Tafsir Surah Al 'Adiyat

 


وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا (1) فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا (2) فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا (3) فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا (4) فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا (5) إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (6) وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ (7) وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (8) أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ (9

 

“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, Maka ia menerbangkan debu,  dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh, Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta Maka Apakah Dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha mengetahui Keadaan mereka."

 

 

Asbab Nuzul :

Al-Quthubi di dalam tafsirnya ( 20/ 106 ) menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengutus pasukan kuda yang dipimpin al-Mundzir bin al-Amru al-Anshari kepada suku Kinanah, akan tetapi setelah beberapa lama pasukan tersebut tidak ada kabar beritanya. Kemudian orang-orang Munafik menyebarkan isu bahwa mereka terbunuh semuanya, maka turunlah ayat ini untuk memberitahukan bahwa pasukan muslimin dalam keadaan selamat dan sedang menyerang musuh.

 

 

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا

“ Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. “

 

Kata ( al-‘Adiyat ) berasal dari  ‘ada-ya’du yang berarti jauh dan melampaui batas.  Dari sini akan diketahui makna-makna yang lain, misalnya : ‘aduwun berarti musuh, karena orang yang bermusuhan itu berjauhan hatinya.  Begitu juga al ‘udwan ( penyerangan yang melampaui batas ), karena orang yang melakukan penyerangan telah jauh dari kebenaran dan perbuatannya telah melampaui batas yang telah ditetapkan Syariah. Maka kata ( wal ‘adiyat ) pada ayat di atas bisa diartikan  ( Demi sesuatu yang berlari kencang ) karena dengan lari yang kencang, dia akan menempuh jarak yang jauh dengan cara yang cepat. Yang berlari kencang dalam ayat ini adalah kuda perang disaat menyerang pasukan musuh, sebagaimana disebutkan dalam asbab nuzul.  

 

Adapun makna ( Dhobha ) adalah suara yang keluar dari kuda di saat dia sedang berlari kencang. Sehingga diartikan ( Demi kuda yang berlari kencang dengan terengah-engah ) atau dengan suara meringkik, karena kuda ketika berlari kencang dia kadang meringkik.

 

فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا

“ Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya)”

 

Kata ( al-Muriyat ) berasal dari wara- waryan, yang berarti menyalakan api. Sedangkan kata ( Qhad-ha ) artinya mengeluarkan. Maksudnya adalah hentakkan sepatu kuda yang mengenai batu-batuan dengan kecepatan yang tinggi sehingga memercikkan api.

 

 

فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا

“Dan kuda yang menyerang dengan tiba- tiba di waktu pagi

 

Al-Mughirat berasal dari kata Aghara yang berarti menyerang dengan cepat, tiba-tiba dan mendadak. Sedangkan ( Shubha) , yaitu pada waktu subuh atau pada waktu pagi. Sehingga ayat tersebut bisa diartikan penyerbuan tentara kaum muslimin yang menggunakan kuda-kuda pada waktu pagi.

Berkata Qurtubi  dalam tafsirnya ( 20/ 108 ) : “ Kaum muslimin jika hendak menyerang musuh, mereka berjalan pada malam hari, kemudian menyerang musuh pada pagi harinya, karena pada waktu itu para musuh sedang lengah. “

Pada peperangan zaman dahulu, khususnya sebelum ada listrik, yang paling efektif adalah melakukan penyerangan pada waktu pagi hari. Karena pada malam harinya, biasanya pasukan musuh istirahat dan pada pagi harinya mereka belum mempersiapkan  diri dengan sempurna. Ketika dilakukan penyerangan secara cepat, mendadak dan tiba-tiba, biasanya pasukan musuh akan mengalami kekalahan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika hendak menyerbu sebuah desa, jika tidak terdengar adzan Subuh, beliau langsung  melakukan penyerangan secara cepat dan tiba-tiba.

