KEPALSUAN TEORI EVOLUSI

 


 

 

Setiap bagian di alam semesta ini menun­jukkan adanya penciptaan yang luar biasa. Sebaliknya, faham materialisme, yang ber­usaha menolak fakta tentang penciptaan alam semesta, tidak lain hanyalah merupakan faham palsu yang tidak ilmiah.

Jika faham materialisme telah tumbang, maka semua faham lainnya yang berdasarkan pada filsafat ini juga tidak memiliki landasan. Hampir semua penganut faham ini adalah penganut Darwinisme, yakni teori evolusi. Teori ini, yang berpendirian bahwa kehidupan berasal dari benda mati, yang terjadi secara kebetul­an, telah ditumbangkan oleh kenya­taan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menya­ta­kan sebagai berikut:

Atheisme, Darwinisme, dan pada dasarnya semua “isme” yang muncul dari filsafat abad kedelapan belas hingga abad kedua puluh, yang dibangun berdasarkan asumsi, yakni asumsi yang tidak benar, bahwa alam semesta ini tak terbatas. Keajaiban alam semesta telah membawa kita berhadapan dengan sebab atau penyebab utama di balik/ di belakang/ di hadapan alam semesta dan semua isinya, termasuk kehidupan itu sendiri.

Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan Yang merancangnya hingga ke bagian-bagiannya yang terkecil. Dengan demikian teori evolusi yang menyatakan bahwa makh­luk hidup itu tidak diciptakan oleh Allah, tetapi terjadi secara kebetulan, adalah teori yang sama sekali tidak benar.

Tidak heran jika kita memperhatikan teori evolusi, maka kita akan melihat bahwa teori ini dikecam oleh penemuan ilmiah. Rancang­an kehidupan ini sangatlah kompleks dan menakjubkan. Di dunia makhluk tak bernya­wa misalnya, kita dapat melihat betapa luar biasanya keseimbangan pada atom-atom. Belum lagi pada dunia makhluk bernyawa, kita dapat melihat betapa kompleksnya ran­cang­an dari kumpulan atom, dan betapa luar biasanya cara kerja dan struktur seperti pro­tein, enzim, dan sel, yang diciptakan di dalam­nya.

Rancangan yang luar biasa dalam kehidup­an ini menumbangkan Darwinisme pada akhir abad kedua puluh.

Kita telah membicarakan dengan sangat detail masalah ini dalam beberapa kajian kami lainnya, dan kami akan terus melakukannya. Namun mengingat pentingnya persoalan ini, tentunya akan bermanfaat jika pada kesem­patan ini diketengahkan ringkasannya.

 

 

Ilmu Pengetahuan Menumbangkan Darwinisme

 

Meskipun doktrin ini berasal dari zaman Yunani kuno, teori evolusi dikembangkan secara luas pada abad ke-19. Perkembangan terpenting yang menjadikan teori ini menjadi topik terbesar dalam dunia sains adalah buku karya Charles Darwin yang berjudul The Origin of Species, yang diterbitkan pada tahun 1859. Dalam buku ini, Darwin menolak bahwa berbagai spesies yang hidup di bumi, masing-masing diciptakan oleh Tuhan. Menurut Darwin, semua makhluk hidup me­mi­liki nenek moyang yang sama dan makh­luk-makhluk tersebut kemudian men­jadi beraneka ragam dengan berjalannya waktu melalui perubahan-perubahan kecil.

Teori Darwin tidak berdasarkan pada pembuktian ilmiah yang kongkret; sebagai­mana yang diakuinya sendiri, tetapi hanya berupa “asumsi”. Tambahan pula, sebagai­mana pengakuan Darwin dalam bab panjang dari bukunya yang berudul Difficulties of the Theory, teori tersebut tidak mampu meng­hadapi berbagai pertanyaan penting.

Darwin menumpukan semua harapannya pada penemuan-penemuan ilmiah baru, yang ia harapkan dapat memberikan pemecahan atas Difficulties of the Theory. Namun, ber­lawanan dengan harapannya, pembuktian ilmiah justru semakin memperluas dimensi dari kesulitan-kesulitan ini.

Kekalahan Darwinisme atas ilmu penge­tahuan dapat disimpulkan menjadi tiga topik dasar:

1) Teori tersebut sama sekali tidak men­je­las­kan tentang bagaimana asal mula kehidup­an di bumi.

2) Tidak ada pembuktian ilmiah yang me­nunjukkan bahwa “mekanisme evolusi­oner” yang diajukan dalam teori tersebut memiliki kekuatan untuk berkembang.

3) Apa yang dikemukakan dalam teori evolusi tersebut sama sekali bertolak belakang dengan Catatan fosil.

Dalam bagian ini, kita akan mengkaji tiga poin dasar tersebut secara garis besar:

 

 

Langkah Pertama yang Tidak Dapat Diatasi:


Asal-usul Kehidupan

 

Teori evolusi berpendirian bahwa semua spesies hidup berasal dari satu sel hidup tunggal yang muncul di bumi 3.8 milyar tahun yang lalu. Bagaimanakah sebuah sel tunggal dapat menghasilkan jutaan spesies hidup yang kompleks, dan jika evolusi semacam itu benar-benar terjadi, mengapa jejak-jejaknya tidak dapat dilihat pada catatan fosil, itu merupakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh teori evolusi. Namun, yang pertama dan utama, dari langkah pertama yang dinyatakan oleh proses evolusioner tersebut muncul pertanyaan: Bagaimanakah asal mula terjadinya “sel pertama” tersebut?

Karena teori evolusi menolak penciptaan dan tidak menerima campur tangan superna­tural dalam bentuk apa pun, maka ia berpen­dirian bahwa “sel pertama” muncul secara kebetulan berdasarkan hukum alam, tanpa ada rancangan atau perencanaan. Menurut teori ini, materi tak bernyawa menghasilkan sel bernyawa sebagai akibat dari munculnya sel pertama secara kebetulan tersebut. Namun, pernyataan ini bahkan tidak sesuai dengan hukum biologi yang paling tidak terban­tah­kan.

 

 

Kehidupan Berasal dari Kehidupan

 

Dalam bukunya, Darwin tidak pernah me­nye­but asal-usul kehidupan. Pemahaman kuno tentang ilmu pengetahuan pada zaman­nya berangkat dari asumsi bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang sangat seder­hana. Semenjak zaman pertengahan, generasi spontan, yakni teori yang menyatakan bahwa materi tak bernyawa muncul untuk mem­bentuk organisme hidup diterima secara luas. Pada umumnya diyakini bahwa serangga terjadi dari sisa-sisa makanan, dan tikus ber­asal dari gandum. Berbagai eksperimen yang menarik dilakukan untuk membuktikan teori ini. Beberapa gandum diletakkan pada sebi­dang kain kotor, kemudian diyakini bahwa setelah beberapa saat tikus akan muncul dari­nya.

Demikian pula, ulat yang muncul dalam daging dianggap sebagai bukti dari teori tentang generasi spontan. Namun, tidak lama kemudian diketahuilah bahwa ulat tidak muncul dari daging secara spontan, tetapi dibawa oleh lalat dalam bentuk larva, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Bahkan pada periode ketika Darwin menu­lis The Origin of Species, keyakinan bahwa bakteri dapat terwujud dari materi tak ber­nyawa diterima secara luas dalam dunia ilmu pengetahuan.

Namun, lima tahun setelah buku Darwin diterbitkan, penemuan Louis Pasteur mema­tah­kan keyakinan ini, yang merupakan landasan evolusi. Setelah melakukan peneli­tian dan eksperimen yang melelahkan, Pas­teur menyimpulkan secara ringkas, “Pernya­taan bahwa materi tak bernyawa dapat memun­culkan kehidupan telah dikubur dalam sejarah untuk selamanya.”

Para pendukung teori evolusi menolak penemuan Pasteur dalam waktu yang lama. Namun, ketika perkembangan ilmu penge­tahuan berhasil menjelaskan tentang struktur sel dari makhluk hidup yang kompleks, gagasan bahwa kehidupan dapat muncul secara kebetulan bahkan semakin mengha­dapi kebuntuan yang lebih besar.

 

 

Usaha-usaha yang Tidak Pernah Meng­hasilkan Kesimpulan pada Abad Ke-20

 

Ahli evolusi pertama yang menggeluti masalah asal-usul kehidupan pada abad ke-20 adalah ahli biologi Rusia terkenal, Alexan­der Oparin. Dengan berbagai tesisnya yang ia ajukan pada tahun 1930-an, ia berusaha membuktikan bahwa sel dari sebuah makhluk hidup dapat terjadi secara kebetulan. Namun, penelitian ini ternyata mengalami kegagalan, dan Oparin harus membuat pengakuan seba­gai berikut:

Sayang, asal-usul sel tetap menjadi tanda tanya, yang sesungguhnya merupakan titik paling gelap dari seluruh teori evolusi.

Para penganut teori evolusi Oparin berusa­ha untuk meneruskan eksperimen untuk meme­cahkan masalah asal-usul kehidupan. Yang paling terkenal di antara eksperimen-eksperimen ini dilakukan oleh ahli kimia Amerika, Stanley Miller pada tahun 1953. Dalam permulaan eksperimennya, ia me­nyata­kan bahwa gabungan gas telah ada pada atmosfer bumi pada zaman kuno, dan dengan menambahkan energi pada campurannya, Miller mensitesakan beberapa molekul orga­nik (asam amino) yang ada dalam struktur protein.

Beberapa tahun berlalu, eksperimen terse­but tidak berhasil mengungkapkan apa pun, yang pada saat itu dilakukan sebagai langkah penting atas nama evolusi, terbukti tidak valid, sedangkan atmosfer yang digunakan dalam eksperimen tersebut sangat berbeda dengan kondisi bumi yang sesungguhnya.

Setelah diam dalam jangka waktu yang lama, Miller mengakui bahwa medium atmosfer yang ia gunakan tidaklah realistik.

Semua usaha ahli evolusi yang dilakukan pada abad ke-20 untuk menjelaskan asal-usul kehidupan berakhir dengan kegagalan. Ahli geokimia Jeffrey Bada dari San Diego Scripps Institute, mengakui kenyataan ini dalam sebuah artikel yang dipublikasikan dalam majalah Earth pada tahun 1998:

Dewasa ini, ketika kita meninggalkan abad kedua puluh, kita masih menghadapi perso­alan sangat besar yang belum terpecahkan yang harus kita hadapi ketika kita memasuki abad kedua puluh: Bagaimanakah asal-usul kehidupan di Bumi ini?6

 

 

Struktur Kehidupan yang Kompleks

 

Alasan utama mengapa teori evolusi berakhir dalam kebuntuan besar tentang asal-usul kehidupan adalah bahwa organisme hidup yang dianggap sangat sederhana ter­nyata memiliki struktur yang sangat kom­pleks. Sel dari makhluk hidup lebih kompleks dibandingkan dengan semua produk tekno­logi yang dihasilkan oleh manusia. Dewasa ini, bahkan dalam laboratorium yang paling maju di seluruh dunia sekalipun, sebuah sel hidup tidak dapat dihasilkan dari materi inorganik.

