Setiap kewajiban yang telah dibebankan
Islam kepada umatnya senantiasa memuat hikmah dan maslahat bagi mereka. Islam
menginginkan terbentuknya akhlak Islami dalam diri Muslim ketika ia
mengimplementasikan setiap ibadah yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam
Kitab dan Sunnah rasul-Nya.
Melalui ibadah puasa, Allah SWT
menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang bertakwa. Pribadi yang
tidak pernah mengenal slogan hidup kecuali slogan yang agung ini: sami’naa wa
atha’na. Pribadi yang senantiasa melaksanakan segala perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh karenanya,
Nabiyullah agung Muhammad SAW telah bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah di
manapun kamu berada, ikuti keburukan dosa dengan kebaikan niscaya ia akan
menghapuskannya dan gauli manusia dengan akhlak yang baik.” Dalam sabda beliau
yang lain: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa faridlah (kewajiban)
maka jangan sekali-kali kamu menyia-nyiakannya, Dia telah menetapkan
batasan-batasan maka jangan sekali-kali kamu melampui batas, Dia telah
mengharamkan banyak hal maka jangan sekali-kali melanggarnya….”
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo\'alah untuk
mereka. Sesungguhnya do\'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. 9/At-Taubah: 103).
Dengan ibadah zakat, Islam mengharapkan
tumbuh subur sifat-sifat kebaikan dalam jiwa seorang Muslim dan mampu
memberangus kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda. Begitu juga
ibadah shalat yakni ibadah yang jika seorang hamba melaksanakan dengan
memelihara syarat-syarat, rukun-rukun, wajibat, adab-adab, dan kekhusyu`an di
dalamnya, niscaya ibadah ini akan menjauhkannya dari perbuatan keji dan
kemunkaran. Sebaliknya, ibadah ini akan mendekatkan seorang hamba yang
melaksanakannya dengan sebenarnya kepada Sang Khalik dan mendekatkannya kepada
kebaikan-kebaikan serta cahaya hidup.
Perhatikan ayat berikut ini, “Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 45).
Muslim yang selalu menunaikan ibadah ini
akan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaikan dan mampu menjadi cahaya di
tengah-tengah masyarakatnya. Muslim yang memiliki hamasah yang menggelora dalam
memperjuangkan kebenaran dan memberangus nilai-nilai kemunkaran, kelaliman, dan
perbuatan keji lainnya. Hatinya terasa tersayat di saat menyaksikan pornografi
dan porno aksi mewabah di tengah-tengah masyarakatnya. Jiwanya akan terus
gelisah ketika melihat kelaliman yang dipermainkan para budak kekuasaan.
Memang, ia harus menjadi cahaya yang
berjalan di tengah-tengah kegelapan zaman ini. Allah berfirman, “Dan apakah
orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?
“Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir
itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
(Q.S. 6Al-An’am: 122)
Ibadah shalat adalah awal kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT kepada umat ini pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Ibadah
yang merupakan simbol dan tiang agama, “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya
adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR Muslim).
Ibadah yang dijadikan Allah sebagai
barometer hisab amal hamba-hamba-Nya di akhirat, “Awal hisab seorang hamba pada
hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik,
dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (HR At-Thabrani).
Ibadah shalat merupakan wasiat Nabi yang
terakhir kepada umat ini dan yang paling terakhir dari urwatul islam (ikatan
Islam) yang akan dihapus oleh Allah SWT. Selain ini, shalat juga penyejuk mata,
waktu rehatnya sang jiwa, saat kebahagiaan hati, kedamaian jiwa dan merupakan
media komunikasi antara hamba dan Rabbnya. Ibadah yang memiliki kedudukan atau
manzilah yang agung ini tidak akan hadir maknanya dalam kehidupan kita, tatkala
kita lalai menjaga arkan, wajibat dan sunah yang inheren dengan ibadah ini.
Tatkala kita tidak mampu menghadirkan hati,
merajut benang kekhusukan dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah ini maka
kita tidak akan mampu menangkap untaian makna yang terkandung di dalamnya. Kita
tidak akan mampu memahami sinyal-sinyal rahasia yang ada di balik ibadah ini.
Tidakkah banyak di antara manusia Muslim yang ahli ibadah namun masih jauh dari
nilai-nilai Islam. Ahli shalat namun masih suka melakukan kemaksiatan. Hal ini
disebabkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah sama sekali tidak
mampu memberikan pesan-pesan ilahiah di luar shalat.
Takbir yang dikumandangkan di saat
beribadah tidak mampu melahirkan keagungan di luar shalat. Do’a iftitah “Inna
shalaatii wa nusukii….” yang dilafazkan dalam shalat tidak mampu mengingatkan
tujuan hidupnya. Ibadah ini seolah-olah hanya menjadi gerakan-gerakan ritual
yang maknanya tidak pernah membumi dalam kehidupan orang yang melaksanakannya.
Oleh karena itu, ibadah shalat yang mampu
melahirkan hikmah pencegahan dari perbuatan keji dan kemungkaran, hikmah
pensucian jiwa dan ketentraman, apabila dilakukan dengan penuh kekhusyukan,
mentadabburkan gerakan dan ucapan yang terkandung di dalamnya, penuh ketenangan
dan dengan tafakkur yang sesungguhnya. Maka ia akan keluar dari ibadah dengan
merasakan kenikmatannya, terkontaminasi dengan nilai-nilai keta’atan dan
mendapatkan cahaya ma’rifatullah.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun
yang melaksanakan shalat maktubah (fardlu), lalu ia memperbaiki wudlunya,
khusyuk dan rukuknya kecuali shalat ini akan menjadi pelebur dosa-dosa
sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan ini berlaku sepanjang tahun.”
(H.R. Muslim)
Inilah yang pernah dilakukan oleh salaf
shalih termasuk di dalamnya Ibnu Zubair RA. Mereka laksana tiang yang berdiri
tegak karena kekhusyukannya. Mereka terbius dengan kerinduannya akan Rabbnya
dan mereka asyik berkomunikasi dengan Sang Khalik tanpa terganggu dengan suara
makhluk-Nya.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan
di saat melaksanakan ibadah shalat agar hikmah di dalamnya selalu terjaga.
Pertama, menjaga arkan, wajibat dan sunah.
Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.”
Kedua, ikhlas, khusyuk dan menghadirkan
hati. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta\'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (Q.S. 98/Al-Bayyinah: 5).
Ketiga, memahami dan mentadabburi ayat,
do’a dan makna shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Q.S. 107/Al-Maa’uun: :4-5).
Keempat, mengagungkan Allah SWT dan
merasakan haibatullah. Rasulullah SAW bersabda, “…Kamu mengabdi kepada Allah
seolah-olah kamu melihatNya dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah)
bahwasanya Allah melihat kamu…” (H.R. Muslim). Semoga kita semua mampu
merenungkan kembali arti shalat dalam kehidupan dakwah dan memperbaikinya agar
kita benar-benar mi’raj kepada Allah SWT. Wallahu A’lam Bish-shawwab
Baca juga: Ayat-ayat yang ‘mirip’