Kisah Sayyiduna Abdullah bin Abdul Muthalib

 


Dalam Islam, qurban tidak sekadar memiliki dimensi religius, yang menghu bungkan makhluk dengan Allah, Pencipta alam semesta. Qurban bukan sekadar ritus penyembelihan binatang dan aktivitas membagikan daging hewan kepada mereka yang tidak mampu. la pun memiliki dimensi sosial. Qurban juga memiliki akar sejarah yang demikian kuat dan memiliki posisi vital di tengah-tengah masyarakat.


Berhubungan dengan sejarah qurban seperti yang umum diketahui oleh umat Islam tentang awalnya syariat qurban diturunkan, ada satu kisah yang menarik dari Rasulullah sehingga beliau menyatakan dirinya sebagai anak dua sembelihan.


Kisahnya ketika Abdullah bin Abdul Muthalib belum dilahirkan. Ayahnya, Abdul Muthalib, pernah bernazar bahwa, jika anaknya laki-laki sudah berjumlah sepuluh orang, salah seorang di antara mereka akan dijadikan qurban.


Setelah istri Abdul Muthalib melahirkan lagi anak laki-laki, genaplah anak laki-lakinya sepuluh orang. Anak laki-laki yang kesepuluh itu tidaklah diberi nama dengan nama-nama yang biasa, tapi diberi nama dengan nama yang arti dan maksudnya berlainan sekali, yaitu dengan nama “Abdullah”, yang artinya “hamba Allah”.


Selanjutnya setelah Abdullah berumur beberapa tahun, ayahnya, Abdul Muthalib, belum juga menyempurnakan nazarnya. Pada suatu hari dia mendapat tanda-tanda yang tidak tersangkasangka datangnya yang menyuruhnya supaya menyempurnakan nazarnya. Oleh sebab itu bulatlah keinginannya agar salah seorang di antara anak laki-lakinya dijadikan qurban dengan cara disembelih.


Sebelum pengurbanan itu dilaksanakan, dia lebih dulu mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian jatuh pada diri Abdullah, padahal Abdullah adalah anak yang paling muda, yang paling bagus wajahnya dan yang paling disayangi dan dicintai. Tetapi apa boleh buat, kenyataannya undian jatuh padanya, dan itu harus dilaksanakan.


Seketika tersiar kabar di seluruh kota Makkah bahwa Abdul Mutthalib hendak mengurbankan anaknya yang paling muda. Maka datanglah seorang kepala agama, penjaga Ka’bah, menemui Abdul Mutthalib, untuk menghalang-halangi apa yang akan diperbuat Abdul Mutthalib.


Kepala agama itu memperingatkan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Jika hal itu sampai dilaksanakan, sudah tentu kelak akan dicontoh oleh orang banyak, karena Abdul Muthalib adalah seorang wali negeri pada masa itu dan dia mempunyai pengaruh yang sangat besar di kota Makkah. Oleh sebab itu, apa yang akan dilakukannya tentu akan jadi panutan bagi warga lain. Si pemuka agama ini mengusulkan agar nazar tersebut diganti saja dengan menyembelih seratus ekor unta.

Berhubung kepala agama penjaga Masjidil Haram telah memperkenankan bahwa nazar Abdul Muthalib cukup ditebus dengan seratus ekor unta, disembelihlah oleh Abdul Muthallib seratus ekor unta di muka Ka’bah. Dengan demikian Abdullah urung jadi qurban.


Karena peristiwa itu pada waktu Nabi SAW telah beberapa tahun lamanya menjadi utusan Allah, Rasulullah pernah bersabda (yang artinya), “Aku anak laki-laki dari dua orang yang disembelih.” Maksud Rasulullah, beliau adalah keturunan dari Nabi Ismail AS, yang juga akan disembelih tapi lalu diganti Allah dengan kibas, dan anak Abdullah, yang juga akan disembelih tapi kemudian diganti dengan seratus ekor unta.

Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama