يَا أَبَا ذَرٍّ، جَدِّدِ
السَّفِيْنَةَ فَإِنَّ اْلبَحْرَ عَمِيْقٌ، وَخُذِ الزَّادَ كَامِلاً فَإِنَّ
السَّفَرَ بَعِيْدٌ، وَخَفِّفِ اْلحِمْلَ فَإِنَّ العَقَبَةُ كَئُوْدٌ، وَأَخْلِصِ
اْلعَمَلَ فَإِنَّ النَاقَدَ بَصِيْرٌ
"Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu
karena laut itu dalam; ambilah bekal yang cukup karena perjalanannya jauh;
ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah beramal
karena Allah Maha Teliti."
Pesan
Rasulullah dalam hadits ini disampaikan dalam makna tersirat. Pengertian
tersebunyi dalam kata-kata kiasan di dalamnya. Nasihat sejatinya tak hanya
ditujukan kepada Abu Dzar melainkan juga kepada umat beliau secara umum dan
sepanjang zaman. Menurut penulis Nashaihul 'Ibad, Syekh Muhammad bin Umar
Nawawi al-Bantani (Imam Nawawi), perintah untuk memperharui perahu berarti
menata niat. Niat merupakan hal pokok dalam setiap perbuatan.
Pertama, sebelum seseorang hendak berlayar, ia harus memastikan
kapal dalam kondisi siap dan aman; memeriksa mesin, mempertimbangkan cuaca, dan
lain-lain. Begitu pula dengan hubungan niat dan amal. Artinya, seseorang yang
ingin melakukan sesuatu hendaklah menertibkan rencana dan tujuan yang bagus.
Selain memantapkan langkah, niat juga membantu seseorang untuk fokus pada arah
yang digariskan, yakni untuk mencari ridha Allah subhanahu wata’ala. Tentang
niat sebagai pekerjaan yang wajib dalam setiap amal dapat kita simak dengan
jelas dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa “Sesungguhnya
sahnya setiap amal perbuatan adalah dengan niat. Setiap orang hanya memperoleh
dari apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang
hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang
akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia
berhijrah." Niat adalah pekerjaan hati.
Dalam
fiqih menjadi bagian dari rukun qalbi atau rukun hati. Karena itu, ia bersifat
tersembunyi, tak ada orang lain yang bisa menyaksikannya keciali Allah dan
dirinya sendiri. Bibir bisa saja berucap tujuan A, tapi siapa yang tahu hati
berkehendak untuk tujuan lain? Itulah sebabnya ibadah sebagus apa pun apabila
tak disertai dengan niat yang baik maka akan menjadi sia-sia belaka. Tetapi
perbuatan yang sekilas terlihat “remeh” dengan niat yang tertata dan baik maka
akan menjadi memiliki nilai. Dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan
كَمْ مِنْ عَمَلٍ
يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن
أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ
يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة
Artinya:
“Banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berubah menjadi
perbuatan ukhrawi lantaran niat yang bagus. Banyak pula perbuatan yang terlihat
sebagai perbuatan ukhrawi bergeser menjadi perbuatan duniawi lantaran niat yang
buruk.”
Yang
kedua, Rasulullah mengingatkan Abu Dzar dan
kita semua tentang usaha untuk menumpuk perbekalan sesempurna mungkin karena
perjalanan akan panjang. Menurut Syekh Nawawi, yang dimaksud di sini tentu
adalah perjalanan akhirat yang penuh dengan jerih payah melebihi perjalan dunia
yang fana ini. Karena perjalanan tersebut adalah perjalanan akhirat maka
bekalnya pun bukan kekayaan duniawi. Kita pergi ke akhirat hanya membawa bekal
amal kebaikan. Selebihnya, baik rumah, mobil, pabrik, tanah, anak, istri,
jabatan, popularitas akan ditinggal begitu saja. Di akhiratlah berlangsung hari
pembalasan atas segenap perilaku kita selama di dunia. Bagi yang tak cukup
bekal mereka pun bakal menyesal. Seperti diungkapkan dalam Surat Al-Fajr ayat
24 yang merekam penyesalan sebagian orang:
يَا
لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai,
alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku
ini.”
Cakupan
amal saleh sangat luas. Tak hanya meliputi ibadah ritual semacam shalat, wirid,
atau puasa. Amal saleh juga bisa berupa membantu pendidikan anak miskin yang
sedang kesusahan, membebaskan hewan dari sangkar ke habitat semestinya,
membangun perpustakaan untuk masjid, memberi kesadaran kepada masyarakat
tentang membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, dan lain sebagainya.
Semua ini hanya akan bernilai jika niat yang terbesit sesuai dengan koridornya,
sebagaimana pesan Rasulullah di awal tadi. Nasihat ini berjalin kelindan dengan
pesan metaforis Rasulullah berikutnya, yakni perintah untuk meringankan beban
bawaan karena terjal dan berlikunya lereng gunung yang dilintasi. Perjalanan
yang jauh dengan tingkat kesulitan yang tinggi menuntut seseorang untuk
mempertimbangkan barang-barang bawaan saat bepergian. Ini merupakan kiasan dari
anjuran untuk tak terlalu meninggalkan beban duniawi yang bakal menghambat
perjalanan akhirat. Nabi mendorong umatnya agar tak terlalu terpukau pada
kehidupan dunia karena semakin banyak, semakin banyak pula beban yang bakal
ditanggung.
Karena
negeri akhirat adalah tempat menghisab segala yang dimiliki, termasuk hal-hal
yang bersangkut paut hak sesama manusia (haqq adamî), seperti hutang serta
berbuat kesalahan terhadap orang lain yang belum termaafkan. Nasihat yang
keempat adalah akhlish al-‘amala, murnikanlah berbuat hanya untuk tujuan
mencari ridha Allah. Jika kita belajar fiqih, ikhlas memang tak menjadi salah
satu rukun yang mesti dilakukan. Tapi ikhlas adalah “ruh” yang menentukan
apakah suatu amal memiliki harga di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Baca juga: Balasan dari setiap perbuatan