Persyaratan yang diperlukan bagi terben­tuk­nya sebuah sel terlalu besar kuantitasnya untuk diabaikan dengan berpegang pada landasan bahwa terbentuknya sel tersebut terjadi secara kebetulan. Probabilitas tentang protein, perkembangan blok dalam sel, disentesakan secara kebetulan adalah 1 dalam 10950 untuk rata-rata protein yang terdiri dari 500 asam amino. Dalam matematika, suatu probabilitas yang lebih kecil dari 1 dibanding 1050 dengan sendirinya dianggap tidak mung­kin.

Molekul DNA yang terletak di inti sel dan yang menyimpan informasi genetik merupa­kan bank data yang luar biasa. Jika informasi yang ada dalam DNA ditulis, maka ia akan merupakan perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900 jilid ensiklopedi yang masing-masing terdiri dari 500 halaman.

Dalam masalah ini muncul dilema yang sangat menarik: DNA hanya dapat direplikasi dengan bantuan protein-protein khusus (enzim). Namun, sintesa dari enzim-enzim ini hanya dapat diwujudkan melalui informasi yang tercatat dalam DNA. Karena keduanya saling tergantung, mereka harus ada pada waktu yang bersamaan untuk replikasi. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa kehidupan itu berasal dari dirinya sendiri mengalami kebuntuan. Prof. Leslie Orgel, seorang ahli evolusi ternama dari Universitas San Diego, Kalifornia, mengakui fakta ini di majalah Scientific American yang diterbitkan pada September 1994:

Sangat mustahil bahwa protein dan asam, yang keduanya sama-sama memiliki struktur yang kompleks, muncul dengan sendirinya pada waktu dan tempat yang sama. Namun juga mustahil jika yang satu ada tanpa adanya yang lain. Demikian pula, secara sekilas orang dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya kehidupan tidak mungkin berasal dari sarana kimiawi.

 

Baca juga:Periode diturunkannya Al Quran


 

Mekanisme Evolusi Imajiner

 

Persoalan penting kedua yang menafikan teori Darwin adalah bahwa kedua konsep yang dikemukakan oleh teori tersebut sebagai “mekanisme evolusioner” pada dasarnya tidak memiliki kekuatan evolusioner.

Darwin mendasarkan pernyataan evolusi­nya sepenuhnya pada mekanisme “seleksi alam”. Pernyataan yang ia tekankan tentang mekanisme ini dapat dilihat dalam bukunya: The Origin of Species, By Means of Natural Selection…

Seleksi alam berpendirian bahwa makhluk-makhluk hidup yang lebih kuat dan lebih cocok bagi kondisi alam pada habitat mereka akan dapat bertahan dalam bergulat untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh, pada kawanan rusa yang menghadapi ancam­an serangan binatang buas, maka rusa-rusa yang berlarinya lebih cepat dapat memper­ta­hankan kehidupannya. Dengan demikian, kawanan rusa itu terdiri dari individu-indivi­du yang lebih cepat dan lebih kuat. Namun tak dapat disangkal bahwa mekanisme ini tidak menyebabkan rusa tersebut muncul dan berubah menjadi spesies hidup yang lain, misalnya menjadi kuda.

Dengan demikian, mekanisme seleksi alam tidak memiliki kekuatan evolusioner. Darwin juga menyadari fakta ini sehingga ia harus menyatakan dalam bukunya The Origin of Species:

Seleksi alam tidak dapat berbuat apa pun hingga terjadi peluang variasi yang sesuai.

 

 

Pengaruh Lamarck

 

Lalu, bagaimanakah “variasi yang sesuai” ini terjadi? Darwin berusaha untuk menjawab pertanyaan ini dari sudut pandang pema­haman ilmu pengetahuan kuno pada zaman­nya. Menurut ahli biologi Prancis, Lamarck, yang hidup sebelum Darwin, makhluk hidup memiliki karakter yang dibutuhkan selama jangka hidupnya hingga generasi selanjutnya, dan karakter ini berakumulasi dari satu gene­rasi ke generasi seterusnya sehingga menye­babkan terbentuknya spesies baru. Misalnya, menurut Lamarck, jerapah terjadi dari kijang, karena kijang-kijang itu berjuang untuk makan daun dari pohon yang tinggi, sehingga lehernya memanjang dari generasi ke gene­rasi.

Darwin juga memberikan contoh serupa dalam bukunya, The Origin of Species, misal­nya, ia berkata bahwa sebagian beruang ada yang menyelam ke air untuk mencari makan­an sehingga berubah menjadi ikan paus sete­lah beberapa lama.

Namun, hukum genetika yang ditemukan oleh Mendel dan dibuktikan oleh ilmu gene­tika yang berkembang pada abad ke-20, meno­lak mentah-mentah anggapan yang mengata­kan bahwa karakter itu diteruskan kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian, seleksi alam bertentangan dengan kenyataan seperti halnya mekanisme evolusioner.

 

 

Neo-Darwinisme dan Mutasi

 

Agar dapat menemukan pemecahan, para pengikut Darwin mengajukan “Teori Sintesa Modern” atau lebih dikenal sebagai Neo-Darwinisme, pada akhir tahun 1930an. Neo-Darwinisme menambahkan mutasi, yakni penyimpangan yang dimunculkan oleh gen-gen makhluk hidup karena adanya faktor-faktor eksternal seperti radiasi atau kesalahan replikasi, sebagai “penyebab variasi yang sesuai” di samping mutasi alam.

