Memikirkan pakaian baru sah-sah saja, itu adalah bagian dari
yang dihalalkan. Namun jika karena memikirkan baru menjadikan kesibukan seorang
muslim di akhir-akhir Ramadhan adalah di mall dan tempat perbelanjaan,
sangatlah disayangkan. Baju baru jadinya hanya membuat seseorang luput dari
nikmatnya shalat tarawih, indahnya bermunajat dengan Allah lewat i’tikaf, juga
tilawah Al Qur’an di akhir Ramadhan. Padahal yang lebih dipentingkan adalah
pakaian takwa. Dan di akhir Ramadhan, itulah puncak pahala amalan akan semakin
besar. Karena innamal a’malu bilkhawatim, setiap amalan akan dinilai akhirnya.
Ingatlah, tujuan ibadah puasa adalah untuk menggapai
takwa,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian
menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Pakaian takwa itulah yang terbaik dibanding pakaian
lahiriyah. Allah Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ
لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan
pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa
pakaian itu ada dua macam, yaitu pakaian lahiriyah dan pakaian batin. Pakaian
lahiriyah yaitu yang menutupi aurat dan ini sifatnya primer. Termasuk pakaian
lahir juga adalah pakaian perhiasan yang disebut dalam ayat di atas dengan
riisya’ yang berarti perhiasan atau penyempurna.
Pakaian batin sendiri adalah pakaian takwa. Pakaian ini
lebih baik daripada pakaian lahir yang nampak.
Setelah menyebutkan dua penjelasan di atas, Syaikh Ibnu
‘Utsaimin menjelaskan, “Kita dapati bahwa orang-orang begitu semangat sekali
memperhatikan bersihnya pakaiannya yang nampak. Jika ada
kotoran yang menempel di pakaiannya, maka ia akan mencucinya dengan air dan
sabun sesuai kemampuannya. Namun untuk pakaian takwa, sedikit sekali yang mau
memperhatikannya. Kalau pakaian batin tersebut kotor, tidak ada yang ambil
peduli. Ingatlah, pakaian takwa itulah yang lebih baik. Itu menunjukkan
seharusnya perhatian kita lebih tinggi pada pakaian takwa dibanding badan dan
pakaian lahir yang nampak. Pakaian takwa itulah yang lebih penting.” (Syarh
Riyadh Ash-Shalihin, 4: 266).
Dari penjelasan Syaikh di atas, kita lihat bahwa yang
mesti diperhatikan adalah pakaian takwa.
Bahkan pakaian takwa inilah yang jadi bekal terbaik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah
berkata, “Bekal yang sebenarnya yang tetap mesti ada di dunia dan di akhirat
adalah bekal takwa, ini adalah bekal yang mesti dibawa untuk negeri akhirat
yang kekal abadi. Bekal ini dibutuhkan untuk kehidupan sempurna yang penuh
kelezatan di akhirat dan negeri yang kekal abadi selamanya. Siapa saja yang
meninggalkan bekal ini, perjalanannya akan terputus dan akan mendapatkan
berbagai kesulitan, bahkan ia tak bisa sampai pada negeri orang yang bertakwa
(yaitu surga). Inilah pujian bagi yang bertakwa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hlm. 92)
Al-Qasimi berkata, “Persiapkanlah ketakwaan untuk hari
kiamat (yaumul ma’ad). Karena sudah jadi kepastian bahwa orang yang bersafar di
dunia mesti memiliki bekal. Musafir tersebut membutuhkan makan, minum dan
kendaraan. Sama halnya dengan safar dunia menuju akhirat juga butuh bekal.
Bekalnya adalah dengan ketakwaan pada Allah, amal taat dan menjauhi berbagai
larangan Allah. Bekal ini tentu lebih utama dari bekal saat safar di dunia.
Bekal dunia tadi hanya memenuhi keinginan jiwa dan nafsu syahwat. Sedangkan
bekal akhirat (takwa) akan mengantarkan pada kehidupan abadi di akhirat.”
(Mahasin At-Ta’wil, 3: 153. Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 10: 125)
Tak masalah memang memiliki baju baru karena asalnya
mubah. Namun jangan melalaikan dari menyiapkan bekal hakiki untuk akhirat yaitu
takwa.
Nasihat terakhir dari Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, halaman 484 patut direnungkan. Beliau
rahimahullah mengatakan,
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد
إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد
لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ
بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب
“Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai
pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin
bertambah ibadah dan taat. Hari raya Id
tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya
Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.”
Baca juga: Khutbah Idul fitri: Menghadirkan Maaf dan Ketulusan Memaafkan