Merekrut manusia ke jalan Allah SWT.
merupakan amaliyah yang mahal. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam
cara, di antaranya melalui dakwah fardiyah. Banyak pengalaman orang lain dalam
merekrut orang melalui dakwah fardiyah. Terkadang memang melakukan dakwah
fardiyah memerlukan kiat tersendiri.
Berikut ini kiat praktis dakwah fardiyah sebagaimana yang dipaparkan Syekh
Mustafa Masyhur dalam bukunya Fiqhud Dakwah. Kiat-kiatnya sebagai berikut:
Langkah Pertama:
Berupaya untuk membina hubungan dan mengenal setiap orang yang
hendak didakwahi dan membangunnya dengan baik. Upaya ini untuk menarik simpati
darinya agar hatinya lebih terbuka dan siap menerima perbincangan yang dapat
diambil manfaat sehingga pembicaraan berikutnya dapat berlangsung terus. Pembinaan
hubungan dengannya dilakukan secara intens sehingga obyek dakwah mengenal orang
yang mengajaknya sebagai orang yang enak untuk berteman dan berkomunikasi.
Langkah Kedua:
Membangkitkan iman yang mengendap dalam jiwa. Pembicaraan
hendaklah tidak langsung diarahkan pada masalah iman, namun sebaiknya berjalan
secara tabi'i, seolah-olah tidak disengaja dengan memanfaatkan moment tertentu
untuk memulai mengajaknya berbicara tentang persoalan keimanan. Melalui
pembicaraan yang tabi'i persoalan yang dipaparkan akan mudah mendapatkan
sambutan. Dari sambutan yang disampaikannya mengenai beberapa hal dapat
ditindak lanjuti dengan meningkatkan gairah keimanannya. Gairah keimanan yang
timbul darinya akan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Dari
situlah muncul perhatian yang besar terhadap masalah-masalah keislaman dan
keimanan.
Langkah Ketiga:
Membantu memperbaiki keadaan dirinya dengan mengenalkan
perkara-perkara yang bernuansa ketaatan kepada Allah dan bentuk-bentuk ibadah
yang diwajibkan. Pada tahap ini perlu pula dibekali dengan
bahan-bahan bacaan dari referensi yang sederhana, seperti Dasar-dasar Islam,
Prinsip-prinsip Islam (Abul 'Alaa Al Maududi) dan lain-lainnya. Di samping
bekalan bahan-bahan bacaan juga perlu diperkenalkan dengan lingkungan yang baik
dan komunitas masyarakat yang shalih agar dapat menjaga nilai-nilai yang telah
tertanam dan meneladani kehidupan orang shalih. Mutabaah dan pemantauan dalam
tahap ini memerlukan kesabaran yang tinggi sehingga dapat membimbing
perjalanannya di atas jalan dakwah dan terhindar dari faktor-faktor yang buruk.
Langkah Keempat:
Menjelaskan tentang pengertian ibadah secara syamil agar
memiliki kepahaman yang shahih tentang ibadah disertai niat yang benar dan
berdasarkan syara'. Pemahaman yang tidak sempit terhadap ibadah. Ibadah bukan
sebatas rukun Islam yang empat saja (shalat, puasa zakat dan haji). Akan tetapi
pengertian ibadah yang luas sehingga memahami bahwa setiap ketundukan seorang
hamba pada-Nya dengan mengikuti aturan yang telah digariskan akan bernilai
ibadah.
Langkah Kelima:
Menjelaskan kepada obyek dakwah bahwa keberagamaan kita
tidak cukup hanya dengan keislaman diri kita sendiri. Hanya
sebagai seorang muslim yang taat menjalankan kewajiban ritual, berperilaku baik
dan tidak menyakiti orang lain lalu selain itu tidak ada lagi. Melainkan
keberadaan kita mesti mengikatkan diri dengan keberadaan muslim lainnya dengan
berbagai macam problematikanya. Pada tahap ini pembicaraan diarahkan untuk
menyadarkan bahwa persoalan Islam bukan urusan perorangan melainkan urusan
tanggung jawab setiap muslim terhadap agamanya. Perbincangan ini dilakukan agar
mampu mendorongnya untuk berpikir secara serius tentang bagaimana caranya
menunaikan tanggung jawab itu serta menjalankan segala
tuntutan-tuntutannya.