Dewasa ini, model yang mewakili evolusi di dunia adalah Neo-Darwinisme. Teori ter­sebut berpendirian bahwa berjuta-juta makh­luk hidup yang ada di bumi ini terjadi sebagai akibat dari suatu proses di mana ber­bagai organ-organ kompleks dari beberapa organ­isme seperti telinga, mata, paru-paru, sayap, mengalami “mutasi”, yakni penyim­pang­an genetis. Namun terdapat fakta ilmiah yang sama sekali bertentangan dengan teori ini: Mutasi tidak menyebabkan makhluk hidup berkembang, sebaliknya mutasi menye­babkan kerusakan.

Adapun alasannya sangat sederhana: DNA memiliki struktur yang sangat kompleks, dan efek kebetulan hanya dapat menyebabkan kerusakan baginya. Ahli genetika Amerika, B.G. Ranganathan, menjelaskan hal ini seba­gai berikut:

Mutasi itu kemungkinannya sangat kecil, kebetulan, dan merusak. Mutasi hampir-hampir tidak terjadi dan kemungkinan besar tidak membawa pengaruh. Empat karakteris­tik mutasi ini menunjukkan bahwa mutasi tidak menyebabkan terjadinya pekembangan evolusioner. Perubahan yang terjadi secara kebetulan pada organisme yang sangat khusus tidak ada pengaruhnya dan tidak merusak. Perubahan yang terjadi secara kebetulan pada sebuah arloji tidak dapat memperbaiki arloji tersebut. Bahkan dapat merusak atau paling-paling tidak berpengaruh. Sebuah gempa bumi tidak mungkin memperbaiki kota, tetapi ia menyebabkan kerusakan

Dengan demikian tidak ada contoh mutasi yang bermanfaat, yakni yang dapat mengem­bangkan aturan genetika yang pernah dilihat buktinya hingga saat ini. Semua mutasi ter­bukti bersifat merusak. Maka perlu dipahami bahwa mutasi yang dinyatakan sebagai “meka­nisme evolusioner” sesungguhnya me­ru­­pakan peristiwa genetik yang merusak makhluk hidup dan menimbulkan gangguan. (Pengaruh mutasi yang sangat umum pada manusia adalah kanker). Tidak diragukan lagi bahwa suatu mekanisme destruktif tidak dapat menjadi “mekanisme evolusioner”. Dalam pada itu, seleksi alam “tidak dapat melakukan apa pun bagi dirinya sendiri,” sebagaimana juga diakui oleh Darwin. Fakta ini menunjukkan pada kita bahwa tidak ada “meka­nisme evolusioner” di alam. Karena meka­nisme evolusioner itu tidak ada, maka juga tidak terjadi proses imajiner yang disebut sebagai evolusi itu.

 

 

Catatan Fosil: Tidak Ada Bukti-bukti tentang Bentuk-bentuk Antara

 

Bukti yang sangat jelas bahwa pernyataan sebagaimana yang disebutkan dalam teori evolusi itu tidak pernah terjadi adalah berda­sarkan catatan fosil.

Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup muncul dari yang mendahuluinya. Suatu spesies yang dahulu pernah ada, lambat laun berubah kepada bentuk lainnya dan semua spesies muncul dengan cara seperti ini. Menu­rut teori ini, transformasi ini berjalan dengan pelan-pelan selama jutaan tahun.

Seandainya hal ini benar, maka banyak sekali spesies antara yang ada dan hidup dalam periode transformasi yang panjang.

Misalnya, binatang-binatang yang separuh berben­tuk ikan dan separuhnya lagi berben­tuk reptil tentu pernah hidup pada masa lampau sehingga memiliki karakter reptil di samping juga memiliki karakter ikan. Atau pernah ada burung-reptil, yang memiliki karakter burung di samping karakter reptil. Karena semua ini berada dalam fase transisi, makhluk-makhluk hidup tersebut tentu akan lumpuh, cacat, atau pincang. Para ahli evolusi menyebut makhluk-makhluk imajiner ini, yang mereka yakini pernah hidup pada masa lampau, sebagai “bentuk-bentuk transisi”.

Jika binatang seperti itu benar-benar ada, tentunya terdapat jutaan, bahkan milyaran jumlahnya dan variasinya. Dan yang lebih penting, sisa-sisa dari makhluk-makhluk aneh seperti itu tentu ada dalam jejak fosil. Dalam The Origin of Species, Darwin menjelaskan:

Jika teori saya benar, maka tentu terdapat sangat banyak varietas perantara yang saling menghubungkan antara spesies-spesies dari kelompok yang sama. …Dengan demikian, bukti tentang keberadaannya pada masa lalu hanya dapat ditemukan di antara pening­galan-peninggalan fosil.

 

 

Harapan Darwin yang Kandas

 

Bagaimanapun, sekalipun ahli-ahli evolusi telah bekerja keras untuk menemukan fosil sejak pertengahan abad ke-19 di seluruh dunia, tidak ada bentuk-bentuk transisi yang mereka temukan. Semua fosil yang digali menunjukkan, berlawanan dengan harapan ahli-ahli evolusi, kehidupan muncul di muka bumi secara tiba-tiba dan telah berbentuk sempurna.

Seorang ahli paleontologi ternama dari Inggris, Derek V. Ager, mengakui fakta ini, sekalipun ia seorang penganut evolusi:

Persoalan pun menjadi jelas ketika saya meneliti bukti-bukti fosil secara detail, entah itu pada tingkatan ordo atau spesies, berulang kali kami menemukan bahwa bukannya evolusi yang terjadi secara lambat laun, tetapi yang terjadi adalah satu kelompok muncul secara tiba-tiba, demikian pula kelompok lainnya.

