Bila kita membaca sejarah Islam, setidaknya ada tiga
peristiwa penting yang melatarbelakangi peristiwa Isra dan Mi'raj Nabi Saw..
Pertama, peristiwa boikot yang dilakukan orang kaum Quraisy kepada seluruh
keluarga Bani Hasyim. Kaum Quraisy tahu bahwa sumber kekuatan Nabi Saw adalah
keluarganya. Oleh karena itu untuk menghentikan dakwah Nabi Saw. sekaligus
menyakitinya, mereka sepakat untuk tidak mengadakan perkawinan, transaksi jual
beli dan berbicara dengan keluarga bani Hasyim. Mereka juga bersepakat untuk
tidak menjenguk yang sakit dan mengantar yang meninggal dunia dari keluarga
Bani Hasyim. Boikot ini berlangsung kurang lebih selama tiga tahun. Tentunya
boikot selama itu telah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan khususnya
kepada Nabi Saw. dan umumnya kepada keluarga Bani Hasyim.
Kedua, peristiwa wafatnya paman beliau, Abu Thalib. Peristiwa ini menjadi
sangat penting dalam perjalanan dakwah N! abi Saw. sebab Abu Thalib adalah
salah satu paman beliau yang senantiasa mendukung dakwahnya dan melindungi
dirinya dari kejahilan kaum Quraisy. Dukungan dan perlindungan Abu Thalib itu
tergambar dari janjinya," Demi Allah mereka tidak akan bisa mengusikmu,
kecuali kalau aku telah dikuburkan ke dalam tanah." Janji Abu Thalib ini
benar. Ketika ia masih hidup tidak banyak orang yang berani mengusik Nabi
Muhammad Saw, namun setelah ia wafat kaum Quraisy menjadi leluasa untuk menyakitinya
sebagaimana digambarkan dalam awal tulisan ini.
Ketiga, peristiwa wafatnya istri beliau, Siti Khadijah r.a. Peristiwa ini
terjadi tiga hari setelah pamannya wafat. Siti Khadijah bagi Nabi Saw. bukan
hanya seorang istri yang paling dicintai dan mencintai, tapi juga sebagai
sahabat yang senantiasa mendukung perjuangannya baik material maupun spiritual,
yang senantiasa bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Oleh karena itu,
wafatnya Siti Khadijah menjadi pukulan besar bagi perjuangan Nabi Saw..
Tiga peristiwa yang terjadi secara berurutan itu sangat berpengaruh pada
perasaan Rasulullah Saw. ia sedikit sedih dan gundah gulana. Ia merasakan beban
dakwah yang ditanggungnya semakin berat. Oleh karena itu para sejarawan menamai
tahun ini dengan ámul huzn (tahun
kesedihan).
Dalam kondisi seperti itulah kemudian Allah SWT. mengundang Nabi Saw. melalui
peristiwa isra dan mi'raj. Isra' adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw.
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa sedangkan mi'raj merupakan peristiwa
dinaikannya Nabi Saw. dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Peristiwa Isra
Miraj ini mengajarkan banyak hal kepada Nabi Saw. Dalam perjalanan isra' ia
melihat negeri yang diberkahi Allah SWT. dikarenakan di dalamnya pernah diutus
para Rasul. Sedangkan dalam perjalanan mi'raj ia melihat tanda-tanda kebesaran
Allah SWT. "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam
hari, dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkati
sekelilingnya, supaya kami perlihatkan ayat-ayat Kami kepadanya. Sesungguhnya
Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Al Isra :1). "Sesungguhnya ia
(Muhammad) melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) di waktu yang lain. Yaitu
di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratul Muntaha itu diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. Sesungguhnya ia telah melihat sebagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (Q.S An-Najm : 13-18).
Isra' dan mi'raj merupakan pengalaman keagamaan yang paling istimewa bagi Nabi
Muhammad Saw.. Puncaknya terjadi di Sidratul Muntaha. Muhammad Asad menafsirkan
Sidratul Muntaha dengan lote-tree farthest limit (pohon lotus yang batasnya
paling jauh). Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol
kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dengan demikian secara simbolik
Sidratul Muntaha dapat diartikan se! bagai puncak kebahagiaan dan
kebijaksanaan.
