Pernahkah kita membayangkan kalau diri kita sedang berada di atas ranjang kematian, apa yang kita perbuat kala itu? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh semua manusia yang masih hidup. Lalu bagaimanakah keadaan detik-detik terakhir dari nafas kita yang akan berlalu itu? Apakah kita termasuk orang yang senang untuk bertemu Allah, ataukah sebaliknya seperti budak yang melarikan diri dan takut bertemu tuannya karena kesalahan yang dilakukannya?
Belajar dari akhir kehidupan para salaf adalah sangat perlu bagi kita semua,
mereka adalah orang-orang terdepan dari umat ini, para pemimpin dan ulama kaum
muslimin. Sungguh mereka sangat takut kalau menghadap Allah dalam keadaan
membawa dosa dan kemaksiatan.
Marilah kita simak beberapa pelajaran berharga dari mereka:
Aisyah Radhiallaahu anha menceritakan bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam tatkala menjelang wafat disediakan untuk beliau satu wadah air, beliau
memasukkan tangannya ke dalam air lalu mengusapkan ke wajahnya seraya bersabda,
"La ilaha illallah, sesungguhnya di dalam kematian ada sakaratul
maut." Kemudian beliau menengadahkan kedua tangan-nya lalu
mengatakan, "Fir Rafiqil A'la" lalu beliau wafat dan tangannya
tergeletak lemas.
Ketika Umar al Faruq menjelang ajal, beliau berkata kepada putranya Abdullah,
"Letakkan pipiku di atas tanah”, namun Abdullah enggan untuk melakukan
itu. Beliau berkata hingga untuk ketiga kalinya, "Letakkan pipiku di atas
tanah, semoga Allah melihatku dalam keadaan demikian, kemudian Dia merahmatiku.
"Diriwayatkan, bahwa beliau terus menangis sehingga pasir-pasir menempel
di kedua mata beliau seraya mengatakan, "Celakalah Umar, celaka juga
ibunya, jika Allah tidak memaafkannya."
Ketika
Abu Hurairah sakit parah beliau menangis, lalu ditanya, "Apa yang membuat
anda menangis? Beliau menjawab, "Saya menangis bukan karena dunia ini,
namun saya mena-ngisi perjalanan setelah ini (dunia), bekalku yang sedikit,
lalu saya akan menapaki tempat yang menanjak lagi amat luas, sementara saya
tidak tahu akan dimasukkan ke neraka atau ke surga."
Utsman Radhiallaahu anhu berkata di akhir hayatnya, "Tidak ada ilah selain
Engkau, Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang
yang berbuat aniaya. Ya Allah aku mohon pertolongan dalam
seluruh urusanku, dan aku memohon kesabaran dalam menghadapi ujian yang
menimpaku."
Wahai manusia! Kini saatnya orang-orang yang tertidur untuk bangun dari
tidurnya, sudah saatnya orang yang lalai sadar dari keterlenaannya, sebelum
datang maut dengan membawa kegetiran dan kepahitan, sebelum tubuh berhenti
bergerak dan sebelum nafas terputus. Mumpung belum memasuki perjalanan menuju
alam kubur dan kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Abu Darda' ketika menjelang wafat mengatakan, "Apakah seseorang tidak mau
beramal untuk mempersiapkan panggung pergulatan ini? Mengapa orang tidak
beramal untuk menghadapi waktu ini? Mengapa orang tidak beramal untuk
menyongsong hariku ini? Kemudian beliau menangis, maka istri beliau
bertanya,"Mengapa engkau menangis, bukankah engkau telah menemani
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ? Beliau menjawab, "Bagaimana aku
tidak menangis sementara aku tidak mengetahui bagaimana dosa-dosa telah
menyerangku."
Dan berkata Abu Sulaiman ad-Darani, "Aku berkata kepada Ummu Harun seorang
wanita yang rajin beribadah, "Apakah anda senang dengan kematian? Maka dia
menjawab, "Tidak! Aku bertanya, "Mengapa? Maka dia mejawab,
"Demi Allah, andaikan aku berbuat kesalahan kepada makhluk saja, maka aku
takut untuk bertemu dengannya, maka bagaimana lagi jika aku bermaksiat kepada
Khaliq Yang Maha Agung?
Atha' as Sulami ditanya tatkala sakit yang mengantarkan pada ajalnya,
"Bagaimanakah keadaan anda? Beliau menjawab," Kematian berada di
leherku, kuburan ada di hadapanku, kiamat adalah akhir perjalananku, jembatan
Jahannam adalah jalanku, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku.
Kemudian beliau menangis dan terus menangis sehingga pingsan. Ketika sadar
kembali beliau mengucapkan, "Ya Allah kasihanilah aku, hilangakanlah
kesedihan di dalam kuburku, mudahkan kesulitanku ketika menjelang kematian,
rahmatilah kedudukanku di hadapan-Mu wahai Dzat Yang Paling Pengasih di antara
para pengasih.”
Sementara itu ketika Sulaiman at Taimi telah dekat wafatnya, dikatakan kepada
beliau, "Kabar gembira buat anda, karena anda adalah orang yang sangat
bersungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Allah." Maka beliau menjawab,
"Janganlah kalian mengatakan demikian, sesungguhnya aku tidak mengetahui
apa yang tampak di hadapan Allah Azza wa Jalla, karena Dia telah berfirman,
"Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka
perkirakan.” (QS. 39:47)
Disebutkan, bahwa Abu Darda'z apabila ada seseorang yang meninggal dalam
keadaan yang baik, maka beliau berkata, "Berbahagialah engkau, andaikan
aku dapat menggantikan dirimu. " Maka Ummu Darda' bertanya kepadanya
tentang hal itu, lalu beliau menjawab, “Betapa bodohnya engkau, bukankah engkau
tahu, bahwa ada seseorang yang pagi-pagi dia beriman, namun di sore hari telah
menjadi munafik, ia lepaskan keimanannya tanpa dia menyadari hal itu."
Muhammad al Munkadir menangis tatkala menjelang wafatnya, lalu ia ditanya,
"Apa yang membuat anda menangis? Beliau menjawab, "Demi Allah aku
menangis bukan karena dosa yang aku ketahui telah aku lakukan, namun aku takut
jika telah melakukan sesuatu yang aku anggap sepele namun dihadapan Allah
ternyata itu adalah sesuatu yang amat besar."
Sufyan ats Tsauri berkata, "Tidak ada tempat yang lebih dahsyat bagiku
daripada (tempat) terjadinya sakaratul maut, aku sangat takut kalau dia
(sakarat) terus menerus menekanku, aku telah meminta keringanan, namun dia
tidak menghiraukan, sehingga aku terkena fitnahnya." Kemudian
beliau menangis semalaman hingga menjelang pagi, ketika beliau ditanya,
"Apakah tangis tersebut karena dosa? Maka beliau mengambil segenggam tanah
dan berkata, "Dosa lebih ringan dari pada ini (tanah, maksudnya adalah
maut- pen), aku menangis karena takut terhadap su'ul khatimah (akhir hidup yang
buruk).
Shofwan bin Sulaim mengatakan, "Di dalam kematian ada rahah (istira-hat)
bagi seorang mukmin dari huru hara dan hiruk pikuk dunia, walaupun harus
merasakan putusnya nafas dan kepedihan. Kemudian beliau mengu-curkan air mata.
Wahai saudaraku! Marilah kita mengumpamakan diri kita masing masing sebagai
seorang yang sedang berbaring menunggu ajal. Saudara dan tetangga sedang
mengerumuni kita, lalu di antara mereka ada yang berkata, "Si Fulan telah
berwasiat, sedangkan hartanya telah dihitung." Ada lagi yang berkata,
"Si fulan sudah tidak dapat berbicara, sudah tidak mengenali para
tetangganya dan mulutnya tertutup rapat. Orang-orang memandangi kita, kita
mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun tidak kuasa untuk menjawabnya.