Langkah Keenam:
Menjelaskan kewajiban untuk mengemban amanah umat dan
permasalahannya. Kewajiban di atas tidak mungkin dapat ditunaikan secara
individu. Masing-masing orang secara terpisah tidak akan mampu menegakkannya.
Maka perlu sebuah jamaah yang memadukan potensi semua individu untuk memperkuat
tugas memikul kewajiban berat tersebut. Dari tahap ini obyek dakwah disadarkan
tentang pentingnya amal jama'i dalam menyelesaikan tugas besar ini.
Langkah Ketujuh:
Menyadarkan padanya tentang kepentingan sebuah jamaah.
Pembicaraan ini memang krusial dan rumit sehingga memerlukan hikmah dan
kekuatan argumentasi yang meyakinkan. Oleh karena itu harus dijelaskan padanya
bahwa bergabung dengan sebuah jamaah harus meneliti perjalanan jamaah tersebut.
Jangan sampai terburu-buru untuk menentukan pilihan terhadap sebuah jamaah yang
akan dijadikannya sebagai wahana merealisasikan dasar-dasar Islam.
Demikianlah langkah-langkah dalam melaksanakan dakwah fardiyah sebagaimana yang
dijelaskan oleh syekh Mustafa Masyhur. Selamat mengamalkan, semoga Allah SWT.
memudahkan kita membimbing manusia ke jalan-Nya. Amin.
Kita dan Hawa Nafsu
Hawa nafsusenantiasa menyuruh manusia
untuk melakukan keburukan. Dia pandai menghiasi dosa dan kemaksiatan, sehingga
tampak indah dan menarik di mata manusia. Kita dapat merasakan pengaruh hawa
nafsu melalui minimnya kita melakukan ketaatan, condong pada kemaksiatan dan
terpesona kepada dunia. Untuk itu mari kita merenung sejenak, dengarkan apa
kata hawa nafsu dan perhatikan pula jawaban untuknya. Semoga bermanfaat.
Hawa
nafsuberkata, "Mengapa aku selalu disalahkan dan
tidak boleh melakukan apa saja yang kuinginkan? Mengapa tidak ada kelonggaran?
Sungguh aku tidak menyuruh, kecuali apa-apa yang baik dan enak."
Jawab: Ini merupakan
salah satu tipu dayamu. Andaikan kami memberi keleluasaan kepadamu, maka kamu
tidak akan berhenti memerintahkan keburukan kepada kami. Menghiasi kemaksiatan
seakan-akan baik dan indah. Menganjurkan agar melakukan dan membiasakannya.
Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, artinya, Karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Rabbku.” (Yusuf: 53)
Memang demikian adanya engkau wahai
hawa nafsu. Kamu tidak akan mampu berubah dengan sendirinya tanpa adanya
pertolongan Allah, perjuangan serta usaha yang sungguh-sungguh dari manusia.
Hawa nafsu berkilah, "Jika keberadaanku untuk mengajak kepada keburukan, maka
bagaimana mungkin engkau dapat mengubahku?"
Jawab: Dapat dan pasti
dapat. Faktor pendorong terbesar dari gejolakmu adalah kebodohan (al-jahl) dan
kezhaliman (al- zhulm). Dari dua faktor ini muncul perilaku dan perkataan yang
buruk. Dengan pertolongan Allah kamu pasti dapat berubah. Caranya adalah dengan
ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Ilmu yang bermanfaat adalah segala yang
bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Sedangkan
amal shaleh adalah amal yang memenuhi dua syarat yaitu ikhlash dan mutaba'ah
atau mengikitu apa saja yang telah diajarkan Rasul Shalallaahu alaihi wasalam.
Sedangkan yang tidak mencontoh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam namanya bid’ah.
Berkata nafsu, "Hawa nafsu itu ada beberapa macam, ada yang memerintahkan
keburukan (amaratun bissuu'), ada nafsu pencela (lawwamah) dan nafsu yang
baik/tenang (muth-mainnah). Namun mengapa nafsu selalu dianggap buruk?
Jawab: Nafsu dari sisi
dzatnya adalah satu, sedangkan yang tiga macam itu sifatnya. Apabila
memerintahkan keburukan dan maksiat, maka itu amaratun bissuu'. Jika
memerintahkan kebaikan dan ketaatan, maka itu muthmainnah, dan jika
memerintahkan sesuatu lalu mencelanya, maka itu lawwamah. Jika yang dicela adalah perbuatan buruk, maka ia terpuji
dan jika yang dicela perbuatan baik, maka ia tercela.
Sedangkan secara umum nafsu memerintahkan kepada keburukan dan maksiat, maka
bagaimana mungkin disebut baik, jika keadaanya selalu demikian?
Adapun nafsu muthmainnah adalah nafsu yang telah ditundukkan oleh pemiliknya,
sehingga sifat ammaratun bissuu' (memerintah keburukan) telah mati dan tunduk
di jalan Allah. Maka jadilah nafsu itu penyuruh dan pembisik kebaikan, maukah
kamu demikian?
Hawa
nafsu beralasan, "Jangan memperbesar masalah.
Iman itu adanya di hati, selagi hati masih muthmainnah (beriman), maka mengapa
musti khawatir secara berlebihan.?"
Jawab: Ini model iman orang murji'ah yang mengatakan, bahwa iman
itu sekedar pengakuan hati, sedangkan amal tidak termasuk dalam iman. Ahlul haq
berkeyakinan, bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan
anggota badan. Iman dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan
dan berkurang dengan kemaksiatan. Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam telah memberitahukan, bahwa kemaksiatan akan
menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui
kesesatan.” (Maryam: 59)
“Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
(An-Nur: 63)
Hawa nafsu masih belum puas dan berkata, "Apakah engkau lupa, bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi
Penyayang dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu?"
Jawab: Sungguh kami tidak lupa itu, namun kita tidak boleh
mengambil satu nash dengan mengabaikan nash-nash yang lain. Memang benar Allah
Maha Pengampun lagi Penyayang, namun dia juga Maha keras siksa-Nya sebagai-mana
firman Nya, artinya,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah: 98)
Maka bagaimana kita akan melupakan,
bahwa Dia juga keras siksa-Nya? Dia juga telah berfirman, artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” (An-Nisaa: 48)
Siapakah yang tahu kehendak Allah. Tak seorang pun
mengetahui, maka bagaimana kami mengetahui, bahwa kami termasuk salah seorang
yang dikehendaki Allah untuk diampuni? Bahkan dia berfirman, artinya,
“Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (An-Nisa:123)
Allah juga menjelaskan, bahwa
rahmat-Nya dekat kepada orang-orang muhsin (yang berlaku baik). Artinya orang
yang buruk berada jauh dari rahmat-Nya.
Hawa
nafsu beralasan lagi, "Ini namanya su'udzan terhadap
Tuhan. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam hadits qudsi,
"Saya tergantung persangkaan baik hamba Ku terhadap Ku" (Muttafaq
‘alaih). Kalau kamu mau husnudzan terhadap Allah, maka kamu akan yakin bahwa
Dia pasti akan mengampunimu.
Jawab: Kami bertanya, "Apa yang kau ketahui tentang
husnudzan terhadap Allah?
pakah sengaja melakukan dosa dan
maksiat lalu berharap memperoleh rahmat dan ampunan Nya? Sesungguh- nya
husnudzan terhadap Allah adalah dengan beramal sholeh karena seorang yang beramal
sholeh, berarti berprasangka baik kepada Allah. Karena dia yakin, bahwa Allah
akan memberikan balasan pahala kebaikannya, tidak mengingkari janji dan akan
menerima taubat.
Sedangkan berbuat maksiat berarti telah su'udzan kepada Allah karena tidak yakin,
bahwa kalau dia berbuat baik akan mendapat pahala. Bagaimana seorang yang
melakukan sesuatu yang membuat Allah marah dan murka, menyepelekan hak-hak Nya,
menerjang larangan-Nya dan terus demikian disebut sebagai berprasangka baik
terhadap Allah?Maka yang dimaksud husnudzan adalah memperbagus amal, semakin
baik amal seseorang, maka dia semakin berprasangka baik kepada Allah.
Hawa
nafsu berkata, "Apa manfaatnya Allah menyiksa
kita, apakah Dia butuh itu? Sedangkan ampunan-Nya tidak akan mengurangi kekuasaan
Nya sedikit pun dan adzab-Nya tidak menambah kekuasaan-Nya sama sekali?
Jawab: Ini merupakan
bisikan yang menyesatkan dan kebatilan yang nyata. Karena dengan demikian
ayat-ayat ancaman dianggap hanya sekedar gertakan semata yang tak ada buktinya.
Orang kafir juga akan berkata demikian, mereka berharap mendapatkan rahmat
Allah dengan kekafiranya. Alasannya Allah tidak butuh untuk mengadzab manusia
dan siksaan tidak akan menambah kekuasaan-Nya sedikit pun. Padahal Dia telah
berfirman,
“Maka apakah patut Kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)
(Al-Qalam: 35)
“Segolongan masuk surga dan
segolong-an masuk neraka.” (Asy Syuura: 7)
Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah
Hakim segala hakim dan Dzat paling Adil di antara yang adil. Dan termasuk
keadilan-Nya adalah menyiksa orang zhalim, fasiq, kufur dan terus menerus
berbuat kerusakan di muka bumi.
Berbisik
lagi hawa nafsu, "Yang dincaman itu hanya
dosa-dosa besar seperti zina, mencuri, liwath,sihir, minum khamer, membunuh dan
sebagainya. Adapun dosa-dosa kecil, maka masalahnya amatlah ringan dan tidak
perlu dikhawatirkan."
Jawab: Telah berkata Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu, "Tidak ada dosa kecil
kalau dilakukan terus menerus dan tidak ada dosa besar kalau dibarengi
istighfar. Berkata pula seorang salaf, "Jangan engkau memandang kepada
kecilnya dosa, namun lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat."
Dan jauh sebelumnya Nabi Shalallaahu
alaihi wasalam telah memperingatkan, "Waspadalah kalian terhadap dosa-dosa
kecil, karena kalau dosa itu berkumpul pada seseorang akan
membinasakannya."(HR. Al-Bukhari)
Imam Ibnul Qayyim juga telah
mengingatkan, bahwa bisa saja dosa-dosa kecil dapat berakibat lebih fatal
daripada dosa-dosa besar. Karena pelaku
dosa besar biasanya merasa malu dan menyesal atas dosanya. Sedangkan pelaku
dosa kecil terkadang tidak merasa takut dan malu dengan dosa itu.
Setelah kehabisan alasan nafsu berkata untuk terakhir
kali, "Seluruh dosa adalah sudah
takdir dan kehendak Allah, kita hanya sekedar menjalankan saja, tak mampu
mengelak terhadap takdir itu. Kalau Allah
berkehendak tentu kita tidak melakukan dosa dan tentu banyak melakukan
ketaatan."
Jawab: Nah semakin
jelas sekarang kebobrokanmu, dan terbukalah kedokmu. Kini engkau berhujjah
dengan hujahnya orang-orang musyrik karena kehabisan alasan. Hujjahmu adalah
dusta semata, sekarang kuberi tahu mengapa alasanmu sangat lemah."
- Berhujjah
dengan takdir berarti mengklaim tahu perkara ghaib, darimana tahu, bahwa
Allah menakdir kan seseorang ahli maksiat, mengapa tidak mengatakan,
"Allah menakdirkan aku menjadi orang yang taat?
- Mengapa
ketika melakukan ketaatan tidak beralasan dengan takdir Allah (sehingga
tak perlu mengharap balasan dan surga, red). Karena Allah yang berkehendak
itu, mengapa tidak membiarkan dirinya lapar dan haus, mengapa ketika sakit
berobat, mengapa berusaha? Namun anehnya untuk perbuatan baik mengapa
tidak berusaha?
- Kalau
beralasan dengan takdir ketika berbuat maksiat diterima, tentu umat-umat
terdahulu yang ingkar dan durhaka dibiarkan tidak disiksa, artinya tidak
ada gunanya ayat-ayat yang berisi ancaman Allah.
- Kalau
ada orang menzhalimi kamu, harta, kehormatan dan darahmu, apakah kamu
menerima jika dia beralasan dengan takdir Allah?
- Jika
demikian maka tidak ada bedanya orang kafir dengan mukmin, ahli maksiat
dan orang baik karena semuanya dipaksa tanpa dapat memilih, ini merupakan
kebatilan yang nyata.
Sumber: Kutaib Darul Wathan “Lahazhat
Shadiqah,” Khalid Abu Shalih.