Allah
subhanahu
wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk
Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah
Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud
dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.”
Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul
‘Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam
IV/450, & Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam
istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al
Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi
(dengan huruf ha’ tipis).
Pengertian Udhhiyah
Udhhiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari
Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya
tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih
qurban termasuk amal salih yang paling utama. ‘Aisyah radhiyallahu’anha
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr
(Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah
(qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul
Ahkam, IV/450)
Hadis
di atas didla’ifkan oleh Syaikh Al Albani (Dla’if Ibn Majah,
671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan
berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari
idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau seharga dengan hewan
qurban, atau bahkan lebih utama dari pada sedekah yang lebih banyak dari pada
nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan
diri kepada Allah. Bukan semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu,
menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam
hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama: Wajib bagi orang yang
berkelapangan.
Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al
Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad
beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh
Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat
dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya
diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’,
III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau
berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR.
Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani).
Pendapat
kedua menyatakan
Sunnah Mu’akkadah (ditekankan).
Dan
ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan
lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu
Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu.
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak
berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena
aku khawatir kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.”
(HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan
oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar
sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur
Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat
sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Al
Muhalla 5/295, dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah
II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil
di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika
dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian
ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan:
“…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena
dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu
a’lam. (Tafsir Adwa’ul Bayan,
1120).
Yakinlah…!
Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban
yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu
berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.”
Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran
bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al
Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan
qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An’aam
(hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan
bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama
Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak
(bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj: 34).
Dalam
bahasa arab, yang dimaksud Bahiimatul Al An’aam
hanya mencakup tiga binatang yaitu onta, sapi atau kambing. Oleh karena itu,
berqurban hanya sah dengan tiga hewan tersebut dan tidak boleh selain itu.
Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban
tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz
406) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang
berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak
tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban
seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300
real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’
III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor
kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh
anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang
mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan
keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul
Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk
salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini untuk
bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan
seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka
tidak perlu dibatasi.
Bahkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak
menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: “Yaa
Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.”
(HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al
Irwa’ 4/349).
Berdasarkan
hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum
muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang
berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”
Adapun
yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang,
dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya
boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh
orang dan qurban onta hanya boleh dari maksimal 10 orang.
Namun
seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya
untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status
qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah
harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam
transaksi pemberian sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan
kepada orang yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor
Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau
mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun
berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi
kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih
Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz,
hal. 406).
Dalam
masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing.
Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh
anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan
arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban.
Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk
berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana
dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan
agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka
menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian
ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.
Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net
dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika
orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada
berqurban.” (Syarhul Mumti’
7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban
karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan
beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau
melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih
jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.”
(lih. Majmu’ Fatawa & Risalah
Ibn Utsaimin 18/144).
Namun
pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena
perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang.
Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang
yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya
masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan
hutang dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang
atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera dilunasi.
Dengan
demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya
panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah
satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Hukum Qurban Kerbau
Para
ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap
sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah
2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan
kerbau. Baik dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami)
maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh
Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir
22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh
Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Isi Pertanyaan:
“Kerbau
dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan
domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak
merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al
An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau
menjawab:
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika
tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan
yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal
orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas
maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis
dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita, ketika
idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi
siswa. Masing-masing
siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli
kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu
dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan
tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka
tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara
aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari
satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat
dinilai sebagai qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah
siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban
untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
·
Orang yang
meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban
keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan
keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban
jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya,
termasuk yang sudah meninggal.
·
Berqurban
khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian
ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya
bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa
Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’
bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat
tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau
kerabat beliau lainnya yang telah meninggal, mendahului beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan
bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada
wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi r tidak pernah
melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah
meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah.
·
Berqurban
khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar
keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit
untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit.
(Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang
diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51).
Umur Hewan Qurban
Dari
Jabir bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba
jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah
adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata sinnun
yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan musinnah karena
hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: pow’el). Adapun rincian usia
hewan musinnah adalah:
No. |
Hewan |
Usia Minimal |
1 |
Onta |
5 tahun |
2 |
Sapi |
2 tahun |
3 |
Kambing jawa |
1 tahun |
4 |
Domba |
6 bulan (domba Jadza’ah) |
(lihat Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul
Ahkaam, IV/461)
Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?
Yang
menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah usianya. Karena
penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia
qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya, umumnya
kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi.
Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan musinnah
dan hewan jadza’ah, mereka menjelaskannya dengan
batasan usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun
namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban.
Allahu
a’lam.
Berkurban dengan domba jadza’ah itu dibolehkan secara mutlak
ataukah bersyarat
Ulama
berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa
pendapat:
Pertama,
boleh berqurban dengan hewan jadza’ah dengan syarat
kesulitan untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn
Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.
Kedua,
dibolehkan berqurban dengan domba jadza’ah
(usia 6 bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk
berqurban dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas
ulama. Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran. Sebagaimana
dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa
Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis Jabir di atas
tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba jadza’ah dan tidak ada
keterangan bahwa berqurban dengan jadza’ah hukumnya tidak sah. Oleh karena itu,
Jumhur ulama memaknai hadis di atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu
a’lam. (Syarh Shahih Muslim An Nawawi
6/456)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
1. Buta sebelah dan jelas
sekali kebutaannya
Jika butanya
belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya
kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian
pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang
rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta
sebelah matanya.
2. Sakit dan jelas
sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas, misalnya, hewan
tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh diqurbankan.
3. Pincang dan tampak
jelas pincangnya
Artinya pincang
dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun
bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
4. Sangat tua
sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada
hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak
boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah,
II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
1. Sebagian
atau keseluruhan telinganya terpotong
2. Tanduknya
pecah atau patah
(lihat
Shahih
Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh
dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain
6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak
berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak
berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam (lihat
Shahih
Fiqih Sunnah, II/373)