وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ
“Dan sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar adalah suatu
kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta
pertanggungan jawab” (QS Az-Zukhruf: 44).
Ketika Allah SWT.. menjadikan Islam
sebagai rahmat buat alam semesta; ketika Allah SWT. menghendaki dari umat Islam
menjadi umat terbaik; ketika Allah SWT. menghendaki agar umat Islam mampu
memikul amanah untuk memimpin dunia ini; ketika Allah menghendaki agar umat
Islam menjadi saksi bagi seluruh umat manusia, maka ketika itulah Allah SWT.
mempersiapkan umat Islam sedemikian rupa, agar umat Islam ini layak menjadi
umat yang terbaik. Di antara sarananya adalah dengan pembentukan manusia yang
bertaqwa. Pembentukan manusia yang bertaqwa inilah yang banyak dilupakan
manusia, sehingga ukuran kemajuan atau ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan
paradigma materi. Lupa bahwa manusia itu bukan hanya dari unsur materi saja,
tetapi manusia punya nurani yang harus diperhatikan, yang harus dibina sehingga
pantas untuk menjadi manusia yang terbaik. Oleh karena itu Ramadhan hadir di
tengah-tengah kita dalam rangka untuk menjadikan umat Islam sebagai umat
terbaik yang layak memimpin dunia ini.
Di dalam bulan Ramadhan banyak
sekali kebajikan ilahi yang harus kita dapatkan, sehingga kita keluar dari
bulan Ramadhan ini benar-benar menjadi manusia terbaik, manusia yang
berkualitas, manusia yang berprestasi. Oleh karena itu marilah kita berupaya
benar-beanr memahami puasa itu sebagaimana yang diharapkan Allah SWT.
Pertama,
puasa membentuk manusia yang mengoptimalkan kontrol diri (self control). Mengapa? Karena puasa sangat terkait dengan keimanan
seseorang. Seseorang bisa saja mengatakan dirinya sedang berpuasa, sekalipun
sebenarnya tidak. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara
seorang hamba dengan Al-Kholiq. Sampai-sampai Allah SWT. mengatakan dalam
sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu
‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi
(setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa
itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya)”. Pertanyaannya adalah apakah amal
selain puasa tidak dibalas Allah? Dibalas. Tetapi kenapa dalam masalah puasa Allah
menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang lain
itu bukan Allah yang membalasnya? Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa amal
manusia yang bernama ash-shiyam
benar-benar insya Allah akan dijamin diterima oleh Allah SWT. Apakah yang lain
tidak dijamin? Ini karena puasa itu adalah ibadah
sirriiyyah, dimana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika dia
berpuasa. karean ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu. Maka
ibadah yang sirriyyah itu adaah sangat dekat dengan keikhlasan. Dan syarat agar
suatu amal itu diterima oleh Allah, selain harus benar sesuai dengan ajaaran
Rasulullah Saw., harus ikhlas. Makanya kalau ingin menjadi orang yang populer,
tidak bisa melewati pintu puasa. Kalau terkenal sebagai seorang mubaligh, bisa.
Terkenal menjadi qori’ dan qori’ah, bisa. Terkenal menjadi
politikus, bisa. Dan itu semuanya sangat rawan dengan riya’, dan riya’ itu
menjadikan amal tidak diterima oleh Allah SWT. Itulah sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa
ini Allah menegaskan bahwa Dia sendiri yang akan membalasnya. Inilah yang
dikatakan bahwa puasa akan melatih kita untuk mempunyai tingkat kontrol yang
tinggi, baik ketika kita menjadi seorang pemimpin, atau karyawan, ulama’ atau
yang lainnya. Kita tidak merasa dikontrol oleh yang lainnya, akan tetapi yang
terpentinga dalah bahwa kita sadar bahwa kita dikontrol oleh Allah SWT.
Yang kedua, lembaga shiyam ini mendorong kita agar kita agar
obsesi kita tentang kehidupan akherat itu lebih dominan daripada obsesi dunia.
Jadi obsesi ukhrowi kita, agar kita menjadi hamba Allah yang akan mendapatkan
kenikmatan abadi, itu harus lebih dominan daripada kesenangan yang sifatnya
sementara. Karena seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini, nikmat apa pun
namanya, harta, pangkat, dan sebagainya itu semuanya bersifat sementara.
