TIAP
tanggal 27 Rajab umat Islam memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
SAW. Salah satu mukjizat Nabi SAW berupa perjalanan malam hari dari Masjid
Haram Makkah) ke Masjid Aqsha (Palestina) dilanjutkan dengan “naik” ke Sidratul
Muntaha menghadap Allah SWT. Dalam Alquran, peristiwa itu disebutkan dalam dua
ayat.
Peristiwa
Isra’ disebutkan dalam QS. Isra: 1, ‘‘Mahasuci Dzat yang
telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada waktu sebagian dari malam hari dari
masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsha yang telah Kami beri berkah sekelilingnya
agar Kami dapat menunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran
Kami…”
Sedangkan
peristiwa Mi’raj disebutkan dalam QS. An-Najm: 13-18: ”Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada
waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muhtaha. Di dekatnya ada surga tempat
tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh
sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat
sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.’‘
Tujuan Isra Mi’raj adalah untuk memperlihatkan sebagian bukti atau tanda
kekuasaan dan kebesaran Allah SWT (QS. 17:1) serta untuk menguji keimanan
manusia (QS. 17:60).
Di kalangan ulama muncul pendapat, tujuan Isra’ Mi’raj adalah lit-tatsbit (untuk memantapkan atau mengukuhkan Nabi SAW dalam posisi kenabian dan
kerasulannya), lit-takrim (untuk memuliakan Nabi SAW sebagai makhluk pilihan Allah SWT), dan listi’dalil
quwah (untuk mempersiapkan keknatan jasmaniah, ruhaniah, dan
aqliah Nabi SAW dalam menjalankan tugas-tugas kenabian dan kerasulannya).
Sebelum Isra’ Mi’raj, situasi dan kondisi Nabi SAW sangat memprihatinkan
karena wafatnya paman beliau, Abu Thalib, dan istri beliau, Siti Khadijah. Padahal,
keduanya merupakan pelindung dan pendukung utama Nabi SAW dalam mengemban
risalah Islam. Dengan Isra’ Mi’raj, keimanan atau kekuatan mental beliau
bertambah kuat. Keganasan, kebrutalan, dan kekerasan umat yang didakwahinya
dihadapi dengan kesabaran yang luar biasa, karena yakin akan perlindungan Allah
SWT dan kebenaran risalah yang dibawanya.
Petikan hikmah
Pertama,
diriwayatkan, sebelum Isra Mi’raj, Nabi SAW “dibedah” oleh malaikat untuk
membersihkan jiwanya dari sifat-sifat buruk. Itu menunjukkan, sebelum menghadap
Allah SWT untuk menjalankan ibadah, kita harus membersihkan dulu jiwa-raga
kita, niat-hati dan jasmani, dari segala kotoran atau najis, dari niat yang
tidak ikhlas, dan dari pemahaman-pemahaman yang sesat. Ibadah akan mardud atau
tidak sah bila niat kita tidak ikhlas, dinodai bid’ah atau tidak didasari ilmu (QS. Al-Bayyinah: 5,
Al-Hajj: 37, Al-Isra: 36 & 84, Al-Ma’un: 6).
Lebih luasnya, kebersihan jiwa-raga adalah suatu keharusan manakala kita
menghadap Allah SWT di akhir kelak. Karena, al-Islaamu
nazhifun, fatanazh zhafu fa innahu laa yadkhulul jannata illa nazhiif (Islam itu bersih, maka bersihkanlah jiwa-ragamu, karena sesungguhnya
tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bersih). Tentu
saja, untuk kebersihan itu, “celupan”-nya (shibghah)
adalah Islam.
Kedua,
ketika Abu Thalib dan Siti Khadijah meninggal dunia, Nabi SAW merasa sedih luar
biasa, sehingga tahun itu dinamakan Amul Hazn
(Tahun Kesedihan). Itu menunjukkan, dalam berdakwah orang perlu pelindung,
pendukung, atau pemacu semangat. Seorang dai perlu tema natau pendamping. Siti
Khadijah merupakan simbol seorang istri atau wanita yang menunjang perjuangan
suami dalam berdakwah.