Kebahagiaan yang dibarengi dengan kebijaksanaan inilah yang kemudian membedakan
pengalaman keagamaan Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul dengan kaum sufi
sebagai manusia biasa. Dengan bahasa yang sederhana tetapi penuh makna Abdul
Quddus, seorang sufi Islam besar dari Ganggah, menyatakan,"Muhammad telah
naik ke langit yang tinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku
bersumpah, bahwa kalau aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali
lagi."
Ketika Nabi Saw. sampai di Sidratul Muntaha, Allah SWT memperlihatkan kepadanya
sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya berupa bukti-bukti wujud, keesaan, dan
kekuasaan-Nya. Disamping itu diperlihatkan juga surga, neraka, perihal
langit, kursi dan 'arasy. Setelah melihat semua itu keyakinan Nabi Saw.
terhadap keagungan Allah SWT dan kelemahan alam dihadapan keagungan-Nya semakin
kuat. Pada gilirannya keyakinan seperti ini telah melahirkan kesadaran ruhani
baru pada dirinya berupa kebijaks! anaan (wisdom), ketentraman dan kebahagiaan.
Pada saat itu Nabi Saw. sudah mampu membedakan posisi Tuhan dan alam (manusia).
Tuhan adalah sumber kebahagiaan, sementara alam sumber kesusahan dan
kesengsaraan. Oleh karena itu menggantungkan semua harapan dan keinginan
kepada-Nya akan mendatangkan kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya
menggangtungkan semua harapan dan keinginan kepada alam akan mendatangkan
kesengsaraan.
Kebahagian bertemu dan berdialog dengan Dzat yang dicintai dan mencintainya di
Sidratul Muntaha tidak menyebabkan Nabi Saw. lupa akan tugas pokonya menebarkan
rahmat Allah SWT. melalui dakwahnya. Hal tersebut dikarenakan, kebahagiaannya
tersebut telah dibarengi dengan kebijaksanaan sehingga ia mampu membedakan
persoalan pokok dengan cabang, prinsip dengan taktik, esensi dengan aksidensi
serta alat dengan tujuan. Nabi Saw. sangat sadar bahwa kebahagian yang diperolehnya
dalam Isra' dan Mi'raj bukan esensi dan tujuan utama Allah SWT. tetapi itu
semua han! ya alat untuk mempersiapkan kondisi jiwanya supaya bisa melaksanakan
tugas yang lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu, ia
meninggalkan kebahagiaan langit yang sedang dinikmatinya itu, kemudian turun ke
bumi untuk berjibaku dengan realitas sosial yang penuh dengan tantangan dan
penderitaan. Dengan demikian peristiwa isra' mi'raj Nabi Saw. tidak hanya
memiliki makna individual tetapi juga memiliki makna sosial.
Disinilah letak perbedaan pengalaman keagamaan rasul dengan seorang sufi,
terutama sufi falsafi. Pengalaman keagamaan rasul berdimensi individual dan
sosial sedangkan pengalaman keagamaan sufi (mistik) lebih banyak berdimensi
individual. Ketika seorang sufi mengalami fana, kondisi kejiwaannya hampir sama
dengan kondisi kejiwaan Nabi Saw. ketika diisra' dan dimi'rajkan. Ia merasakan
kebahagiaan yang luar biasa. Dirinya merasa menyatu dengan Allah SWT.. Ia
hanyut dan mabuk dalam pelukan keindahan-Nya.
Pengalaman keagamaan seperti itu telah menyebabkan seorang sufi lupa akan diri
dan lingkungannya. Kesadarannya bahwa ia bagian dari alam menjadi hilang. Ia
menjadi tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Ia hanya asyik ma'syuk dengan perasaannya sendiri dan terus menyendiri dengan
dzikir-dzikirnya. Akibatnya, walaupun ia berdzikir ribuan kali dan mendatangkan
ketenangan jiwa, namun semua itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap
perilaku sosialnya. Semakin lama ia berdzikir semakin dalam masuk pada
kesadaran dunia mistik. Semakin masuk ke dalam kesadaran dunia mistik, semakin
jauh dari realitas kehidupan. Penomena seperti ini dapat menjelaskan perilaku
sebagian sufi yang senang mengasingkan diri dari dunia nyata.
Bagaimana dengan Kita ?