 

Hal ini juga pernah dilakukan oleh Thariq bin Ziyad ketika menghadapi pasukan Spanyol yang jumlahnya begitu banyak dengan persenjataan yang lengkap. Thariq bin Ziyad dengan 7000 tentara melakukan serangan cepat, tiba-tiba dan mendadak ke arah pasukan Spanyol yang jumlahnya 30.000 tentara, sehingga mereka lari terbirit-birit, karena kaget dan belum sempat mempersiapkan pasukan mereka secara sempurna. Begitu juga “ Serangan Fajar “  yang dilakukan oleh tentara Indonesia telah mampu memukul mundur pasukan penjajah Belanda. Ini semuanya menunjukkan bahwa waktu shubuh adalah waktu yang bagus untuk memulai aktivitas sehari-hari. Semakin pagi dia beraktivitas, maka semakin bagus. Apalagi dimulai dengan bangun pada sepertiga akhir malam, kira-kira jam 3 malam untuk melaksanakan sholat tahajjud kemudian ditutup dengan sholat witir dan dilanjutkan dengan melaksanakan sholat Shubuh. Setelah itu dimulailah aktivitas sehari-hari.

Pada zaman keemasan Islam, ketika ilmu berkembang dengan pesat, para pelajar memulai sekolah mereka di masjid-masjid sesudah sholat shubuh langsung. Mereka terus belajar hingga menjelang Dhuhur, mereka istirahat sebentar, atau lebih sering disebut dengan  ( Qailulah ). Setelah itu mereka meneruskan pelajaran sehabis sholat Dhuhur hingga tiba waktu Ashar.

 

 

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

“ Maka  ( kuda-kuda tersebut ) menerbangkan debu di tempat penyerbuan

 

Artinya dengan serangan yang begitu cepat dan mendadak pada pagi hari telah mampu menerbangkan debu dimana- mana. Dan ini menunjukkan betapa dahsyat penyerangan tersebut.

 

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

“Dan menyerbu ketengah-tengah perkumpulan musuh “

 

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

“ Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya.”

 

Mulai ayat 6 ini dan selanjutnya, Allah menerangkan bagaimana keadaan manusia di dunia ini sangat lalai dan lengah. Dia tidak menyadari bahwa kematian akan menjemputnya secara cepat, mendadak dan tiba-tiba sebagaimana pasukan kuda yang menyerang musuh mereka dengan cepat, mendadak dan tiba-tiba. Manusia jika tidak mempersiapkan diri sejak awal untuk menghadapi kematian dengan keimanan dan amal shaleh, maka dia akan binasa ketika kematian menjemputnya dan dia akan mendapatkan siksaan yang pedih pada hari kiamat.

 

Ayat di atas menjelaskan bahwa satu sifat manusia yang menyebabkan kebinasaan adalah ingkar terhadap Rabb-nya, tidak mau mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

 

Kata  “الْكَنُود / al-Kanuud ” berasal dari “ Kanada “ yang berarti putus. Sehingga bisa diartikan memutuskan hubungan, memutus nikmat dan bantuan kepada orang lain, atau sering disebut dengan bakhil atau kikir. Orang yang bakhil adalah orang yang tidak pandai berterimakasih dan tidak pandai mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Sifat ini disebutkan oleh Allah di dalam surat lain dengan istilah “ Halu’a “

 

إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

“ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. “  ( Qs al-Ma’arij : 19-21 )

 

Al Kanud juga berarti tandus atau kering. Dikatakan “ Al-Ardhu al-Kanud “, yaitu bumi yang tandus dan kering tidak ada tumbuh-tumbuhannya, bumi ini menolak air dan tidak bisa meresapnya. Artinya manusia itu mempunyai sifat al-kanud, yaitu ketika mendapatkan rizki dari Allah menolak untuk mensyukurinya dan menolak untuk memberikannya kepada orang lain yang membutuhkannya.

 

Oleh karenanya, Ibnu Abbas menyatakan bahwa al-insan (manusia ) dalam ayat ini  maksudnya adalah orang kafir. Bisa berarti kafir kepada Allah, bisa juga berarti kafir nikmat, yaitu tidak mensyukuri nikmat Allah, dengan menahannya dan tidak memberikannya kepada yang berhak.

 

قَالَ الْحَسَن : الْكَنُود هُوَ الَّذِي يَعُدّ الْمَصَائِب وَيَنْسَى نِعَم اللَّه عَلَيْهِ .

