Al-Qur`an menginformasikan kepada kita tentang kebenaran sifat-sifat Allah,
“Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi
terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur,
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada dapat memberi syafaat di
sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan
di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar.” (al-Baqarah: 255)
“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala
sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)
Akan tetapi, banyak orang yang tidak menerima keberadaan Allah SWT. seperti
yang telah dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut. Mereka tidak memahami kekuasaan
dan kebesaran-Nya yang abadi. Mereka memercayai kebohongan bahwa merekalah yang
mengatur diri mereka sendiri dan berpikir bahwa Allah berada di suatu tempat
yang jauh di alam semesta dan jarang mencampuri “perkara keduniaan”. Pemahaman
terbatas orang-orang ini disebutkan dalam Al-Qur`an, “Mereka tidak mengenal
Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Mahakuat lagi
Mahakuasa.” (al-Hajj: 74)
Memahami kekuasaan Allah SWT. dengan baik merupakan ikatan awal dalam
rantai keimanan. Sesungguhnya, seorang mukmin akan meninggalkan pandangan masyarakat
yang menyimpang tentang kekuasaan Allah SWT. dan menolak keyakinan sesat dengan
mengatakan, “Dan bahwasanya Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu
mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (al-Jin: 4)
Kaum muslimin memercayai Allah SWT. sesuai dengan penjelasan Al-Qur`an.
Mereka melihat tanda-tanda keberadaan Allah pada dunia nyata dan alam gaib,
kemudian mulai memercayai keagungan seni dan kekuasaan Allah.
Akan tetapi, jika umat berpaling dari Allah serta gagal bertafakur kepada
Allah dan ciptaan-Nya, mereka akan mudah terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan
yang menyesatkan pada saat ditimpa kesusahan. Allah menyebutnya sebagai bahaya
yang potensial, dalam surah Ali Imran: 154, mengenai umat yang menyerah dalam
berperang, “... sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri
mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti
sangkaan jahiliah....”
Seorang muslim seharusnya tidak melakukan kesalahan seperti itu. Karena
itu, dia harus membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang dapat memunculkan
sangkaan jahiliah dan menerima keimanan yang nyata dengan segenap jiwa
sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur`a
Taqwa kepada
Allah Sesuai Kesanggupan
Bertaqwa kepada Allah adalah awal dari segalanya. Semakin tebal ketaqwaan
seseorang kepada Allah, semakin tinggi kemampuannya merasakan kehadiran Allah.
Al-Qur`an memberikan contoh beberapa rasul yang dapat kita bandingkan dengan
diri kita sehingga paham bahwa kita dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada
Allah SWT..
Allah SWT. menginginkan manusia agar bertaqwa dengan sebenar-benarnya.
Berbagai cara untuk menunjukkan penghormatan kepada Yang Mahakuasa dapat
dilakukan, sebagai contoh: berjalan di jalan Allah, melakukan perbuatan baik,
mengikuti contoh-contoh yang diberikan para rasul, menaati serta memperhatikan
ajaran-ajaran Allah, dan sebagainya.
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (at-Taghaabun: 16)
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali
Imran: 102)
Takdir
Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang
dalam Al-Qur`an, “... Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)….” (ar-Ra’d: 2) Dalam
ayat lain dikatakan, “… dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula)....” (al-An’aam: 59) Dialah Allah Yang menciptakan dan mengatur
semua peristiwa, bagaimana mereka berawal dan berakhir. Dia pulalah yang
menentukan setiap gerakan bintang-bintang di jagat raya, kondisi setiap yang
hidup di bumi, cara hidup seseorang, apa yang akan dikatakannya, apa yang akan
dihadapinya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar:
49)
“Tiada suatu bencana
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya,
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadiid:
22)
Kaum mukminin seharusnya menyadari kenyataan yang agung ini. Sebagai
konsekuensinya, sudah seharusnya mereka tidak berbuat kebodohan seperti
orang-orang yang menolak kenyataan dalam hidupnya. Dengan memahami bahwa hidup
itu hanya ”mengikuti takdir”, mereka tidak akan pernah kecewa atau merasa takut
terhadap apa pun. Mereka menjadi yakin dan tenang seperti yang dicontohkan Nabi
Muhammad saw. yang bersabda kepada sahabatnya, “Janganlah kamu berdukacita,
sesungguhnya Allah beserta kita.” (at-Taubah: 40) ketika sahabatnya itu merasa
khawatir ditemukan para pemuja berhala yang bermaksud membunuh mereka ketika
bersembunyi di dalam gua.
Iman kepada
Allah
Karena Allah adalah pembuat keputusan, setiap kejadian merupakan anugerah
bagi makhluk-Nya: segala sesuatu telah direncanakan untuk kebaikan agama dan
untuk kehidupan orang yang beriman di akhirat kelak. Kaum mukminin dapat
merujuk pada pengalaman mereka untuk melihat bahwa ada sesuatu yang bermanfaat
bagi diri mereka pada akhir sebuah kejadian. Untuk alasan tersebut, kita harus
selalu memercayai Allah.
Dialah Yang Maha Esa dan Maha Melindungi. Seorang mukmin harus bersikap
sebagaimana yang Allah inginkan: memenuhi tanggung jawabnya kemudian berserah
diri pada Allah dengan hasilnya. Ayat berikut mengungkapkan misteri ini, yang
tidak diketahui oleh orang-orang yang ingkar.
“... Barangsiapa yang
bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya, Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya,
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (ath-Thalaaq:
2-3)
“Katakanlah,
‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang
yang beriman harus bertawakal.’” (at-Taubah:
51)
Apa yang seharusnya seorang muslim katakan kepada orang-orang yang ingkar
kepada Allah SWT., juga tercantum dalam Al-Qur`an,
“Mengapa kami
tidak akan bertawakal kepada Allah, padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada
kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang
kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah
saja orang-orang bertawakal itu berserah diri.” (Ibrahim:
12)
Dalam
ayat lain dikatakan,
“Jika Allah menolong
kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mu'min bertawakal.” (Ali Imran: 160)
Bertafakur
Di dalam Al-Qur`an dijelaskan bahwa orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT.
adalah orang yang tidak mengenal ataupun menyadari adanya tanda-tanda Allah.
Yang membedakan seorang muslim dengannya adalah kemampuannya untuk melihat
tanda-tanda tersebut dan bukti-buktinya. Dia tahu bahwa semua ini tidak
diciptakan dengan sia-sia dan dia pun dapat menyadari kekuatan serta keagungan
seni Allah di mana pun dan mengetahui cara memuja-Nya. Dialah yang termasuk
orang yang berakal.
“Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191)
Pada beberapa ayat Al-Qur`an, ungkapan seperti “tidakkah kamu perhatikan?”,
”terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” menekankan pentingnya
bertafakur melihat tanda-tanda keberadaan Allah. Allah menciptakan banyak hal
yang tiada putus untuk direnungi. Setiap yang di langit dan di bumi serta di
antara keduanya adalah ciptaan Allah SWT. dan yang demikian itu menjadi
renungan untuk orang yang berpikir. Salah satu ayat memberikan contoh tentang
ketuhanan Allah,
“Dia menumbuhkan bagi
kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala
macam buah-buahan. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar ada tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (an-Nahl:
11)
Kita dapat merenungi sejenak tentang ayat di atas, yaitu tentang pohon
kurma. Kurma tumbuh dari biji yang sangat kecil (ukuran biji tidak lebih dari 1
cm3). Dari biji ini tumbuh sebatang pohon dengan panjang mencapai
4-5 m dan beratnya bisa mencapai ratusan kilo gram. Satu hal yang diperlukan
biji tersebut untuk dapat mengangkat beban yang berat ini adalah tanah di mana
ia tumbuh.
Bagaimana sebutir biji mengetahui cara membentuk sebuah pohon? Bagaimana
biji tersebut “berpikir” untuk melebur dengan senyawa tertentu di dalam tanah
untuk menciptakan kayu? Bagaimana dia meramalkan bentuk dan struktur yang
dibutuhkan? Pertanyaan terakhir ini sangat penting karena ia bukanlah sebatang
pohon sederhana yang keluar dari sebutir biji. Dia adalah organisme hidup yang
kompleks dengan akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah, dengan urat dan
cabang-cabang yang diatur dengan sempurna. Seorang manusia akan menemui
kesulitan untuk menggambarkan dengan tepat sebuah bentuk pohon, ketika secara
kontras sebutir biji yang sederhana dapat menghasilkan sebuah benda yang
kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah.
Pengamatan ini menyimpulkan bahwa biji tersebut sangat pandai dan
bijaksana, bahkan melebihi kita, atau lebih tepatnya, ada kepandaian yang
menakjubkan pada sebutir biji. Akan tetapi, apa sumber kepandaian tersebut?
Bagaimana mungkin sebutir biji memiliki kepandaian dan ingatan sedemikian rupa?
Tidak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki jawaban yang sederhana: biji
tersebut diciptakan dan diberi kemampuan membentuk sebuah pohon dengan program
untuk proses selanjutnya. Setiap biji di bumi diarahkan oleh Allah SWT. dan
tumbuh dengan ilmu-Nya. Pada salah satu ayat dikatakan,
“Dan pada sisi
Allahlah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’aam:
59)
Dialah Allah yang menciptakan biji-bijian dan membuatnya bersemi menjadi
sebuah tanaman baru. Dalam ayat lain dikatakan,
“Sesungguhnya, Allah
menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki
sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (al-An’aam:
95)
Biji-bijian ini merupakan salah satu dari sejumlah tanda-tanda ciptaan
Allah SWT. di alam ini. Jika manusia mulai berpikir tidak hanya dengan akal
mereka, tetapi juga dengan hati mereka dan bertanya sendiri, “mengapa dan
bagaimana”, mereka akan mampu memahami bahwa semua yang ada di alam ini
merupakan bukti keberadaan dan kekuasaan Allah.
Berhati-hati
Allah menciptakan alam ini dengan disertai tanda-tanda penciptaan-Nya. Akan
tetapi, orang yang mengingkari-Nya tidak dapat memahami kenyataan tersebut
karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk “melihat” tujuan penciptaan ini.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur`an, “... mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah)....”
(al-A’raaf: 179) Secara kasat mata, mereka tidak memiliki kearifan dan
pemahaman untuk menanggapi kenyataan yang ada ini.
Orang-orang beriman tidak termasuk kategori “buta” ini. Mereka menyadari
dan menerima kenyataan bahwa seluruh alam ini diciptakan Allah SWT. dengan
tujuan dan maksud tertentu. Keyakinan ini marupakan langkah awal dari keimanan
seseorang. Seiring dengan meningkatnya keyakinan dan kearifan, kita akan dapat
mengenali setiap detail ciptaan Allah.
Dalam tradisi Islam, ada tiga langkah pemacu keimanan: Ilmul-yaqin
(mendapatkan informasi), Ainul-Yaqin (melihat), dan Haqqul-Yaqin
(mengalami/merasakan).
Hujan dapat dijadikan contoh dari ketiga langkah ini. Ada tiga tahapan
dalam mengetahui tentang turunnya hujan.
Tahap pertama (Ilmul-Yaqin), ketika seorang duduk di dalam rumah
yang jendelanya tertutup, kemudian ada yang datang dari luar memberitahukan
padanya bahwa hujan turun dan dia memercayainya.
Tahap kedua (Ainul-Yaqin) adalah tahap kesaksian. Orang tersebut
menuju jendela, membuka tirai, dan melihat hujan turun.
Tahap ketiga (Haqqul-Yaqin). Dia membuka pintu, keluar rumah, dan
berada “di bawah” siraman air hujan.
Berhati-hati adalah bentuk tindakan dari do’a untuk beralih dari tingkatan Ilmul-Yaqin
menuju tingkatan Ainul-Yaqin, bahkan lebih.
Upaya melihat tanda-tanda keberadaan Allah dan tidak menjadi “buta” seperti
orang yang ingkar, membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Di dalam Al-Qur`an,
orang beriman diseru untuk mengamati dan memperhatikan tanda-tanda keberadaan
Allah di sekitar mereka dan ini hanya mungkin bisa dilakukan bila dilakukan
dengan berhati-hati.
“Maka terangkanlah
kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang
menumbuhkannya?” (al-Waaqi’ah: 63-64)
“Maka terangkanlah
kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan
ataukah Kami yang menurunkan?” (al-Waaqi’ah:
68-69)
Allah pun menyatakan dalam ayat yang lain bahwa buta tidak sama dengan
melihat, kemudian Dia bertanya, “Maka apakah kamu tidak memperhatikan(nya)?”
(al-An’aam: 50)
Kita harus melatih diri untuk mengenal tanda-tanda keberadaan Allah dan
selalu mengingat-Nya. Bila tidak, pikiran kita akan menyimpang, melompat dari
masalah yang satu ke yang lainnya, menghabiskan waktu memikirkan hal yang tidak
berguna. Ini merupakan salah satu jenis ketidaksadaran. Kita akan kehilangan
kendali pikiran kita ketika kita kehilangan konsentrasi kepada Allah. Kita
tidak dapat terpusat pada satu hal, kemudian kita tidak dapat memahami
kebenaran di balik materi, kita pun tidak memiliki kemampuan memahami akibat
dari tanda-tanda tersebut. Sebaliknya, pikiran kita diarahkan kepada kesesatan.
Kita akan mengalami kebingungan sepanjang waktu. Yang demikian itu tidak terjadi
pada seorang muslim yang selalu mengingat-Nya, tetapi terjadi pada orang yang
ingkar.
“… Barangsiapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari
langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
(al-Hajj: 31)
Dengan kata lain, orang beriman adalah mereka yang mengarahkan pikirannya
lebih baik dalam merasakan keberadaan Allah dan mereka yang berusaha lebih baik
dalam menjalankan agamanya. Mereka membebaskan pikirannya dari pemikiran yang
sia-sia dan selalu waspada terhadap godaan setan.
“Sesungguhnya,
orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat
kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf:
201)
Karena itu, seorang muslim harus menjaga pikiran dari memikirkan hal-hal
yang tidak berguna, tidak pernah kehilangan arah dengan kejadian-kejadian di
sekitarnya, dan harus selalu menjaga pikirannya.
Kebaikan pada
Semua Peristiwa
Segala sesuatu diciptakan dengan maksud dan tujuan tersembunyi.
Bersama-sama dengan tujuan tersembunyi ini ada beberapa keuntungan bagi seorang
mukmin di dalam semua peristiwa. Hal ini dikarenakan Allah berada di sisi
orang-orang yang beriman dan tidak pernah mengecewakan mereka.
Pada awalnya, perjuangan hidup tampak tidak menyenangkan. Akan tetapi,
seorang muslim harus mengerti bahwa kejadian yang tampaknya menakutkan,
contohnya, persekongkolan orang kafir melawan orang beriman, akan berakhir
dengan kemenangan bagi orang beriman. Cepat atau lambat, Allah akan memberikan
kemurahan hati-Nya, sehingga orang beriman harus yakin bahwa terdapat hikmah
pada semua kejadian.
Dalam hal ini, terdapat banyak contoh yang tercantum dalam Al-Qur`an;
kehidupan Nabi Yusuf a.s. adalah salah satu di antara yang luar biasa. Pada
masa kecilnya, Nabi Yusuf a.s. dibuang ke dasar sumur oleh saudara-saudaranya.
Selanjutnya, ia diselamatkan, kemudian difitnah dan dipenjara walaupun ia tidak
bersalah. Bagi orang yang tidak beriman, semua peristiwa itu disangka
kemalangan yang paling besar. Akan tetapi, Yusuf a.s. selalu berpikir bahwa hal
ini dapat terjadi hanya dengan kehendak Allah SWT. dan semua itu pasti akan
berubah menjadi lebih baik. Ternyata terbukti, Allah mengubah “bencana” menjadi
kebahagiaan. Nabi Yusuf a.s. berhasil lolos dari penjara dan pada saat yang
bersamaan menjadi gubernur di tempat tersebut.
Cerita Nabi Yunus a.s. tidak berbeda. Ia melarikan diri ke kapal barang, di
mana untuk mempertahankan tempatnya, ia bertaruh banyak. Ketika taruhannya
terbukti tidak menguntungkan, ia dilemparkan ke laut dan ditelan ikan raksasa.
Dijelaskan dalam Al-Qur`an bahwa ia lalu diselamatkan dan dikirim ke “bangsa
seratus ribu orang atau lebih” hanya karena ia memuji Allah.
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat
Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.
Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan
sakit. Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu. Dan Kami
utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. Lalu mereka beriman, karena itu
Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.”
(ash-Shaaffat: 143-148)
Semua contoh ini tertulis dalam Al-Qur`an, sebagai pelajaran bagi kita
bahwa peristiwa yang tampaknya “menyedihkan” itu tidak demikian bagi orang yang
beriman. Jika orang memercayai keberadaan Allah, mencari perlindungan hanya
kepada-Nya, dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya, maka tidak ada sesuatu
yang menjadi penyesalan baginya. Allah menciptakan berbagai kesulitan, namun
semua kesulitan itu hanya untuk menguji dan menguatkan kesetiaan dan keimanan
orang beriman.
Yang
demikian itu tidak terjadi pada orang-orang yang ingkar. Tidak ada satu pun
dalam hidup ini kebaikan bagi mereka. Sesuatu yang menipu mereka sebagai
kegemaran atau kesenangan merupakan sebenar-benarnya kemalangan dan hal ini
akan menambah kesengsaraan mereka di hari kemudian. Segala sesuatu yang mereka
lakukan akan mereka pertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya, “Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Ali Imran: 180)
Kematian Itu
Dekat
Pada dasarnya, kaum yang mementingkan duniawi adalah bodoh, ceroboh, dan
dangkal pikirannya. Hidup mereka tidak berdasarkan logika, tetapi mereka hidup
dengan kesesatan dan keyakinan yang salah serta mengikuti sangkaan yang
berakhir dengan kekeliruan. Salah satu kekeliruan ini adalah keyakinan mereka
tentang kematian. Mereka percaya bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu
dipikirkan.
Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah lari dari kenyataan dengan cara
mengabaikan kematian. Tanpa memikirkannya, mereka percaya bahwa mereka dapat
menghindari peristiwa itu. Akan tetapi, hal ini seperti burung unta yang
menenggelamkan kepalanya ke dalam pasir untuk mengindari bahaya. Mengabaikan
bahaya tidak membuat bahaya itu hilang. Sebaliknya, orang tersebut berisiko
menghadapi bahaya dengan tanpa memiliki persiapan. Akibatnya, ia akan menerima
kejutan yang lebih besar lagi. Tidak seperti halnya orang beriman yang
mentafakuri kematian dan menyiapkan dirinya terhadap kenyataan yang sangat
penting ini, kebenaran yang akan dialami semua manusia yang hidup. Allah
memperingatkan orang kafir dalam ayat-Nya,
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya, kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu
akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang
mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.’” (al-Jumu’ah: 8)
Kematian bukanlah “bencana” yang harus dilupakan, melainkan pelajaran
penting yang mengajarkan kepada manusia arti hidup yang sebenarnya. Dengan
demikian, kematian seharusnya menjadi bahan pemikiran yang mendalam. Seorang
muslim akan benar-benar merenungi kenyataan penting ini dengan kesungguhan dan
kearifan. Mengapa semua manusia hidup pada masa tertentu dan kemudian mati?
Semua makhluk hidup tidak kekal. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki
kekuatan dan tidak mampu menandingi Kekuasaan Allah. Allahlah satu-satunya
Pemilik kehidupan; semua makhluk hidup dengan kehendak Allah dan akan mati
dengan kehendak-Nya pula, seperti dinyatakan, “Semua yang ada di bumi itu akan
binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(ar-Rahmaan: 26-27)
Setiap orang akan mati, namun tak seorang pun dapat memperkirakan di mana
dan kapan kematian akan menghampiri. Tidak seorang pun dapat menjamin ia akan
hidup pada saat berikutnya. Karena itu, seorang muslim harus bertindak
seolah-olah mereka sebentar lagi akan didatangi kematian. Berpikir tentang
kematian akan membantu seseorang meningkatkan keikhlasan dan rasa takut kepada
Allah, dan mereka akan selalu menyadari akan apa yang sedang menunggunya.
“Kami tidak
menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka
jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiyaa’:
34-35)
Tidak Pernah
Berhenti Melawan Iblis
Ketika Allah menciptakan Adam dan memerintahkan malaikat sujud di
hadapannya, mereka semua sujud kecuali iblis. Iblis kemudian dikutuk. Tanggapan
iblis adalah meminta Allah menangguhkan hukuman sampai tiba hari dihidupkan
kembali. Dengan demikian, ia memiliki kesempatan untuk membuat manusia berbuat
dosa dan menyimpang dari batasan yang ada. Dengan penangguhan dari Allah, ia
berjanji akan melakukan hal-hal yang dapat menggelincirkan umat manusia.
“Iblis
menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).’” (al-A’raaf:
16-17)
“Dan aku benar-benar
akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka
dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu
mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan
Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan
menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang
nyata.”
(an-Nisaa`: 119)
Siapa yang tidak berhati-hati terhadap tipu daya iblis dan tidak dapat
melindungi dirinya dari bujuk rayu iblis, ia akan mudah dikalahkan oleh iblis.
Karena itu, seorang mukmin harus mewaspadai keberadaan iblis, sebagaimana
dijelaskan, “Sesungguhnya, setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia
musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya
supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6)
Orang-orang beriman harus selalu berhati-hati terhadap keberadaan iblis
karena dialah yang menjadi sasaran utamanya. Setan tidak berkeinginan untuk
membuat orang-orang kafir melampaui batas karena mereka sudah berpaling dan
menjadi sekutunya. Dia berusaha keras membanting tulang untuk melemahkan
orang-orang yang beriman sehingga menghalangi mereka untuk menyembah Allah.
Itulah sebabnya mengapa orang-orang beriman diingatkan berulang-ulang untuk
melawan setan,
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang
mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh
mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun
dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nuur:
21)
Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur`an, orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya itu tidak akan terpengaruh oleh bujuk rayu iblis. Akan tetapi,
siapa yang lemah dan tidak berbuat kebaikan bisa dengan mudah terpengaruh oleh
bisikannya. Janganlah lupa bahwa iblis akan terus-menerus berusaha keras
menyebarkan kejahatannya. Orang-orang beriman harus selalu bersama-sama saling
mengingatkan untuk selalu mengingat Allah SWT. di mana pun dan kapan pun kita
berada.
Jiwa yang
Condong kepada Kejahatan
Musuh lain yang harus kita perangi adalah diri kita sendiri. Allah mengilhami
manusia dengan kebaikan dan keburukan. Keburukan dalam diri kita selalu bekerja
untuk setan. Al-Qur`an menjelaskan kedua sisi jiwa kita tersebut,
“Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams:
7-10)
Kita harus waspada terhadap sisi keburukan yang ada dalam diri kita sendiri
dan selalu menjaga hati dalam menentang bahaya. Mengabaikan sisi keburukan jiwa
kita tidak akan menolong kita lepas dari keburukannya. Akan tetapi, kita harus
menyucikan jiwa seperti yang diajarkan dalam Al-Qur`an.
Dengan demikian, kaum mukminin tidak pernah menyatakan bahwa diri mereka
suci, tetapi tetap berhati-hati terhadap hasutan dan kesia-siaan jiwa mereka.
Pengakuan Yusuf a.s., “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,“ (Yusuf: 53) harus selalu diingat sebagai contoh yang baik untuk
bersikap dengan tepat.
Manusia seharusnya mengawasi kelemahan jiwanya dan berbuat kebaikan serta
mengekang nafsu, sebagaimana sebuah ayat tegaskan, “... manusia itu menurut
tabiatnya kikir....” (an-Nisaa`: 128) Ke arah mana keserakahan mengarahkan
manusia, juga tercatat dalam Al-Qur`an. Hawa nafsu adalah yang mendorong salah
satu anak Adam membunuh saudaranya, “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya
menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia
seorang di antara orang-orang yang merugi.” (al-Maa`idah: 30) Kecenderungan
yang sama yang menyebabkan Samiri menyesatkan pengikut Musa ketika beliau tidak
ada. Samiri berkata, “… dan demikianlah nafsuku membujukku.” (Thaahaa: 96)
Satu-satunya cara mencapai keselamatan adalah dengan mengekang nafsu,
“... Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr:
9)
“Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (an-Naazi’aat:
40-41)
Perjuangan melawan hawa nafsu adalah pertempuran yang terbesar bagi seorang
muslim. Mereka harus membatasi emosi dan keinginannya, yang mana yang dapat
diterima dan yang mana yang tidak dapat diterima. Ia harus melawan dorongan
nafsu dalam jiwanya, seperti keegoisan, iri hati, sombong, dan serakah.
Jiwa kita mempunyai kecenderungan untuk menyenangi hasrat dan keinginan
yang sia-sia. Mereka membisikkan kepada kita bahwa kita akan merasa puas ketika
kita memperoleh harta lebih dan mendapatkan status yang lebih tinggi dalam
masyarakat. Walaupun demikian, semua kesenangan ini tidak pernah memuaskan
orang-orang yang beriman dalam arti yang sebenarnya. Semakin banyak harta yang
kita miliki, semakin besar keinginan untuk memiliki yang lebih banyak lagi.
Dengan beragam cara, jiwa kita mengarahkan kita agar berbuat seperti halnya
binatang buas yang tidak pernah merasa puas.
Jiwa kita akan merasa puas jika menyerahkan diri kita sepenuhnya hanya
kepada Allah, tidak kepada hawa nafsu yang rendah. Kita diciptakan untuk menyembah
Allah, “ … Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati kita menjadi
tenteram.” (ar-Ra’d: 28) Tidak ada lagi yang dapat memberikan ketenangan dan
kepuasan pada diri setiap muslim selain itu.
Itulah sebabnya, orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya memiliki
kepuasan jiwa. Hal ini terjadi karena mereka menjauhkan diri dari kejahatan,
melawan nafsu jiwa mereka, dan membaktikan diri hanya kepada Allah.
“Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr:
27-30)
Pilihan Allah
Jika menentukan bentuk fisik kita saja tidak bisa, apalagi menentukan
takdir kita. Hanya Allahlah yang berhak menentukan kelahiran manusia, lingkungannya,
keluarganya, serta pengalaman yang akan ia dapatkan dalam hidupnya. Allah
pulalah yang mengilhami kita kebijakan dan kebaikan.
Iman kita bahkan tidak bergantung pada karakter kita sendiri. Allah pulalah
Yang Maha Esa yang memberikan kita keimanan. Dialah yang mengarahkan,
mengajarkan, dan melatih, sebagaimana jawaban Musa a.s. atas pertanyaan Firaun,
“Musa berkata, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap
sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’” (Thaahaa: 50)
Karena itu, orang beriman adalah orang-orang yang dipilih oleh kemurahan
Allah, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka....” (al-Qashash: 68)
Orang-orang yang masuk neraka adalah mereka yang pantas menerimanya karena
mereka menentang Allah Yang telah menciptakan diri mereka. Dengan kemurkaan
Alah, mereka menerima apa yang pantas bagi mereka. Hal ini sebagaimana
orang-orang yang mengharapkan surga, dengan disertai usaha-usaha untuk mensyukuri
rahmat dan karunia-Nya, Allah SWT. melimpahkan kemurahan dan rahmat-Nya.
Orang-orang beriman harus bersyukur telah dipilih Allah dan harus berterima
kasih serta memuji Allah dengan segenap jiwa untuk semua yang telah Dia berikan
kepada mereka dengan kemurahan-Nya. Mereka harus menghargai karena mereka
terpilih di antara jutaan orang dan karena mereka adalah hamba-hamba yang
dirahmati Allah, dipilih dan dijauhkan dari kaum yang menghadapi kehancuran.
Semua tingkah laku orang beriman harus mencerminkan penghormatan terhadap hak
istimewa ini. Allah menggambarkan orang-orang yang menghadapi keruntuhan,
“Demi masa.
Sesungguhnya, manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati
supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr:
1-3)
Adakah penghormatan yang lebih tinggi daripada diselamatkan dan dimuliakan
oleh Tuhan seluruh alam?
Berdo’a
Dijelaskan dalam sebuah ayat tentang pentingnya ibadah,
“Katakanlah
(kepada orang-orang musyrik), ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau
ada ibadahmu....’” (al-Furqaan:
77)
Berdo’a merupakan cara berdialog dengan Allah; juga merupakan ciri utama
yang membedakan orang yang beriman dari orang musyrik. Berdo’a bisa dijadikan
sebagai alat ukur keimanan seseorang kepada Tuhannya.
Kebanyakan orang berpikir bahwa tidak ada yang mengatur alam semesta ini
dan segala sesuatu berinteraksi dengan sendirinya. Akan tetapi, mereka tidak
mengetahui bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi tunduk kepada-Nya, tidak
ada makhluk yang takdirnya tidak diatur oleh Allah dan tidak patuh kepada-Nya.
Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) mengatakan kepadanya,
“… Jadilah…,” lalu jadilah ia. (al-Baqarah: 117)
Orang musyrik tidak memahami kenyataan penting ini dan mereka menghabiskan
seluruh hidupnya untuk menggunakan alam ini dalam mengejar impian semu. Orang
beriman, dengan cara yang lain, mempelajari keagungan misteri ini dari
Al-Qur`an. Mereka menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai yang mereka
inginkan adalah dengan memohon kepada Yang mengawasi mereka. Mereka mengetahui
bahwa Allahlah Sang Pencipta dan Pengatur segala sesuatu,
“Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
(al-Baqarah: 186)
Akan tetapi, haruslah dipahami bahwa Allah tidak harus mengabulkan semua
yang diinginkan dari-Nya. Bagi orang-orang yang jahil, “Dan manusia mendo`a
untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat
tergesa-gesa.” (al-Israa`: 11) Dengan demikian, Allah menjawab semua do’a kita,
namun terkadang mengabulkan, terkadang tidak bila ternyata akan menimbulkan
“keburukan” yang nyata.
Cara berdo’a juga dijelaskan dalam Al-Qur`an: dengan kerendahan hati dan
suara yang lembut, keihlasan, dalam hati kita berharap, namun takut pada Allah,
serta dengan kesungguhan,
“Berdo’alah kepada
Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut... berdo’alah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf:
55-56)
Dalam ayat lain dikatakan, “Hanya milik Allah asma`ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma`ul husna itu....” (al-A’raaf: 180)
Sebenarnya, do’a-do’a kita merupakan pengakuan atas kelemahan kita dengan
menunjukkan rasa terima kasih kepada Allah. Tanpa berdo’a berarti menunjukkan
kesombongan dan pembangkangan kepada Allah. Allah menyatakan,
“Dan Tuhanmu
berfirman, ‘Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya, orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” (al-Mu’min:
60)
Berdo’a pada Allah adalah ibadah dan juga rahmat yang besar. Tindak permohonan
yang mudah ini merupakan kunci untuk mencapai tujuan, baik dunia maupun
akhirat.
Penyesalan dan
Memohon Ampun
Dua sifat Allah yang paling sering diulang dalam Al-Qur`an adalah “Maha
Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Allah benar-benar menyayangi hamba-hamba-Nya
dan tidak menghukum mereka secara langsung atas dosa-dosa mereka,
“Jikalau Allah
menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di
muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan
mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah
tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya
barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (an-Nahl:
61)
Dengan menangguhkan hukuman, Dia memberi waktu kepada orang yang berbuat
salah untuk memohon ampun dan bertobat. Tidak peduli betapa besar dosa yang ia
lakukan, ia selalu mendapat kesempatan untuk dimaafkan jika bertobat dan
berbuat kebaikan,
“Apabila orang-orang
yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah,
‘Salaamun ‘alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang,
(yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran
kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan,
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (al-An’aam:
54)
Tobat juga berarti permohonan dukungan dan kekuatan dari Allah untuk
membantu orang yang bersalah agar tidak mengulangi perbuatan salah yang sama.
Bentuk Tobat yang diterima Allah adalah yang diikuti dengan perbuatan-perbuatan
baik,
“Dan orang yang
bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada
Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (al-Furqaan:
71)
Terkadang seseorang bisa saja melakukan dosa yang sama karena bujukan
nafsunya, bahkan setelah bertobat. Akan tetapi, hal ini bukanlah alasan baginya
untuk tidak bertobat. Dia bisa bertobat karena kesalahan-kesalahan sepanjang
hidupnya. Harus diingat pula bahwa tobat seseorang tidak akan diterima ketika
kematian telah datang menjemput dan ia mulai melihat nasibnya di hari kemudian.
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi
orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan
Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (an-Nisaa`: 17)
“Dan tidaklah tobat itu diterima Allah
dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal
kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya, saya
bertobat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima tobat)
orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu
telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (an-Nisaa`:
18)
Ayat yang lain menyeru orang-orang beriman kepada keselamatan, “… Dan
bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman supaya kamu
beruntung.” (an-Nuur: 31)
Sabar Hingga
Tiba Kematian
Manusia diciptakan dengan disertai sifat tidak sabar dan karenanya ia
banyak berbuat kesalahan. Akan tetapi, agama meminta setiap orang agar bersabar
karena Allah. Orang beriman, terutama, harus sabar menunggu keselamatan yang
besar yang Allah janjikan. Inilah perintah di dalam Al-Qur`an, “Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 7) Sabar merupakan
salah satu sifat penting untuk mencapai ridha Allah; itulah kebaikan yang harus
diusahakan agar lebih dekat kepada Allah.
“Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung.” (Ali
Imran: 200)
Dalam masyarakat jahiliah, arti sabar bercampur dengan ketahanan diri. Akan
tetapi, ketahanan diri memiliki makna yang berbeda, yaitu menahan sakit atau
kesusahan. Makna sabar yang sebenarnya dijelaskan dalam Al-Qur`an. Perbedaan
ini hanya dipahami oleh orang-orang yang benar-benar beriman. Ketekunan
orang-orang beriman bertujuan untuk mencapai ridha Allah. Dengan demikian,
sabar memberikan penerangan bagi orang beriman, sedangkan “ketahanan diri”
hanya memberikan kejengkelan dan kesusahan bagi orang-orang yang tidak beriman.
Al-Qur`an menyatakan hal ini, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk.” (al-Baqarah: 45)
Ayat lain dari surah yang sama menekankan bahwa kegembiraan diberikan
kepada orang-orang yang bersabar dalam menghadapi rintangan atau kesusahan.
“Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,
‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.’” (al-Baqarah:
155-156)
Sabar merupakan sifat mulia yang dapat meningkatkan kekuatan orang-orang
beriman. Allah menyatakan pada ayat berikut, betapa kekuatan sabar ini bisa
mengalahkan sesuatu.
“Sekarang, Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka
jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (al-Anfaal:
66)
Sabar, sekali lagi, merupakan sifat yang tergolong positif yang diterangkan
dalam Al-Qur`an. Seseorang bisa saja rendah hati, sederhana, baik budi, taat
atau patuh; namun semua kebaikan ini hanya akan berharga ketika kita
menggabungkannya dengan kesabaran. Kesabaranlah yang diperlihatkan dalam
berdo’a dan merupakan sifat orang beriman, yang membuat do’a-do’a kita dapat
diterima.
Sabar meliputi seluruh kehidupan orang beriman, yang patuh pada ketentuan,
“Sabarlah untuk tuhanmu.” Akhirnya, Allah mengambil jiwa mereka dan memberi
mereka penghargaan dengan surga-Nya. Malaikat yang berjaga di pintu-pintu
menyebut orang yang benar dengan perkataan,
“(Sambil mengucapkan),
‘Salamun `alaikum bi ma shabartum.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan
itu.”
(ar-Ra’d: 24)
Pertolongan
Allah
Dalam komunitas masyarakat yang ingkar kepada Allah SWT., mereka membangun
sifat-sifat mereka menurut kekuatan atau status yang mereka miliki. Agar
seseorang memiliki rasa percaya diri, ia harus kaya atau terkenal, atau cantik,
tampan. Menjadi anak dari orang yang “dihormati” juga menjadi alasan penting
agar mendapat rasa percaya diri pada masyarakat yang benar-benar ingkar.
Akan tetapi, berbeda dengan orang yang beriman. Ini dikarenakan orang-orang
beriman berlomba-lomba untuk tidak mendapatkan simpati siapa pun kecuali Allah,
tidak terpengaruh oleh kriteria-kriteria duniawi yang dipegang oleh sebagian
besar masyarakat.
Allah selalu menolong orang-orang beriman. Dia tidak pernah mengecewakan
mereka dalam menghadapi perlawanan orang-orang yang ingkar, “Allah telah
menetapkan, ‘Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang...,” (al-Mujaadilah: 21)
sehingga para utusan dan para pengikut mereka akan mendapatkan kejayaan dengan
dukungan yang besar ini. Allah menjamin, “Dan jika mereka bermaksud hendak
menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang
memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.” (al-Anfaal: 62)
Jangan lupa bahwa hanya Allahlah yang memperkuat dan memperbaiki
orang-orang beriman serta mampu membuat mereka berjaya. Tidak hanya cukup
dengan bertumpu pada kekuatan fisik beserta pengaruhnya. Semua itu tidak akan
menghasilkan sesuatu kecuali dengan berdo’a memohon kepada-Nya. Do’a yang
diucapkan lebih besar manfaatnya. Sebagai balasannya, Allah mengabulkan
keinginan yang dimaksud. Itulah sebabnya mengapa orang beriman harus bersandar
pada pertolongan Allah.
