Ini surat Makkiyah, terdiri dari tiga ayat, diturunkan
setelah surat Al-‘Adiyat. Hubungan surat ini dengan surat sebelumnya (surat
Al-Ma‘un), adalah bila Allah menjelaskan dalam surat terdahulu tentang orang
yang mendustakan agama dengan empat macam sifat, yaitu al-bukhl (bakhil),
tidak mau melakukan salat, riya, dan tidak mau memberikan pertolongan, maka
dalam surat Al-Kautsar Allah menyebutkan sifat-sifat yang dikaruniakan kepada
Rasulullah Saw. berupa kebaikan dan keberkahan. Disebut-kan bahwa beliau diberi Al-Kautsar, yang berarti
kebaikan yang banyak, dorongan untuk melakukan salat dan membiasakan-nya,
ikhlas dalam melakukannya dan bersedekah kepada kaum fuqara.
Asbâb al-nuzûl surat ini
ialah sebagai berikut: Orang-orang musyrik Mekkah dan orang-orang munafik
Madinah mencela dan mengejek Nabi Saw. dengan beberapa hal. Pertama, orang-orang yang
mengikuti beliau adalah orang-orang dhu‘afa, sementara orang-orang yang tidak
mengikutinya adalah para pembesar dan pejabat. Andaikan agama yang dibawakan
itu benar, tentu pembela-pembelanya itu ada dari kelompok orang pandai yang
memiliki kedudukan di antara rekan-rekannya.
Pernyataan mereka
seperti itu bukanlah hal yang baru. Dulu, kaum Nabi Nuh a.s. juga berkata
demikian kepada nabi mereka. Dikisahkan dalam Al-Quran sebagai berikut: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang
kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) manusia biasa
seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan
orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami
tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami
yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud, 11:27).
Memang sudah begitu adanya, orang yang paling cepat
memenuhi dakwah Rasul adalah para dhu‘afa. Itu disebabkan, di antaranya, karena
mereka tidak memiliki harta sehingga tidak perlu takut hartanya akan
tersia-siakan di jalan dakwah. Orang-orang dhu‘afa juga tidak memiliki pangkat
atau kedudukan yang menyebabkan mereka takut akan kehilangan pangkat atau
kedudukannya di hadapan kedudukan yang dikaruniakan oleh Shâhib Al-Da‘wah.
Kebersamaan para dhu‘afa itu memang tidak disenangi oleh
para tuan dan pembesar. Sehingga, ketika kelak mereka masuk ke dalam agama
Allah, mereka masuk dalam keadaan benci. Karena itu seringkali terjadi
perdebatan antara mereka dan para rasul. Mereka berusaha untuk melenyapkan dan
mengganggu pengikut-pengikut Rasul. Namun Allah menolong rasul-rasul-Nya,
memperkuat dan memperkokoh mereka.
Sikap para pembesar seperti itu terjadi pula pada Rasul
Saw. Karenanya, sungguh para pembesar telah menentang beliau karena kedengkian
mereka kepada Rasul dan para pengikutnya yang ber-kedudukan rendah. Kemudian,
ketika mereka melihat putra-putra Rasulullah meninggal, mereka pun berkata:
“Terputuslah keturunan Muhammad, dan dia menjadi abtar.” Mereka mengira
wafatnya putra-putra Rasul itu sebagai aib, sehingga mereka mencela beliau
dengan hal itu, dan berusaha memalingkan manusia dari mengikutinya. Apabila
mereka melihat syiddah (kesulitan)
yang turun kepada orang-orang Mukmin, mereka senang dan menunggu kekuasaan itu
bergeser kepada mereka. Mereka berharap kekuasaan itu hilang dari kaum Muslim,
sehingga kedudukan mereka yang sempat digoncang-kan oleh agama baru itu kembali
lagi kepada mereka.
Atas dasar itu, surat Al-Kautsar ini turun untuk
menegaskan kepada Rasul Saw. bahwa apa yang diharapkan oleh orang-orang kafir
itu merupakan harapan yang tidak ada kebenarannya; untuk menggoncangkan jiwa
orang-orang yang tidak mau menyerah dalam pendiriannya, yang tidak lembut
tiang-tiangnya, orang-orang yang berkepala batu; untuk menolak tipuan
orang-orang musyrik dengan sebenar-benarnya; dan untuk mengajarkan kepada
mereka bahwa Rasul akan ditolong, sementara pengikut-pengikut-nya akan
memperoleh kemenangan.
Al kautsar berarti
kebajikan yang banyak. Kata alkautsar berasal dari kata katsiir yang
digunakan untuk menunjukkan pada sesuatu yang kuantitas atau kualitas tinggi.