Berkata al Hasan al Bashri : “al Kanud itu adalah orang yang selalu ingat dan menghitung musibah yang menimpa dirinya, sebaliknya dia lupa atau melupakan diri terhadap nikmat Allah yang diberikan kepadanya.”

 

 وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ 

Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,

 

 

Ayat di atas mengandung dua makna :

 

Makna Pertama :

Bahwa manusia menyaksikan sendiri keingkarannya kepada Allah, yaitu menutupi nikmat Allah dan tidak mensyukurinya. Dan ini terlihat di dalam sikap dan perbuatannya sendiri.  Menurut Ibnu Katsir ketika menjelaskan firman Allah :

 

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. “ ( Qs an-Nisa’ : 37 )

 

Bahwa orang yang bakhil adalah orang yang mengingkari nikmat Allah dan tidak menampakkannya ( di depan manusia ), tidak terlihat dalam makanannya, tidak pula di dalam pakaiannya, dan tidak pula di dalam pemberian dan pengorbanannya. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah dalam Qs al-Adiyat ayat 6-7 :

 

إِنَّ الإنْسَاَن لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ

 

Ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah di dalam salah satu hadistnya :

إن الله يحب أن يرى أثر نعمته على عبده.

“ Sesungguhnya Allah senang, jika nikmat-Nya diperlihatkan kepada hamba-Nya “ ( HR Tirmidzi )

 

 Makna Kedua : Bahwa Allah Menyaksikan keingkaran manusia kepada nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya. Qurthubi ( 20/ 110 ) menyebutkan bahwa pendapat kedua ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir .

 

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

 

Al-Khair pada ayat di atas diartikan harta. Ini sesuai dengan firman Allah :

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” ( Qs al-Baqarah : 180 )

 

Ini dikuatkan dengan firman Allah ta’ala :

فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ

“ Maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan". ( Qs Shaad : 32 )

أفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ

Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,

 

            Kata ( Bu’tsira ) artinya membolak-balikkan, yang di atas diletakkan di bawah dan yang di bawah diletakkan di atas. Maksud ayat di atas- sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir ( 4 / 544 )-adalah apakah manusia tersebut tidak mengetahui bahwa orang-orang yang mati di dalam kuburan mereka akan dibangkitkan?    

 

وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ

dan dinampakkan apa yang ada di dalam dada

 

Kata “ Hushila “ diartikan : dipisahkan yang baik dan yang buruk. Hushila juga bisa diartikan : dinampakkan apa yang mereka sembunyikan di dunia. Berkata Ibnu Abbas :   “ dinampakkan sesuatu yang mereka rahasiakan dalam hati mereka”

 

 

إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ

sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.”

           

Yaitu Allah mengetahui keadaaan yang telah mereka kerjakan dan akan mendapatkan balasan yang setimpal, dan tidaklah Dia mehalimi hamba-hamba-Nya sedikitpun.

 

Surat ini masih berbicara tentang keimanan kepada hari akhir, sebagaimana dalam surat al-Qari’ah, berbicara tentang kuburan dan kematian sebagaimana di dalam surat at-Takatsur. Berbicara tentang hari pembalasan sebagaimana di dalam surat al_Humazah. Tujuannya agar keimanan ini bisa mencegah manusia dari perbuatan jahat, lupa diri, dan terlalu mencintai dunia.

 

Perbedaan surat ini dengan yang lainnya, bahwa dalam surat ini digambarkan tentang pasukan kuda yang menyerang secara mendadak. Hal itu untuk mengingatkan kepada manusia ini agar mensyukuri nikmat Allah dan jangan terlalu mencintai dunia yang fana ini, karena kematian yang menyergapnya secara tiba-tiba sebagaimana pasukan kuda yang menyerang musuhnya secara tiba-tiba.

 

Surat ini juga menggambarkan bagaimana orang-orang yang mati dalam kuburan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama di dunia ini, barang siapa yang berbuat baik maka akan dibalas dengan setimpal sebaliknya yang berbuat buruk akan dibalas dengan setimpal juga, dan Allah tidak akan mendhalimi hamba-hamba-Nya sedikitpun, karena Dia mengetahui apa yang dikerjakan manusia selama berada di dunia.

Wallahu A’lam,


Baca juga: Memaknai Sukses Islami Dalam Hidup


 

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama