Innâ a‘thainâ ka al-kautsar fashalli lirabbika wanhar
inna syâni’aka huwa al-abtar
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar. Maka salatlah kamu, dan
berkurbanlah. Sesungguhnya pembenci-mu itulah yang akan binasa. (QS Al-Kautsar,
108:1-3).
Al-Kautsar.
Al-kautsar ialah
bekal atau belanja dalam jumlah yang banyak. Al-kautsar artinya yang banyak memberi.
Yang dimaksud dengan al-kautsar di
sini ialah kenabian, agama yang benar, petunjuk dan apa yang ada di dalamnya
tentang kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Abtar.
Menurut asal katanya, alabtar adalah binatang yang terpotong
ekornya. Adapun yang dimaksud al-abtar di sini ialah orang yang namanya tidak
berlanjut dan jejaknya tidak kekal. Pengumpamaan kekalnya sebutan yang baik dan
berlanjutnya jejak yang indah dengan ekor binatang karena ekor binatang itu
mengikuti binatangnya dan menjadi perhiasan baginya. Sehingga, orang yang tidak
memiliki sebutan yang kekal dan jejak indah yang berlanjut diibaratkan sebagai
orang yang ekornya terlepas atau terputus.
Dengan surat ini Allah hendak menegaskan sebagai berikut:
Aku telah memberikan kepadamu pemberian yang banyak
sekali yang jumlahnya tidak terhitung. Aku telah mengaruniaimu berbagai
karunia, yang tidak mungkin sampai pada hakikatnya.
Apabila musuh-musuhmu menganggap enteng dan kecil
terhadap karunia itu, maka itu disebabkan karena kerusakan pikiran dan lemahnya
persepsi mereka. Salatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Jadikanlah salatmu
hanya kepada Tuhan saja, dan sembelihlah sembelihanmu yang merupakan
pengorbananmu bagi Allah jua. Sebab, Allahlah yang memeliharamu dan
melimpah-kan kepadamu segala nikmat-Nya, bukan yang lain, seperti Aku telah
memerintahkan kepada para nabi-Ku: Qul
inna shalâti wa nusukî wa mahyâya wa mamâti lillâhi rabb al‘âlamin lâ syarîka
lahu wa bidzâlika umirtu wa ana awwal al-muslimîn. Katakanlah,
sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku dan matiku untuk Allah yang
mengurus alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku
diperintahkan. Dan aku menjadi Muslim yang pertama.”
Setelah menggembirakan Rasul Saw. dengan sebesar-besarnya
kabar gembira, dan meminta beliau untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat dan
kesempurnaannya, lalu Allah menegaskan bahwa musuh-musuh beliaulah yang justru
akan terkalahkan dan terhinakan, “Inna
syâni’aka huwa al-abtar. Sesungguhnya pembencimu, baik yang dulu
maupun yang sekarang, akan terputus namanya dari kebaikan dunia dan akhirat,
sehingga keturunanmu akan kekal dan akan kekal juga nama dan jejak-jejak
keutamaanmu sampai hari kiamat.”
Sebenarnya para pembenci itu tidaklah membenci Rasul
karena kepribadiannya. Mereka sebetulnya mencintai beliau lebih dari kecintaan
kepada mereka sendiri. Namun, mereka marah kepada apa yang dibawakan oleh
beliau berupa petunjuk dan hikmah yang merendahkan agama mereka, mencela apa
yang mereka sembah, dan memanggil mereka kepada sesuatu yang berbeda dengan apa
yang mereka lakukan selama ini.
Allah sudah menegaskan dan membuktikan kepada
pembenci-pembenci Rasul di kalangan Arab dan ajam pada zaman beliau, bahwa mereka
akan ditimpa kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka kecuali nama
yang jelek. Dia juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi Saw. dan orang-orang
yang mendapat petunjuknya akan mendapatkan kedudukan di atas apa pun,
sehingga kalimah mereka
menjadi kalimah yang
paling tinggi.
Allah sudah menegaskan dan membuktikan kepada
pembenci-pembenci Rasul di kalangan Arab dan ajam pada zaman beliau, bahwa
mereka akan ditimpa kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka
kecuali nama yang jelek. Dia juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi Saw.
dan orang-orang yang mendapat petunjuknya akan mendapatkan kedudukan di atas
apa pun, sehingga mereka menjadi yang paling tinggi.
Al-Hasan rahimahullah berkata:
“Orang-orang musyrik disebut abtar karena
tujuan mereka terputus sebelum mereka mencapainya. Sejahterakanlah Nabi-Mu,
wahai Tuhan kami, yang telah Engkau tinggi-kan namanya; telah Engkau rendahkan
para pembencinya, dengan shalawat yang kekal, sekekal zaman.”
Penjelasan di atas dari tafsir Ibn Katsir. Di sini juga
disebutkan beberapa keterangan tentang al-kautsar,
sebagai berikut:
1. Telaga di Surga
2. Kebaikan yang baik;
3. Putra-putra Rasulullah
4. Sahabat-sahabat dan pengikutpengikut Rasul Saw. hingga
hari
kiamat;
5. Ulama di kalangan umat Muhammad Saw;
6. Al-Quran dengan segala keutamaannya yang banyak;
7. Nubuwwah;
8. Dimudahkannya Al-Quran;
9. Islam;
10. Tauhid;
11. Ilmu;
12. Hikmah; dan sebagainya.
Di sini bahkan sampai diriwayatkan ada dua puluh enam
mazhab tentang apa yang dimaksud dengan al-kautsar.
Tapi kita akan mengambil tharîqah
al-jam‘i (teori penggabungan), artinya seluruhnya benar. Kita
mengambil yang umum, al-kautsar adalah
kenikmatan yang banyak, yang dikaruniakan kepada Muhammad Saw. dan umatnya. Dan
kenikmatan itu bisa berupa Al-Quran, atau petunjuk Allah, atau bertambah-nya
pengikut beliau sampai akhir zaman hingga tidak terputus setelah beliau
meninggal dunia, atau bisa juga telaga di surga.
Memang diriwayatkan dalam Shahîh Al-Bukhâri, bahwa
nanti di surga penghuninya akan diberi minum dari telaga yang bernama
Al-Kautsar. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa pada suatu saat sekian banyak orang
akan digiring ke telaga Al-Kautsar. Yang diberi minum dari telaga hanyalah umat
Rasulullah Saw. Tetapi ketika sudah mendekat ke telaga Al-Kautsar, mereka
diusir oleh para malaikat. Lalu Rasulullah berteriak, “Sahabatku, sahabatku.”
Kemudian Allah berfirman, “Tidak. Mereka bukan sahabatmu. Engkau tidak mengetahui
apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Rasulullah pun berkata, “Celakalah
orang yang mengganti ajaran-ajaran agamaku setelah aku meninggal.”
Selanjutnya, kata nahr,
juga memiliki beberapa makna. Dalam bahasa Arab, salah satu arti kata nahr adalah
berkurban. Arti yang lain adalah bagian dada sebelah atas. Sebagian mufassir
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nahr ialah mengangkat tangan lurus
dengan bahu sebelah atas. Sehingga, kata mereka, maknanya adalah, “Salatlah
kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu sambil meng-angkat tangan
selurus bahu.” Begitu kata mereka. Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang
diriwayatkan oleh Abi Hatim, Al-Hakim, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, dalam
Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Ketika surat ini diturunkan
kepada Nabi Saw., beliau bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud
dengan nahr yang
diperintahkan oleh Allah di sini?’ Jibril berkata: ‘Yang dimaksud di sini bukan
berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat
menghormat dalam salat, saat takbir, ruku, dan mengangkat kepala dari ruku.
Sebab, itulah salat kami dan salat malaikat yang berada di langit yang tujuh.