Hasilnya, mereka menjadi sedemikian berani dan percaya diri ketika
menghadapi dunia. Mereka menjadi sedemikian kuat untuk dipengaruhi oleh
tindakan atau pikiran negatif. Musa a.s., yang tidak kehilangan akal ketika
penganutnya melampaui batas, berkata, “Jika kamu dan orang-orang yang ada di
muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya
lagi Maha Terpuji.” (Ibrahim: 8)
Musa a.s. percaya diri dan tidak takut karena ia yakin bahwa Allah dan
pertolongan-Nya selalu bersama dengan orang-orang beriman. Allah kemudian
berfirman kepadanya, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling
unggul (menang).” (Thaahaa: 68)
Sikap Musa a.s. harus menjadi contoh bagi orang-orang beriman. Ini karena
Allah telah menjanjikan perlindungan dan dukungan tidak hanya kepada Musa a.s.
serta para rasul, tetapi juga kepada setiap orang yang memerangi kemungkaran
dan membawa mereka kepada kejayaan. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur`an,
“... Allah sekali-sekali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa`: 141)
Orang beriman bertanggung jawab mempertahankan ketaatan mereka kepada Allah
dan menjadi hamba-hamba-Nya yang taat. Ketika hal ini terjadi, mereka tidak
akan merasa takut.
“Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah
kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.”
(al-Maa`idah: 105)
Orang-orang kafir tidak dapat mencelakakan orang-orang yang beriman. Semua
rencana dan makar melawan orang-orang beriman akan tidak berguna. Pada ayat
berikut, hal ini dijelaskan.
“Dan sesungguhnya
mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allahlah (balasan) makar
mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga
gunung-gunung dapat lenyap karenanya.” (Ibrahim:
46)
Ketika orang-orang kafir berencana melawan orang-orang beriman, Allah akan
“... menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara
yang tidak mereka ketahui.” (al-A’raaf: 182) Mereka yakin bahwa mereka lebih
tangguh dari orang-orang beriman dan dapat dengan mudah mengalahkan mereka.
Akan tetapi, Allah SWT. akan selalu bersama orang-orang beriman; dan kekuatan,
kemuliaan, serta kebesaran-Nya menjelma pada diri mereka. Al-Qur`an menjelaskan
kebenaran ini, yang tidak dapat dipahami orang-orang munafik.
“Mereka
orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar), ‘Janganlah kamu memberikan
perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya
mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).’ Padahal kepunyaan
Allahlah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak
memahami. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya, jika kita telah kembali ke Madinah,
benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya.’
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang
mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.’” (al-Munaafiquun:
7-8)
Ini merupakan perintah yang tidak dapat diubah. Orang-orang beriman menurut
ayat, “Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu...,” (an-Nisaa`: 71)
harus selalu berhati-hati dan waspada terhadap orang-orang kafir, namun merasa
tenang dengan perintah Allah yang tersebut di atas.
Allah menjelaskan perintah yang sama dalam ayat yang lain,
“Sesungguhnya,
orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta memusuhi
rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi
mudharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan
menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:
32)
Tiada
Keputusasaan bagi Orang Beriman
Ada dua jenis keputusasaan. Pertama, muncul ketika berhadapan dengan
kesulitan atau rintangan. Yang demikian itu tidak terdapat pada diri orang
beriman. Ia harus selalu ingat bahwa Allah menjanjikan pertolongan kepada
orang-orang beriman. Al-Qur`an menyatakan bahwa cukuplah hanya Allah bagi
orang-orang beriman dan Dia menguatkan orang-orang beriman dengan bantuan-Nya.
Kedua, merupakan jenis keputusasaan yang lebih berbahaya,
yaitu berputusasaan dari pengampunan Allah setelah berbuat salah atau dosa.
Keputusasaan ini lebih berbahaya karena akan mengarah pada pikiran bahwa Allah
tidak akan memaafkan dosa seseorang dan ia akan masuk neraka. Pikiran ini
bertentangan dengan apa yang kita pelajari dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya, Allah
mengampuni dosa orang-orang yang menyesali perbuatannya. Tidak pernah ada kata
“terlambat” dalam mencari pengampunan-Nya. Allah menegur hamba-hambanya,
“Hai hamba-hamba-Ku
yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(az-Zumar: 53)
Putus asa adalah godaan setan. Setan mencoba memengaruhi orang-orang
beriman dengan membuat mereka bingung dan kemudian menjerumuskan mereka untuk
berbuat kesalahan yang lebih serius. Tujuannya adalah agar orang-orang beriman
tidak merasa yakin dengan keimanan dan keikhlasan mereka, membuat mereka merasa
“tertipu”. Jika seseorang jatuh ke dalam perangkap ini, ia akan kehilangan
keyakinan dan akibatnya akan mengulangi kesalahan yang sama atau bahkan lebih
besar dari kesalahan sebelumnya.
Dalam kondisi demikian, orang beriman harus segera meminta ampunan Allah,
berpikir seperti yang Al-Qur`an ajarkan dan segera membentuk pola pikir yang
baru. Al-Qur`an menjelaskan apa yang harus dilakukan orang beriman dalam
kondisi itu,
“Dan jika kamu ditimpa
sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-A’raaf: 200)
Jika seseorang ikhlas dalam keimanannya kepada Allah, Allah akan mengampuni
dosanya jika ia berbuat salah atau dosa. Bahkan jika ia berpaling dalam waktu
yang lama, ia masih mendapatkan kesempatan untuk bertobat. Perbuatan setanlah
yang menyebabkannya berputus asa. Allahlah satu-satunya yang dapat memberikan
ampunan dan keadilan yang abadi dan yang menjanjikan kemenangan dan surga-Nya
kepada orang-orang beriman. Saran dari Nabi Ya’qub harus menjadi panduan bagi
semua orang beriman,
“… janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf:
87)
Menilai Segala
Sesuatu dengan Cara Pandang Al-Qur`an
Orang-orang beriman bertujuan menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya.
Manusia tidak diciptakan untuk memenuhi keserakahan atau menuruti hawa
nafsunya; satu-satunya alasan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah.
Jalan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menjadikan Al-Qur`an sebagi
panduan hidup kita. Kita harus mencurahkan segala perhatian untuk mengamalkan
setiap ketentuan Al-Qur`an. Kita harus mengamalkan setiap keputusan Al-Qur`an sebanyak
mungkin.
Kita tahu dari Al-Qur`an bahwa kewajiban orang-orang beriman tidak hanya berhenti
pada ayat-ayat tertentu, seperti shalat, puasa, atau berhaji, tetapi juga
penerjemahan dari ibadah itu sendiri. Sebagai contoh, dalam sebuah ayat, orang
yang beriman disuruh, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik....” (an-Nahl:
125) Orang-orang beriman memahami “hikmah dan pelajaran yang baik” dengan
mengamalkan ajaran Al-Qur`an serta ilmu pengetahuan mereka.
Masih banyak kewajiban lain yang membutuhkan ilmu pengetahuan. Contohnya,
Al-Qur`an menjelaskan bermacam-macam kaum dan menginformasikan kepada kita cara
memperlakukan kaum tersebut. Apa yang harus diucapkan kepada kaum tersebut,
sebagian besar ayat Al-Qur`an dimulai dengan, “Katakanlah....”
Dengan jelas, ayat-ayat Al-Qur`an memberikan gambaran kepada orang beriman
tentang cara bersikap. Akan tetapi, jika perintah-perintah ini diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, harus ditafsirkan dengan benar. Pada saat
tersebut, ilmu pengetahuan orang-orang beriman sangat membantu.
Al-Qur`an menjelaskan berbagai jenis kaum, seperti kaum muslimin, Kristen,
Yahudi, orang munafik, dan penyembah berhala. Kita harus mempelajari ayat-ayat
tersebut dengan baik, karena yang seharusnya dilakukan adalah mengenali
kaum-kaum ini dalam masyarakat kita kemudian bersikap kepada mereka sesuai
dengan perintah-perintah dalam Al-Qur`an. Dengan demikian, kita akan menjadi
apa yang Al-Qur`an inginkan.
Lagi pula, orang beriman harus mengenali semua orang di sekitarnya, yang
tidak diragukan lagi memiliki satu atau lebih sifat-sifat kaum yang dijelaskan
Al-Qur`an. Orang-orang tersebut membentuk masyarakat yang dijelaskan Al-Qur`an
dan tiada satu pun yang diciptakan sia-sia,
“Dan tidaklah Kami
ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan
bermain-main.” (al-Anbiyaa`:
16)
Walaupun demikian, tidak hanya orang-orang di sekitar kita yang dijelaskan
dalam Al-Qur`an. Sebenarnya, segala sesuatu yang kita lihat dan semua yang
terjadi merupakan pencerminan dari yang tertulis dalam Al-Qur`an,
“Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan
pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu
adalah benar. Dan apakah Tuhanmu
tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat:
53)
Seluruh alam memiliki tanda-tanda keberadaan Allah, seperti halnya sebuah
lukisan yang menghadirkan pelukisnya kepada yang melihatnya. Seluk-beluk
lukisan ini menunjukkan sapuan kuas yang jelas; seluruh alam dan seluk-beluk
alam ini ada untuk menghadirkan Allah, Pencipta segala sesuatu. Semakin
disadarinya kenyataan ini oleh orang beriman, mereka akan semakin mengenali
Allah dan bersungguh-sungguh mematuhi semua perintah-Nya. Ketika seseorang
memahami kehidupan dengan seluk-beluknya, yang merupakan “tanda” yang
dijelaskan dalam Al-Qur`an, orang tersebut akan menghubungkan segala sesuatu
dalam “kehidupan sehari-harinya” dengan nilai-nilai Al-Qur`an.
Segala sesuatu yang mengambil tempat dalam takdir Allah, telah ditentukan
dan karenanya memiliki tujuan. Yang harus dilakukan oleh orang beriman adalah
menafsirkan setiap kejadian dalam cahaya Al-Qur`an, yaitu bertindak sesuai
dengan jalan yang telah dijelaskan Al-Qur`an. Sebagai contoh, ketika berhadapan
dengan sesuatu yang sia-sia dan bersifat kemalasan, orang beriman harus
mengabaikannya, karena diciptakannya sesuatu yang sia-sia itu agar orang
beriman tidak mengindahkannya. Orang beriman harus menerjemahkan segala sesuatu
menurut cara pandang Al-Qur`an. Dengan demikian, mereka harus membangun budaya
dan karakter mereka dalam bingkai Al-Qur`an, sebagaimana perintah Allah untuk
mencapai kondisi ini, yaitu mereka harus meninggalkan semua yang mereka peroleh
dari masyarakat dan kebodohan mereka yang lampau. Mereka harus memutuskan apa
yang seharusnya dilakukan pada setiap situasi dengan bergantung pada penafsiran
dan logika Al-Qur`an, karena ayat-ayat Allah menunjukkan kepada mereka cara
mengatasi setiap situasi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Qur`an
bahwa telah diturunkan kepada kita sebuah kitab “untuk menjelaskan segala
sesuatu” (an-Nahl: 89).
Allah
Mengetahui Semua Rahasia Hati
Sifat yang paling mendasar dari orang-orang kafir adalah ketidakikhlasan
mereka. Mereka tidak ikhlas kepada Allah, orang lain, dan bahkan kepada diri
mereka sendiri. Meski mereka berlaku hangat ketika berhadapan dengan orang lain
demi kepentingan mereka, pada saat yang sama mereka merasa benci atau cemburu
kepadanya. Masalahnya, ketidakikhlasan itu terdapat pada diri mereka sendiri.
Meskipun mereka menyaksikan kesalahan dan kejahatan dalam perbuatan mereka
dengan jelas, mereka menyembunyikan kenyataan ini di alam bawah sadar mereka
dan berbuat layaknya orang yang benar dan sempurna.
Ketidakikhlasan ini berasal dari anggapan bahwa tidak seorang pun
mengetahui rahasia di dalam hati mereka, sehingga orang bersalah tersebut dapat
berbuat layaknya mereka yang tidak bersalah meski telah melakukan dosa atau
kesalahan. Sesungguhnya, mereka benar-benar tidak mengetahui apa yang
dipikirkan orang lain dan mereka tidak pernah menyadari bahwa Allah mengetahui
semua yang dipikirkan dan semua rahasia hati, termasuk pikiran alam bawah sadar
yang mereka sendiri tidak mengetahuinya. Allah mencatat fakta ini pada
ayat-ayat berikut.
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang
kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala
isi hati.” (at-Taghaabun: 4)
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui
(yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?”
(al-Mulk: 13-14)
Tidak seorang pun dapat berbicara tanpa sepengetahuan Allah. Allah
mengetahui bukan hanya semua perkataan, melainkan semua pikiran orang, termasuk
yang berada di alam bawah sadar, yang sebagiannya tidak mereka sadari. Hal ini
ditekankan dalam ayat berikut.
“Tidaklah kamu
perhatikan bahwa sesunggunya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi? Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun
mereka berada. Kemudian, Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat
apa yang telah mereka kerejakan. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
(al-Mujaadilah: 7)
“Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf:
16)
Dengan demikian, perilaku orang beriman haruslah benar-benar didasari
keikhlasan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Karena Allah Yang menciptakan
dan mengetahui segala sesuatu, tidaklah mungkin kita berpura-pura di depan-Nya.
Seseorang harus mengakui semua kelemahan, kesalahan, dan kekhilafannya,
meninggalkan kemaksiatan dan kembali kepada Allah, serta meminta pertolongan
dan ampunan-Nya.
Para rasul merupakan contoh terbaik dalam keikhlasan mereka kepada Allah.
Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?”
Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap
(dengan imanku).” (al-Baqarah: 260) Ini merupakan cara bagaimana orang beriman
mengakui kelemahan mereka kepada Allah dan memohon ampunan dari-Nya. Hal yang
sama terjadi ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Musa, “Pergilah kamu kepada
Fir’aun.” Musa berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah membunuh
seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku,”
(al-Qashash: 33) serta memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah.
Kejujuran para rasul ini menunjukkan bagaimana orang beriman harus bersikap.
Sebelum seseorang memahami kelemahan dan ketergantungannya kepada Allah, ia
tidak dapat memiliki sifat-sifat seperti tabah, rendah hati, beriman, dan
berani hanya dengan berpura-pura bersifat demikian, karena “… manusia dijadikan
bersifat lemah” (an-Nisaa`: 28) agar mengerti kelemahannya di hadapan Allah.
Karena itu, seseorang harus percaya dan berserah diri kepada Allah serta
mengungkapkan kesalahan dan dosanya sebelum memohon ampunan.
Hidup di Dunia
Hanya Sementara
Manusia tinggal di dunia hanya untuk waktu yang singkat. Di sini, ia akan
diuji, dilatih, kemudian meninggalkan dunia menuju kehidupan akhirat di mana ia
akan tinggal selamanya. Harta benda serta kesenangan di dunia, walaupun
diciptakan serupa dengan yang ada di akhirat, sebenarnya memiliki banyak
kekurangan dan kelemahan karena harta benda dan kesenangan tersebut ditujukan
hanya agar manusia mengingat hari akhirat.
Akan tetapi, orang yang ingkar tidak akan mampu memahami kenyataan ini
sehingga mereka berperilaku seakan-akan segala sesuatu di dunia ini miliknya.
Hal ini memperdaya mereka karena semua kesenangan di dunia ini bersifat
sementara dan tidak sempurna, tidak mampu memuaskan manusia yang diciptakan
untuk keindahan kesempurnaan abadi, yaitu Allah. Allah menjelaskan betapa dunia
merupakan tempat sementara yang penuh dengan kekurangan,
“Ketahuilah
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadiid:
20)
Seperti yang tertulis dalam Al-Qur`an, orang-orang musyrik hidup hanya
untuk beberapa tujuan, seperti kekayaan, anak-anak, dan berbangga-bangga di
antara mereka. Dalam ayat lain, dijelaskan tentang hal-hal yang melenakan di
dunia,
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah,
‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’
Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan
(mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali
Imran: 14-15)
Sebenarnya, kehidupan di dunia tidak sempurna dan tidak berharga
dibandingkan kehidupan abadi di akhirat. Untuk menggambarkan hal ini, dalam
bahasa Arab, dunia mempunyai konotasi “tempat yang sempit, gaduh dan
kotor”. Manusia menganggap usia 60-70 tahun di dunia sangat panjang dan
memuaskan. Akan tetapi, tiba-tiba kematian datang dan semua terkubur di liang
lahad. Sebenarnya, ketika kematian mendekat, baru disadari betapa singkatnya
waktu di dunia. Pada hari dibangkitkan, Allah akan bertanya kepada manusia.
“Allah bertanya,
‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal
(di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
menghitung.’ Allah berfirman, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar
saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.’ Maka apakah kamu mengira bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mu’minuun:
112-115)
Mengabaikan Allah dan tidak mengacuhkan kehidupan akhirat, sepanjang hidup
mengejar keserakahan dunia, berarti hukuman abadi di dalam api neraka.
Orang-orang yang berada di jalan ini digambarkan Al-Qur`an sebagai “orang-orang
yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”. Bagi mereka, Allah memutuskan,
“Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
(al-Baqarah: 86)
“Sesungguhnya,
orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami,
dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan
itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah
neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus:
7-8)
Bagi mereka yang lupa bahwa dunia merupakan tempat sementara dan mereka
yang tidak memperhatikan ayat-ayat Allah, tetapi merasa puas dengan permainan
dunia dan kesenangan hidup, menganggap memiliki diri mereka sendiri, serta
menuhankan diri sendiri, Allah akan memberikan hukuman yang berat. Al-Qur`an
menggambarkan keadaan orang yang demikian,
“Adapun orang yang
melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal(nya).” (an-Naazi’aat:
37-39)
Pemilik yang
Sesungguhnya
Upaya memiliki acapkali membuat manusia berduka dan terluka. Orang-orang
yang ingkar menghabiskan seluruh hidupnya untuk memiliki benda-benda duniawi.
Mereka selalu berjuang agar dapat memiliki lebih serta menjadikan hal ini
sebagai tujuan dalam hidupnya.
Akan tetapi, “… berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan
anak…,” (al-Hadiid: 20) merupakan sebuah penipuan karena semua kemilikan di
dunia dikuasai oleh Allah. Manusia hanya membodohi diri mereka sendiri dengan
menyangka bahwa mereka memilikinya. Hal ini karena mereka tidak menciptakan
yang mereka miliki dan mereka pun tidak memiliki kekuatan menjaga semuanya
secara abadi. Ditambah lagi, mereka tidak dapat mencegah kerusakan yang
terjadi. Juga, karena mereka tidak memiliki hak untuk “memiliki” sesuatu karena
mereka termasuk “milik” dari pemilik yang lain. Pemilik tertinggi ini tidak
lain “Raja Manusia” (an-Naas: 2), yaitu Allah. Al-Qur`an memberitahu kita bahwa
seluruh alam adalah milik Allah, “Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit,
semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah
tanah.” (Thaahaa: 6) Ayat yang lain memperkuat kepemilikan Allah, kekuatan
mengampuni atau menghukum, “Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allahlah yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan
diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Alah Mahakuasa atas segala
sesuatu.” (al-Maa`idah: 40)
Sebenarnya, Allah memberikan semua kepemilikan kepada manusia sebagai
“titipan” sementara di dunia. Titipan ini akan berakhir pada jangka waktu
tertentu dan ketika tiba hari perhitungan, lalu setiap orang akan diminta
pertanggungjawabannya.
Pada hari perhitungan ini, setiap orang akan ditanya tentang maksud dan
tujuannya menggunakan “titipan” ini. Mereka yang menyangka dirinya sebagai pemilik
dari “sesuatu” yang dititipkan dan menentang para utusan dengan mengatakan,
“... apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami...,” (Huud: 87) mereka layak menerima hukuman. Al-Qur`an
menggambarkan apa yang akan menimpa mereka,
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah
segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Ali
Imran: 180)
Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur`an, semua anugerah yang diberikan
kepada manusia atas kebaikan-Nya, harus digunakan tanpa “kebakhilan”.
Karenanya, daripada mencoba memiliki dan mempertahankan kepemilikan ini,
sebaiknya seseorang menggunakan kepemilikan ini di jalan Allah seperti yang
diperintahkan. Ini berarti orang-orang beriman dapat menggunakan harta dalam
jumlah yang dibutuhkan untuk biaya hidupnya dan kemudian bersedekah “yang lebih
dari keperluan” (al-Baqarah: 219). Jika ia tidak mengikuti petunjuk dan mencoba
“memiliki” semua hartanya, berarti ia memandang dirinya sebagai pemilik.
Jatuhnya hukuman bagi sikap seperti ini merupakan suatu kewajaran. Al-Qur`an
menjelaskan hal ini,
“... Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (at-Taubah:
34-35)
Ada “perekonomian” dalam Islam, namun tidak ada “penimbunan harta” dalam
Islam. Orang-orang berilmu tidak bergantung pada materi yang mereka miliki
untuk menghadapi “masa-masa sulit”, melainkan bertawakal hanya kepada Allah,
sehingga Allah menambah harta mereka kembali. Allah memberikan lebih dari yang
mereka gunakan di jalan-Nya serta merahmati mereka. Hal ini tercatat dalam
ayat,
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:
261)
Sebaliknya, orang yang tidak menggunakan hartanya di jalan Allah adalah
orang, “yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa
hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya, dia
benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah
itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan.” (al-Humazah: 2-6)
Baca juga: Terjemah Alfiyah Ibnu Malik; daftar isi
Bersyukur
kepada Allah
Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu, seperti
anugerah-Nya. Setiap anugerah ini—hidup, keimanan, makanan, kesehatan, sepasang
mata dan telinga kita—merupakan anugerah kepada manusia agar bersyukur
kepada-Nya.
Ketika kita meninggalkan ketidakacuhan dan kebodohan serta berpikir dan
merenung, kita pasti menyadari bahwa segala sesuatu di sekitar kita merupakan
anugerah dari pencipta kita yaitu Allah. Semua makanan yang kita nikmati, udara
untuk kita bernapas, keindahan di sekitar kita, mata kitalah yang membuat kita
melihat semua ini. Semuanya merupakan anugerah dari Allah SWT.. Sedemikian
banyaknya anugerah ini sehingga digambarkan dalam Al-Qur`an,
“Dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nahl:
18)
Tanpa diragukan lagi, semua anugerah ini diberikan dengan sebuah alasan.
Tiada sesuatu pun diciptakan bagi kita untuk digunakan sebagaimana kehendak
kita sendiri. Sebaliknya, alasan bagi semua kemurahan ini—apa pun
bentuknya—adalah perintah kepada manusia supaya menuju ketentuan Allah. Hal ini
karena segala sesuatu yang diberikan Allah mengharuskan kita bersyukur sebagai
balasannya. Allahlah yang memberikan rahmat. Karena itu, kita harus menunjukkan
keikhlasan bersyukur hanya kepada-Nya.
Rasa bersyukur merupakan ibadah dan juga cara untuk melindungi kita dari
“penyimpangan”. Tidak bersyukur berarti melangkah menuju kerusakan dan
kejahatan, melupakan kelemahan-kelemahan, dan menjadi takabbur ketika mereka
semakin kaya dan berkuasa. Menunjukkan rasa bersyukur kita kepada Allah berarti
melindungi diri dari “kerusakan”. Mereka yang menunjukkan rasa syukurnya kepada
Allah disertai ilmu bahwa semua yang mereka capai adalah pemberian Allah,
berarti mereka mengetahui bahwasanya mereka bertanggung jawab menggunakan semua
rahmat ini di jalan Allah dan seperti kehendak-Nya. Itulah rasa syukur kepada
Allah yang didasari kerendahan hati dan kedewasaan para rasul. Seperti Nabi
Daud a.s. atau Nabi Sulaiman a.s. yang kepadanya diberikan harta, kedudukan,
dan ketundukan. Sebenarnya, peristiwa Qarun—yang menjadi ingkar disebabkan
harta—adalah karena ia tidak bersyukur kepada Allah.
Jika orang beriman tidak menjadi takabbur dan melampaui batas dengan rahmat
dan harta yang diberikan kepadanya, Allah akan menambahkan kenikmatan yang
telah diberi. “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Bersyukur tidak mesti selalu ditunjukkan dengan kata-kata. Yang justru
harus dilakukan adalah menggunakan setiap anugerah di jalan yang disukai Allah.
Sebagai tahap awal, tubuh yang dianugerahkan kepada kita, harus kita pergunakan
untuk berjuang karena-Nya. Al-Qur`an pun memberitahukan bagaimana cara
menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah, yaitu dengan menyebut semua
anugerah-Nya, dengan menyampaikan “pesan”-Nya kepada semua,
“Dan kelak Tuhanmu
pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan
terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan
terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur).”
(Ad-Dhuhaa: 5-11)
Ujian Allah
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, tidak ada satu pun di muka bumi
ini yang diciptakan sia-sia, tetapi dengan maksud tertentu. Pemahaman ini
bergantung pada kecerdasan manusia sendiri. Bagi yang beriman, kecerdasan dan
kebijaksanaannya meningkat; mereka dapat memahami alasan ini semakin baik dari
waktu ke waktu.
Salah satu ajaran terpenting adalah bahwa kita selalu diuji sepanjang hidup
kita. Allah menguji keikhlasan dan keimanan kita dalam kejadian-kejadian yang
berbeda. Dia juga memberikan karunia untuk menguji apakah kita termasuk orang-orang
yang bersyukur ataukah sebaliknya. Dia menciptakan berbagai kesulitan bagi kita
untuk mengetahui apakah kita bersabar atau tidak, “Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (al-Anbiyaa: 35)
Kita juga diuji dengan berbagai cara. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur`an
pada ayat,
“Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (al-Baqarah:
155)
Kehidupan kita secara terencana merupakan materi untuk diuji. Mulanya, kita
diuji melalui fisik kita. Al-Qur`an menyatakan, “Sesungguhnya, Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat.”(al-Insaan: 2) Karena itu, setiap yang kita dengar dan
lihat sebenarnya merupakan bagian dari ujian tersebut. Dalam segala situasi,
kita akan diuji untuk melihat apakah kita berperilaku sesuai dengan Al-Qur`an
ataukah dengan keinginan kita sendiri yang sia-sia.
Allah menguji ketabahan orang-orang beriman dengan berbagai kesulitan.
Salah satunya adalah tekanan dari orang-orang ingkar. Semua tindakan buruk,
seperti hinaan, ejekan, kekerasan, dan bahkan siksaan serta pembunuhan,
hanyalah ujian untuk orang-orang beriman.
“Kamu sungguh-sungguh
akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan
mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang
yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika
kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan
yang patut diutamakan.” (Ali Imran: 186)
Hal yang terpenting untuk dipahami adalah bahwa semua kehilangan dan
kecelakaan ini diciptakan Allah sebagai ujian khusus. Bagi mereka yang tidak
paham, hal ini akan menjadikannya fasik. Al-Qur`an meriwayatkan kisah Yahudi,
“Dan
tanyakanlah kepada bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut
ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka
ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan
di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami
mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (al-A’raaf:
163)
Hanya orang yang memiliki kecerdasanlah yang dapat menyadari ujian ini dan
dapat berhasil dalam ujian dengan menggunakan kecerdasannya tersebut. Karena
itu, seorang yang beriman jangan sampai lupa bahwa ia sedang diuji sepanjang
hidupnya. Ujian ini tidak akan berlalu atau surga tidak dapat diraih hanya
dengan mengatakan “saya beriman”.
“Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabuut:
2-3)
Dalam ayat lain dijelaskan,
“Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang
berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali
Imran: 142)
Allah Tidak
Membebani Makhluk-Nya Melainkan Sesuai dengan Kemampuannya
Sebagian besar manusia mengklaim bahwa sangat sulit bagi mereka untuk
melaksanakan ajaran agama dan itulah alasannya mengapa mereka tidak menjalankan
prinsip-prinsip agama. Dengan cara ini, mereka berharap kesalahan mereka
berkurang. Akan tetapi, mereka hanya membohongi diri mereka sendiri.
Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Sebagaimana
dikatakan Al-Qur`an, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakanny....” (al-Baqarah: 286)
Ayat lain menegaskan bahwa agama yang Allah pilihkan bagi kita sangat mudah
seperti halnya agama Ibrahim,
“Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur`an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.” (al-Hajj: 78)
Dalam masalah ini, adalah kebohongan yang besar bila seseorang menyatakan
sulit dalam menjalankan ajaran agama dan menjadikan hal ini sebagai alasan untuk
kelalaian diri mereka sendiri.
Tidak Mengikuti
Kaum yang Ingkar
Dalam menjalani hidup dengan nilai-nilai Al-Qur`an, seseorang harus
meninggalkan budaya dan nilai-nilai moral masyarakat yang ingkar kepada Allah SWT..
Satu hal yang pertama harus ditinggalkan adalah pemahaman cinta dalam
masyarakat duniawi.
Pada masyarakat duniawi, semua hubungan dan cinta berdasarkan pada
kepentingan ego pribadi. Seseorang akan bersama dengan yang lainnya bila saja
ada keuntungan yang didapat dari rekannya, mendapat perhatian, atau sedikitnya
diperlakukan baik. Ukuran lain adalah ikatan keluarga; seseorang mencintai yang
lainnya karena mereka berasal dari keluarga yang sama, atau dari keturunan,
masyarakat, dan bahkan dari bangsa yang sama.
Akan tetapi, yang demikian itu bukanlah kriteria orang-orang beriman karena
orang beriman mencintai Allah melebihi sesuatu atau seseorang.
“Dan di antara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Allah....” (al-Baqarah:
165)
Orang-orang yang beriman, karena mencintai Allah di atas segalanya,
mencintai orang yang mencintai Allah, tidak membedakan apakah orang yang
menyetujui atau benci tindakannya merupakan orang dekat ataupun jauh. Hal ini
dijelaskan dalam Al-Qur`an,
“Kamu tidak
akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya
mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (al-Mujaadilah:
22)
Lebih jauh lagi, bila orang beriman memiliki sedikit saja cinta terhadap
orang yang ingkar, itu tidak akan membuat orang beriman bersikap dengan benar.
Orang-orang yang beriman diperingatkan agar tidak melakukan hal ini. Dalam
Al-Qur`an dijelaskan,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena
rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang
kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”(al-Mumtahanah:
1)
Sikap Nabi Ibrahim a.s. dan para pengikutnya menjadi contoh yang baik bagi
orang-orang beriman,
“Seungguhnya,
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya,
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja....” (al-Mumtahanah:
4)
Tidak Ada yang
Lebih Dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta Berjihad di Jalan-Nya
Satu kewajiban bagi orang beriman adalah menyembah Allah. Satu-satunya
alasan keberadaan kita adalah menjadi hamba-Nya. Kehidupan yang tidak didasari
alasan ini berarti menolak agama Allah dan menyembah selain Allah, yang
akibatnya akan membuat seseorang masuk neraka.
Dengan kata lain, kehidupan hanyalah alat bagi orang beriman. Dia harus
menghargai setiap saat dalam hidupnya untuk dekat kepada Allah dan melaksanakan
kehendak-Nya. Jika alat ini berubah menjadi tujuan—yang dilakukan oleh
orang-orang ingkar—ia segera berada dalam bahaya besar.
Orang-orang beriman hidup hanya untuk satu sebab, yaitu menyembah Allah dan
karenanya mereka meninggalkan keduniawian. Allah menjelaskan hal ini,
“Sesungguhnya, Allah
telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh
atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari
Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan
itulah kemenangan yang besar.”(at-Taubah: 111)
Orang-orang beriman menjual jiwa dan hartanya kepada Allah dan tidak ada
lagi hak baginya. Seluruh hidupnya dibaktikan di jalan yang Allah perintahkan.
Jika Allah mengaruniai mereka, mereka akan bersyukur, dan jika mereka
diperintahkan berjihad di jalan-Nya, mereka tidak merasa ragu sedikit pun,
bahkan jika mereka mengetahui bahwa mereka sedang menuju kematian.
Orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya tidak akan lalai pada
kepuasan pribadi dan tidak ada sesuatu pun di bumi ini yang dapat mencegahnya
dari berjihad di jalan Allah.
Mereka mampu meninggalkan keindahan nikmat Allah dan menyerahkan jiwa
mereka tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, orang-orang ingkar tidak akan menjual harta
dan jiwa mereka kepada Allah. Kekurangan iman seperti ini akan dicatat dan dibalas
dalam kehidupan mendatang.
“Katakanlah,
‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah: 24)
Keimanan yang sangat kuat pada diri para sahabat Nabi Muhammad saw. membuat
mereka tidak pernah menolak pertempuran; sebaliknya, beberapa di antara mereka
ada yang berurai air mata ketika mereka tidak berkesempatan berjihad bersama
Rasulullah saw.. Pada ayat berikut, Allah menjelaskan perbedaan antara
orang-orang yang ikhlas dan yang setengah hati.
“Tiada dosa
(lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang
yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan
sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang, dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang
apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu
berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali,
sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak
memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. Sesungguhnya, jalan (untuk menyalahkan)
hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu
orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut
berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak
mengetahui (akibat perbuatan mereka).”(at-Taubah: 91-93)
Tidak Lemah,
Bersedih Hati, dan Berputus Asa
Orang-orang beriman memiliki perjuangan berat dan panjang di jalan Allah.
Jalan hidup mereka sering diserang musuh yang jumlahnya sangat banyak dan
dengan peralatan yang lebih baik. Akan tetapi, sepanjang mereka berada di jalan
Allah, mereka dapat mengatasinya.
Salah satu alasan bagi kemenangan mereka, sebagai orang beriman, mereka
melakukan perjuangan dengan semangat dan kegembiraan yang besar. Inilah yang
tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang ingkar karena mereka telah
mencintai kehidupan dunia, mereka tidak beriman kepada Allah. Mereka takut dan
lemah serta mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Sebaliknya, orang-orang
beriman tidak mudah dilemahkan karena mereka tahu bahwa Allah selalu bersama
mereka dan mereka berharap menjadi orang yang berhasil. Hal ini diterangkan
dalam Al-Qur`an,
“Dan berapa banyak
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang
bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali
Imran: 146)
Walaupun demikian, orang-orang beriman membutuhkan ibadah untuk mendapatkan
semangat dan kegembiraan ini, karena sangatlah mudah tergelincir dari jalan
Allah. Inilah yang diperjuangkan iblis. Pada saat-saat genting, seorang munafik
berkata kepada para Sahabat Rasulullah saw. “Hai penduduk Yatsrib (Madinah),
tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu,” (al-Ahzab: 13) lalu ia
menciptakan keputusasaan serta menimbulkan perasaan kalah. Akan tetapi,
orang-orang beriman telah diperingatkan dalam Al-Qur`an mengenai semua faktor
keraguan ini, “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan
sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat
Allah) itu menggelisahkan kamu.” (ar-Ruum: 60)
Orang yang beriman hanya bertanggung jawab kepada dirinya dan Allah serta
tidak seharusnya terpengaruh oleh kelemahan yang lain. Kekuatan musuh pun tidak
dapat memengaruhi dan membuatnya takut. Seluruh hidup orang beriman hanyalah
untuk Allah. Mereka akan terus beribadah demi keridhaan-Nya sampai akhir hayat.
Pada sebuah ayat dijelaskan,
“Janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.” (Ali Imran: 139)
“Janganlah kamu berhati lemah dalam
mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya
mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang
kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (an-Nisaa`: 104)
Merendahkan
Diri Ketika Shalat
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (al-Maa’uun: 4-6)
Hal ini menunjukkan bahwa yang membuat shalat kita menjadi sah bukanlah
gerakannya, seperti rukuk dan sujud, melainkan tujuan serta apa yang mereka
pikirkan pada saat shalat. Beberapa orang melakukan shalat hanya untuk
menunjukkan kepada yang lain tentang “kemusliman” mereka, bukan untuk meraih
keridhaan Allah. Sesungguhnya, mereka melakukan hal yang di luar batas.
Yang membuat shalat kita diterima adalah kesadaran kita bersujud di hadapan
Allah hanya untuk menyatakan penyerahan diri kita kepada-Nya. Itulah sebabnya,
Allah memerintahan orang-orang beriman “... Berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyuk.” (al-Baqarah: 238)
Ayat yang lain menggambarkan orang-orang beriman sebagai, “orang-orang yang
khusyuk dalam shalatnya.” (al-Mu`minuun: 2) Kekusyukan pada ayat ini berarti
mengalami rasa takut disertai rasa hormat serta kekaguman yang medalam. Shalat
yang demikian meningkatkan keimanan dan memperpendek jarak dengan Allah. Itulah
yang membuat manusia menjadi tenang.
Dalam ayat lain, shalat digambarkan,
“Bacalah apa yang
telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur`an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya, shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-‘Ankabuut:
45)
Bertasbih
Memuji Allah
Semua topik keimanan yang kita bahas hingga kini membutuhkan kepasrahan
diri kepada Allah, dalam hidup dan berjuang karena-Nya. Pengabdian ini tidak
dapat kita capai kecuali memiliki kedekatan dengan Allah dan jalan untuk
khusyuk, melalui “mengingat dan kembali kepada-Nya”. Orang-orang beriman itu
seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur`an, “Dan bertasbihlah kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 42) Inilah yang akan menjadikan orang yang
beriman menjadi “hamba Allah” seperti layaknya Nabi Ibrahim a.s..
Orang-orang beriman harus bersyukur kepada Allah atas karunia yang
diberikan-Nya dan memohon ampunan Allah atas perbuatan zalim diri mereka.
Selanjutnya, mereka harus meminta kepada Allah untuk semua yang mereka butuhkan
serta memuji-Nya siang dan malam.
“Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf:
205)
Dalam ayat lain, “… Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih
besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)….” (al-‘Ankabuut: 45) Tanpa
menghadirkan Allah, semua shalat akan kehilangan nilainya. JIka shalat ini
tidak ditujukan untuk mengingat Allah dan mencari ridha-Nya, mereka tidak
mendapatkan upah. Ketika Al-Qur`an memberitahukan sifat-sifat para nabi,
ditekankan betapa mereka selalu taat kepada Alah. Dalam ayat ke-30 surah Shaad,
Allah berfirman, “Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat taat (kepada Tuhannya).” Kepada Ayyub,
a.s. Allah berkata, “… Sesungguhnya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang
sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat taat (kepada
Tuhannya).” (Shaad: 44)
Mengingat Allah
dalam Setiap Kesulitan
Tujuan hidup orang-orang beriman adalah beribadah kepada Allah. Salah satu
cara beribadah adalah menyampaikan ajaran Allah di mana pun dan berjuang
melawan pasukan iblis. Perjuangan ini biasanya sangat berat dan keras karena
setiap saat “pasukan iblis” mempunyai peralatan yang lebih baik.
Orang-orang beriman tidak terpengaruh oleh hal ini karena mereka menyadari
adanya sebab akibat di dunia. Realita ini mengabarkan bahwa kemenangan tidak
berhubungan dengan jumlah yang banyak atau kekuatan yang dahsyat, tetapi atas
perintah dan kehendak Allah. Ajaran agama yang benar memberikan penghargaannya
berupa kemenangan iman, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249) Keimanan yang murnilah yang
menunjukkan kemenangan. Kebenaran yang pelik ini, yang tidak dipahami
orang-orang ingkar, dijelaskan dalam ayat,
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan
sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (al-Anfaal:
45)
Membaca Wahyu
Allah
Tertulis dalam surah al-Muzzammil: 7 bahwa sesungguhnya pada siang hari
orang-orang beriman mempunyai urusan yang banyak. Tentu saja
kesibukan-kesibukan itu untuk kepentingan agama walaupun kesibukan-kesibukan
tersebut membuat orang-orang beriman terlibat dengan masyarakat yang
mementingkan dunia.
Di tengah urusan-urusan dunia pun orang-orang beriman menjaga keimanan
kepada Allah dan tidak pernah kehilangan pandangan spiritual.
“Laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
goncang.”
(an-Nuur: 37)
Hal terpenting dalam kebajikan ini adalah menjaga hubungan dengan Allah. Di
dalam Al-Qur`an, hal ini ditekankan pada ayat, “Dan ingatlah apa yang dibacakan
di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya, Allah
adalah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” (al-Ahzab: 34)
Selama orang-orang beriman menjaga Al-Qur`an dalam hatinya, mereka dapat
mengamalkan ajaran Al-Qur`an dalam kehidupan sehari-hari, selanjutnya akan
merasa lebih dekat kepada Allah.
Menjauhi
Pembicaraan yang Sia-Sia
Orang-orang beriman tidak tertarik pada pembicaraan dan hal yang sia-sia
serta tidak berguna. Mereka tidak merasakan kepuasan pada hal-hal tersebut
karena yang demikian itu tidak bernilai. Mereka terlibat dalam urusan dunia
hanya jika ada keuntungan yang menambah kedekatan kepada Allah. Inilah
sebabnya, orang-orang beriman digambarkan sebagai, “orang-orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (al-Mu`minuun: 3)
Ayat di atas menekankan bahwa ketika seorang mukmin bersentuhan dengan
perbuatan atau perkataan yang sia-sia, ia harus menghindar dan melakukan hal
yang berguna bagi misi ketuhanan. Inilah sikap yang tepat dalam rangka
menyenangkan Allah. Untuk itu, orang-orang yang beriman harus selalu waspada
dan mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tidaklah tepat bagi orang yang beriman
berbantah-bantahan dengan orang yang bodoh dan pendek akal kecuali ada hal yang
dapat diraih dalam rangka berdakwah. Al-Qur`an menjelaskan sikap ideal,
“Dan apabila mereka
mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan mereka
berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas
dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.’” (al-Qashash:
55)
“Dan orang-orang yang
tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (al-Furqaan: 72)
Ketika orang beriman telah menyelesaikan tugas, ia harus melanjutkan dengan
pekerjaan berguna lainnya. Dijelaskan dalam ayat, “Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (al-Insyirah:
7-8)
Menjadi yang
Moderat
Menjadi moderat membutuhkan sikap yang berada dalam batasan Al-Qur`an,
yaitu mengerjakan perintah agama dan menjauhi larangannya. Hal ini membutuhkan
pandangan yang seimbang. Ketika orang beriman terlibat dengan masyarakat
keduniawian, ia tidak meniru perbuatan masyarakat tersebut. Orang beriman harus
selalu mematuhi apa yang tertulis dalam Al-Qur`an, tetap konsisten dalam setiap
pendekatan.
Hal ini bukanlah sesuatu yang hanya dilakukan ketika orang beriman berada
di luar lingkungannya sendiri, melainkan berlaku sama ketika ia berada di
tengah-tengah kaumnya. Juga ketika berada dalam situasi di saat harus
memperlihatkan kesopanan,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara
Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana
kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-Hujuraat:
2)
Lagi pula, risiko dari berbuat tidak seimbang bisa muncul dalam melakukan
sesuatu yang tampaknya wajar. Hal ini disebabkan tidak semua sikap sesuai
dengan setiap situasi. Cara berbicara atau bertingkah laku terkadang menjadi
“tidak sesuai” atau “tidak tepat” meski tidak dilarang. Itulah sebabnya, orang
beriman dilarang berlidah tajam atau menurutkan perilaku ekstrem. Ia harus
membangun kepribadiannya sehingga tidak menjadi salah tingkah ataupun terlalu
senang dan tidak pernah kehilangan kendali atau berlaku kasar. Al-Qur`an
menjelaskan tentang perilaku yang tidak disukai ini,
“Tiada suatu
bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu,
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid:
22-23)
Baca juga: Terjemah Matan Imrithi; Daftar Isi
Para Malaikat
Menjadi Saksi
Orang-orang menyangka bahwa mereka “sendirian” bila mereka tidak terlihat
oleh yang lain, namun hal ini tidak benar. Pertama, karena Allah selalu bersama
kita dan melihat serta mendengar setiap perbuatan ataupun perkataan kita.
Kedua, ada para saksi yang tidak terlihat di sisi kita yang tidak pernah
meninggalkan kita. Mereka adalah para malaikat yang bertugas mengawasi kita,
yang mencatat setiap perbuatan. Al-Qur`an memberi tahu kita tentang hal ini,
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir.”
(Qaaf: 16-18)
Apa yang dicatat para malaikat tersebut akan ditunjukkan pada hari
perhitungan, ketika manusia akan ditanyai tentang perbuatan mereka di dunia.
Al-Qur`an menjelaskan apa yang akan terjadi pada hari tersebut,
“Adapun orang
yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan
pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama
beriman) dengan gembira. Adapun orang yang
diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku.’ Dan
dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya, dia
dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).
Sesungguhnya, dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada
Tuhannya). (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu
melihatnya.”
(al-Insyiqaaq: 7-15)
Menulis
Perjanjian
Pada dasarnya, manusia itu “pelupa”. Inilah sebabnya, Allah memerintahkan
kepada orang beriman untuk menulis perjanjian di antara mereka dengan dihadiri
para saksi,
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah:
282)
Dalam ayat yang lain, diingatkan bahwa lebih baik membebaskan utang,
“Dan jika (orang
berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”
(al-Baqarah: 280)
Mengatakan
Sesuatu yang Tidak Dikerjakan
Orang-orang beriman harus memenuhi janji mereka, seperti yang diperintahkan
dalam Al-Qur`an, “… sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.” (al-Israa`: 34)
Menjadi orang yang jujur merupakan salah satu sifat yang penting bagi kaum
mukminin. Para rasul Allah membuktikan kebenaran mereka kepada kaumnya dan
dikenal sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Memenuhi semua janji
menjadi bagian penting dalam sifat jujur ini. Orang beriman harus menjaga janji
mereka dan tidak pernah berjanji pada hal-hal yang tidak dapat mereka penuhi.
Hal ini dikatakan dalam Al-Qur`an,
“Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan.”
(ash-Shaff: 2-3)
Tidak
Berselisih di Antara Orang-Orang Beriman
Salah satu rahasia keberhasilan orang-orang beriman adalah eratnya tali
ukhuwah dan solidaritas. Al-Qur`an menekankan pentingnya persatuan,
“Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh.” (ash-Shaff: 4)
Perkataan atau perbuatan yang merusak eratnya ukhuwah akan menjadi musuh
dan melawan agamanya sendiri. Dalam Al-Qur`an, Allah memperingatkan kaum
muslimin agar waspada terhadap ancaman ini,
“Dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya, Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfaal:
46)
Selanjutnya, orang yang beriman dengan tulus harus berhati-hati agar tidak
bertengkar, menjauhi kata-kata atau sikap yang dapat melukai perasaan
saudaranya. Selanjutnya, ia harus berlaku sedemikian rupa untuk menghindari
pertengkaran serta menambah kepercayaan di antara mereka. Di dalam Al-Qur`an,
kita dapatkan perintah yang jelas,
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya, setan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata
bagi manusia.” (al-Israa`: 53)
Jika orang yang beriman berbeda pendapat dengan saudaranya pada suatu
masalah, ia harus bertingkah laku dan berkata dengan sopan dan lembut. Dalam
mengeluarkan pendapat, ia harus memperlihatkan asas “musyawarah” dan tidak
“berdebat”. Jika ada pertikaian di antara dua orang beriman, yang harus
dilakukan adalah mengacu pada ayat,
“Sesungguhnya,
orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat:
10)
Harus dicatat bahwa perdebatan kecil akan berpengaruh negatif pada jalan
dakwah.
Berlindung
kepada Allah dari Godaan Setan Ketika Membaca Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah wahyu Allah yang diturunkan untuk mengingatkan manusia.
Ketika AL QURAN membantu meningkatkan
keimanan orang-orang beriman, pada saat yang sama Al-Qur`an mengungkapkan
penolakan orang-orang yang ingkar.
“Dialah yang
menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al-Qur`an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang
berakal.” (Ali Imran: 7)
Hal itu berarti dalam beberapa ayat Al-Qur`an terdapat ungkapan tentang
penyimpangan “orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan” dan juga
peningkatan keimanan dan kepasrahan kaum mukminin.
Haruslah dicatat bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa
dirinya akan dapat terus memelihara keimanannya. Kaum mukminin bisa kehilangan
Al-Qur`an dalam hatinya akibat godaan setan. Biasanya, mereka tidak dapat
menangkap hikmah Al-Qur`an sewaktu membacanya ketika berada di bawah pengaruh
setan. Itulah sebabnya mengapa Allah memerintahkan orang beriman agar
berlindung kepada-Nya dari pengaruh setan sebelum membaca Al-Qur`an, “Apabila
kamu membaca Al-Qur`an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
setan yang terkutuk.” (an-Nahl: 98)
Perintah ini sangat penting karena mengingatkan orang beriman akan
kehadiran dan aktivitas setan yang tiada henti. Dalam bekerja, setan menunggu
orang-orang yang berada di jalan yang lurus serta mengganggu mereka “dari depan
dan belakang, dari kanan dan kiri”. Strategi iblis tersebut dijelaskan dalam
beberapa ayat Al-Qur`an. Keselamatan dari tipu daya iblis dapat diraih hanya
melalui Al-Qur`an, yang memperingatkan kita agar melawan trik-trik iblis dan
meminta kita agar menghindari mereka. Jalan keluarnya adalah dengan menerima
Al-Qur`an sebagai satu-satunya panduan dan membacanya setelah berlindung kepada
Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Rendah Hati
Anggota dari kelompok orang-orang yang ingkar biasanya bersifat kasar,
tidak peduli, dan buruk akhlaknya. Semua ini disebabkan keegoisan orang-orang
yang ingkar. Mereka menyangka dapat hidup sendiri sehingga tidak memerlukan
yang lainnya. Akan tetapi, kelompok orang beriman sangat berbeda dengan
orang-orang tersebut karena salah satu karakter orang beriman ialah menahan
nafsu serakah.
Mereka yang dapat menahan nafsu akan menjadi orang yang penuh perhatian
terhadap sesama. Al-Qur`an memberitakan jenis pengorbanan antara orang-orang
Mekah yang hijrah bersama Rasulullah saw. (Muhajirin) dan orang-orang Madinah
yang menolong mereka (Anshar),
“Dan orang-orang yang
telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr:
9)
Seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut, orang-orang beriman harus
mendahulukan kepentingan saudaranya di atas kepentingan pribadi. Itulah
sebenar-benarnya iman: kepatuhan dan persaudaraan.