Ketika Muhammad Saw. mendapat tantangan berat dalam
dakwahnya, ia diundang Allah SWT. melalui peristiwa Isra' dan Mi'raj. Melalui
peristiwa ini Allah SWT. mengobati luka hatinya, menghilangkan kesedihannya dan
menghibur duka laranya. Akibatnya jiwanya menjadi fresh (segar) dan bahagia
kembali. Dalam kondisi jiwa seperti ini kemudian ia kembali ke bumi malanjutkan
tugas dakwahnya yaitu menebarkan rahmat Allah SWT. di muka bumi ini. Disinilah,
seperti disebutkan di atas, Isra' Mi'raj tidak hanya memiliki makna individual
tetapi juga memiliki makna sosial.
Ada pertanyaan, bagaimana bila yang mendapatkan hambatan dakwah itu kita?
Bagaimana bila yang mendapat kesusahan dan penderitaan itu kita? Apakah bagi
kita masih ada peluang diisra'kan dan dimi'rajkan seperti nabi Muhammad Saw?
Jawabannya, tentu tidak mungkin. Lantas apa yang mesti dilakukan bila semua itu
terjadi pada kita?
Shalat, Inilah jawaban
yang diberikan oleh Nabi Saw.
Isra dan mi'raj adalah salah satu mu'jizat Nabi Muhammad
Saw.. Artinya itu hanya diberikan kepadanya tidak mungkin diberikan kepada
manusia biasa. Namun demikian, berdasarkan petunjuknya ada amalan bagi
orang-orang yang beriman yang memiliki fungsi sama dengan Mi'raj yaitu ibadah
shalat. "Shalat itu mi'rajnya orang yang beriman (ash-shalatu mi'rajul
mu'minín)" sabdanya.
Shalat secara bahasa berarti do'a. Doa pada hakikatnya merupakan bentuk dialog
antara manusia dengan Allah SWT.. Ketika seseorang shalat, hakekatnya ia sedang
bertemu dan berdialog dengan Allah SWT.. Oleh karena itu secara hakiki fungsi
shalat dan mi'raj sama yaitu bertemu dan berdialog dengan Allah SWT..
Shalat yang benar mesti menghasilkan buah yang sama dengan buah Isra' mi'raj
yaitu kesadaran individual dan sosial.
Tujuan utama shalat menurut Al Quran adalah
untuk berdzikir (mengingat) kepada Allah SWT (Q.S Thaha : 14). Dzikir atau
shalat. bila ! dilakukan dengan khusyu' akan mendatangkan ketentraman jiwa dan
kebahagiaan hidup (Q.S Ar-Ra'du :28; Al Mu'minun : 1-2). Namun demikian,
keberhasilan shalat seseorang tidak hanya diukur dari ketenangan dan
ketentraman jiwa saja, tetapi mesti dilihat pula pada atsar (bekas) perilaku
sosialnya. Menurut Al Quran, shalat yang benar mesti dapat menumbuhkan berbagai
macam kebajikan seperti tumbuhnya kesadaran berinfak dan berzakat, kemampuan
menghidarkan diri dari perilaku yang sia-sia, kemampuan memelihara diri dari
perbuatan zina dan kemampuan memelihara amanat baik dari Allah SWT. ataupun
sesama manusia ( Al Mu'minun : 3-8).
Disamping itu, shalat yang benar mesti dapat mengobati sifat kikir dan keluh
kesah serta mencegah perbuatan keji dan munkar (Q.S Al Ma'arij : 19-25 ; Al
Ankabut: 45). Rasulallah Saw. menyatakan bahwa shalat yang tidak dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar tidak akan menambah apa-apa bagi mushalli (orang yang
shalat) kecuali hanya semakin menjauhkan dirinya dari Allah SWT (H.R.Ahmad).
Shalat yang memiliki dimensi individual dan sosial adalah shalat yang dilakukan
dengan khusyu' dan dáim (kontinu). Menurut Imam Al Ghazali, shalat khusyu'
adalah shalat yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Yaitu memahami apa yang
diucapkan dalam shalat sehingga melahirkan perasaan ta'zhim (hormat), khauf
(takut), harap (raja) dan haya (malu) terhadap Allah SWT.. Kesadaran ini
disamping akan mendatangkan kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman jiwa, juga
akan mampu memotivasi mushalli untuk merealisasikan seluruh janji yang
diucapkannya di dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari. Wallah a'lam bi
ash-shawwab,
Baca juga: Ciri-ciri Wanita Shalihah