Ini artinya bahwa bukti fosil menunjukkan bahwa semua spesies hidup tiba-tiba muncul dalam bentuk yang telah sempurna, tanpa melalui bentuk perantara. Hal ini berlawanan dengan asumsi Darwin. Demikian pula, ter­dapat bukti yang sangat kuat bahwa makhluk hidup itu ada karena diciptakan. Satu-satunya penjelasan yang dapat diberikan adalah bahwa spesies hidup itu muncul dengan tiba-tiba dan telah sempurna setiap detail tanpa melalui nenek moyang yang berevolusi, dengan demi­kian spesies tersebut adalah diciptakan. Fakta ini juga diakui oleh sebagian besar ahli biologi evolusi, Douglas Futuyma:

Penciptaan dan evolusi, di antara keduanya memerlukan penjelasan tentang asal-usulnya dari benda-benda hidup. Organisme muncul di bumi dalam keadaan telah berkembang secara sempurna atau tidak berkembang. Jika organisme tidak berkembang, organisme itu pasti telah berkembang dari spesies yang pernah ada melalui proses-proses modifikasi. Jika organisme itu muncul dalam keadaan yang telah berkembang secara sempurna, organisme tersebut tentu telah diciptakan oleh sesuatu yang luar biasa cerdasnya.

Berbagai fosil menunjukkan bahwa makh­luk hidup muncul dalam keadaan yang sem­purna di bumi. Ini artinya bahwa “asal-usus spesies”, bertentangan dengan asumsi Dar­win, bukan merupakan evolusi tetapi merupa­kan penciptaan.

 

 

Dongeng tentang Evolusi Manusia

 

Persoalan yang seringkali dikemukakan oleh para pendukung teori evolusi adalah persoalan tentang asal-usul manusia. Para pengikut Darwin menyatakan pendiriannya bahwa manusia modern dewasa ini merupa­kan hasil evolusi dari makhluk yang menye­rupai kera. Menurut mereka, selama proses evolusi ini, yang diperkirakan telah dimulai 4-5 juta tahun yang lalu, konon terdapat beberapa “bentuk transisi” antara manusia modern dengan nenek moyang mereka. Dalam pernyataan yang sepenuhnya bersifat khayalan ini, disebutkan tentang empat “kategori” dasar:

1.            Australopithecus

2.            Homo habilis

3.            Homo erectus

4.            Homo sapiens

Para ahli evolusi menyebut apa yang dina­makan sebagai nenek moyang manusia per­tama yang menyerupai monyet sebagai “Austra­­lopithecus” yang artinya “Monyet Afrika Selatan”. Makhluk hidup ini sesung­guhnya tidak lain adalah spesies monyet kuno yang telah punah. Riset yang mendalam yang dilakukan pada berbagai sampel Australo­pithecus oleh dua orang ahli anatomi ternama dunia dari Inggris dan Amerika Serikat, yakni Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard, telah menunjukkan bahwa Australo­pithecus tersebut merupakan spesies monyet biasa yang telah punah dan terbukti tidak memiliki kemiripan dengan manusia.

Para ahli evolusi mengklasifikasikan tahap selanjutnya dari evolusi manusia sebagai “homo”, yakni “manusia”. Menurut pernya­taan ahli evolusi, makhluk hidup pada sejum­lah Homo lebih berkembang dibandingkan Australopithecus. Para ahli evolusi telah me­ngem­bangkan skema evolusi khayalan dengan menyusun berbagai fosil dari makhluk-makhluk ini dalam urutan tertentu. Skema ini bersifat khayalan karena tidak pernah terbukti bahwa terdapat hubungan evolusioner antara beberapa kelas ini. Ernst Mayr, salah seorang pembela teori evolusi yang terkemuka pada abad ke-20 mengakui fakta ini dengan menga­takan bahwa “mata rantai yang sampai kepada Homo sapiens sesungguhnya terputus”.

Dengan membuat pembagian mata rantai seperti “Australopithecus — Homo habilis — Homo erectus — Homo sapiens”, para ahli evolusi memaksudkan bahwa masing-masing spesies ini merupakan nenek moyang bagi yang lain. Namun, penemuan terkini dari ahli paleoantrhropologi telah mengungkapkan bahwa Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus hidup di bagian yang berlainan di dunia pada saat yang sama.

Di samping itu, segmen manusia tertentu yang diklasifikasikan sebagai Homo erectus telah hidup hingga zaman modern. Homo sapiens neandarthalensis dan Homo sapiens sapiens (manusia modern) hidup bersama-sama di kawasan yang sama.

Situasi ini seolah-olah menunjukkan keab­sahan klaim tersebut yang menyatakan bahwa mereka adalah nenek moyang bagi lainnya. Seorang ahli paleontologi dari Univer­sitas Harvard, Stephen Jay Gould, menjelas­kan ke­bun­tuan teori evolusi meskipun ia sendiri seorang penganut evolusi:

Apa yang menjadi tangga bagi kita jika ada tiga garis silsilah hominid (A. africanus, australo­pi­thecines yang tegap, dan H. habilis), tak satu pun yang jelas-jelas berasal dari yang lain. Lagi pula, tak satu pun dari ketiganya yang menun­jukkan kecenderungan berevolusi selama mereka mendiami bumi.

Pendek kata, pandangan tentang evolusi manusia, yang berusaha mencari dukungan dengan bantuan berbagai gambaran makhluk “separuh manusia, separuh kera” yang mun­cul di media dan buku pelajaran, dan dengan bantuan propaganda, terus terang saja hanya­lah dongeng yang tidak memiliki landasan ilmiah.

Lord Solly Zuckerman, salah seorang ilmu­wan yang terkenal dan dihormati di Inggris, yang melakukan riset tentang persoalan ini selama beberapa tahun, dan secara khusus meneliti fosil-fosil Australopithecus selama 15 tahun, pada akhirnya berkesimpulan bahwa meskipun ia sendiri seorang penganut evolusi, namun sesungguhnya tidak ada tiga cabang famili seperti itu antara makhluk yang menye­rupai kera dengan manusia.

Zuckerman juga membuat sebuah “spek­trum ilmu pengetahuan” yang menarik. Ia membentuk sebuah spektrum ilmu pengeta­huan dari pernyataan yang dianggap ilmiah hingga pernyataan yang dianggap tidak ilmiah. Menurut spektrum Zuckerman, yang paling “ilmiah”, yakni yang tergantung pada medan data kongkret dalam ilmu pengeta­huan adalah kimia dan fisika. Setelah kedua­nya, muncullah ilmu biologi, kemudian ilmu sosial. Pada akhir dari spektrum tersebut, sebagai bagian yang dianggap paling “tidak ilmiah” adalah konsep “persepsi di luar panca indera” seperti telepati dan indera keenam, dan akhirnya “evolusi manusia”. Zuckerman menjelaskan alasannya:

Kemudian kami segera beralih untuk mencatat kebenaran objektif dalam bidang-bidang yang dianggap sebagai ilmu biologi, seperti persepsi di luar panca indera atau interpretasi tentang sejarah fosil manusia, di mana bagi orang-orang yang mempercayainya (penganut evolusi) apa saja mungkin — dan bagi orang yang sangat memper­cayainya (dalam evolusi) kadang-kadang dapat memper­cayai beberapa hal yang bertentangan pada waktu yang bersamaan.

Dongeng tentang evolusi manusia semakin tidak berarti, tetapi interpretasi tentang fosil-fosil yang digali oleh orang-orang tertentu tetap dipercayai oleh orang-orang yang meng­anut teori ini dengan membabi buta.

 

 

Teknologi Mata dan Telinga

 

Persoalan lainnya yang tetap tak terjawab oleh teori evolusi adalah kemampuan panca indera yang luar biasa pada mata dan telinga.

Sebelum melanjutkan pembicaraan ten­tang mata, marilah kita jawab secara sepintas tentang pertanyaan “bagaimanakah kita me­lihat”. Cahaya yang masuk dari sebuah benda jatuh secara berlawanan pada retina mata. Di sini, cahaya ditransmisikan menjadi sinyal-sinyal elektris oleh sel, dan cahaya tersebut sam­pai ke titik kecil di belakang otak yang disebut sebagai pusat penglihatan. Sinyal-sinyal elektris ini di pusat otak terlihat sebagai bayangan setelah melewati serangkaian pro­ses. Dengan latar belakang teknis ini, marilah kita berpikir sejenak.

Otak terlindung dari cahaya. Ini artinya bahwa di bagian dalam otak sama sekali gelap, dan cahaya tidak sampai ke lokasi otak. Tempat yang disebut sebagai pusat pengli­hatan benar-benar gelap, dan cahaya tidak pernah mencapainya. Bahkan mungkin meru­pakan tempat yang paling gelap yang pernah anda ketahui. Namun, anda melihat dunia yang cemerlang dan terang benderang dari tempat yang sangat gelap.

Gambar yang terbentuk di mata sangat tajam dan sangat jelas, bahkan teknologi abad ke-20 tidak mampu menyamainya. Misalnya, perhatikanlah buku yang anda baca, tangan yang dengannya anda memegang, kemudian angkatlah kepala anda dan lihatlah sekitar anda. Pernahkah anda melihat bayangan yang sangat tajam dan sangat jelas seperti ini di tempat lain? Bahkan layar televisi yang paling unggul yang diproduksi oleh pabrik televisi dunia yang paling canggih sekalipun tidak akan mampu menyajikan gambar yang sangat tajam kepada anda. Gambar di mata ini ber­bentuk tiga dimensi, berwarna, dan sangat tajam. Selama lebih dari seratus tahun, ribuan insinyur telah berusaha untuk menghasilkan ketajaman ini. Pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan raksasa pun didirikan, berbagai riset dilakukan, berbagai rencana dan desain dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Sekali lagi, lihatlah ke layar TV dan buku yang anda pegang. Anda akan melihat bahwa terdapat perbedaan besar dalam ketajaman dan kejelas­an. Di samping itu, layar TV menunjukkan gambar dua dimensi, sedangkan dengan mata anda, anda melihat gambar tiga dimensi yang memiliki ketajaman.

Selama beberapa tahun, sepuluh dari seribu insinyur telah berusaha untuk membuat TV tiga dimensi yang dapat menyamai kualitas pandangan seperti mata. Ya, mereka telah membuat sistem televisi tiga dimensi, tetapi mustahil untuk melihatnya tanpa mengena­kan kaca mata, lagi pula, gambar itu merupa­kan gambar tiga dimensi yang artifisial. Latar belakang tampak kabur, latar depan tampak seperti setting kertas. Sampai kapan pun mustahil untuk menghasilkan pandangan yang tajam dan jelas seperti pandangan pada mata. Baik kamera maupun televisi tidak memiliki kualitas gambar yang tajam dan jelas.

