Shalat Ketika
Bepergian
Berkenaan dengan shalat, illah (sebab) adanya perjalanan
membolehkan hal-hal berikut :
1.
Mengqoshor
(memendekkan) shalat:
a Pada dasarnya qoshor merupakan
keringanan (rukhshoh) bagi orang yang bepergian (musafir), jika bukan untuk
tujuan maksiat. Manyoritas ulama' berkesimupulan bahwa qoshor adalah afdhol.
Sebagaimana sunnah dan kebiasaan Rasulullah SAW kemudian para shahabat beliau.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Rasulullah SAW
katanya: " Aku sering menyertai Rasulullah SAW dan beliau menunaikan
shalat yang asalnya empat rekaat menjadi dua rekaat, demikian pula Abu Bakar,
Umar dan Ustman Rasulullah SAW.
b.
Jarak
perjalanan yang membolehkan qoshor adalah yang menurut ukuran urf di zamannya
dan dikatagorikan safar atau bepergiaan/ melakukan perjalanan.
c.
Persyaratan
teknis melaksanakan qoshor, dikemukakan fuqoha' sebagai berikut :
1)
Bukan safar
untuk maksiat, menurut mayoritas ulama'.
2)
Mempunyai
tujuan tempat tertentu dalam jarak qoshor
3)
Telah keluar
rumah dan wilayah dimana ia tinggal
4)
Tidak berniat
untuk tinggal menetap di tempat ia mengqoshor
5)
Tidak menjadi
makmun bagi imam yang tidak mengqoshor
6)
Niat qoshor
saat takbirotul ikhrom .
2.
Menjama'
(mengumpulkan) shalat
Menjama' shalat
dhuhur dengan ashar atau naghrib dengan isya' dibolehkan dalam safar, baik
dengan jama' taqdim (didahulukan) maupun jama' ta'khir (diakhirkan). Asal sudah
berniat untuk safar boleh menjama' taqdim menjelang keberangkatan tanpa keluar
rumah terlebih dahulu. Sedang untuk jama' ta'khir diharuskan berniat sejak
tibanya waktu shalat pertama. Sesudah adzan untuk tiap shalat dilakukan iqomah
(qomat) masing-masing. Dan antara kedua shalat yang dijama' tidak diselingi
dengan shalat sunnat.
3.
Menjama' dan
mengqoshor shalat
Selain kedua
hal diatas dan disebabkan oleh alasan-alasan yang sama, syari'at Islam juga
membolehkan adanya jama' dan qoshor sekaligus, baik secara taqdim maupun
ta'khir, yaitu dengan menjama' qoshor antara shalat dhuhur dengan ashar,
masing-masing dua reka'at dan menjama' qoshor antara shalat maghrib (tetap 3
reka'at) dengan isya' dua rekaat.
4.
Shalat di atas
kendaraan
Jika tiba waktu
shalat sedang di atas kendaraan dan tidak memungkinkan untuk berhenti dulu,
maka boleh menunaikan shalat di atas kendaraan dengan tetap menghadap qiblat,
minimal saat takbirotul ikhrom jika untuk sampai selesai shalat tidak
memungkinkan. Dan jika sejak awal sudah tidak memungkinkan menghadap qiblat,
boleh menunaikannya sesuai dengan arah kendaraan. Dan boleh sambil duduk jika
tidak memungkinkan melaksanakannya sambil berdiri. Diriwayatkan dari Maemun bin
Mahron dari Ibnu Umar RA.katanya: " Aku bertanya kepada Rasulullah SAW
bagaimana caranya shalat di atas kapal laut? jawab beliau : "Shalatlah
berdiri kecuali jika dikhawatirkan akan tenggelam ( karena oleng). Riwayat ad
Daraquthni menurut syarat Bukhori dan Muslim.Asy Syaukani berkomentar:
Diqiyaskan atas khawatir tenggelam, adanya udzur atau kesulitan lainnya termasuk
kesulitan menghadap ke arah qiblat.
Puasa Ketika Bepergian
1.
Safar
(bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya
boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib, seperti shaum Ramadhan,
shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti
(mengqodho') di waktu lain. Dalil syar'i yang mengaturnya; Al-Qur'an suarat
Allah SWT Baqoroh : 185: "... Maka barangsiapa yang sakit atau dalam
safar, (jika berbuka) maka hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki
kesulitan... ".
2.
Ukuran safar
yang populer dikalangan ulama' adalah pada jarak perjalanan yang boleh
mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa " Allah
menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan",
dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar
tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al
masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafi'iyah.
3.
Dengan
mempertimbangkan (mura'at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar
dapat dibedakan sebagai berikut:
a.
Shaum lebih
utama (afdhol) dari pada berbuka: Bagi
orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul
ulama' sesuai dengan taujih ayat : " .... Dan bahwa kamu sekalian
melaksanakan shaum adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai
keutamaannya" ( QS:2:184)
Shaum lebih
baik walaupun terasa sedikit berat, jika untuk mengqodho'nya akan terasa berat.
Demikian difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Shaum lebih
utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan
adanya rasa berat (masyaqqoh). Dalam soal masyaqqoh, kecuali fisik yang harus
dipertimbangkan, tapi kondisi ruhiyah atau kejiwaan lebih menentukan. Adalah
para shahabat Rasulullah SAW biasa tetap menjalani shaum walaupun dalam keadaan
perang, tanpa merasakan adanya masyaqqoh yang berarti.
b.
Berbuka lebih
baik:
Bagi orang yang
kuat shaum tapi dikhawatirkan terganggu dengan rasa ujub (bangga) atau riya'.
Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar RA. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari
shahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada mereka yang berbuka
ketika melayani mereka yang shaum: " Orang-orang yang berbuka hari ini
meraih pahala".
Demikian pula
berbuka lebih baik bagi orang yang belum pernah mengambil rukhshoh (keringanan
ini). Sebagaimana kesimpulan Asy Syaukani tentang hadits riwayat Muslim dan an
Nasa'i bahwa shahabat Hamzah bin Amr as Aslami berkata kepada Rasulullah SAW :
ya Rasulullah saya kuat menjalankan shaum dalam safar bolehkah saya lakukan ?
jawab beliau : " Ini merupakan rukhshoh dari Allah ta'ala, siapa yang
mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin shaum tidak apa-apa".
Berbuka adalah
afdhol bahkan shaum menjadi makruh, bagi yang memaksakan shaum diperjalanan
yang terdapat masyaqqoh. Dalam kontek ini Rasulullah SAW bersabda tentang
musafir yang tetap shaum dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi orang
banyak: " Tidak merupakan kebaikan (al birr) as shaum dalam safar ".
Demikian Imam Bukhori menyimpulkan.
Berbuka dalam
safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk mengadapi musuh dalam jihad.
Bahkan berbuka
menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi
kepentingan jihad
Dalam kajian fiqhiyah, ulama' menyim-pulkan sejumlah persyaratan untuk
mengambil rukhshoh ifthor (berbuka) dalam safar. Yaitu :
a.
Merupakan
perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat
b.
Perjalanan
relatif jauh menurut ukuran zamannya
c.
Tidak memulai
perjalanan dalam keadaan shaum agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang
sudah dimulai.
Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir)
kecuali jika terjadi masyaqqoh. Para ulama' cenderung bahwa untuk pengamalan
sendiri memilih yang afdhol dan yang ahwath (lebih berhati-hati) dari pilihan
yang ada. Wallahu ta'ala 'alam.
Baca juga: Khutbah Jumat; KONSEP ILMU DALAM ISLAM