Ketiga, dalam QS. 17: 1 Allah SWT menyatakan, Isra’ Mi’raj bertujuan antara lain
untuk memperlihatkan sebagian ayat atau tanda (bukti) kekuasaan-Nya. Hal
itu merupakan sinyal, kita pun harus memperhatikan ayat-Nya sehingga keimanan
akan eksistensi dan kekuasaan Allah SWT tertanam kuat dalam diri. Ayat-ayat itu
meliputi ayat qauliyah (firman Allah yang terhimpun dalam Alquran) dan ayat
kauniyah (segala ciptaan Allah SWT).
Keempat,
salah satu tempat yang terkait dengan Isra’ Mi’raj adalah Masjid Aqsha.
Setidaknya, momentum peringatan Isra’ Mi’raj kali ini dapat dijadikan momentum
bangkitnya kepedulian terhadap nasib Al-Aqsha dan Muslim Palestina. Apalagi ada
sinyal kaum Zionis hendak meruntuhkan masjid tersebut dan melenyapkan
simbol-simbol Islam di Jerusalem.
“Oleh-oleh” Utama
“Oleh-oleh”
utama Isra’ Mi’raj adalah perintah shalat. Shalat adalah satu-satunya kewajiban
dan menjadi kebutuhan umat Islam yang amar-nya diturunkan langsung oleh Allah SWT.
Hal itu menunjukkan betapa tingginya posisi ibadah shalat. Wajar, kalau
kemudian shalat, sebagaimana tersebut dalam sejumlah hadis Nabi SAW, merupakan
“tiang agama”, akan runtuh keislaman seseorang jika meninggalkan atau tidak
mendirikan shalat. Sebab, shalat merupakan penentu diterima-tidaknya amal saleh
seseorang serta menjadi ibadah (ritual) paling utama dalam Islam. Shalat juga
merupakan amal perbuatan yang pertama kali dihisab di akhirat dan menentukan
baik-buruknya amal seseorang.
Shalat
merupakan ibadah yang tidak boleh ditinggalkan, pembeda (criterium) antara umat
Islam dan kafirin, penentu kebaikan dan keburukan amal seseorang (QS. 29: 45,
70: 19-23), dan merupakan manifestasi inti akidah Islam (tauhid).
Pada
bulan Rajab, khususnya momentum peringatan Isra’ Mi’raj, seyogianya kita
mengevaluasi shalat kita selama ini: sudahkah dilaksanakan sesuai sunnah Rasul?
Sudah pahamkah kita akan makna bacaan dan gerakan shalat? Sudah khusyukah
shalat kita selama ini? Berdampakkah shalat kita pada perilaku keseharian?
Selain
itu, dalam Alquran setidaknya disebutkan tiga golongan mushali atau pelaku
shalat. Yaitu: khasyi’un, sahun, dan yuraun. Kita bisa melakukan introspeksi,
termasuk kelompok manakah kita?
Golongan khasyi’un (adalah mereka yang mendirikan shalat dengan
sungguh-sungguh (khusyu’), mengetahui ilmu shalat, ikhlas dalam mendirikannya,
menjadikan shalat sebagai kebutuhan, serta merealisasikan apa yang diucapkannya
dalam shalat dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya,
shalat golongan ini berpengaruh terhadap perilakunya, yaitu dapat mencegah dari
perbuatan keji dan munkar (QS. 29: 45).
Golongan
sahun (QS. 107:5) adalah mereka yang melakukan shalat dengan lalai, sering
(atau sengaja) lupa karena tidak merasakannya sebagai kebutuhan, dan menganggap
shalat sebagai beban.
Sedangkan golongan yuraa’un (QS. 107: 6) adalah mereka yang melakukan
shalat dengan niat yang tidak ikhlas, ibadah shalatnya ternodai perasaan atau
keinginan dipuji atau dilihat orang lain, motivasi shalatnya bukan kesadaran.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Bekal Akhirat