Para ahli evolusi menyatakan bahwa meka­nisme yang menghasilkan gambar yang tajam dan jelas ini terjadi secara kebetulan. Seka­rang, jika seseorang mengatakan kepada anda bahwa televisi yang ada di kamar anda terjadi secara kebetulan, semua atomnya datang secara kebetulan lalu membentuk peralatan yang dapat menghasilkan gambar, maka bagaimanakah pendapat anda? Bagaimana mungkin atom-atom dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh ribuan orang?

Jika suatu peralatan yang menghasilkan gambar yang lebih primitif daripada mata tidak dapat terjadi secara kebetulan, maka jelaslah bahwa mata dan gambar yang terlihat oleh mata tidak dapat terjadi secara kebetulan. Keadaan yang sama juga berlaku pada telinga. Telinga bagian luar menangkap suara yang ada melalui daun telinga lalu megarahkan suara itu ke bagian tengah telinga, dan bagian tengah telinga mengirimkan getaran suara ke otak dengan mengubah suara itu menjadi sinyal-sinyal elektrik. Sebagaimana mata, proses mendengar berakhir di pusat pende­ngaran di otak.

Situasi pada mata juga berlaku pada telinga. Yakni, otak terlindung dari suara sebagaimana ia terlindung dari cahaya: ia tidak membiarkan suara apa pun mema­suki­nya. Dengan demikian, betapapun berisiknya suara di luar, bagian dalam otak sepenuhnya sunyi senyap. Namun demikian, otak dapat menangkap suara dengan sangat jelas. Di otak anda, yang terlindung dari suara, anda men­dengar simponi dari sebuah orkestra, dan anda mendengar semua bunyi di keramaian. Namun demikian, jika tingkat suara di otak anda diukur dengan peralatan yang akurat pada saat itu, maka akan diketahui bahwa yang terjadi dalam otak adalah kesunyian.

Sebagaimana pada kasus alat perekam gambar, selama puluhan tahun telah dilaku­kan usaha untuk menghasilkan suara sebagai­mana dalam bentuk aslinya. Hasil dari usaha tersebut adalah perekam suara “high fidelity system”, dan sistem untuk merekam suara. Meskipun teknologi ini telah digali dan ribu­an insinyur dan ahli telah bekerja keras, tetapi tidak ada suara yang diperoleh, yang memiliki ketajaman dan kejelasan seperti suara yang ditangkap oleh telinga. Perhati­kanlah HI-FI sistem dengan kualitas sangat tinggi yang dihasilkan oleh perusahaan terbesar dalam industri musik. Bahkan dalam peralatan ini, ketika suara direkam, sebagian suara ada yang hilang; atau ketika anda meng­hidupkan HI-FI, anda selalu mendengar suara yang men­desis sebelum musik dimulai. Namun, suara-suara yang merupakan produk dari teknologi tubuh manusia sangat tajam dan jelas. Telinga manusia tidak pernah menang­kap suara yang disertai dengan bunyi men­desis sebagaimana pada HI-FI; telinga me­nang­kap suara seperti apa adanya, tajam dan jelas. Keadaan ini ber­laku semenjak manusia pertama kali dicip­takan.

Sejauh ini, tidak ada peralatan visual atau perekam suara yang dihasilkan oleh manusia yang sangat peka dan berhasil menangkap data indera sebagaimana mata dan telinga.

Namun, sepanjang yang berkaitan dengan penglihatan dan pendengaran, terdapat fakta yang lebih besar di balik semua itu.



Siapakah yang Memberi Kemampuan Otak untuk Melihat dan Mendengar?

 

Siapakah yang memberi kemampuan pada otak sehingga ia dapat melihat gemerlapnya dunia, mendengar simponi kicau burung, dan mencium bunga mawar?

Rangsang yang datang dari mata, telinga, dan hidung manusia diteruskan ke otak sebagai impuls syaraf elektro-kimia. Dalam buku-buku biologi, fisiologi, dan biokimia, anda dapat menemukan penjelasan bagaima­nakah gambar tersebut terbentuk di otak. Namun, anda tidak akan pernah menemukan fakta yang paling penting tentang persoalan ini: Siapakah yang mengatur terjadinya impuls syaraf elektro-kimia tersebut sebagai gambar, suara, bau, dan penginderaan di otak? Terdapat suatu kesadaran di otak yang mampu menangkap semuanya tanpa harus memer­lukan mata, telinga, dan hidung. Siapakah yang memberi kemampuan ini? Tidak diragu­kan lagi bahwa kemampuan ini tidak dimiliki oleh syaraf, lapisan lemak, dan syaraf-syaraf yang terdapat di otak. Itulah sebabnya peng­ikut Darwin dan kaum materialis tidak mem­percayai bahwa segala sesuatu terdiri dari materi, tidak dapat memberikan jawaban apa pun terhadap pertanyaan ini.

Kemampuan ini adalah ruhani yang dicip­takan oleh Allah. Ruhani tidak memer­lukan mata untuk melihat gambar, atau telinga untuk mendengar suara. Di samping itu, ia juga tidak memerlukan otak untuk berpikir.

Setiap orang yang membaca fakta yang jelas dan ilmiah ini harus berfikir tentang Tuhan Yang Mahakuasa, takut kepada-Nya, dan berlin­dung kepada-Nya, Dialah Yang mengu­asai seluruh alam semesta dan sebuah bidang yang gelap yang luasnya beberapa sentimeter kubik dalam bentuk tiga dimensi, berwarna, teduh, dan terang benderang.