Segala sesuatu itu memiliki perhiasan-nya. Dan perhiasan salat adalah
mengangkat tangan pada setiap takbir.’”
Adapun mengenai al-abtar, Al- Maraghi menyebutkan
ada beberapa hal, yaitu:
1. Dulu, pengikut-pengikut Rasul Saw. yang pertama
adalah kelompok dhu‘afa, fuqara dan orang miskin. Kebanyakan mereka bodoh-bodoh
sehingga diejek dengan sebutan sufahâ’,
orang-orang bodoh, walaupun kemudian Allah menegaskan, alâ innahum hum al-sufahâ’,
mereka (para pembesar) itulah yang bodoh. Mereka (para pembesar) itu
meng-anggap bahwa kalau agama yang dibawa oleh Muhammad itu benar, tentu
pengikutnya adalah orang-orang pandai, orang-orang besar, dan orang-orang yang
mengerti. Tetapi, mengapa para pengikutnya justru orang-orang bodoh? Karena
itulah mereka menganggap bahwa agama itu akan cepat abtar, akan cepat lenyap,
cepat terputus.
2. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. mempunyai
beberapa orang putra. Putra tertua bernama Al-Qasim. Kemudian Zainab, Abdullah,
Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Fathimah. Al-Qasim meninggal. Setelah ia meninggal,
Abdullah pun meninggal. Maka, berkatalah Al-‘Ashi bin Wail Al-Sahmi, salah seorang
pembesar Quraisy: “Sudah terputus keturunan Muhammad; ia menjadi abtar, orang yang terputus
keturunannya.” Sebab itulah Allah menurunkan ayat, Inna syâni’aka huwa al-abtar (Sesunguhnya
pembencimulah yang akan binasa). Itulah pula sebabnya sebagian ulama
men-jelaskan bahwa yang dimaksud alkautsar dalam
surat ini adalah keturunan Rasulullah Saw., yakni janji Allah bahwa keturunan
Muhammad tidak akan terputus, melainkan beranak pinak dalam jumlah yang banyak.
Dahulu, orang Arab menyebut seorang anak dengan nama bapaknya. Jadi, jika
seseorang tidak mem-punyai anak, maka namanya tidak akan disebut-sebut orang.
Dan ternyata, nama Rasulullah terus berlanjut dengan kenangan yang baik, hingga
sekarang.
3. Merupakan sunnah para nabi bahwa para pengikutnya
pada umumnya berasal dari kelompok dhu‘afa, dan bahwa para nabi dan pengikutnya
selalu memilih bergaul dengan kelompok dhu‘afa. Di India, saya mendengar bahwa
Islam berkembang pesat karena para ulamanya mendekati kelompok orang yang tidak
memiliki kasta. Orang-orang yang terlempar dari sistem kasta itu kemudian masuk
ke dalam Islam dengan berbondong-bondong, hingga orang-orang Hindu ter-paksa
menggunakan kekuasaan mereka, membunuh orang-orang Islam. Islam memiliki daya
tarik yang besar bagi kelompok dhu‘afa, orang-orang lemah. Saya perlu
menegaskan ini berkali-kali. Karena, selama ini orientasi dakwah kita hanya
tertuju kepada kelompok elit saja, atau kelompok menengah yang sekarang
bangkit. Sementara orang-orang miskin, dhu‘afa didekati oleh orang-orang
Kristen, sehingga beberapa tempat telah dikristenisasikan.
Dalam Al-Qur’an, yang dimaksud dhu‘afa bukan saja
lemah dalam arti materi, tapi juga ilmu. Tapi, titik beratnya adalah dhu‘afa
dari segi materi. Orang yang lemah dari sisi kekayaan, biasanya lemah juga dari
sisi ilmu pengetahuan, kehidupan politik, dan kehidupan sosial. Dhu‘afa adalah
kelompok lemah, orang-orang kecil. Al-Quran memiliki istilah lain, mustadh‘afîn, yakni
orang-orang yang ditindas, dilemahkan.