berkata, "Hadits ini hasan sahih:
" Dan, lafal Nasa'i berbunyi, "Sesungguhnya,
seorang hamba apabila melakukan suatu dosa maka dia telah membuat satu titik
hitam di dalam hatinya. Jika ia jauhi dosa itu, beristighfar dan bertobat, maka
hatinya menjadi cemerlang kembali. Tetapi jika ia kembali berbuat dosa, maka
bertambahlah titik-titik hitam itu sehingga menutupi hatinya. Maka itulah
kotoran yang dimaksudkan dalam firman Allah, 'Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itulah yang menutup hati mereka...
"
Al-Hasan Al Bashri berkata, "Yaitu dosa di atas dosa (bertumpuk
tumpuk), sehingga hati itu menjadi buta, kemudian mati."
Begitulah keadaan orang-orang yang durhaka dan mendustakan hari
pembalasan. Itulah sebab mereka durhaka dan mendustakan. Setelah itu,
disebutkan sedikit tentang tempat kembali mereka pada hari yang besar itu,
sesuai dengan sebab kedurhakaan dan pendustaannya,
"Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar
terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka
benar-benar masuk neraka. Lalu dikatakan (kepada mereka), Inilah azab yang
dahulu selalu kamu dustakan. " (Al Muthaffifiin: 15-17)
Hati mereka telah dihalangi oleh kemaksiatan-ke¬maksiatan dan dosa-dosa serta
dihalangi dari merasakan keberadaan Tuhan di dunia. Juga telah dipadamkan
cahayanya sehingga kegelapan dan menjadi buta dalam kehidupan ini. Karena itu,
akibat yang pantas dan balasan yang setimpal baginya di akhirat nanti ialah
dihalanginya mereka dari memandang wajah Allah Yang Maha Mulia. Juga
dihalanginya mereka untuk mendapatkan kebahagiaan terbesar yang tidak diberikan
kecuali kepada orang-orang yang sehat, tinggi, dan jernih ruhnya, serta berhak
disingkapkan hijab-hijab antara dia dan Tuhannya. Mereka termasuk golongan
orang-orang yang disinyalir oleh Allah dalam surat Al Qiyaamah,
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat. " (Al-Qiyamah: 22-23)
Keterhalangan dari melihat wajah Tuhan ini merupakan azab di atas azab,
keterhalangan di atas keterhalangan, dan merupakan puncak kesedihan bagi
manusia yang kemanusiaan bersumber dari satu sumber, yaitu berhubungannya
dengan ruh Tuhannya Yang Maha Mulia. Apabila ia terhalang dari sumber ini,
hilang keistimewaan-keistimewaannya sebagai manusia yang terhormat sehingga
merosotlah derajatnya ke tingkatan yang menjadikannya layak masuk neraka,
"Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. " (Al
Muthaffifiin: 16)
Di neraka itu, mereka dicela dengan celaan yang lebih pahit daripada neraka itu
sendiri, "Lalu dikatakan (kepada mereka), Inilah azab yang selalu kamu
dustakan. " (A1 Muthaffifiin: 17)
Keadaan Orang-Orang yang Berbakti
Kemudian dibentangkanlah lembaran lain, lembaran orang-orang yang berbakti.
Lembaran ini dipaparkan menurut metode Al Qur’an di dalam membeberkan dua
lembaran yang bertolak be-lakang, sebagaimana biasanya, untuk menyempurnakan
keterbalikan antara dua hakikat, dua ke-adaan, dan dua kesudahan yang bertolak
belakang,
"Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu
(tersimpan) dalam 'Illiyyin. Tahukah kamu apakah 'Illiyyin itu? (yaitu) Kitab
yang bertulis, Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada
Allah). Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
kenikmatan yang besar (surga), Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil
memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh
kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya),
Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba. Dan campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata
air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah." (Al
Muthaffifiin: 18-28)
Lafal "kallaa" yang disebutkan pada awal segmen ini adalah
untuk mencegah dari perbuatan sebelumnya. Yaitu, mendustakan hari pembalasan
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ayat 17, Kemudian dikatakan
(kepada mereka), "Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan. "'
Kemudian disudahi dengan perkataan kallaa 'sekali-kali tidak'. Sesudah
itu, dimulailah pembicaraan tentang orang-orang yang berbakti dengan
menggunakan kalimat yang pasti dan mantap. Apabila kitab orang-orang yang
durhaka tersimpan dalam "sijjiin", maka kitab orang-orang yang
berbakti tersimpan dalam "illiyyin". Dan yang dimaksud dengan al
abraar 'orang-orang yang berbakti' itu ialah orang-orang yang patuh kepada
Allah dan melaksanakan semua kebaikan. Mereka merupakan kebalikan dari
orang-orang durhaka yang suka melanggar dan melampaui batas.
Lafal "illiyyin" mengisyaratkan dan mengesankan ketinggian
yang berkebalikan dengan "sijjiin" yang memberi kesan dan
mengisyaratkan kerendahan. Sesudah itu, dikemukakan pertanyaan yang menunjukkan
ketidaktahuan yang ditanya dan kehebatan sesuatu yang ditanyakan itu, 'Tahukah
kamu apakah illiyyin itu?" Nah, ini adalah urusan yang berada di luar
jangkauan ilmu dan pengetahuan manusia!
Dari membicarakan bayang-bayang yang mengesankan ini, pembicaraan kembali lagi
kepada hakikat kitab orang-orang yang berbakti. Dikatakan bahwa ia adalah "Kitab
yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada
Allah). " Perkataan marqum 'bertulis' ini sudah disebutkan di
muka. Di sini ditambahkan bahwa malaikat- malaikat yang didekatkan kepada Allah
itu menyaksikan dan melihat kitab ini. Ditetapkannya hakikat ini di sini
memberikan bayang-bayang kemuliaan, kesucian, dan ketinggian bagi kitab
orang-orang yang berbakti. Karena, ia berada di tempat yang disaksikan oleh
malaikat-malaikat yang didekatkan kepada Allah, malaikat-malaikat yang mulia
pekerjaan dan sifat sifatnya. Inilah bayangan kemuliaan dan keutamaan, yang
disebutkan dengan maksud memberikan penghormatan. Setelah itu, disebutkan
keadaan orang-orangyang berbakti itu sendiri, sebagai pemilik kitab yang mulia
tersebut. Diterangkan pula sifat-sifat kenikmatan yang mereka peroleh pada hari
yang besar itu,
"Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
kenikmatan yang besar (surga). " (A1- Muthaffifun: 22)
Ayat itu sebagai kebalikan dari neraka yang menjadi tempat kembali orang-orang
yang durhaka.
"...Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil
memandang...."
Yakni, mereka berada di tempat yang terhormat, sehingga dapat memandang ke mana
saja yang mereka sukai, tanpa menundukkan pandangan karena hina dan tanpa sibuk
memandang sesuatu yang menyengsarakan. Mereka duduk di atas dipan-dipan, di
pelaminan keluarga, dengan kelambunya yang indah. Gambaran yang dekat ini lebih
halus dan merupakan lambang kenikmatan yang lebih halus bagi bangsa Arab (waktu
itu) yang kehidupannya serba kasar. Adapun bentuk ukhrawinya nanti bagaimana, maka
hanya Allah yang mengetahuinya. Karena bagaimanapun keadaannya, ia jauh lebih
tinggi dari apa yang dikenal oleh manusia berdasarkan pengalaman dan
gambaran-gambarannya. Dalam kenikmatan ini, mereka merasakan kenikmatan jiwa
dan fisik, sehingga memancar keceriaan dan tanda-tanda kegembiraan di wajah
mereka yang dapat dilihat oleh siapa pun yang melihatnya,
"Kamu dapat mengetahui dari rajah mereka kesenangan hidup mereka yang
penuh kenikmatan. " (Al Muthaffifiin: 24)
"Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya
dari kesturi. " (Al Muthaffifiin: 25-26)
"Ar-rahiq"adalah minuman yang murni dan jernih, tidak
mengandung kekeruhan dan kotoran. Disifati¬nya minuman itu bahwa ia disegel
tempatnya, yang segelnya berupa kesturi. Hal itu menunjukkan bahwa minuman
tersebut sudah disediakan di dalam bejana. Sedangkan, bejana-bejana ini disegel
dan ditutup, yang dibuka segelnya ketika diminum. Ini menunjukkan bayang-bayang
penjagaan dan pemeliharaan minuman tersebut, sebagaimana dijadikannya segel
atau laknya dari kesturi menunjukkan bahwa barang itu barang bagus dan mewah.
Semua itu hanya bisa dimengerti manusia menurut batas-batas kebiasaan mereka di
bumi raja. Ketika mereka sudah berada di sana, di taman surga, sudah tentu
perasaan dan pengertian mereka akan sesuai dengan gambaran mereka yang bebas
dari suasana bumi yang terbatas. Kemudian disebutkan sifat-sifat minuman itu
dalam dua ayat berikut,
"Campuran khamar murni itu dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum
darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah." (Al
Muthaffifiin: 27-28)
Maksudnya, minuman khamar murni yang masih disegel itu dibukalah tempatnya.
Kemudian dicampur dengan sesuatu yang bernama "tasnim", yang
diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Sebelum selesai
menyebutkan sifat-sifat minuman ini, disampaikan dan diberikanlah pengarahan
berikut,
"Untuk yang demikian itu, hendaknya orang
berlomba-lomba." (Al Muthaffifiin: 26)
Suatu kesan mendalam yang menunjukkan banyak. Sesungguhnya, orang-orang curang
yang memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara batil, tidak mengira
akan dihisab pada hari akhir. Mereka mendustakan hari perhitungan dan
pem-balasan. Hati mereka ditutupi oleh dosa dan kemaksiatan. Sesungguhnya,
mereka itu hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan dan kesenangan
duniawi yang tak berharga. Mereka berlomba untuk mendapatkan bagian yang lebih
besar dan lebih besar lagi. Karena itu, mereka berbuat zalim, durhaka, dosa,
dan melakukan tindakan apa saja untuk mendapatkan kekayaan dan kesenangan
duniawi yang segera sirna itu.
Tidak sepantasnya manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan yang
rentang waktu-nya terbatas dan tak berharga ini. Sebenarnya, yang patut
diperlombakan dan segera didapatkan ialah kenikmatan besar yang penuh
kemuliaan dan kehormatan,
"Untuk yang demikian itu, hendaknya orang
berlomba-lomba. "
Ini adalah pencarian yang pantas orang berlomba mendapatkannya. Ini adalah ufuk
yang layak manusia bersegera datang ke sana. Ini adalah tujuan akhir yang layak
diperebutkan. Orang-orang yang berlomba-lomba untuk mendapatkan sesuatu dari
kekayaan duniawi, betapapun besar, banyak, bernilai, dan agungnya, maka
sebenarnya mereka hanya memperebutkan sesuatu yang remeh, sedikit, mudah
lenyap, dan hanya sementara waktu. Pasalnya, dunia di sisi Allah tidaklah
seimbang dengan sayap seekor nyamuk. Sedangkan, akhirat itu berat sekali dalam
timbangan-Nya. Kalau begitu, maka akhirat adalah suatu hakikat yang pantas
diperebutkan dan diperlombakan.
Menariknya, berlomba dalam urusan akhirat akan mengangkat ruh semua orang yang
berlomba itu. Sedangkan berlomba dalam urusan dunia akan menyebabkan ruh mereka
merosotnya. Berusaha mendapatkan kenikmatan akhirat akan menjadikan bumi baik,
makmur, dan suci bagi semua orang. Sedangkan berusaha mendapatkan kekayaan
duniawi akan menjadikan bumi sebagai rawa dan lingkungan yang menjadi tempat
makannya cacing. Atau, tempat binatang dan serangga yang memakan kulit
orang-orang yang baik dan berbakti.
Berlomba untuk mendapatkan kenikmatan akhirat tidak akan membiarkan bumi
gersang dan tidak produktif, sebagaimana bayangan sebagian orang yang
menyeleweng. Karena, Islam menjadikan bumi sebagai ladang akhirat. Menjadikan
pengurusan kekhalifahan di bumi dengan mengelola dan memakmurkannya dibarengi dengan
perbaikan dan ketakwaan, adalah tugas setiap mukmin yang sebenarnya. Namun,
mereka menghadapkan tugas kekhalifahan ini untuk mencari ridha Allah. Juga
menjadikannya sebagai ibadah kepadanya untuk merealisasikan tujuan
keberadaannya, sebagaimana ditetapkan Allah dalam firman-Nya,
'TidaklahAku menjadikan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku. " (Adz Dzaariyaat: 51)
Firman Allah, "Untuk yang demikian itu, hendaklah orang
berlomba-lomba"
, sungguh merupakan pengarahan agar manusia melirikkan pandangan dan hatinya ke
belakang planet bumi yang tak berharga ini. Yakni, ketika mereka sedang
memakmurkan dan mengelola serta mengangkat bumi ke ufuk yang lebih tinggi dan
lebih suci daripada kubangan-kubangan air yang berubah bau, warna, dan rasanya.
Sedangkan, mereka sendiri bertugas membersihkan dan menyucikan rawa-rawa itu.
Umat manusia di dunia ini terbatas, sedang umurnya di akhirat tidak ada yang
mengetahui ujungnya kecuali Allah. Kekayaan dan kesenangan dunia ini juga
terbatas, sedang kesenangan-kesenangan di surga tak dapat dibatasi oleh
pandangan dan bayangan-bayangan manusia. Tingkat kenikmatan di dunia ini sudah
dikenal, sedang tingkat kenikmatan di surga sana layak mendapatkan keabadian.
Kalau begitu, bagaimana mungkin kita akan membandingkan medan dan tujuan
masing-masing hingga akan memperhitungkan untung-ruginya menurut perhitungan
yang biasa dilakukan manusia? Ingatlah, perlombaan yang sebenarnya adalah untuk
menggapai kebahagiaan dan keuntungan akhirat.
"... Untuk yang demikian itu, hendaklah orang
berlomba lomba."
Orang-orang Mukmin akan Menertawakan Orang-Orang Kafir
Seakan-akan pemaparan perlombaan terhadap aneka bentuk kenikmatan yang
dinantikan orang-orang berbakti itu, merupakan pendahuluan bagi pembicaraan
tentang apa yang mereka peroleh di dunia dari orang-orang yang durhaka. Yakni
yang berupa gangguan, penghinaan, kesombongan, dan tuduhan yang bukan-bukan.
Hal ini juga dipaparkan dengan panjang lebar di sini. Maksudnya, untuk
mengakhiri penghinaan yang dilontarkan orang-orang kafir, ketika mereka
menyaksikan kenikmatan orang-orang yang berbakti itu,
"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya
(di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang yang
beriman berlalu di depan mereka, maka mereka saling mengedipkan matanya.
Apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan
gembira. Apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengata¬kan,
'Sesungguhnya, mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat. 'Padahal,
orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang
mukmin. Maka, pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang
kafir. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya,
orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka
kerjakan. " (Al Muthaffifiin: 29-36)
Pemandangan yang dilukiskan oleh Al Qur’an mengenai penghinaan orang-orang
berdosa terhadap orang-orang yang berbakti, keburukan sikap mereka, kesombongan
mereka, dan identifikasi mereka sebagai orang-orang yang sesat, merupakan
pemandangan yang kontroversial dalam realitas lingkungan masyarakat Mekah. Akan
tetapi, peristiwa ini selalu terjadi berulang-ulang dalam berbagai generasi dan
tempat Masyarakat sekarangpun banyak yang menyaksikan pemandangan seperti ini.
Sehingga, ayat ayat ini seakan-akan turun untuk mengidentifikasi (menyifati)
dan melukiskan potret mereka. Juga menunjukkan bahwa tabiat orang-orang durhaka
yang suka berbuat dosa itu adalah sama di dalam menghadapi orang-orang yang
baik-baik dalam semua lingkungan dan masa
"Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya
(di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. " (A1
Muthaffifin: 29)
Begitulah kebiasaan mereka. Paparan tentang dunia yang sementara dan segera
lenyap itu dilipat pemaparannya, tiba-tiba mereka diajak bicara tentang
akhirat. Mereka melihat kenikmatan orang-orang yang berbakti dan beriman.
Kemudian diingat kan kepada mereka tentang urusan dunia. Sewaktu di dunia, mereka
biasa menertawakan, menghina, dan meremehkan orang-orang yang beriman. Mungkin
karena kemiskinan dan penampilannya yang lusuh, kelemahan dan
ketidakberdayaannya menolak gangguan mereka, dan kelihatannya seperti
orang-orang yang bodoh. Semua ini bisa menyebabkan orang-orang yang suka
berbuat dosa itu tertawa. Mereka memang suka menjadikan orang-orang mukmin
sasaran penghinaan dan tertawaan. Mereka mengganggu dan menyakiti orang-orang
yang beriman, lalu mereka tertawakan dengan penuh penghinaan. Begitulah yang
mereka lakukan terhadap orang-orang mukmin. Akan tetapi, orang-orang mukmin itu
menerimanya dengan sabar, tegar, dan beradab sebagai orang beriman.
"Apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, maka
mereka saling mengedipkan matanya. " (Al- Muthaffifiin: 30)
Sebagian mereka mengedipkan matanya, meng¬isyaratkan tangannya, atau melakukan
gerakan-gerakan yang sudah dikenal di kalangan mereka untuk menghina kaum
mukmin, yaitu gerakan dan lagak yang rendah dan hina yang menunjukkan keburukan
moral dan ketidakbersihan hati mereka. Maksud mereka adalah untuk menimbulkan
rasa keterhinaan di dalam hati orang-orang yang beriman dan untuk
mempermalukannya. Sedangkan, mereka saling mengedipkan mata untuk menghinanya.
'Apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya'; setelah mereka
kenyangkan jiwa mereka yang kerdil dan hina dengan menghina dan mengganggu
orang-orang yang beriman, "mereka kembali dengan gembira",
perasaan puas, bangga terhadap perbuatannya, dan merasa senang dengan keburukannya
yang hina dan rendah itu. Maka, mereka tidak merasa menyesal lama sekali dan
tidak merasakan kehinaan dan kotornya perbuatan dan tindakan mereka. Inilah
puncak kerendahan jiwa mereka dan kematian nuraninya.
"Apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan,
'Sesungguhnya, mereka benar-benar orang-orang yang sesat. " (Al
Muthaffifiin: 32)
Ini lebih mengherankan lagi! Kiranya tidak ada yang lebih
mengherankan daripada tindakan orang-orang yang durhaka dan suka berbuat dosa
yang berbicara tentang petunjuk dan kesesatan. Sehingga, ketika melihat
orang-orang mukmin, mereka menganggap orang-orang mukmin itu sebagai
orang-orang yang sesat. Mereka juga mengisyaratkan kepada orang-orang mukmin
untuk menegaskan penyifatan ini dengan maksud mempopulerkan dan meremehkan,
"Sesungguhnya, mereka benar-benar orang-orang yang sesat. "
Kedurhakaan itu tidak terbatas, tidak malu berkata, dan tidak merasa hina
dalam berbuat. Me-nuduh orang-orang mukmin sebagai orang-orang sesat manakala
bertemu orang-orang durhaka dan suka berbuat dosa, itu menggambarkan bahwa
karakteristik kedurhakaan adalah melampaui semua batas. Al Qur'an tidak hanya
membela orang-orang yang beriman dan membantah kebohongan orang-orang durhaka
itu. Karena, perkataan fajirah 'durhaka' itu sendiri merupakan perkataan
yang tidak dapat dibantah. Akan tetapi, Al Qur’an menyampaikan penghinaan yang
berat terhadap orang-orang yang menyelinapkan hidung mereka mengenai sesuatu
yang bukan urusan mereka, dan suka campur tangan tanpa undangan seorangpun
dalam persoalan ini,
"Padahal, orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk menjadi
penjaga bagi orang-orang mukmin. " (Al- Muthaffifiin: 33)
Mereka tidak diserahi untuk mengurus urusan orang-orang mukmin. Mereka tidak
ditugaskan untuk menjadi pengawas. Mereka tidak ditugasi untuk menimbang dan
mengukur keadaan orang-orang mukmin. Nah, untuk apakah mereka bersikap begitu,
setelah dijelaskan dan ditetapkan seperti itu? Dengan penghinaan yang tinggi
ini, diakhirilah cerita tentang kelakukan orang-orang yang berdosa itu di
dunia. Yah, kelakuan dan sikap mereka. Dilipatlah pemandangan ini dengan
kesudahan tersebut untuk menampilkan pemandangan akhirat dan orang-orang
beriman yang berada dalam kenikmatan itu,
"Maka, pada hari ini, orang-orang yang beriman
menertawakan orang-orang kafir. Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil
memandang. " (Al Muthaffifiin: 34-35)
Pada hari ini, orang-orang kafir terhalang dari melihat Tuhannya. Derita
keterhalangan ini serasi dengan terabaikannya kemanusiaan mereka selama ini.
Lalu mereka masuk ke neraka diiringi dengan kehinaan dan penghinaan seraya
dikatakan kepada mereka seperti tercantum dalam ayat 17, "lnilah azab
yang dahulu selalu kamu dustakan. "
Pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. Mereka
duduk-duduk di atas dipan dan sofa-sofa. Mereka memandang ke mana saja yang
disukai. Mereka berada dalam kenikmatan yang abadi. Juga mendapatkan minuman
khamar murni yang bersegel kesturi dan bercampur dengan tasnim. Al Qur’an
mengarahkan penghinaan yang tinggi pada kali lain dengan mengemukakan
pernyataan,
"Sesungguhnya, orang-orang kafir telah diberi
ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. " (Al
-Muthaffifiin: 36)
Benar! Apakah mereka diberi ganjaran? Apakah mereka mendapatkan ganjaran dari
apa yang mereka kerjakan? Pertanyaan ini dikemukakan, padahal mereka tidak
mendapatkan "ganjaran" sebagaimana yang sudah populer. Maka,
kita saksikan mereka sebentar di dalam neraka. Akan tetapi, tak diragukan lagi
bahwa mereka mendapatkan balasan dari apa yang mereka kerjakan! Itulah ganjaran
mereka kalau begitu, ditambah dengan penghinaan yang terkandung dalam
penggunaan gaya bahasa ironi dengan disebutkannya kata tsawab 'ganjaran /
pahala' untuk siksa!
Catatan Penting
Kita berhenti sebentar di depan pemandangan yang
dilukiskan oleh Al Qur’an dengan segala keadaan dan gerakannya secara panjang
lebar ini, yakni pemandangan berupa penghinaan yang dilakukan orang-orang kafir
terhadap orang-orang mukmin sewaktu di dunia. Hal ini
sebagaimana sebelumnya telah dipaparkan dengan panjang lebar mengenai
pemandangan tentang kenikmatan orang-orang yang berbakti dengan segenap
pemandangan dan kesenangannya.
Kita dapati bahwa uraian panjang yang mengesankan ini mengandung pengetahuan
yang tinggi di dalam menyampaikan ungkapan, sebagaimana ia juga merupakan
pengetahuan yang tinggi di dalam mengobati perasaan. Karena golongan minoritas
muslim di Mekah menghadapi kekejaman dan gangguan dari orang-orang musyrik,
yang menimbulkan kepedihan mendalam di dalam jiwa manusia. Namun, Allah SWT
tidak membiarkan mereka tanpa pertolongan. Dia justru memantapkan, menghibur,
dan menenangkan hati mereka.
Gambaran yang terperinci tentang penderitaan mereka karena gangguan kaum
musyrikin ini, merupakan balsem pengobat hati mereka. Karena, Allahlah yang
menerangkan derita mereka ini. Dia melihat-lihat dan tidak mengabaikan mereka,
walaupun pada suatu waktu orang-orang kafir mengabaikannya. Ini saja sudah
cukup bagi orang mukmin untuk menghapuskan penderitaan mereka. Allah melihat
bagaimana mereka dihina oleh orang-orang yang menghina dan disakiti oleh
orang-orang yang berdosa, serta ditertawakan dan dijadikan bahan ejekan dengan
penderitaan dan gangguan-gangguan itu oleh orang-orang yang menertawakan dan
mengejeknya. Dia melihat pula bagai-mana orang-orang tolol itu tidak mencela
dan menyesali perbuatan mereka sedikit pun. Sesungguhnya, Allah melihat semua
itu dan menerangkannya di dalam wahyu-Nya. Karena itu, hal ini mempunyai nilai
tersendiri di dalam timbangan-Nya. Ini saja sudah cukup! Ini saja sudah cukup
ketika hati orang-orang yang beriman merasakan¬nya, meski bagaimanapun luka dan
deritanya.