Makanya dalam bahasa AL QURAN kenikmatan
dunia itu tidak disebut nikmat, akan tetapi disebut mata’. Mata’ itu arti
adalah maa yatamatta’u bihil insan tsumma
yazulu qoliilan-qoliilan (mata’
adalah sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan
hilang)”. Kalau kita ditakdirkan Allah mempunyai istri yang sangat cantik,
ketika sudah berusai 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga
mungkin kita berpikir mencari yang masih muda lagi. Kenapa? karena kenikmatan
dunia itu pasti ada batasnya. Ini adalah halyang manusiawi. Puasa itu melatih
kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang tentang kehidupan
yang abadi di akhirat. Makanya makanan, minuman, istri, dan semua yang halal
itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Di negara kita yang sedang terkena
krisis multi dimensional ini dan dipenuhi dengan kerusuhan, disebabkan karena
banyak manusia di negara ini ytang obsesinya bukan obsesi ukhrowi. Ada orang
yang ingin menjatuhkan orang lain, ada orang yang khawatir kalau-kalau
dijatuhkan. Kalau obsesi duniawi ini dominan, bisa-bisa kita akan kehilangan
kehidupan ukhrowi kita. Ketika kita memasuki bilan Ramadhan, maka kita akan
ditarbiyah oleh Allah agar obsesi kit aadalah obsesi ukhrowi. Namun ini bukan
berarti kehidupan duniawi dilarang. Akan tetapi duniawi itu bukan yang dominan
dalam kehidupan kita. Makanya kita diajarkan untuk berdo’a “Walaa taj’al mushiibatana fii diinina, walaa taj’aliddun-yaa akbaro
hammina (jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan
kami), walaa mablagho ‘ilmina, walaa
ilannaari mashiirona. Do’a ini sering dibaca, akan tetapi dalam
perbuatannya warnanya lain.
Yang ketiga,
dari lembaga shiyam ini akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benanr
mempunyai al-hasasiyyah al-ijtima’iyyah
(mempunyai kepekaan sosial yang tinggi). Dari mana bisa kita ketahui? Ketika
kita berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh, kita merasakan berpuasa sendirian. Dibandingkan
dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah ini perasaan kita lebih berat,
karena dilaksanakan sendirian. Ini yang harus kita perhatikan, sekarang ini
bangsa kita (sebagian besar) sudah kehilangan kepekaan sosial. Kalau ada tindak
kejahatan di tempat keramaian, sangat langka kita temukan orang yang peduli
dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita yang sangat cantik lewat dan
hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang memprotes hal itu? Padahal,
bukankah wanita itu isterinya orang yang haram untuk dipelototi? Bahkan
perbuatan seperti ini kadangkala diberikan pembenaran dengan dalih ‘mubadzir’ kalau tidak dilihat. Ini
menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan sosial,
karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika melihatnya.
Padahal di masa Rasulullah SAW, orang tidak akan tinggal diam ketika melihta
suatu kemungkaran. Bahkan ketika jauh setelah kehidupan Rasulullah, baik di
jaman tabi’in maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka masih
komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi.
Misalnya, di jaman dahulu kalau kita shalat jama’ah di masjid, kemudian kita
melihat ada tetangga atau saudara kita tidak datang, maka setelah selesai
shalat, semua jama’ah langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah
tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalh
orang yang mati sehingga perlu dita’ziyahi.
Kalau seandainya kita tidak shalat jama’ah dan kemudia kita dita’ziyahi, maka kita akan termotivasi
untuk selalu shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat
terkait dengan sensitifitas sosial. Ironisnya di negara ini ketika ada orang
diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja, dan bisikan yang ada
dalam dirinya adalah ‘yang penting saya
selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang mati dalam kehidupannya,
karena bahasa masing-masing itu
bahasa akhirat, bahasa ketika kiamat tiba, sehingga orang sibuk dengan
urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari
orang tuanya. Allah berfirman:
“Dan apabila
datang suara yang memekakkan (tiupan sangkalala yang kedua). Pada hari ketika
manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.
Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya” (QS ‘Abasa: 33-37).
Jadi kehidupan masing-masing itu
adalah kehidupan akherat. Akan tetapi sekarang ini sudah ada di dunia., Berarti
seolah-olah sebagian masyarakat sudah merindukan kematian, padahal masih hidup.
Makanya banyak kebajikan yang tidak jalan, keadilan tidak tegak. Dalam kondisi
demikian, puasa hadir di tengah-tengah kita untuk memperlihatkan bagaimana
Islam itu benar-benar mempunyai kepedulian terhadap kehiduapan bermasyarakat.
Pada masa Rasulullah Saw., ada juga
kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat, karena mereka bukan
malaikat. Sekalipunsebaik-baik generasi adalah genarasi Rasulullah Saw., akan
tetapi ada saja yang berbuat maksiat. Ada yang pernah mencuri, ada yang pernah
berbuat zina dan yang lainnya. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil
sekali, sehingga jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Ironisnya, sekarang maksiat itu dilakukan ramai-ramai dan
secara terang-terangan tanpa malu-malu. Sehingga yang benar itu tertutup,
keamanan tidak nampak. Yang nampak adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan
kadang-kadang sampai di tempat yang suci seperti masjid, kadang-kadang orang
tidak bisa khusyu’ shalatnya karena takut sepatu atau sandalnya hilang. Kalau
di masjid saja orang masih tidak khusyu’ beribadah karena khawatir menjadi
korban kejahatan, bagaimana di tempat yang lain? Ini semua karena bayak orang
yang telah kehilangan kepedulian sosialnya. Inilah bedanya antara jaman kita
dengan jaman Rasulullah Saw. Bahkan di masa Rasulullah Saw., ketika ada seorang
berbuat zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudian bertaubat dan malah
dia sendirilah yang melakukan perbuatannya itu kepada Rasulullah Saw., karena
ketika dia berzina, itu terjadi karena kelemahamn iamnnya. Dalam hadits
dijelaskan “Laa yadri azzani ila yazni
wahuwa mu’min (tidaklah seseorang berani berbuat zina ketika zina,
sementara dia dalam keadaan beriman)”. Ketika seorang perempuan tadi berzina,
dan setelah itu ia sadar bahwa ia telah berbuat dosa, langsung dia datang
kepada Rasulullah Saw. minta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam. mari
kita merenung. Memang benar bahwa pada masa Raulullah pun ada orang yang
berbuat salah. Akan tetapi ketika ada diantara mereka yang berbuat salah, dia
langsung mengaku dan minta dihukum, padahal oranmg lain tidak tahu. Sekarang
bagaimana kondisinya? Jadi kalau kita bersalah, hendaklah kita datang untuk
minta dihukum. Kenapa? Karena seorang mukmin yang benar-benar beriman,
benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih. Dengan demikian,
benar-benar akan efisien tenaga itu. Kalau seandainya semua orang sama dengan
wanita yang bertaubat ini, maka aparat hukum tidak perlu capai-capai.
Ash-shiyam
secara bahasa artinya adalah al-habsu
(menahan diri), menahan diri dari seluruh bentuk kemaksiatan. Kalau setiap kita
menahan diri, jangankan terhadap yang haram, yang mubah saja akan kita
tinggalkan. Makanan, minuman, istri itu kan boleh. Akan tetapi di bulan
Ramadhan pada siang harinya semua bisa kita tahan. Kalau yang halal saja bisa
kita tahan, apalagi yang haram? Oleh karena itu jangan dalam berpuasa malah
terbalik, yaitu yang mubah ditinggalkan tetapi yang haram dilakukan. Makanan,
minuman ditinggalkan, ghibah dilakukan, korupsi jalan terus, dengan alasan
untuk persiapan lebaran.
Inilah kepekaan-kepekaan ruhani yang
benar-beanr mengalir dalam setiap diri kita ketika kita berpuasa sebagaimana
yang dikehendaki Allah SWT. Dan jangan sampai ada di antara kita yang
menganggap bahwa puasa itu berat. Bahkan Rasulullah Saw. dan para shahabat
serta para tabi’in, banyak yang menggunakan Ramadhan untuk berjihad di jalan
Allah SWT. Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi pada abad ke-7 Hijriyah, dimana
tentara-tentara Islam di bawah pimpinan mamaalik
(jama’ dari mamluk) bisa mengalahkan tentara-tentara salib, terjadi di bulan
Ramadhan. Saking hebatnya kemenangan yang dicapai umat Islam pada bulan
Ramadhan, Allah SWT. mengabadikannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat
pada QS Al-Anfal, dimana perang Badar dikatakan sebagai yaumal furqoon, sebagaimana yang terdapat pada firmanNya:
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari Furqaan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu”
(QS Al-Anfal: 41).
Pasukan kebenaran yang jumlahnya
sedikit, tetapi dimenangkan oleh Allah SWT. dalam melawan kekuatan bathil yang
mempunyai kekuatan besar dan jumlah tentara yang sangat banyak. Oleh karena itu
Ramadhan yang akan kita lalui ini semoga mengantarkan kita pada kemenenagan,
kemenangan melawan hawa nafsu, kemenangan bangsa ini dalam melawan krisis,
kemenangan umat Islam dalam melawan perselisihan, percekcokan antara sesama
umat Islam, kemenangan bangsa ini dalam menghadapi konspirasi dunia
internasional yang dimotori oleh Yahudi, yang mereka tidak senang melihat
Indonesia maju karena negara ini adalah negara Islam. oleh karena itu marilah
kita jadikan Ramadhan ini kita jadikan momentum Islam untuk kembali kepada Allah
sehingga mencapai kemenangan yang hakiki. Wallahu
a’lam bishshawab.
Baca juga: Khutbah Jumat Berbahasa Jawa; Ibadah Wonten Sasi Suro