Mendahulukan kepentingan saudaranya tidak terbatas dalam berhubungan dengan
hal-hal fisik saja. Ukhuwah juga tidak terpisah dari pemikiran. Seseorang yang
beriman harus menyadari kebutuhan dan masalah saudaranya lebih dari dirinya
sendiri.
Sikap kasar dan berakhlak buruk menunjukkan kelemahan iman seseorang.
Seseorang yang tidak menyadari betapa tindakannya akan memengaruhi orang lain
dan berbuat menurut apa yang “dikehendaki” saja, bukanlah contoh orang beriman
yang digambarkan Allah. Al-Qur`an menitikberatkan hal ini dengan beberapa
contoh tindakan yang berakhlak mulia maupun yang buruk. Dan yang terpenting
adalah dengan memuliakan dan menghormati Rasululah saw.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujuraat:
1)
“orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan
untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika
kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa
asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya, yang demikian itu akan mengganggu
Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu
menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya
sesudah ia wafat. Sesungguhnya, perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di
sisi Allah.” (al-Ahzab: 53)
Orang yang dibesarkan dengan ajaran Al-Qur`an akan menjadi mulia, sopan,
santun, dan berakhlak mulia. Inilah sifat alami orang beriman yang mendahului
kepentingan saudaranya di atas kepentingan pribadi dan yang memberi makan
orang-orang fakir, anak yatim, dan para tahanan karena cinta kepada Allah.
Berakhlak mulia menjadi sifat penghuni surga. Tidak mengganggu saudaranya
ketika mempunyai urusan penting, berdiam diri ketika temannya sedang shalat,
membuat saudaranya merasa aman, menawarkan bantuan dan melayani mereka tanpa
bertanya merupakan contoh perbuatan baik. Akan tetapi, semua itu merupakan
contoh yang menuntut perubahan situasi dan kondisi.
Berpaling dari
Orang-Orang Jahil
Di dalam Al-Qur`an, orang-orang beriman digambarkan sebagai,
“Dan
hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (al-Furqaan:
63)
“Dan apabila
mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan
mereka berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan
atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.’”
(al-Qashash: 55)
Orang-orang beriman memiliki pembawaan damai. Sebaliknya, orang-orang yang
ingkar memiliki sifat pemarah, gelisah, dan agresif. Hal itu merupakan siksa
neraka yang ditimpakan di dunia. Itulah sebabnya, mereka menjadi pembuat
masalah dan terus-menerus menghadapi kesulitan. Akan tetapi, orang beriman
tidak mempedulikan mereka kecuali jika mereka bermaksud membahayakan
orang-orang beriman dan Islam. Orang beriman bertindak mulia, seperti yang
digambarkan ayat di atas. Ketika terjadi campur tangan, mereka tidak berlaku
kasar, namun tetap beradab dan patuh pada hukum.
Tidak Berdebat
tentang Hal yang Tidak Diketahui
Di dalam Al-Qur`an, manusia digolongkan sebagai makhluk “yang paling banyak
membantah” (al-Kahfi: 54). Pada ayat yang lain, kritikan ini diberikan bagi
orang-orang yang ingkar,
“Dan tatkala putra
Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak
karenanya. Dan mereka berkata, ‘Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau
dia (Isa)?’ Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan
maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (az-Zukhruf:
57-58)
Alasan bagi kecenderungan mendebat sesuatu tidaklah untuk mengungkapkan
atau mengevaluasi pendapat yang berbeda, tetapi untuk memuaskan diri dalam
memicu perselisihan. Argumen orang-orang yang jahil bukan mengevaluasi
pandangan orang lain atau mencari solusi. Tujuannya tak lain adalah mengalahkan
orang itu. Inilah yang menjelaskan mengapa ada suara keras dan tarik urat
selama berargumen, dan mengubah diskusi menjadi pertengkaran.
Hal itu benar-benar aneh, mendebat sesuatu dengan tidak disertai ilmu.
Contoh yang paling nyata terlihat pada diskusi antar pemeluk agama, di mana
para argumentator pada umumnya sangat jahil. Kesalahan tersebut dijelaskan pada
ayat,
“Beginilah kamu,
kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka
mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui.” (Ali
Imran: 66)
Tidak
Mengolok-olok
Ayat berikut secara jelas memberitahukan kepada orang-orang beriman agar
jangan saling mengolok-olok.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) bisa jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain
(karena) bisa jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita
(yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah
kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujuraat:
11)
Allah menyuruh manusia menahan diri dari mengolok-olok. Mengolok-olok dapat
berupa menertawai kemalangan orang lain, tersenyum sinis, menyindir, atau
memandang rendah. Sikap-sikap seperti itu merupakan budaya orang-orang jahil
dan tidak sesuai dengan orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Al-Qur`an
memperingatkan kita bahwa orang yang memperturutkan sikap yang demikian akan
menderita karena api neraka akan merambat sampai membakar hati mereka.
“Kecelakaanlah bagi
setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya, dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (Yaitu) api (yang disediakan)
Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya, api itu
ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang
panjang.” (al-Humazah:
1-9)
Tidaklah mungkin bagi orang-orang beriman berperilaku sinis setelah
mengetahui kehendak Allah ini. Karena itu, tidak ada orang beriman yang dengan
sengaja bersikap seperti itu. Akan tetapi, jikalau ada orang beriman yang
tergelincir pada sikap demikian, hal itu disebabkan karena ketidaksadarannya
berlaku salah dan menganggapnya sebagai lelucon. Akan tetapi, begitu ia
menyadari kesalahannya, ia harus segera berhenti dan bertobat.
Tidak Memanggil
Orang Beriman dengan Panggilan Buruk
Menjadi kebiasaan bagi orang yang ingkar memanggil orang lain dengan
panggilan yang buruk. Maksud sebenarnya dari kebiasaan itu tidak lain adalah
untuk merendahkan orang lain dan “membuktikan” kehebatan dirinya sendiri.
Panggilan buruk tersebut bisa diambil dari kekurangan fisik ataupun kesalahan
di masa lampau. Orang-orang yang ingkar tidak akan melupakan kesalahan orang
lain meski ia sudah bertobat.
Akan tetapi, orang beriman berbeda dari mereka. Mereka selalu memaafkan dan
menjaga persaudaraan di antara mereka. Itulah sebabnya, mereka tidak berbuat
seperti itu. Lagi pula Allah telah memerintahkan, “... Janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk....” (al-Hujuraat: 11)
Dapat Dipercaya
Al-Qur`an menggambarkan sifat amanah sebagai salah satu prinsip moral dan
jalan menuju kesuksesan. Orang-orang beriman harus menjaga amanat yang
dipercayakan kepadanya sampai amanat tersebut dikembalikan. Selain itu, mereka
pun harus dapat membedakan siapa yang mengamanatkan dan siapa yang berhak atas
amanat tersebut. Dalam hal ini, Al-Qur`an menjelaskan,
“Sesungguhnya,
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya, Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya, Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (an-Nisaa`:
58)
Pada ayat lain dijelaskan,
“(Bukan
demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa,
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (Ali
Imran: 76)
Amanat bisa berupa uang, tugas, atau hal lain. Orang beriman harus dapat
menjadi dan membedakan orang-orang yang dapat dipercaya.
Dunia yang
Mengelabui
Kekeliruan utama masyarakat yang tidak mempedulikan pandangan Islam adalah
menyangka dunia yang mereka sentuh dan lihat merupakan suatu hal yang agung dan
mutlak pada keberadaan duniawi. Mereka menganggap semua itu “abadi dan tidak
pernah berakhir”. Mereka memuja semua itu dan mencari pertolongan dengannya.
Akibatnya, mereka sedikit demi sedikit melupakan Allah dan bahkan mengingkari
keberadaan-Nya. Persangkaan mereka terhadap keberadaan Allah adalah “tidak
nyata dan merupakan khayalan semata” dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat
duniawi. Itulah cara berpikir yang salah dari orang-orang yang ingkar. Hal yang
mutlak bukanlah benda-benda duniawi, melainkan Allah. Al-Qur`an menjelaskan,
“(Kuasa Allah)
yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (al-Hajj:
62)
Sebenarnya, keberadaan benda-benda duniawi hanya ada setelah diciptakan
oleh Allah. Keberadaannya menurut kehendak dan perintah-Nya. Dengan demikian,
kemutlakan benda-benda patut dipertanyakan. Benda hanya ada sebagai hasil dari
perintah Allah. Allah menjelaskan kenyataan ini,
“Sesungguhnya, Allah
menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan
lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya, Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Faathir:
41)
Ini menunjukkan bahwa dunia beserta isinya tetap ada karena dipertahankan
oleh Allah dan jika Dia menghendaki, semua itu akan lenyap. Hal itu berarti
alam ini dibuat dengan hal-hal yang mengelabui, yang akan hilang bila
diperintahkan. Kehendak Allah yang tanpa batas ini di luar pemahaman manusia,
tetapi “mimpi” adalah cara untuk menjelaskan penciptaan ini. Sebagai contoh,
ketika seseorang terbangun dari mimpi, alam yang ada dalam mimpinya hanyalah
pikirannya semata selama tidur. Ketika pikirannya menghentikan “bentukan” alam
tersebut, seketika ia lenyap dan tidak ada lagi. Sesungguhnya, tidak ada benda
atau manusia bebas.
Seorang ulama yang terkenal, Imam Rabbani, menceritakan kebenaran yang haq
ini (narasi ini diringkas dan ditulis ulang dalam penerjemahan).
“Allah telah memutuskan penjelmaan setiap nama-nama-Nya (Yang Mahaadil,
Maha Pengasih, dan lain-lain) dan memberikan sifat-sifat-Nya kepada yang
diciptakan, dan manusia diciptakan semata-mata bukanlah apa-apa. Yang Maha Esa
dan hanya Allahlah dengan kekuatan-Nya memutuskan tempat realisasi
nama-nama-Nya dan menciptakan mereka dalam dunia ilusi (khayalan). Dia
menentukan ini pada waktu dan bentuk yang ia inginkan.
Keberadaan alam ini hanyalah ilusi dan sensasi tanpa pengecualian. Dalam
hal ini, yang bukan apa-apa dan ilusi tersebut mendapatkan kekuatan dan suara
dari penciptaan Allah sehingga ciptaan itu menjadi hidup, mengenal, berbuat,
bertanya, mendengar, dan berbicara dengan kehendak-Nya. Akan tetapi, semuanya
merupakan penjelmaan dan yang ada hanyalah bayang-bayang. Tiada jalan untuk
keluar. Di luar dunia, tiada sesuatu melainkan ciptaan Allah dan nama-nama-Nya.
Setiap sesuatu yang muncul dalam cermin (bayangan) Yang Mahakuasa dan pada
jalan ini, mereka mendapatkan penampilan luar: mereka terlibat seperti
eksitensi di dunia luar. Akan tetapi, tidak ada yang lain selain bayangan.
Tiada seseorang dan sesuatu pun melainkan Allah.” (Maktubati Rabbani,
Imam Rabbani, hlm. 517-519)
Karena tidak ada yang lain selain Allah dan segala sesuatu di alam ini
merupakan penjelmaan-Nya, maka pencipta semua perbuatan tak lain adalah Yang
Mahakuasa. Al-Qur`an menjelaskan rahasia ini pada sejumlah ayat,
“Maka (yang
sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang
melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya, Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal:
17)
“Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya, Allah
adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (al-Insaan:
3)
“Dan ketika Allah
menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka
berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah
sedikit pada penglihatan mata mereka, karena Allah hendak melakukan suatu
urusan yang mesti dilaksanakan. Dan hanya kepada Allahlah dikembalikan segala
urusan.”
(al-Anfaal: 44)
Dunia memiliki wajahnya sendiri seperti yang telah dibuktikan. Dalam hal
ini, segala sesuatu tampak bebas dan tidak terkendali. Akan tetapi, sesuai
bentuknya menurut penciptaan mereka, semuanya patuh dan tunduk pada kehendak
Allah. Dijelaskan dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, aku
bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata
pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya, Tuhanku di atas
jalan yang lurus.” (Huud:
56)
Dengan mengetahui tidak ada sesuatu melainkan Allah, terbukalah rahasia
bahwa tidak ada seorang pun melakukan sesuatu atas kehendak dirinya sendiri.
Rahasia ini harus selalu diingat oleh orang beriman, sehingga orang beriman
mengetahui bahwa terjadinya semua perbuatan buruk orang-orang ingkar itu atas
kehendak Allah. Karena itu, orang-orang beriman menerjemahkan dan mengevaluasi
semua kejadian menurut pengertian yang ada. Hal ini akan membantu mereka
berbuat yang benar dan bertindak dengan ikhlas, baik, dan bijaksana.
Mereka
menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana.” (al-Baqarah: 32)