Kemudian Tuhan mengejek orang-orang yang berdosa itu dengan ejekan yang tinggi
dan menyakitkan. Namun, kadang-kadang ejekan itu tidak dirasakan oleh hati
orang-orang berdosa, yang telah ter¬tutup oleh kotoran dosa-dosa. Akan tetapi,
hati orang-orang beriman yang sensitif dan cerdas, merasakan dan
memperhitungkannya. Kemudian ia merasa senang dan gembira. Setelah itu, hati
yang beriman ini menyaksikan keadaannya di sisi Tuhannya nanti,
kenikmatan-kenikmatannya di dalam surga-Nya, dan kemuliaan-kemuliaannya di alam
tertinggi. Yakni, ketika ia menyaksikan keadaan musuh-musuhnya terhina oleh
makhluk yang tinggi (malaikat) dan disiksa di dalam neraka, dengan penuh
penghinaan dan pelecehan. Ia, menyaksikan ini dan itu dengan rinci dan dalam
penuturan yang panjang. Ia merasakan keadaannya dengan realistis dan
meyakinkan. Sehingga, sudah tidak diragukan lagi bahwa perasaan semacam ini dapat
menghapuskan kepahitan yang dialaminya yang berupa gangguan, penghinaan,
minoritas, dan kelemahan. Bahkan, sebagian hati ada yang merasakan kepahitan
dan kegetiran yang dialaminya sebagai sesuatu yang manis, ketika ia menyaksikan
pemandangan-pemandangan ini di dalam firman yang mulia.
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa adanya firman Allah yang demikian ini
saja sudah cukup sebagai hiburan Ilahiah terhadap orang-orang mukmin yang
disiksa dan disakiti oleh orang-orang berdosa yang hina dina itu dengan
berbagai sarananya, gangguannya yang berat, dan penghinaannya yang tajam. Surga
bagi orang-orang mukmin dan neraka bagi orang-orang kafir. Kedua keadaan ini,
antara dunia dan akhirat, akan dipertukarkan secara total. Nah, hanya ini saja
yang dijanjikan Rasulullah saw kepada orang-orang yang berbaiat kepada beliau.
Namun demikian, mereka sudah rela mengorbankan harta dan jiwanya.
Pertolongan di dunia dan kemenangan di bumi tidak pernah disinggung oleh Al
Qur’an periode Mekah, ketika memberikan hiburan dan pemantapan. Al Qur’an hanya
menciptakan sesudahnya hati-hati yang siap mengemban amanat. Hati yang seperti
itu haruslah tabah, kuat, dan tidak tertarik kepada kekayaan dan kesenangan
duniawi. Bahkan, ia justru rela mengorbankan segala sesuatu dan siap memikul
segala beban. Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali akhirat. Tidak ada
yang mereka harapkan kecuali keridhaan Allah. Sehingga, terciptalah hati yang
siap mengarungi dunia dengan keletihan, kemelaratan, keterhalangan, siksaan,
pengorbanan, dan ketabahan, tanpa mengharapkan imbalan yang cuma semen¬tara
waktu di dunia ini. Bahkan, meskipun balasan di dunia ini berupa kemenangan
dakwah, kemenangan Islam, dan kemenangan kaum muslimin!
Hati yang mengerti ini mengetahui bahwa dalam perjalanannya di bumi ini tidak
ada sesuatu pun melainkan harus ia berikan tanpa imbalan. Ia hanya menantikan
akhirat saja sebagai waktu pembalasan dan waktu untuk memisahkan antara yang
hak dan yang batil. Sehingga, apabila hati ini mendapati Allah mengetahui
niatnya ketika berbaiat dan berjanji bahwa kemenangan datang kepadanya di bumi
secara realistis, maka kemenangan itu bukan untuk dirinya. Tetapi, untuk
menegakkan amanat manhaj IIahi, yaitu kelayakan menunaikan amanat, sejak ia
tidak diberi janji untuk mendapatkan harta rampasan di dunia, dan tidak
tertarik untuk diberi bagian dari harta rampasan. Hati ini Lurus murni hanya
karena Allah, untuk mendapatkan hak pada hari yang ia ketahui tidak ada balasan
kecuali ridha-Nya.
Semua ayat yang menyebutkan kemenangan di dunia, turun di Madinah sesudah itu.
Atau, sesudah urusan ini berada di luar program orang mukmin, di luar penantian
dan ambisinya. Kemenangan itu sendiri datang karena Allah menghendaki manhaj
ini menjadi kenyataan di dalam kehidupan manusia. Yakni, dengan ditetapkan
dalam bentuk amaliah terbatas yang dilihat oleh berbagai generasi. Maka,
realitas ini bukanlah balasan atas keletihan, kepayahan, pengorbanan, dan
penderitaan mereka. Akan tetapi, hal itu sudah menjadi takdir Allah yang
mengandung hikmah yang dapat kita coba melihatnya sekarang!