Lalu kita lihat anak kita yang masih kecil menangis seseng-gukan di sisi kita
seraya mengatakan, "Wahai ayah tercinta siapakah yang akan mengasuhku
nanti setelah ayah pergi? Siapakah yang akan memenuhi kebutuhanku nanti? Kita
mendengarkan semua itu, namun demi Allah kita sudah tidak mampu manjawab lagi.
Syafiq bin Ibrahim berkata, "Bersiap-siaplah kalian semua di dalam
menghadapi kematian, jangan sampai ketika ia datang lalu kalian minta di
kembalikan lagi ke dunia (karena belum beramal)."
Al 'Alla' bin Ziyad mengatakan juga, "Hendaknya setiap orang dari kalian
merasakan, bahwa dirinya telah meninggal, lalu memohon kepada Allah untuk
dikembalikan ke dunia, kemudian Allah memenuhinya, maka hendaklah kalian
beramal ketaatan kepada Allah."
Syamith
bin 'Ajlan menuturkan, "Manusia itu ada dua macam, pertama orang yang
terus mencari bekal di dunia, dan ke dua orang yang terus bersenang-senang di
dunia. Maka lihatlah, termasuk golongan yang manakah dirimu?”
Dikisahkan, bahwa suatu hari al Hasan al Bashri melewati sekelompok pemuda yang
sedang tertawa terbahak-bahak, maka beliau bertanya, "Wahai anak saudaraku,
apakah kalian pernah menyebrangi ash Shirath(jembatan Jahannam)? Para pemuda
itu menjawab, "Belum." Beliau bertanya lagi, "Apakah kalian tahu
ke surga ataukah ke neraka kalian akan dimasukkan?" Mereka menjawab,
“Tidak." Kemudian beliau berkata, "Lalu untuk apakah tawamu yang
demikian itu?" Semoga Allah memberi maaf kepada kalian semua. Dan ketika
beliau menjelang wafat beliau menangis seraya mengatakan, "Jiwa yang
lemah, sedang urusan sangat dahsyat dan besar, sesungguhnya kita adalah milik
Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali."
Wahai saudaraku! Kita semua tidak dapat membayangkan bagaimanakah keadaan malam
pertama di alam kubur itu. Anas Radhiallaahu anhu pernah berkata, "Maukah
kalian kuberi tahu dua hari dan dua malam yang belum pernah diketahui dan
didengar oleh manusia (yang masih hidup)? Hari yang pertama adalah hari di mana
datang kepadamu pembawa berita dari Allah, baik dengan membawa keridhaan-Nya
maupun murka-Nya (waktu meninggal-pen), dan kedua yaitu hari dimana kalian dihadapkan
kepada Allah untuk mengambil buku catatan amal, dengan tangan kiri ataukah
dengan tangan kanan. Sedangkan dua malam, adalah malam pertama kali di dalam
kubur dan malam dimana pagi harinya dilenyapkan tatkala terjadinya Hari Kiamat.
Kematian adalah perkara yang mengerikan, urusan yang sangat dahsyat, suguhan
yang rasanya paling pahit dan tidak disukai. Dia adalah peristiwa yang
menghancurkan seluruh kelezatan dunia, memutuskan ketenangan, serta pembawa
duka dan kesedihan. Dia memutuskan segala yang telah tersambung, memisahkan
anggota badan dan menghancurkan seluruh tubuh, sungguh dia adalah perkara yang
sangat besar dan mengerikan.
Kita bayangkan bagaimana keada-an kita tatkala kita diangkat dari tempat tidur kita, dibawa ke suatu tempat untuk dimandikan, lalu kita dibungkus dengan kain kafan, keluarga dan tetangga bersedih, saudara dan teman menangis. Orang yang memandikan kita berkata, "Dimanakah istri si fulan, dia akan melepas kepergian suaminya, dan dimanakah anak-anak yatim si fulan, "Kalian semua akan ditinggalkan oleh ayah, kalian tidak akan bertemu lagi dengannya setelah ini."
Jika para Nabi dan Rasul, shalihin dan muttaqin semuanya mengalami hal itu, maka apakah kita akan terlena dari mengingatnya? Wallahu a'lam bish shawab.