Kata al kautsar hanya disebut sekali dalam al Qur’an, yaitu dalam surat Al
Kautsar/108:1. Al
kautsar sekaligus menjadi nama dari surat yang ke 108 ini,
namun ada juga yang memberi nama surat ini dengan surat an Nahr.
Terdapat beragam riwayat yang menceritakan tentang asbabaun nuzulnya surat
ini, salah satu diantaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari as Suddi. Ketika putera Rasulullah saw (Al Qasim) meninggal, al
’Ashi bin Wail berkata bahwa Muhammad telah terputus keturunannya, maka
turunlah surat al Kautsar/108: 3 (Sesungguhnya
orang-orang yang membenci kamu dialah orang yang terputus). Riwayat
yang senada dikatakan bahwa ’Uqbah bin Abi Mua’ith berkata,’Tidak seorang anak
laki-lakipun yang hidup bagi nabi saw, sehingga keturunannya terputus’. Ayat
ini (Surat al Kautsar/108:3) turun sebagai bantahan terhadap ucapan itu (R. Ibn
jarir). (Lihat asbabun nuzul surat al Kautsar, Qomaruddin shaleh, dkk)
Para ulama memberikan beberapa pemahaman mengenai makna kata al
Kautsar sebagaimana berikut ini:
Sungai
di surga
Anas bin Malik mengatakan bahwa kami berada di sekeliling Rasul, tiba-tiba
Beliau terlena sebentar kemudian Beliau mengangkat kepala dan bersabda,’Diturunkan kepadaku tadi satu surah’. Lalu
Beliau membaca surah al Kautsar dan bersabda,’Tahukah kalian apa al Kautsar?. Kami
menjawab,’Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. Lalu Beliau melanjutkan,’Ia adalah sungai yang dijanjikan Tuhan
kepadaku. Disana terdapat banyak kebajikan. Ia adalah telaga yang banyak
didatangi (untuk diminum) ummatku pada hari kiamat’ (HR.Muslim).
Berdasar hadits ini mayoritas ulama mengatakan bahwa surat al Kautsar
diturunkan di Madinah, karena Anas bin Malik baru masuk Islam pada masa awal
hijrah nabi Muhammad saw ke Madinah.
Keturunan nabi Muhammad
saw
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu sebab turunnya ayat ini adalah
adanya tuduhan dari kafir Qurays kepada Rasulullah sebagai seseorang yang
terputus keturunannya karena kematian puteranya. Ada ulama yang mengatakan
bahwa tidak tepat jika Rasulullah dikatakan terputus keturunannya sebab
ada keturunan Rasullah
saw yang berasal dari keturunan Fatimah (putri Rasulullah
saw). Salah satu pertimbangan pendapat ini adalah pernyataan Abi Bakrah,’Aku
mendengar Nabi saw yang ketika itu berada di atas mimbar dan Hasan berada di
sampingnya, sekali memandang kepada hadirin dan sekali memandang kepada
beliau,’Anakku ini (sambil
menunjuk kepada Hasan) adalah sayyid, semoga Allah melakukan ishlah melalui
(jasa)-nya antara dua kelompok kaum muslimin’ (HR.Bukhari)
Banyak dalam kuantitas atau kualitas
Pendapat ini berdasar pada pernyataan Ibnu Abbas, ketika disampaikan pendapat
yang menyatakan bahwa al kautsar adalah sungai di surga, beliau menjawab,’Itu
sebagian dari al kautsar yang dijanjikan Allah kepada Nabi-Nya’ (M.Qurays
Syihab). Artinya jika sungai di surga merupakan sebagian dari al Kautsar yang
dijanjikan Allah kepada NabiNya, berarti masih banyak lagi al kautsar-al
kautsar lainnya. Oleh sebab itu ada ulama yang mengartikan al kautsar
dikembalikan kepada makna harfiyah kata ini yaitu banyak, banyak dalam hal
kualitas ataupun kuantitasnya.
Walaupun kata al Kautsar pada konteks surat al Kautsar ditujukan
kepada Rasulullah saw (karena menggunakan kata ganti ka/kamu), namun tidak
berlebihan kiranya jika kita juga berharap untuk memperolehnya. Apalagi
jika dikaitkan dengan makna al kautsar yang dapat bermakna sangat luas sesuai
dengan makna harfiyah kata. Semoga kita juga memperoleh al kautsar -dapat minum
telaga di surga, mempunyai keturunan shalih/shalihah, dan karunia Allah
lainnya! Amin.
Baca juga: Agar keluarga menjadi sakinah