 

 

Keyakinan Kaum Materialis

 

Informasi yang kami ketengahkan hingga kini menunjukkan kepada kita bahwa teori evolusi adalah pernyataan yang sangat ber­beda dengan temuan ilmiah. Pernyataan yang diberikan oleh teori tersebut tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, dan mekanisme evolusioner yang diajukannya tidak memiliki pengaruh evolusioner, dan fosil-fosil yang ditunjukkan tentang bentuk-bentuk transisi untuk mendukung teori tersebut tidak pernah ada. Dengan demikian, tentu saja teori evolusi harus dienyahkan karena ia adalah gagasan yang tidak ilmiah, sebagaimana gagasan yang menyatakan bahwa alam semesta ini berpusat pada bumi telah dienyahkan dari agenda ilmu pengetahuan di sepanjang sejarah.

Namun, teori evolusi tetap dimasukkan dalam agenda ilmu pengetahuan. Bahkan sebagian orang berusaha untuk mengajukan kritik terhadap orang-orang yang membantah teori tersebut sebagai “serangan terhadap ilmu pengetahuan”. Mengapa?

Alasannya adalah, bahwa teori evolusi me­ru­pakan keyakinan dogmatis yang tidak boleh dibantah bagi beberapa kalangan. Kalangan ini dengan membabi buta mengab­di kepada filsafat materialis dan menerapkan Darwin­isme, karena ia merupakan satu-satunya pen­jelasan ilmiah yang dapat dikemu­kakan tentang bekerjanya alam.

Yang cukup menarik, kadang-kadang mereka juga mengakui fakta ini. Seorang ahli genetik dan seorang penganut evolusi yang jujur, Richard C. Lewontin dari Universitas Harvard mengakui bahwa dialah yang “mula-mula dan terutama sebagai seorang materialis, kemudian menjadi seorang limuwan”:

Bagaimanapun, bukannya metode dan institusi ilmu pengetahuan yang memaksa kita untuk menerima penjelasan material tentang dunia fenomenal, tetapi sebaliknya, kita dipaksa oleh kesetiaan kita yang a priori terhadap penyebab material untuk menciptakan peralatan penelitian dan seperangkat konsep yang menghasilkan penjelasan material, meskipun ia bertentangan dengan intuisi, dan meskipun ia menyesatkan bagi orang-orang awam. Di samping itu, bahwa materialisme itu absolut sehingga kami tidak dapat membiarkan Kaki Tuhan memasuki pintu.

Itulah pernyataan terus terang yang menya­takan bahwa Darwinisme adalah sebuah dogma yang tetap dipertahankan demi kesetiaannya kepada filsafat materialis. Dogma ini berpendirian bahwa tidak ada being (yang ada) kecuali materi. Dengan demikian ia berpendapat bahwa pencipta kehidupan adalah materi tak bernyawa dan tidak memi­liki kesadaran. Ia berpendapat bahwa jutaan spesies hidup yang berbeda-beda; misalnya burung, ikan, jerapah, harimau, serangga, pohon, bunga, ikan paus, dan manusia itu terwujud sebagai hasil dari interaksi antara materi seperti hujan yang turun, kilat yang menyambar, dan sebagainya, dari materi tak bernyawa. Pandangan ini bertentangan dengan akal maupun ilmu pengetahuan. Namun, Darwinisme tetap memper­tahan­kan­nya hanya agar “jangan sampai Kaki Tuhan masuk di pintu”.

Siapa pun yang tidak memperhatikan asal-usul makhluk hidup dengan pandangan mate­rialis akan melihat kebenaran yang nyata ini: Semua makhluk hidup adalah karya dari Sang Pencipta, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui. Sang Pencipta ini adalah Allah, Yang menciptakan seluruh alam semesta dan semua makhluk dari tidak ada, dan merancangnya dalam bentuk yang sangat sempurna.

 

“Mereka berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Me­nge­tahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Baqarah: 32).

 

Allah menjelaskan berbagai rahasia kepada manusia melalui al-Qur’an, doa, perintah, larangan, dan akhlak yang mulia. Semua ini merupakan rahasia yang sangat penting, dan orang yang berpikir dapat menyaksikan rahasia-rahasia ini dalam hidupnya. Tidak ada sumber lain kecuali al-Qur’an yang menje­laskan rahasia ini. al-Qur’an merupakan satu-satunya sumber rahasia sehingga orang-orang yang sangat cerdas dan sangat pandai sekali­pun tidak akan menemukan rahasia ini di mana pun juga.

Jika sebagian orang dapat memahami sedangkan orang lain tidak dapat memahami pesan-pesan yang tersembunyi dalam al-Qur’an, ini merupakan rahasia lain yang diciptakan Allah. Orang-orang yang tidak memahami rahasia-rahasia yang diungkapkan dalam al-Qur’an ini hidup dalam penderitaan dan kesulitan. Anehnya, mereka tidak pernah mengetahui penyebab penderitaannya. Dalam pada itu, orang-orang yang mengkaji rahasia-rahasia dalam al-Qur’an menjalani hidupnya dengan mudah dan gembira.

Buku ini membicarakan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ayat-ayat yang diungkapkan oleh Allah kepada manusia sebagai sebuah rahasia. Manakala orang membaca ayat-ayat ini, dan perhatiannya didtumpukan kepada rahasia-rahasia dalam ayat-ayat ini, apa yang harus ia lakukan adalah berusaha mengetahui tujuan Allah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa kemudian mengkaji segala sesuatunya berdasarkan al-Qur’an. Kemudian, orang pun akan menya­dari dengan kegembiraan tentang rahasia-rahasia ini, bahwa al-Qur’an mengendalikan kehidupannya dan kehidupan orang lain.

 

 Baca juga:Surah Al Ikhlash


Komentar atau pertanyaan, silakan tulis di sini

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama